Chateau de Wangxian

Par bluesheart01

240K 26.6K 4.4K

penggalan kisah pendek Wangxian di era modern. Alternative Universe. disclaimer: I own nothing, whole charact... Plus

Meet Cute
Dark Circle
Fated
Flower Boy Wei Wuxian
Thorn Flower
LIMERENCE
love through the glasses
LAGUNA
piece of you
until we meet again
The Second Proposal
like the wind that blows
My Dear, Mr. Possessif
BAD
BOREDOM
on the way to home
Secret
abstrak
abstrak II
abstrak III
abstrak IV
abstrak V
Abstrak VI
abstrak VII
GABUT
Married With Stranger (GABUT part II)
On social media
Married With Stranger (GABUT III)
pretty boy
what if-
abstrak VIII
MARRIED WITH STRANGER (GABUT)
self assure
The Wind Blows
Abstrak IX
The Wind Blows II
abstrak X
vampire?
abstrak XI
CAGE
love
boy meet boy
boy meet boy 2
boy meet boy 3
boy meet boy 4
boy meet boy 5
boy meet boy 6
boy meet boy 7
boy meet boy 8
boy meet boy 9
abstrak : another timeline
boy meet boy 10
Young Marriage (PDF-Sample Chapter)
boy meet boy 11
boy meet boy 12
boy meet boy : prelude

the untouchable

5.6K 621 87
Par bluesheart01

A request from nemounteez

Maaf jika tidak sesuai ekspetasi, but-

Hope you enjoy this❤

Happy reading~

.
.

Bagi Wei Wuxian, semesta tak ubahnya panggung opera.

Dimana orang-orang hanyalah aktor dengan seribu topeng yang menutupi wajah mereka.

Ia tak pernah mempercayai setiap senyum yang semesta sunggingkan untuknya. Karena baginya, senyuman tulus itu adalah sebuah hal yang tak nyata.

Semua ekspresi itu, hanya sebatas formalitas tanpa arti.

Ya, katakan saja jika dirinya adalah bagian dari manusia skeptis, karena ia tidak mampu memikirkan hal positif tentang semesta.

Bagi Wei Wuxian, semesta hanyalah sebuah tempat yang cacat, yang dipenuhi oleh manusia-manusia sakit.

Tap

Tap

Tap

"Wei Wuxian, berhenti!"

Suara langkah kaki dan teriakan menggema disepanjang gang sempit dipinggiran kota, lima orang dengan jas hitam mengejar seorang pemuda berseragam SMA yang berusaha lari dari kejaran mereka.

Peluh sudah mengucur deras, seragamnya yang memang tak pernah ia pakai dengan rapi semakin kusut, sekali lagi Wei Wuxian menoleh untuk melihat seberapa jauh jarak antara dirinya dan orang-orang busuk itu.

"Sial!" Makinya ketika salah seorang diantara mereka hampir mengikis jarak.

Ia kembali memacu langkah, tak menghiraukan rasa kebas yang sudah menginvasi kedua kakinya,

Ia hanya ingin lepas dari orang-orang itu.

"Sialan! Berhenti!! Kau harus membayar hutang-hutangmu!"

Langkah kaki mereka semakin mendekat, dan pada tahap ini, Wei Wuxian merasa buntu. Ia tidak bisa menemukan jalan lain,

Kecuali-

Ia memicing kearah ujung gang, melihat berbagai kendaraan yang melaju dengan cukup cepat,

Itu adalah pilihan lainnya dibanding harus tertangkap oleh tangan-tangan kotor itu.

Wei Wuxian menarik napas dalam-dalam, merampas seluruh oksigen yang bisa paru-parunya tampung, sekedar memberi kepercayaan bahwa ia bisa melakukannya.

