Perebut Pacar Orang

26 0 0
                                    


Meski tergolong tidak banyak bergaul, aku bukannya tidak punya teman sama sekali. Selain Imro yang dekat sejak SMP, saat SMA dulu aku juga dekat dengan beberapa teman sekelas. Gina dan Nabila, contohnya. Aku ingat bahwa hanya mereka yang tahu kalau aku sedekat itu dengan Eza. Pada yang lain, aku biasanya berbohong dan memberi dalih bahwa kami hanya rekan satu organisasi yang kebetulan sering masuk ke divisi yang sama saat ada acara. Mereka percaya saja, meski sebagian merasa sangsi. Tapi ... siapa sih aku, untuk bisa dikepoin terlalu dalam oleh anak-anak itu?

Saat aku memutuskan mundur perlahan setelah Eza berpacaran dengan Nadira, yang pertama protes bukan Gina atau Nabila, melainkan ... May.

"Lho, kok Kakak yang mundur? Harusnya Nadia dong, yang mundur. Dia nggak tau ya, kalo Kak Eza dari awal sukanya sama Kakak?" Matanya berapi-api tidak terima.

Hatiku terasa menghangat saat itu mendengarnya membelaku. "Namanya Nadira, May."

"Iya, serah deh siapa."

Anak SMP, tahu apa sih, batinku saat itu. Ya, meskipun May sudah pernah dapat pernyataan suka di usia segitu, tapi tetap saja aku merasa ia lebih muda dan tidak akan paham perasaanku. Namun, tidak kuduga bahwa dugaannya saat itu akan jadi nyata.

"Liat aja ya, Nadira itu nggak akan lama sama Kak Eza. Paling-paling berapa bulan udah putus. Soalnya dugaanku sih, dia cuma dijadiin pelarian doang." Dengan yakin, May memberitahu tebakannya.

Aku hanya tertawa pahit, ingin memercayai ramalan itu, tapi kadar percaya diriku sedang jatuh sehingga aku diam saja. Namun, tebakan itu jadi nyata di tahun ketiga SMA kami, meski aku harus menahan pahit getir terlebih dahulu.

***

2017

"Ngerebut pacar orang? Masa sih? Anak lugu gitu?"

"Anak Rohis emang pacaran, ya? Katanya kalo pas ceramah jangan dekati zina?"

"Jangan dekati zina, tapi dekati anak orang! Hahaha!"

"Tapi beneran jadi cinta segitiga gitu? Novel kalah, dong."

Bisik-bisik itu terdengar saat aku masuk sekolah hari itu. Aku tidak tahu siapa yang dibicarakan, tapi mendengar organisasi yang kuikuti disebut-sebut, rasanya agak cemas. Jangan-jangan, hubungan rahasianya Eza dan Nadira ketahuan? Tapi kenapa ada kata "perebut" yang disematkan? Cinta segitiga, apa pula itu?

Aku memutuskan menyingkirkan pikiran itu saat Nabila datang dan ia langsung buru-buru mengeluarkan buku tugas.

"Kamu udah selesai belum, Dee? Aku ketiduran semalem. Bangun-bangun udah lewat subuh, nggak sempet lagi ngelanjutin," cerita Nabila tanpa menoleh. Tangannya sibuk menulis di atas kertas putih buku itu.

Aku mengeluarkan buku tulis dan meletakkannya di meja. "Kali ini aja nggak papa lah Bil, saling bantu. Kamu salin aja, tapi aku nggak yakin bener. Kalo ada jawaban yang aneh, kasih tau, ya."

Gadis berkuncir kuda itu langsung menoleh dengan mata berbinar. "Iya, kali ini aja. Dan nggak pas ujian. Nggak papa kan, ya?" Ia terkikik saat menarik bukuku lebih dekat padanya.

Tak lama setelah ia selesai menyalin jawabanku dengan kecepatan penuh, ia menggeser kursi untuk mendekat ke arahku. Aku yang memainkan ponsel untuk mengusir bosan langsung menoleh.

"Kamu udah denger soal Eza? Kayaknya gosipnya nyebar dari anak-anak kelas sepuluh, nggak tau gimana nyampe ke kelas sebelas." Nabila menatapku dengan sorot khawatir, membuat perasaanku seketika tidak enak. "Mereka bilang Eza direbut sama kamu dari anak kelas sepuluh yang namanya Nadira. Dan karena kalian bertiga Rohis, jadi ...."

"Apa? Perebut?" sahutku spontan. Kaget setengah mati bahwa yang dimaksud dalam bisik-bisik itu adalah aku. Bagaimana mungkin, sedangkan berbulan-bulan ini aku mendorong Eza jauh-jauh? Aku membalas pesannya secuek mungkin, selalu minta tidak satu tim dengannya di semua proyek, bahkan aku pernah menghindar waktu Eza nekat menghampiriku di kantin atau kelas.

"Iya, tapi kan kamu bilang udah nggak ada apa-apa. Ini pasti gara-gara Eza sendiri yang bikin salah paham!" gerutu Nabila. "Apa perlu aku samperin dia? Eh, Gina, Gina!" Nabila melambaikan tangan ketika melihat Gina baru masuk kelas.

Gina tersenyum, lalu mendekat ke bangku kami. "Hampir aja aku telat masuk kelas gara-gara nasehatin anak julid."

Aku mengernyit. "Anak julid?"

"Iya, masa dia bilang kamu PHO? Perusak hubungan orang dari mananya? Heran aku, siapa sih yang nyebar gosip udah kayak infotainment Silet?" Sama dengan Nabila, Gina juga menggerutu.

Di bawah meja, tanganku saling bertaut erat, berkeringat. Bagaimana ini bisa terjadi? Kalau seperti ini, apa aku akan punya muka mampir ke sekretariat Rohis?

"Dee, kamu kenapa? Jangan nangis!" Gina menggoyang lenganku. Sorot matanya jadi sayu karena dahinya yang mengerut dalam. Nabila ikut menatapku khawatir.

Aku menatap Gina dan Nabila bergantian. "Kenapa mau move on aja susah banget, sih?" ujarku akhirnya, bersamaan dengan hela napas berat. Gina menepuk-nepuk bahuku, sementara Nabila menggenggam tanganku.

"Kamu bicarain dulu sama Eza, mungkin. Aku juga geregetan kalo kamu jadi difitnah gini. Nggak adil buat kamu," Nabila berpendapat. Gina mengangguk setuju.

***

To: May

Kamu inget hari itu kan, May? Waktu aku dituduh jadi perusak hubungan orang. Kamu jadi alasan aku bertahan. Aku nggak percaya kalo kamu nusuk aku dari belakang, tapi bukti-bukti itu yang bikin aku ragu. Aku yakin kalo adekku nggak bakal berkhianat, tapi berapa banyak kisah di dunia ini bercerita bahwa perusak hubungan bisa jadi dari keluarga sendiri? Aku nggak lupa kebaikan2 kamu, jadi jangan lupain kebaikan2 aku. Kita saudara. Pulang dulu. Kita bicarain baik-baik ya?

Aku mengirim pesan itu setelah tiga haru berturut-turut May tidak mau pulang dari rumah Eyang, demi mengingat respons May saat mendapatiku difitnah. Saat itu, aku tak bisa bercerita pada Mama karena takut ia langsung memarahi Eza. Dan, aku bersyukur, selain punya teman seperti Nabila dan Gina, aku punya adik seperti May. Satu-satunya orang yang memelukku dan membuatku bisa menangis lirih setelah beberapa hari menahan luka dalam hati—kala itu.

Guilty (Un)PleasureWhere stories live. Discover now