Spekulasi

11 1 0
                                    

Faris tidak dingin, dia punya panggilan khusus untuk May, dan dari caranya bicara, aku yakin dia juga menyimpan perasaan pada May. Satu lagi, Faris tidak sedang punya pacar saat ini. Lengkap sudah, aku dibohongi habis-habisan oleh May. Sepanjang perjalanan, aku merasa oleng, andai saja Imro tidak mengajakku ngobrol di dalam angkot.

“Emang buat apa sih, kamu nemuin cowok itu?” tanyanya dengan wajah heran. “Kamu nggak khawatir May marah kamu ikut campur urusannya?"

Otomatis aku menoleh padanya. “Dia sendiri juga ikut campur urusanku. Iseng ngehubungin Eza sampe cowok itu nyamper ke rumah. Itu bukan ikut campur?” Aku menyahut sinis, lalu buang muka. Pikiranku terus kembali ke fakta-fakta yang sudah kudata.

Imro diam saja, mungkin mengira aku marah. Aku merasa dadaku panas dan air mata seakan berlomba-lomba menuju pelupuk.

“Im … kalo kita mampir ke alun-alun dulu, gimana?” tanyaku ketika menyadari angkot akan segera melewati alun-alun.

“Oke. Pak, turun alun-alun, ya!” Imro langsung berseru.

Kadang, aku juga ingin jadi orang yang setangguh dan seimpulsif Imro. Gadis itu tidak banyak berpikir sebelum melakukan sesuatu maupun bicara. Ia mengkritik kebijakan sekolah saat SMA dulu yang membuat guru-guru gerah dan membicarakan tindakannya ketika rapat, sampai akhirnya kebijakan itu dihapus. Ia aktif di OSIS dan ekskul Seni, dan memberi efek besar di keduanya. Ia juga bukan hanya jadi anggota saja, melainkan menjadi ketua divisi di OSIS dan ketua umum di ekskul Seni. Mungkin itulah sebabnya saat SMA dulu ia tak terlalu banyak waktu untuk hangout denganku. Bahkan meski kami satu sekolah, aku seringnya curhat hanya lewat telepon dengannya, saking sibuknya dia.

“Ayo, turun, Dee!” Tangan Imro yang menggoyang lenganku membuatku tersadar bahwa kami sudah sampai di depan alun-alun.

Kami segera turun, Imro ternyata sudah membayar ongkosnya ketika aku melamun tadi, jadi kami bisa langsung masuk. Alun-alun kota ini sudah lama bebas dari orang-orang yang berjualan di dalamnya. Hanya ada beberapa pedagang mangkal di depan, menjajakan jajanan khas jalanan, seperti pentol, siomay, es kelapa muda, atau es krim keliling.

“Aku mau beli es krim dulu. Dee, kamu mau?” Imro sudah menepi dan mengeluarkan dompet sembari memesan es pada penjualnya. Sebenarnya itu lebih ke es serut, tapi Imro bilang es krim.

“Aku juga deh satu, nggak pake roti,” kataku akhirnya, sebab si penjual membubuhkan topping roti dan mutiara di atas es serut berwarna pink itu.

Lagi-lagi Imro membayar pesananku dan aku hanya menerima esnya dengan pasrah. “Nanti aku bayar balik ya, Im.”

Imro mengibaskan tangan. “Nggak usah, santai aja. Aku tadi dapat uang saku lebih. Gantian, biasanya kamu yang traktir.” Ya, tidak biasanya juga sih, karena kami jarang jalan-jalan bersama, tapi setiap jalan aku memang sering membayari pesanan Imro. Kebetulan saja, uang jajanku lebih banyak daripada dia yang harus banyak berhemat.

Kami duduk di ayunan dekat pepohonan yang rindang sambil menyendok es. Dinginnya mulai menetralkan perasaanku.

“Im, aku nggak pengen negthink sama May … tapi kamu tahu kan, tadi Faris bilang apa? Dan kamu tahu kan, May itu sekampus sama Eza,” ceritaku akhirnya. Sejak tadi aku hanya menelan pikiran itu bulat-bulat.

Imro mengangguk sambil mengulum esnya. “Jadi kamu ngira mereka ada apa-apa di belakangmu?”

“Ya kalo nggak gitu, apa coba? Password hapenya May, tanggal lahir dia. Itu nggak mungkin kebetulan, kan?” Aku menunduk, menekuri benang yang mencuat di ujung bajuku. “Aku mungkin emang nggak pernah pantes kan, buat Eza. Aku tuh nggak punya keahlian apa-apa, nggak pinter bergaul, dan juga nggak bisa kasih dia apa-apa.”

“Eh, Dee,” ujar Imro, “kamu itu punya kejujuran dan integritas. Kamu nurut sama orang tua. Kamu juga berani ambil langkah duluan buat jauhin dia. Jangan ngerasa kamu nggak lebih baik dari cewek-cewek yang mungkin dipacarin Eza. Cewek-cewek itu kalah sama pesona dia, dan kamu enggak. Itu artinya kamu spesial!”