Dalam hitungan mundur, ia mempercepat langkah kakinya menerobos jalan raya yang cukup padat oleh kendaraan yang berlalu lalang, tak menghiraukan pekikan klakson serta makian yang terlontar mengkritik tingkah bebalnya,

Itu bukan masalah besar, karena untuk saat ini, dirinya hanya ingin bertahan hidup,

Wei Wuxian hanya ingin hidup, maka ia akan melakukan segala cara untuk tetap bertahan.

Hosh

Hosh

Hosh

Desah napas kasar keluar dari mulutnya, matanya terpejam erat ketika merasakan lelah yang memeluk erat seluruh tubuh. Sekali lagi ia menoleh, memastikan bahwa para bedebah itu tak lagi mengikutinya,

Dan ia merasa lega.

Dengan langkah lunglai, Wei Wuxian berjalan menuju halte bis didepannya, ia tau saat ini sudah sangat terlambat untuk pergi kesekolah, akan tetapi, dirinya tidak bisa terus-terusan bolos atau pihak sekolah tak bisa lagi mentolelir dan berakhir dirinya yang akan dikeluarkan.

Tidak, itu tidak bisa terjadi.

Wei Wuxian merebahkan tubuhnya diatas kursi halte, mengistirahatkan tubuhnya sejenak, sebelum menghadapi sesuatu melelahkan lainnya disekolah nanti.

.
.

Jika dipikir lagi, kenapa kehidupannya yang dulu baik-baik saja bisa berubah menjadi mengerikan seperti ini?

Ia berpikir, kesalahan apa yang pernah ia buat hingga mengalami hal ini?

Wei Wuxian kira, selama ini dirinya selalu berusaha tumbuh menjadi anak yang baik. Bahkan ketika kedua orangtuanya tewas dalam kecelakaan tunggal, ia berusaha untuk tidak merepotkan paman dan bibinya.

Selama ini, Wei Wuxian selalu berusaha menjadi anak yang baik.

Akan tetapi, kenapa mereka tetap melakukan hal itu padanya?

Paman dan bibinya, yang selama ini selalu tersenyum dihadapannya, mengatakan hal-hal yang membuat jiwa polosnya merasa tersanjung, diam-diam membawa lari warisan yang ditinggalkan orangtuanya, dan membuangnya beserta tumpukan hutang yang sangat banyak pada Wei Wuxian.

Selama satu tahun dirinya harus hidup seperti buronan, melarikan diri dari kejaran para debt collector itu,

Melarikan diri dari hal yang tidak seharusnya menjadi tanggung jawabnya.

Ia tak tau takdir macam apa yang sedang dibentuk untuknya, namun apapun itu, sejak dimana ia dicampakkan oleh keluarga satu-satunya, Wei Wuxian tak bisa lagi mempercayai kebaikan seseorang dengan mudah.

Ia, meragukan setiap kebaikan yang semesta miliki.

.
.

"Wei Wuxian! Kau terlambat lagi?!"

Hal yang menyambutnya ketika ia memasuki gerbang adalah teriakan dari guru piket sekolahnya, pria tambun dengan kumis lebat, benar-benar manusia menyebalkan.

"Tuan Liu, setidaknya aku tidak bolos lagi. Jadi, bisakah kau membiarkanku lolos hari ini?" Mohonnya dengan puppy eyes mautnya, hanya berharap jika guru piketnya itu bisa luluh dengan tingkahnya.

Ctas

Satu pukulan dari penggaris membelai betisnya hingga membuat Wei Wuxian memekik, ekspresinya penuh ringisan dengan tangan yang mengusap bagian kebas akibat lecutan penggaris yang cukup keras.

"Kau mencoba bernegoisasi denganku? Aku akan mengirimmu pada Lan Wangji, anak bandel." Dengan tanpa perasaan Tuan Liu menjewer telinga Wei Wuxian menjauhi gerbang.

