Pertengkaran

22 2 2
                                    

Entah kerasukan setan apa, aku memilih tempat ketemuan dengan Eza di kafe buku itu. Kemarin setelah mengambil ijazah, aku minta langsung pulang karena masih terguncang dengan foto yang dikirimkan Faris. Di situ terlihat Eza sedang tertawa dengan adikku dan merangkul bahunya. Akhirnya, kuputuskan hari ini saja bertemu dengannya lagi.

Saat ia bilang baru bisa ke sana setelah zuhur, aku bersyukur dalam hati. Aku punya waktu lebih banyak untuk mempersiapkan hati, dengan menghabiskan satu buku seru mungkin. Jadi, aku bersiap lebih awal, pukul sebelas sudah sampai di sana. Tentu saja dengan beralasan pada Mama bahwa aku akan membahas proposal skripsi yang baru beres dengan dosen. Ya, tidak salah-salah amat sih, aku membahasnya, di dalam chat, karena dosenku masih WFH, jarang ngampus.

Kalau teringat betapa strict-nya Mama, aku jadi ingat juga tentang pertanyaannya tahun lalu, sebelum akhirnya aku memutuskan melepas Eza—lost contact dengannya. Saat itu, Mama tengah menyelesaikan penilaian akhir tahun untuk murid-muridnya, sementara aku mengerjakan tugas sambil menonton televisi (tahu lah, lebih banyak nontonnya). Tiba-tiba Mama bertanya sesuatu yang membuatku nyaris melompat dari kursi tempatku duduk.

"Dee ... Mama mau tanya, deh."

"Hm?" Mataku masih tertuju ke layar laptop.

"Kamu masih deket sama Eza?" Aku menghentikan ketikan, tapi tidak bisa menjawab, hanya mangap-mangap seperti ikan dikeluarkan dari air. "Kalian ... ada niatan serius nggak sih, nantinya?"

Masih kuingat bahwa aku langsung menatap sosok Mama dengan horor. Pasalnya, saat itu aku masih tidak memikirkan sama sekali soal menikah. Tugas kampus sedang banyak-banyaknya, dan aku masih aktif di Himpunan Mahasiswa Jurusan. Bahkan aku sedang doyan-doyannya bergosip tentang cowok-cowok bening di kampus dengan teman-teman cewekku. Hubunganku dengan Eza tidak jelas juntrungannya, dan aku tidak peduli karena kesibukan utamaku.

"Ya ... bukannya apa. Kalo emang ada niatan serius, misalnya dia mau perjuangin kamu pas udah lulus nanti, Mama mungkin bisa pertimbangin," lanjut Mama, menyadari aku yang speechless. "Bukannya kata kamu dia kuliah D-3? Harusnya udah lulus kan habis ini?"

"Mana aku tau. Dia aja nggak ngehubungin aku sama sekali," sahutku ketus, kesal mendengar nada menuntut Mama.

"Ya, barangkali kamu bisa mikirin itu, Dee. Kalo emang nggak ada sama sekali niatan serius, kamu tau lah Mama gimana."

Pembicaraan itu berakhir mengambang, karena aku tidak menanggapinya lagi. Bingung juga mau jawab apa. Namun, aku ingat, itulah awal mula aku memikirkan segalanya, dan memutuskan mundur. Aku bahkan sudah mengungsikan hadiah ulang tahun darinya, foto-fotoku dengannya semasa SMA, dan menghapus seluruh chat-ku dengannya yang sengaja kuarsipkan. Namun, begitulah, dalam setahun, dia sudah kembali bertransformasi menjadi jelangkung.

"Mbak, sudah mau pesan?" Suara waitress yang ternyata sudah berdiri di sisi mejaku langsung membuatku mendongak kaget.

"Oh ... e-enggak dulu, Mbak. Saya masih mau nunggu temen," jawabku terbata. Gadis itu tersenyum, mengangguk. Namun, saat ia akan undur diri, tiba-tiba bangku di hadapanku sudah terisi dan cowok yang baru datang itu langsung berkata, "Pesen sekarang, Mbak."

Waitress itu langsung mengangsurkan buku menu. Alih-alih pesan di konter, sekarang kafe ini lebih ramah pelanggan dengan mendatangi mejanya langsung.

"Caramel macchiato satu, gulanya dikit aja, sama cake lava-nya satu."

