Not The Only One

15 3 1
                                    

“Oke. Aku memang berutang budi. Perlu kubalas dengan apa?”

Eza mengusap rambutnya yang sudah agak memanjang. “Itulah maksudku, kenapa kamu nggak mau jadi pacarku?”

Aku mendelik. “Za, kamu kan punya pacar?!” Suaraku meninggi tanpa kendali.

Cowok itu menatapku dengan sorot yang aneh. Apa lagi ini? Aku sudah enggan terjebak dalam dramanya, tapi tatapan mata itu kenapa seolah... mengharapkanku?

“Maksudku, dulu. Sebelum aku punya pacar.” Ia mengalihkan tatapan.

Aku mendapati diriku tertawa sengau. “Kalo aku memang sepenting itu... harusnya nggak pernah ada pacar buatmu, Za.”

Usai kalimat yang amat kuberanikan untuk kuucapkan itu, kami terdiam membisu. Dan, yang memutus keheningan itu adalah dering ponselnya yang tergeletak di meja. Sekilas aku bisa melihat nama yang tertera di layar. Panggilan masuk dari Amel.

“Oh, jadi itu yang baru?” sindirku ketika ia segera membalik ponsel agar aku tidak melihatnya. Namun, aku sudah terlanjur tahu.

***

Ada masa ketika aku menyadari bahwa I'm just another one, not the only one. Tahun 2019 kami sama-sama masuk kuliah. Beda kampus, tapi satu kota. Saat itu Eza sudah putus dari pacarnya yang kuceritakan di SMA. Itu kali pertama aku merasa berhasil memenangkannya.

Dalam hati seolah ada yang berteriak lega, “Tuh kan, akhirnya balik juga ke aku! Paling waktu itu dia cuma penasaran aja sama cewek itu.” Seolah-olah akulah yang paling berhak dan pantas ada di sampingnya.

Namun, kebahagiaan di awal kuliah itu kandas di tahun kedua. Aku jadi lebih sibuk karena mengikuti UKM, dan sering menolak tawaran dia untuk jalan bareng. Selain karena kesibukan, aku juga tetap merasa terikat dengan Mama. Aku tidak mau membohonginya meskipun tinggal di luar kota. Jadi, aku selalu membawa teman kalau pergi dengannya. Namun, saat semuanya sedang sibuk, aku benar-benar tidak bisa bergerak. Dan, saat itulah dia menemukan cewek lain, namanya Tari.

Tahu-tahu saja, foto profilnya berganti dengan gambar gandengan tangan. Mulanya Eza mengelak, tapi ketika aku meminjam ponselnya untuk main gim, ada notifikasi masuk di Whatsapp dan kubuka. Terkuaklah chat antara ia dan Tari yang menurutku cukup mesra.

Eza membalas chat-nya hanya dengan jangka waktu dua menit, paling lama 5 menit setelah pesan dari cewek itu masuk. Padahal denganku, ia bisa menundanya hingga sejam dua jam, bahkan pernah seharian tidak ada jawaban.

“Dee, hapenya udah?”

“Selamat, buat kamu dan Tari.” Aku tidak bisa mengingat seperti apa ekspresi wajahku saat itu.

Rautnya berubah, bukan kaget, tapi lebih ke marah. “Kok kamu lancang buka-buka chat-ku?”

“Maaf.”

“Jangan gitu lagi lain kali,” katanya tanpa menjelaskan soal Tari. Aku juga malas bertanya-tanya lebih lanjut. Mungkin itu teman kuliahnya, sebab Eza tidak aktif di organisasi ekstern kampus, jadi yang memungkinkan hanya bertemu di kampus.

Meski dia sudah punya pacar baru, hobinya nyamper ke kampus tetap tidak hilang.  Sampai di tahun 2020, ia bilang sudah putus dengan Tari. Namun, hanya beberapa bulan berselang, saat kunjungannya ke kampusku mulai berhenti, aku sadar ia mulai “berpetualang” lagi. Dan, aku pun bersiap-siap “berkemas” untuk pergi dari hidupnya.
Semua kacau karena ijazah yang hilang itu.

***

Hari ini, dua hari setelah Eza datang waktu itu. Aku mengusirnya secara halus setelah ia memberitahu dengan basa-basi bahwa Amel adalah mahasiswa teladan yang juga asisten dosen di kampus. Bodoh amat, aku juga tidak peduli dia mau jatuh cinta dengan cewek sepintar atau sekaya apa.

Proposal skripsiku nyaris selesai. Melepas penat, aku membuka lagi diariku sepanjang SMA. Catatan yang sebagian besar memuat nama Eza.

Aku membacanya sebagian, sampai menemukan nama Faris di sana. Ah, gara-gara kedatangan Eza kemarin aku jadi lupa dengan misi yang diberikan Mama. Aku teruskan membaca diari itu untuk menggali ingatanku kembali tentang sosok Faris di mata May.

May tidak pernah tampak segigih hari itu. Bagiku jika Eza tidak mendekat duluan, maka tidak akan pernah ada hubungan. Bahkan rasa-rasanya teman dekat pun tidak. Namun, May berbeda. Dia dengan berani maju lebih dulu. Aku tidak tahu seistimewa apa Faris sampai layak mendapatkan itu.

12 April 2019.

Guilty (Un)PleasureWhere stories live. Discover now