"Lan Wangji? Kau akan mengirimku pada ketua indisipliner galak itu? Tuan Liu, kumohon aku akan melakukan hukuman apapun darimu asal jangan membawaku pada manusia es itu!" Wei Wuxian merengek, meski sebenarnya ia belum pernah secara langsung mendapat hukuman dari Lan Wangji, dan dirinyapun tidak pernah dekat secara personal dengan pria itu, tapi telinganya sudah mendengar berbagai desas desus tentang betapa mengerikannya hukuman seorang Lan Wangji.

Dan sekarang, guru menyebalkan ini akan membawanya pada manusia paling mengerikan disekolah ini?

Apa Wei Wuxian boleh memilih untuk mati saja?

"Ah, Wangji kebetulan. Apa kau sedang piket?"

Jantung Wei Wuxian merasa diremas begitu nama orang itu disebut, apalagi ketika mendengar suaranya yang terdengar datar ketika menjawab dengan sangat amat singkat.

Wei Wuxian terhuyung ketika Tuan Liu melepaskan jewerannya dengan kasar hingga tubuhnya terpelanting dan hampir menubruk Lan Wangji yang berdiri kokoh bagai tiang bendera -uhuk-

Ia semakin dibuat bergidik tatkala iris emas itu melirik dirinya dengan cara yang terlampau dingin.

"Kalau begitu tolong awasi anak ini, terserah kau mau menghukumnya bagaimana. Aku benar-benar sudah sangat pusing mengurusnya."

Dan begitu, pria tua itu hanya mengatakan kalimat itu dan berlalu begitu saja.

"Tuan Liu, tunggu!"

Wei Wuxian yang hendak berlari menyusul Tuan Liu tertahan oleh seseorang yang menahan kerah belakang seragamnya.

"Ikut aku." Ujar Wangji, dan kembali tubuh itu diseret dengan tidak berkeprimanusiaan oleh Lan Wangji, menyusuri koridor yang untungnya sudah sepi.

"Lan Gongzi, bisa kau lepaskan aku? Hey, ini tidak sopan!" Ia meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkraman manusia es itu. Dan Lan Wangji mengabulkannya, meski dengan sedikit sentakan yang menyebabkan tubuh itu kembali limbung.

"Apa menurutmu datang terlambat kesekolah adalah sesuatu yang sopan?"

"Apa? Ah, itu haha. Lan Gongzi, aku bersumpah aku tidak pernah berencana untuk datang terlambat! Hanya saja-"

Kalimatnya terhenti, raut percaya dirinya berubah menjadi penuh keraguan dengan alis yang mengerut dalam.

Lan Wangji menaikan alisnya, "hanya saja?"

"Hanya saja, aku meninggalkan tasku dirumah dan aku kembali untuk mengambilnya, hehe." Senyum lima jari terbit diwajahnya, tampak polos dan tanpa dosa, membuat Lan Wangji hampir saja memutar bola matanya ketika mendengar alasan konyol itu.

"Apa menurutmu itu masuk akal?"

Wei Wuxian manyun, kakinya ia hentakan, merasa kesal karena gagal mengelabui Lan Wangji.

"Baiklah kau bisa mengukumku, kau puas?!" Dumalnya dan pergi mendahului Wangji.

"Bukan kearah sana."

Pemuda Wei berbalik masih dengan raut kesal dan pergi kearah sebaliknya, meninggalkan Lan Wangji yang menatap punggungnya dengan gelengan kecil,

Juga senyuman yang ia tahan diujung bibir.

Sepertinya, piket hari ini tidak akan berakhir membosankan seperti biasanya.

.
.

Suasana kantin diwaktu istirahat memang tidak pernah sepi,

Tidak, itu adalah satu hal yang mustahil.

Dan Wei Wuxian berjalan lunglai memasuki tempat ramai itu, iris abu-abunya memindai meja disana berharap menemukan orang-orang dari kelasnya.

"Oy, Wei Wuxian disini!"

Senyumnya merekah ketika menemukan Jiang Cheng yang melambai kearahnya.

