Kenapa Aku?

15 1 2
                                    

Bisa dibilang, Imro adalah saksi sejarah kisahku dan Eza. Terdengar agak berlebihan, tapi memang benar. Kalau ditanya pada siapa aku cerita segala perasaan sepanjang perkenalanku dengan Eza, ya ke Imro ini. Tapi entah kalau dia sudah melupakan detail-detailnya, mengingat ceritaku begitu banyak dan dia punya segudang kegiatan yang menyita memori otaknya.

Hanya saja, aku bersyukur masih ada yang bisa kuajak curhat ketika situasi sedang genting begini. Sumpah, aku malu parah karena ketahuan Eza pakai foto itu sebagai display picture. Dia pasti bakal kege-eran kan. Jelas dia tahu kalau aku belum juga move on. Aku terjebak ke lingkaran setan ini lagi.

Partner in Crime

Makanya Dee, kalo niat mupon tuh di-delete kontaknya. Kalo dia nelfon di-reject atau ditolak tawarannya

Sepertinya ini sudah nasihat Imro yang keseratus kali. Saking seringnya dia mengatakan hal yang sama, aku sampai bisa merasakan betapa bebalnya diriku ini.

Dee

Keknya keledai aja lebih pinter dari aku ya?
Bisa-bisanya aku kadang kepikiran kalo dia jodohku 🙄

Pemikiran itu memang kadang muncul walau hanya selintas lalu. Kalau mengingat bagaimana baiknya dia dulu padaku, dan sikapnya yang kini masih juga perhatian walau tidak menunjukkannya secara blak-blakan, membuatku merajut harapan lagi. Seolah masih ada kesempatan untuk kisah ini berakhir happy ending, setelah segalanya.

***

2016

“Dalam dua pekan ke depan, kita harus finishing persiapan acara seminar Islam ya. Sebagian dana dari sponsorship udah cair. Tinggal beberapa lagi yang perlu diambil langsung ke kantor. Sie danus?”

Aku langsung mendongak mendengar divisiku dipanggil. Memang, ini pertama kalinya aku ada di divisi Dana Usaha. Biasanya aku masuk ke sie acara atau konsumsi. Aku tidak mahir mengelola uang atau mengajukan lobi-lobi sponsor. Namun, gara-gara cowok yang sekarang menyahuti arahan ketua itu, aku terdampar di sini.

“Yang ke Sinar Pustaka nanti sore aku ambil sama Dee. Katanya ada titipan buletin redaksi untuk dibagikan ke peserta.” Eza bicara tanpa menegosiasikan apa-apa dulu padaku.

“Eh, Za, kok sama aku? Kan bisa sama Fatih,” cicitku, khawatir ketua kami menganggap divisiku tidak kompak dengan protesan ini.

Untungnya, di luar dugaan, Kak Nabhan yang tahun depan akan purna tugas karena sudah kelas 12, malah tersenyum. “Fatih nanti ke kantor Cola-Cola, ya, Za?” Eza mengangguk membenarkan.

Aku merasakan jantungku berdesir saat ia menoleh dan menyeringai tipis padaku. That smirk.... Bukan, bukan menyeramkan, seringnya malah membuatku ingin jumpalitan karena merasa itu bagian paling memesona dari Eza.

“Oke, kemudian dari Sie Konsumsi, udah siap semua ya pesenannya....”

Rapat berlanjut hingga terdengar bunyi bel. Istirahat kedua pasca salat Dzuhur berakhir. Kami kembali ke kelas masing-masing. Aku berjalan ke bagian selatan gedung, tempat deretan kelas 10 IPS berada.

“Dee!” Langkahku otomatis terhenti mendengar suaranya. Sejak hari ketika ia mengambil alih kotak infakku, aku sudah sadar ada yang tidak beres. Hari-hari berikutnya, Eza selalu minta sedivisi denganku di program-program Rohis. Bahkan untuk sekadar latihan kultum, ia minta satu kelompok dengan mentor yang sama denganku.

“Ya?” Aku menoleh, berusaha memasang wajah senetral mungkin, meski rasanya aneh. Entah kenapa, melihatnya belakangan ini terasa janggal. Tubuh tingginya yang mendominasi, sorot mata yang hangat, ditambah seringai tipis yang sering kali ia lempar padaku—ya, rasa-rasanya dia jarang membuat gestur serupa pada teman lainnya—belakangan berhasil membuat wajahku terbakar.

“Kamu bawa motor?” tanyanya setelah langkah kaki membawanya tiba di sebelahku.

“Nggak. Tadi pagi naik angkutan umum.”

Aku menunduk, tak mau banyak-banyak menatap wajahnya, selain karena betapa melelahkan mendongakkan kepala untuk menyetarakan mata kami. Ya, aku akui diriku yang terlalu mungil.

“Oke sip. Nanti bareng aku ya.”

“Tapi... aku nggak bawa helm.”

Eza terkekeh. “Aman, aku udah bawa dua.” Ia masih tersenyum ketika menyimak wajahku yang bingung. “Oke, sampai ketemu pulang nanti ya! Di parkiran.”

Lantas, tanpa menunggu jawabanku, ia berputar arah dan menuju bangunan utara sekolah, tempat kelas 10 IPA berada.

Begitu ia berlalu, seseorang menyenggol bahuku pelan. Paras ayu dengan model jilbab yang sama denganku menyapa mata, diikuti ucapan teman satu kelasku itu.

“Pedekate ya, dia? Sering banget nyamperin kamu,” katanya, lalu terkikik mendengar dengkusanku.

“Ciyeee, Dee. Kamu suka nggak, sama dia?” Gina, si cewek yang lebih tinggi beberapa senti dariku dengan wajah bulat telur itu menyenggol bahuku. Ia teman yang cukup dekat denganku di kelas, meski bukan teman sebangku. Sebenarnya dia supel, sehingga mudah membaur dengan siapa saja, bahkan denganku yang lebih banyak diam jika tidak diajak bicara.

“Gina apaan sih? Malu tau,” gumamku, menutup separuh wajah dengan buku yang kubawa sedari tadi.

Kami masuk kelas masih dengan kekehan Gina. “Dia keren loh, Dee. Dari 10 IPA 3 kan? Katanya sih, di kelas dia paling jago Fisika.”

“Tahu dari mana?” Aku mengernyit.

“Kupingnya Gina kan ada di mana-mana.” Cewek berkulit kuning langsat itu menunjuk telinganya dengan ekspresi bangga. “Ntar kalo udah jadi, kabar-kabar yak. Hihihi.”

Aku hanya geleng-geleng kepala mendengarnya. Memilih duduk di bangkuku dan mengeluarkan buku mata pelajaran berikutnya. Namun, saat guru akhirnya datang, aku bukannya memperhatikan pelajaran, justru perkataan Gina terus terngiang.

Kalau Eza murid yang pandai di kelas, dan dia juga aktif bersuara di organisasi... kenapa harus tertarik padaku? Aku yang biasa-biasa saja di kelas, bukan jajaran cewek terpandai atau tercantik, juga tidak banyak menyumbang ide di organisasi. Aku yang cukup senang menjadi bagian dari sesuatu tanpa harus menonjolkan diri. Aku tidak spesial.

Meski begitu, menyadari bahwa ada yang masih tertarik padaku, sesuatu terasa menghangat di dasar hatiku.

***

Guys maafkan, ternyqta part yang kemarin kuunggah itu part 7, dan ini part 6-nya. Jadi hari ini aku upload 2 part ya. Maafkan, salah urutan 😂

Guilty (Un)PleasureWhere stories live. Discover now