Aku menatap Eza heran. "Cake-nya buat kamu, katanya kamu suka, kan? Minumnya kamu mau apa?" sahutnya saat bertemu tatap denganku.

"Thai tea aja," sahutku tanpa melihat buku menu.

Setelah mengulangi pesanan kami, waitress itu berlalu. Aku melirik ponsel, mendapati masih pukul 11.30.

"Kamu udah salat?" tanyaku.

Eza menggeleng. "Deket sini ada masjid, kok. Nanti aku mampir aja. Tadi mau mampir dulu, tapi belum azan."

Aku mengangguk mengerti. "Jadi, kamu mau ngomong apa?" Kalimat tanya itu kami ucapkan bersamaan. Aku langsung mengatup bibir, sementara ia tertawa.

"Oke, kamu duluan," katanya.

"Ya, aku mau duluan emang," sahutku, membuatnya tersenyum. "Kamu ... sejak kapan jadi deket sama May?"

Ia tidak tampak terkejut. Hanya senyumnya luntur dan wajahnya jadi agak ... terganggu? Entah, rautnya susah kujabarkan. Setelah membasahi bibir beberapa kali, akhirnya ia menegakkan tubuh.

"Bukan kayak yang kamu pikirin, Dee," katanya.

"Emang kamu tau apa yang aku pikirin?"

"Tau," sahutnya, "pasti kamu ngira aku sama May ada hubungan apa-apa."

Aku tidak membantah, meski juga tidak bisa mengiakan ucapannya. Itu karena aku bahkan tak punya hak untuk marah kalau ternyata ia berpindah hati ke adikku sendiri. Tentu, itu tidak etis, tapi juga tidak salah.

"Selama ini aku berusaha tau kabarmu dari dia," lanjut Eza. "Setiap kamu jadi susah dihubungin, aku tanya ke dia. Pas mau beliin kamu kado ultah juga aku nanya dulu ke dia, kamu suka warna apa."

Aku meneliti raut wajahnya, tapi percuma. Aku tidak pernah bisa menebak apa yang ada di pikirannya sejak dulu.

"Nanya kayak gitu kan bisa lewat chat aja. Ngapain ketemuan segala?" sahutku kemudian. "Dan kamu ... kelihatan kayak ...."

"Kamu tau dari mana aku ketemu dia?"

Aku menggeleng, merasakan hatiku perih lagi. "Nggak penting dari mana."

Eza angkat bahu. "Oke, nggak penting juga soal May. Yang paling penting, sekarang aku mau bilang, aku udah putus sama Amel dari lama. Setahunan ini aku nggak punya pacar."

Pandanganku terlempar ke sudut lain, membaca judul-judul buku yang tergeletak di rak. Batinku berkecamuk. Entah mengapa, aku merasa tidak percaya. Berapa rahasia yang sudah dia pendam dan baru disampaikan berbulan-bulan setelahnya? Apa tujuannya membiarkanku seperti orang bodoh, mengira ia mempermainkanku?

"Dan aku udah apply S-1 sekarang. Aku bakal nunggu kamu lulus."

Aku menatapnya lagi. "Gini ya, Za. Kalo kamu cuma tanya-tanya tentang aku ke May, kenapa password hape dia itu tanggal lahirmu? Dari sekian angka yang ada. Dan kenapa dia harus bohong sama aku tentang orang yang dia suka?"

Eza mengernyit. "Ya aku mana tau. Kamu kakaknya."

Aku mendengkus. Mood-ku sudah jatuh ke titik terendah. Tidak excited sama sekali dengan pengumumannya soal S-1 dan apa tadi? Menungguku? Memangnya aku angkot?

"Kamu marah? Aku udah berusaha lho, Dee. Kamu nggak tau aku ngejar lulus cepet demi siapa?"

Ucapannya terputus dengan datangnya pesanan kami. Tapi aku sudah tidak selera. Aku hanya menyedot tehku sedikit, lalu beranjak.

"Ke mana?" tanyanya. Matanya tampak melebar di balik kacamata itu.

"Aku harus nyelesaiin urusanku dulu sama May." Usai itu, aku langsung membayar pesananku di konter dan pergi tanpa menunggu jawabannya. Dan, lagi pula, ia tidak repot-repot beranjak untuk menyusulku.

***

Ada yang mau nebak jenis kepribadiannya Dee dan Eza? Kalau author sih, INFP ((nggak ada yang nanya sih))

Guilty (Un)PleasureWhere stories live. Discover now