"A Cheng!" Ia memekik dengan nada manja yang terdengar menjijikan ditelinga Jiang Cheng, "berhenti memanggilku seperti itu, idiot!" Makinya, ia menoyor kepala Wei Wuxian yang sudah merebah dengan nyaman dipundaknya.

"Jiang Cheng, apa kau tidak kasihan padaku? Aku baru saja mendapatkan hukuman dari Lan Wangji." Adunya sambil merebut minuman milik Huaisang yang, "Wei Xiong, itu milikku!"

"Huaisang kau beli saja yang baru, aku sangat haus sekarang."

"Tapi aku harus antri lagi~"

"Aku akan mengantri untukmu."

"Benarkah?"

"Mn, tapi nanti setelah kelas terakhir kita beres, oke?"

"Wei Xiong!!"

"Hahaha."

Jiang Cheng memutar bola matanya mendengar pertikaian konyol itu, bahunya mengendik guna mengusir Wei Wuxian yang masih asik nemplok dibahunya. "Menyingkir, kau berat!"

Pemuda Wei mendengus lalu duduk diantara Huaisang dan Jiang Cheng, kembali tangannya merayap nakal untuk mencuri makanan Jiang Cheng.

"Kesalahan seperti apa yang membuatmu dihukum oleh Lan Wangji?"

"Bukan masalah besar, aku hanya melakukan kesalahan biasa, kau tau? Aku hanya terlambat beberapa menit. Tapi pria tua itu malah menyeretku pada Lan Wangji! Jiang Cheng apa kau percaya apa yang manusia es itu lakukan padaku? Dia menyuruhku berlutut diperpustakaan selama satu jam dengan buku ensiklopedi sejarah yang sangat tebal dikedua tanganku! Dan yang lebih parah dari itu  dia bahkan menyuruhku mengahap setiap peraturan sekolah dengan detail. Ya tuhan, jika disuruh memilih aku lebih baik membresihkan lapangan daripada melakukan hukuman dari Lan Wangji!" Cerocosnya tanpa jeda, Huaisang bahkan sampai meringis mendengar ujaran Wei Wuxian yang seperti dilakukan dalam satu tarikan napas.

"Itu memang salahmu, bodoh! Memang kau pikir sudah berapa kali kau datang terlambat?" Sentaknya galak,

"Setidaknya apa kau tidak bisa berusaha sedikit agar datang tepat waktu? Aku lelah melihatmu menjadi langganan guru piket hampir setiap hari!"

Wei Wuxian mencebik, lalu segera memeluk Jiang Cheng dengan manja dan menggoyangkan tubuh mereka, "iyaaa, lain kali aku akan berusaha. Maafkan aku."

"Minta maaf pada dirimu sendiri, jangan padaku!"

"Iya, Wei Wuxian maafkan aku, ya. Dan Jiang Cheng, berhenti marah-marah, kau terlihat mengerikkan saat marah."

"WEI WUXIAN!"

setelahnya Wei Wuxian tertawa sambil berlari memutari kantin, menghindari amukan Jiang Cheng yang sudah mengejarnya untuk memberikan tampolan sayang.

Pemandangan biasa namun selalu mampu mengundang tawa semua orang yang menyaksikan kelakuan tom n jerry itu.

Bagi orang-orang, Wei Wuxian itu semacam moodbooster, yang mewarnai hari mereka yang monoton menjadi sesuatu yang lebih segar dan menyenangkan.

Dan bagi Wei Wuxian sendiri, dirinya tak lebih dari seonggok badut yang mencoba bersembunyi dibalik warna-warna cerah itu, sekedar menutup monokrom yang merupakan warna dirinya yang sebenarnya, juga menutupi duka yang merengkuh dirinya sepanjang waktu.

.
.

"Kerjakan dengan benar."

"Aye aye captain."

"Kau melewatkan satu paragraf, tulis ulang."

