Kenangan Kafe Buku

18 1 2
                                    

2019

Aku sedang duduk di gazebo dekat Fakultas Hukum, yang posisinya tak jauh dari gerbang depan kampus, sementara di telingaku ponsel menempel. Imro lagi curhat lewat telepon.

Nyebelin banget tau nggak, cowok itu. Aku padahal cuma berusaha baik sama dia. Ya muji berlebihan emang nggak baik, tapi dia nggak bisa gitu menghargai orang yang muji dia, bukannya nyerang?”

“Nyerang? Itu kan bahasa ketikan, Im, paling kamunya aja yang baper,” sahutku tak setuju.

Iya sih, tapi tetep aja, dia nggak bisa bilang ‘makasih’ dulu gitu, daripada langsung to the point nggak mau dipuji dan ngatain pujian dari aku bisa jadi racun. Like… what? Racun? Gue kasih sianida beneran baru kapok.” Suara Imro terdengar berapi-api, sampai aku menahan senyum.

Baru akan menyahut, klakson motor mengagetkanku. Aku mendongak, mendapati cowok yang tadi berseloroh mau menjemput sudah ada di depanku.

“Im, Im, kita lanjut lagi ntar ya. Aku udah… dijemput.”

Hah? Sejak kapan kamu dianter jemput?” Imro terdengar bingung.

Ya, ntar aku ceritain deh.” Tanpa menunggu jawaban, aku berucap “dah” lalu mematikan panggilan. Senyumku merekah saat berdiri.

Eza menyeringai, like always. “Ayo. Aku udah dapet tempat yang recommended dan pasti kamu betah.”

Aku mengangkat alis. “Di mana?”

“Ada, lah. Ayo!”

Hari itu, satu-satunya hari selama kuliah di mana aku tidak bisa menolak untuk naik ke boncengannya lagi. Aku sedang tidak membawa motor, berangkat dari rumah saja nebeng teman, dan rencananya mau pulang naik angkot saja. Namun, ia mengirim pesan dan mengajak jalan, sekalian mau antar ke pangkalan angkot biar aku tidak perlu pesan ojek online.

Itu motor sport yang ia pakai, dan aku tertolong dengan tas ranselnya yang mungkin memuat laptop karena tampak besar. Sepanjang jalan, aku menengok wajahnya yang tertutup helm melalui spion.

“Aku tahu aku lebih keren kalo naik motor,” katanya bercanda saat kami berhenti di lampu merah. Matanya balas menatapku lewat spion itu. Aku mengalihkan pandang seketika, dan ia tertawa.

Ia ternyata membawaku ke kafe. Lokasinya agak jauh dari kampus, sampai ketika turun dari motor aku merasa pantatku seakan mau lepas. Capek sekali naik motornya yang itu. For your information, itu motor kakaknya yang kadang ia pinjam kalau motor aslinya sedang diservis.

Ketika aku masuk melalui pintunya yang berdesain seperti daun pintu rumah kuno, dengan bahan kayu tapi ada kaca di tengah-tengahnya, membentuk kotak-kotak kecil berjajar, aku menyadari itu bukan kafe biasa. Itu adalah kafe buku. Rak-rak menempel di dindingnya, berisi jajaran buku dengan label genre di bawahnya. Sastra, teenlit, bisnis, motivasi, dan beragam genre lain di seputar kafe. Aku tidak mengekor di belakang Eza yang sudah menuju konter pemesanan, justru berlama-lama di depan rak, memilih buku.

Setelah beberapa menit, pilihanku jatuh pada buku puisi terjemahan karya Lang Leav. Aku juga mengambil sebuah komik Miiko yang dulu sangat suka kubaca saat masih SMA. Aku mencari-cari dan segera melesat ke pojok kafe saat menemukan Eza duduk di sana sambil memainkan ponsel.

“Dor!” seruku heboh. Ia mendongak, tidak kaget sama sekali, malah tersenyum melihat dua buku tergeletak di meja.

“Apa? Mau bilang heran karena aku anak Ekonomi tapi seneng banget baca buku sastra? FYI, ini komik, bukan sastra,” kataku, mengangkat komik Miiko di depan wajahnya. “Kali aja kamu mau ikut baca.”

Ia tersenyum tipis, lalu mengambil komik itu. “Ini kan komik yang kamu bilang suka pas SMA.” Ia membolak-balik buku, sementara aku tersenyum mendapati ia memesankanku teh, alih-alih kopi.

“Kenapa suka komik ini? Ceritanya aja tentang anak SD.” Eza mengangkat alis padaku.

Nyaris saja aku tersedak saat menyeruput teh tarikku. Setelah berdeham beberapa kali, aku tetap tak kuasa menjawab pertanyaan itu. Karena ceritanya agak mirip dengan kita. Miiko yang nggak juga jadian sama Tappei—ya karena mereka masih SD, sedangkan kita? Terhalang aturan agama.

“Enak?” Ia bertanya, menunjuk tehku. Aku mengangguk, lalu spontan menarik gelasku ketika ia akan maju untuk ikut menyedot.

“Jorok.” Ucapanku membuatnya mendengkus.

“Ngomong-ngomong, May juga suka baca buku kayak kamu gitu?” tanyanya tiba-tiba.

Aku menggeleng. “Ya, kalo komik lumayan suka, lah. Kalo buku sastra kayak ini,” aku mengacungkan buku puisi, “jangan ditanya. Dilihat sampulnya aja nggak.”

Eza terkekeh. Kami melanjutkan obrolan dengan santai. Itu salah satu kebahagiaan kecilku, mengobrol dengannya sampai tahu-tahu waktu habis. Saat kuliah, aku sudah tidak mudah canggung seperti di masa SMA. Mungkin efek aku sudah lama berorganisasi dan mulai berani bicara di forum, bukan hanya mengikuti perintah ketua. Teman-temanku juga lebih banyak, meski tetap saja tidak benar-benar dekat dengan mereka.

Hari itu, aku tidak curiga sama sekali mengenai pertanyaan Eza tentang May. Aku tidak punya firasat buruk apa pun, dan tidak menduga apa yang akan terjadi tiga tahun berikutnya.

***

Hmm benarkah May ada affair sama Eza?
Maafkan author ya bukunya lama ngga update karena sempat sakit beberapa hari, kemudian juga lagi ngadat idenya jadi beginilah... terima kasih yang masih setia membaca

Guilty (Un)PleasureWhere stories live. Discover now