Nadira

17 0 2
                                    

2017

Aku sedang menunggu jam pelajaran Eza selesai di masjid sekolah ketika cewek itu tiba-tiba mendekat dan duduk di sebelahku. Aku hanya melirik sekilas padanya, yakin bahwa ia tidak ada niatan bicara padaku. Hanya kebetulan mengambil tempat di situ. Jadi, aku fokus ke ponsel dan membalas pesan Eza.

Eza: Tunggu bentar, Pak Ali nggak keluar2. Males banget dah.

Dee: Iya gpp. Aku d masjid

Aku baru menoleh ketika merasa tanganku disentuh, dan ternyata cewek itu yang melakukannya. Cewek berkerudung rapi dengan bros tersemat di dekat bahu kanannya itu. Ia tersenyum tipis, membuatku segera memasukkan ponsel ke saku.

“Kak Dee kan, ya?” tanyanya. Otomatis aku mengangguk canggung.

“Saya… boleh ngomong sesuatu?”

Cewek itu adalah Nadira. Aku tahu jelas meski jarang ngobrol dengannya. Ia salah satu adik kelas yang lumayan sibuk. Selain aktif mengikuti olimpiade dan perlombaan, ia juga anggota OSIS, maka di Rohis sering absen mengikuti rapat. Yang rajin ia ikuti hanya pertemuan-pertemuan wajib yang biasanya dikawal pembina kami.

“Ada apa?” tanyaku, berusaha mengalihkan fokus, tapi matanya mengunciku.

“Kak Dee … deket ya, sama Kak Eza?” Ia balik bertanya. Retoris. “Kakak tau kan, kalo saya sekarang … jadian sama Kak Eza?”

Oh, ini. “Iya, saya tau. Eza udah bilang.”

Ia tampak berpikir sejenak. Bibirnya terlipat ke dalam, sebelum akhirnya memaksakan senyum dan bicara lagi. “Kalo gitu, maaf ya Kak, tapi saya agak keberatan kalo Kak Eza terlalu deket sama Kak Dee.”

Aku menghela napas, sudah menduga pernyataan sejenis ini akan keluar dari mulutnya. Aku membiarkan jemariku berpilin, bingung mau menjawab apa.

“Bukan maksud saya ngebatasin Kak Eza bergaul, tapi saya lihat Kak Dee biasa aja sama cowok lain, tapi cuma sama Kak Eza bisa akrab,” ujar Nadira melanjutkan. Ia kini mengalihkan pandangan pada paving block di depan undakan masjid tempat kami duduk.

“Maaf, Dek. Saya nggak bermaksud ngerebut Eza atau gimana,” jawabku akhirnya, merasakan hatiku nyeri ketika mengakui pada diriku bahwa hari ini sudah tiba. Eza bukan milikku, dan sisa perhatian yang kunikmati itu seakan haram. Aku harus mundur sebelum dikata tak tahu diri.

“Sa-saya nggak bilang Kakak ngerebut….” Nadira tampak panik, dan aku hanya menyeringai tipis menanggapinya.

“Saya akan lebih jaga jarak dengan dia,” ujarku. Ponselku berdenting, tapi aku tak menggubrisnya. “Saya pulang duluan, ya.” Aku pun beranjak, lupa mengucap salam, tapi sudahlah. Yang menjadi fokusku hanyalah lelah mendadak karena omongan Nadira tadi.

Sampai di rumah, aku baru membaca pesan dari Eza yang bertumpuk.

Eza: Kamu kok pulang duluan sih? Buru-buru amat

Eza: Dee? Besok senggang? CFD yuk

Eza: Belom nyampe rumah? Kok ga dibales?

Baru jempolku melayang di atas layar, pesan baru sudah masuk.

Eza: Akhirnya read juga. Tadi Nadira ngomong sama kamu ya? Ngomong apa?

Aku menghela napas, bersiap mengetik.
Dee: Cuma nanya2 proker barunya Rohis, kok

Eza: Bener?

Dee: Iya. Besok aku ada acara, ga bisa CFD

Itulah hari pertama aku mulai menjauhi Eza perlahan-lahan. Namun, seperti kalian ketahui, aku gagal.

***

Ada pertanyaan yang selalu kusimpan rapat-rapat karena aku bingung bagaimana untuk mengutarakannya. Kenapa Eza memilih bergonta-ganti pacar seperti itu, ketika perhatiannya padaku tidak pernah bisa teralihkan lama-lama? Sekuat-kuatnya aku melepaskan diri darinya, ia selalu memiliki celah untuk kembali. Seolah ia mencari-cari kesempatan itu. Apakah dia mengidap suatu penyakit yang membuatnya tidak bisa hanya menyayangi satu cewek saja? Atau apa?

Selain itu, aku juga selalu ingin bertanya, apa yang membuatnya dulu menyukaiku? Dan apakah kondisi saat ini berarti ia hanya menyayangiku sebagai sahabat? Tapi kenapa dia mengungkit masalah dulu ketika aku menolaknya, saat ke rumah kemarin?

Namun, saat akhirnya kami bertemu untuk urusan pengambilan ijazah itu, lidahku kelu. Tidak bisa bertanya sesuai konteks. Lebih banyak diam kecuali untuk menjawab pertanyaannya. Selain itu, aku hanya berjalan mengekorinya sambil melihat-lihat bangunan sekolah yang direnovasi.

“Sekarang perpusnya gede, ya. Sayang nggak banyak yang main gegara pandemi,” gumamku. Renovasinya pasti sudah dilakukan sejak sebelum pandemi, sehingga tetap diselesaikan meski tidak banyak kegiatan.

Eza menoleh saat aku akan mengikutinya lagi. “Kamu tunggu di perpus aja kalo mau. Kamu kan suka baca.”

Aku terdiam sebentar, kemudian mengangguk. “Oke.” Dan ketika Eza sudah berlalu, aku merasa berdebar sesaat karena Eza lagi-lagi ingat satu fakta kecil tentangku yang tidak semuanya tahu.

Kudorong pintu kaca perpustakaan dan mendapatinya kosong, tapi tetap terbuka. Tempat petugas biasa berjaga hanya ada kursi yang melompong beserta komputer dan alat tulis di hadapannya tertata rapi. Tak tersentuh.

Aku melangkah ke deretan rak-rak buku, mencari rak khusus buku fiksi. Entah mengapa, sejak dulu aku lebih suka membaca buku fiksi daripada nonfiksi. Aku suka saja membayangkan diriku sebagai tokoh utamanya, dan melarikan diri sejenak dari keharusan menjalani hidupku yang tidak seistimewa tokoh itu.

Baru kuambil salah satu judul, ponselku bergetar. Ada telepon. Aku mengeluarkannya dari saku rok dan mendapati nama “Faris” tertera di sana.

“Ya, halo?” sapaku setelah menggeser layar.

“Halo, Kak Dee? Aku ada info penting,” sahut Faris dari seberang.

Aku mengernyit. “Apa?”

“Aku ada foto Maya sama cowok itu. Temenku yang ngambil fotonya diem-diem.”

Aku mematung dengan jantung berdebar tak karuan.

“Aku kirimin ya, Kak, fotonya.”

Tak bisa menyahut, aku langsung memutus sambungan begitu denting notifikasi Whatsapp terdengar di telinga. Begitu mengunduh foto itu, aku memejamkan mata. Ada perih menusuk di hatiku, seperti duri mawar telah menusuknya hingga berdarah.

***

Wah apa itu yang bikin hati Dee berdarah? Nantikan kelanjutannya dan jangan lupa vomment yaa 😎

Guilty (Un)PleasureWhere stories live. Discover now