Wei Wuxian memutar bola matanya lalu menggeser bukunya menjauh, "Lan Zhan! Sampai kapan kau akan menyiksaku, ha? Kau tidak lihat? Tanganku sudah kebas menyalin tulisan-tulisan itu!" Ia mengangkat kedua tangannya kehadapan wajah Lan Wangji yang tak merubah ekspresinya sama sekali.

"Lagipula aku tidak terlambat hari ini, jadi kenapa kau harus menghukumku?" Lanjutnya tak terima.

Namun Wangji dengan santai menunjuk bagian leher dan pinggangnya, "dasi dan ikat pinggang, itu kesalahanmu hari ini."

Mendengar itu Wei Wuxian seketika menjadi lunglai, "seseorang tidak akan mati jika tidak memakai dua benda merepotkan itu." Decaknya sebal.

"Itu benar, tapi peraturan tetap peraturan."

"Baiklah tuan taat aturan, bisa kau lepaskan aku sekarang? Mari kita lanjutkan besok, aku harus masuk kelas sebelum pergantian kelas selanjutnya."

Lan Wangji tak langsung menjawab, melainkan menatap pemuda dihadapannya dengan cukup lama sampai Wei Wuxian merasa jengah dan mencondongkan tubuh kearahnya, "jika kau masih ingin menghabiskan waktu berdua denganku, kita bisa melakukannya setelah kelas selesai, bagaimana?" Goda pemuda Wei diikuti kerlingan nakalnya, Lan Wangji otomatis terperanjat dan memundurkan tubuhnya dengan cepat, "Wei Ying!" Protesnya.

Wei Wuxian tertawa senang karena berhasil mengerjai Lan Wangji, ia membereskan bukunya dan pergi dari perpustakaan setelah kembali memberikan kedipan nakal kedua kalinya.

"Sampai jumpa nanti, sayang."

Blam

Pintu tertutup, menyisakan Lan Wangji dengan ekspresi shock yang menyelimuti wajah bak pahatan dewa miliknya.

Sejak hukuman pertama Wangji tempo hari, entah kenapa ia merasa mereka terus kembali dipertemukan dalam situasi yang sama. Entah karena dirinya terlambat atau karena hal lain, Lan Wangji selalu mampu menemukannya dan kembali membawanya untuk mendapatkan hukuman.

Dan anehnya, Wei Wuxian tidak merasa keberatan, tidak seperti ketika guru-guru piket yang biasa menghukumnya.

Lebih dari itu, ia merasa letupan menyenangkan yang menyusup dalam dirinya.

Melihat ekspresi terganggu Lan Wangji ketika ia menggodanya, itu terasa lucu dan membuatnya ketagihan.

Membuat perasaan bahagia yang telah lama pergi dan ia lupakan kembali hadir, melahirkan tawa lepas yang sebelumnya selalu tertahan.

Mungkin itu karena Lan Wangji yang selalu bersikap apa adanya, tidak seperti orang lain yang selalu berpura-pura menyukainya namun membencinya dibalik punggung.

Akan tetapi, jika seperti itu, bukankah Jiang Cheng juga sama? Ia selalu bersikap apa adanya, memarahinya ketika ia berbuat salah.

Anehnya, baik Jiang Cheng dan Lan Wangji memberikan sensasi yang berbeda terhadap dirinya. Selama ini, ia mengkategorikan Jiang Cheng sebagai sesuatu yang dekat seperti saudara,

Dan Lan Wangji-

Wei Wuxian masih belum tau, dikategori mana seharusnya ia mengkotakan Lan Wangji?

"Kau tersenyum seperti itu, apakah kau sudah mendapatkan uang untuk melunasi hutangmu?"

Tepat ketika ia mencapai ujung tangga terakhir, suara pongah seseorang menginterupsi langkahnya, membuat senyum yang entah sejak kapan terpatri dibibirnya seketika luntur.