“Aku juga kalah sih,” gumamku.

“Tapi seenggaknya nggak terang-terangan kalah.”

Aku mengusap-usap ujung mata, menghalau air yang hendak jatuh.

“Lagian itu cuma spekulasimu, jangan dulu diambil sebagai fakta,” sahut Imro. Kini tangannya terulur untuk merangkul bahuku. “Kamu inget nggak, orang yang berspekulasi dan nggak nanya dulu sebelum menyebut dugaannya sebagai fakta?”

Aku mengernyit. “Siapa?”

“Nadira. Inget nggak?”

Otomatis aku berdecak, menyenggol bahu Imro kesal. “Ya mana mungkin aku lupa.”

***

2017

Eza secara resmi menyatakan bahwa ia punya pacar. Pacarnya itu ada di kelas 10 IPS 4, tapi ia justru lebih sering main ke kelas 11 IPS 3. Ya, kelasku. Saat istirahat, ia akan nongol di muka pintu dan kalau melihatku bawa bekal, ia akan merecoki bekalku.

“Kamu masak sendiri?” tanyanya sambil mencomot nugget. Aku sudah melotot kesal, lantas tanganku melingkari kotak itu untuk mencegahnya mencuri laukku lagi.

“Ya cuma goreng nugget sama telur doang apa susahnya,” sahutku sambil menyuapkan nasi ke mulut. Ia beringsut mencuri kursi temanku yang kosong dan duduk di sebelahku.

Kemudian ia akan mengeluarkan ponsel dan membuka game kesukaannya yang berisik itu. Sementara aku makan dengan tenang, sampai bel berbunyi.

“Yah, udah kelar aja istirahatnya,” gerutunya. “Dee, ntar pulang bareng ya!”

Belum sempat aku menyahut, ia sudah ngacir. Aku paham, setelah kejadian di rumahku waktu itu, yang dimaksudnya ‘pulang bareng’ bukan aku ikut naik ke motornya, tapi ia akan mendatangiku di kelas dan kami berjalan bersama sampai gerbang sekolah sambil mengobrolkan kegiatan hari itu. Dalam enam hari sekolah, bisa empat sampai lima kali kami melakukannya, sisanya ia terlihat pulang bareng teman-temannya di kelas, atau hanya sesekali—sangat jarang—aku melihatnya berjalan bersisian dengan cewek itu.

Ya, namanya Nadira. Berjilbab, tentu saja. Kulitnya lebih putih dariku, tapi hanya menang putih menurut teman-teman cewek, tidak cantik-cantik amat. Senyumnya hangat dan ia juga mudah memenangkan hati orang karena meski tidak sesupel Eza, tapi public speaking-nya bagus.

Suatu hari, saat aku jalan bersama Eza menuju gerbang, tanganku menyenggol tangannya, dan dengan usil ia justru menyenggol tanganku balik saat aku menjauh.

“Hih, apaan sih, Za,” gumamku. Namun, tak ayal aku ikutan jail mengulangi aksi itu lagi, dan akhirnya kami terbahak-bahak karena permainan aneh itu.

“Kamu ngapain nggak balik sama Nadira aja?” tanyaku saat kami semakin dekat dengan parkiran.

Eza angkat bahu. “Ntar kalo terlalu deket jadi ketahuan.”

“Apa gunanya pacaran backstreet gitu?” sahutku.

Cowok itu menoleh padaku, menghentikan langkah. “Emang nggak papa kalo aku sering pulang bareng dia?”

Aku jadi ikut berhenti, berhadapan dengan Eza sambil mengerjap bingung. “Eh… ya, ya nggak papa.”

Eza tersenyum timpang, khas dirinya. Lantas tangannya terangkat, tapi mengambang di atas kepalaku, bergerak-gerak. Aku menengadah dengan heran. “Apaan, sih?”

“Nggak papa. Ada lalet dari tadi nguing-nguing di atas situ. Kamu belom keramas ya?” Ia terkekeh.

“Enak aja!”

Aku tidak pernah menduga kebersamaan kami yang kuanggap sebagai persahabatan karena aku berusaha merelakan ia berpacaran, ternyata disalahartikan orang.


NB. Saat kuliah, Eza berkata, “Bukannya ada lalet di atas kepalamu, tapi aku pengen ngusep saking gemes sama ekspresimu. Ya tapi … nanti kena semprit mamamu.” Ia tertawa usai mengatakannya, dan aku merasa jantungku mau lepas.

***

Siapa yang kangen moment uwu Eza Dee? 😍 Pekan lalu harusnya update 2x tapi jadinya cuma sekali. Jadi aku update sehari lebih cepet dari jadwal. Biasanya Rabu, sekarang Selasa dah update. Vote comment yaa~~

Guilty (Un)PleasureWhere stories live. Discover now