Ia kembali melangkah mundur secara perlahan, mencoba melarikan diri seperti yang biasa dirinya lakukan.

Namun kali ini berbeda, mungkin bedebah itu sudah lelah bermain kucing-kucingan bersamanya, karena sebelum ia berhasil kabur, dua orang berbadan besar telah lebih dulu menyandra tubuhnya.

"Lepaskan brengsek!!" Ia memaki dengan tubuh meronta, menatap nyalang pria yang berjalan kearahnya dengan jari-jari kasar yang bergerilya membelai pipinya.

"Wei Wuxian, mari kita buat ini lebih mudah. Kau segera lunasi hutangmu dan aku akan melepaskanmu, oke?"

Belaian itu berubah menjadi tepukan kecil, "kau pasti sudah lelah melakukan permainan tangkap lari ini denganku, dan akupun juga. Aku sudah sangat lelah dan sudah terlalu tua untuk menemanimu memainkan permainan ini. Jadi kenapa kita tidak hentikan ini saja? Hmm?"

"Kalau begitu kenapa kau tidak mati saja, ha? Terus saja mengejarku sampai kau mati, sialan! Lagipula, hutang mana yang harus kubayar? Aku tidak pernah memiliki hutang apapun padamu! Kenapa kau tidak mengejar dua orang brengsek itu saja? Mereka yang sudah membawa lari uang-uangmu, bukan aku!"

Plaak!

Tamparan keras mendarat dipipi mulus Wei Wuxian, cukup keras sampai membuat sudut bibirnya robek dan berdarah.

Napas Wei Wuxian memburu dalam rasa takut dan panik.

"Ckck, apa anak muda zaman sekarang memang kurang ajar seperti ini? Anak muda, aku lebih tua darimu. Bukankah harusnya kau lebih sopan?!" Ujarnya dengan nada tinggi diakhir kalimat, disertai tamparan lainnya yang ia daratkan dipipi yang lain, ia memberi kode pada dua orang yang kini menahan Wei Wuxian untuk melepaskannya. Dan seketika itu ia menyeret Wei Wuxian hingga menubruk dinding dengan keras, menendang perutnya hingga pemuda Wei itu meringis dengan mata terpejam, meninju pipinya sampai tubuh itu limbung menghantam aspal yang dingin.

Wei Wuxian meringis ketika rambutnya dijambak dengan kasar, "kau pikir aku peduli? Itu bukan urusanku tentang siapa yang membawa semua uang-uang itu, jika ada seseorang yang bisa menggantikan tikus-tikus itu untuk membayarnya, kenapa tidak, hm?"

"Kau manusia menyedihkan." Desis Wei Wuxian penuh kepayahan.

Dan tawa culas menggema dimalam yang hening, "lihat, siapa yang mengatakan itu? Kau persis seperti tikus got yang hampir sekarat dan kau masih berani mengatakan hal itu pada orang lain?"

Bugh

Satu tendangan keras yang kini menyasar ulu hati Wei Wuxian, membuahkan lolongan sakit yang cukup menyayat.

"Dengar, aku akan memberimu satu bulan terakhir untuk melunasinya. Jika tidak, maka aku akan mengambil seluruh organ tubuhmu sebagai gantinya, mengerti?"

Tepukan kecil kembali didaratkan sebelum ketiga orang itu pergi meninggalkannya tergeletak diatas aspal, dibawah langit malam yang mulai menurunkan muatannya, menitik diseluruh tubub Wei Wuxian yang terasa perih dan ngilu.

Wei Wuxian memejamkan matanya, membiarkan rasa dingin memeluk erat dirinya, membiarkan hujan yang mulai turun dengan lebat menyamarkan air mata yang turun tanpa permisi.

Bagaimanapun, seringkali Wei Wuxian merasa sangat lelah dengan kehidupannya yang terasa sangat berantakan ini.

Dirinya tidak seperti apa yang orang-orang pikirkan,

Dibalik tawa dan sifat biang onar yang disematkan padanya, Wei Wuxian hanyalah sosok rapuh dengan liku hidup yang terlampau curam.

"Wei Wuxian, apakah kau ingin menyerah?" Ia berbisik pada dirinya sendiri, merasakan lelah yang terasa mencekik seluruh sendi hidupnya.

.
.

Akan tetapi, ditengah keputusasaan yang hampir merenggut kewarasannya, ia menemukan setitik cahaya dikehidupannya yang selalu dipenuhi gulita.

Entah sejak kapan, senyumnya selalu tiba-tiba merekah ketika menemukan Lan Wangji dalam jarak pandangnya.

Kalimat menyerah yang semalam ia ucapkan, seolah terlupakan ketika kedua iris abu-abunya menangkap siluet Lan Wangji dibalik jendela perpustakaan,

Dengan buku dikedua tangannya dan iris yang memindai setiap paragraf disana.

Itu terlihat menakjubkan.

Kemudian ia terperanjat saat Lan Wangji menyadari tatapannya, pemuda itu melirik jendela disampingnya dan memandang tepat kearahnya.

Wei Wuxian tersenyum lebar dengan tangan melambai ceria.

Namun Lan Wangji hanya bersikap acuh, dan kembali tenggelam dalam bukunya.

Jika ada yang bisa ia syukuri dalam hidupnya yang suram,

Itu adalah ketika ia mengenal sosok Lan Wangji.

Sebelumnya, mereka hanyalah dua orang asing yang berbeda kelas, tidak pernah bertemu secara langsung apalagi bertegus sapa, Wei Wuxian hanya sering mendengar namanya dari berbagai versi cerita, namun tak pernah benar-benar mengenal Lan Wangji secara pribadi.

"sampai kapan kau akan tetap berdiri disana?"

Tubuhnya terlonjak ketika suara dingin khas Lan Wangji terdengar dibalik punggungnya, Wei Wuxian segera membalikan tubuh dan terkejut mendapati Wangji telah berdiri angkuh disana, ia menolehkan kepalanya kearah perpustakaan dilantai dua,

Namun tidak ada siapapun disana.

"Lan Zhan, sejak kapan kau disana?"

Pemuda Lan itu tak langsung menjawab, melainkan lebih memilih untuk menilik setiap bagian tubuh Wei Wuxian dengan teliti.

"Apa level kenakalanmu sudah naik menjadi tukang kelahi?"

"Apa?"

"Ini." Dengan sengaja Lan Wangji menekan luka disudut bibir Wei Wuxian hingga menimbulkan ringisan kecil.

"Ini." Kembali ia melakukan hal yang sama, kali ini pada lebam yang menghiasi pipi mulus itu.

"Lan Zhan hentikan! Kau menyakitiku!"

"Bukan aku, tapi kau. Kau tau itu sakit lalu kenapa kau malah membuat tubuhmu terluka?"

Wei Wuxian tak bisa menjawab, ia hanya mencebikan bibirnya sambil menunduk, "aku juga tidak ingin melakukannya." Bisiknya pelan.

Tanpa diduga Lan Wangji meraih tangannya dan menariknya menuju ruang kesehatan, ia mendudukan Wei Wuxian dengan paksa dan mengambil kotak First Aid Kit yang ada dilemari UKS.

Tanpa kata, ia menarik wajah penuh lebam itu untuk mendekat dan mulai mengolesinya dengan salep.

"Ah Lan Zhan, pelan-pelan. Itu perih."

"Diam atau aku akan semakin menekannya." Ujarnya dingin.

Pada akhirnya, Wei Wuxian memilih diam dan meredam ringisannya. Sesekali tangannya meremat seprai putih dibawahnya, meski matanya tak bisa lepas dari paras Lan Wangji yang luar biasa.

Lagi-lagi, jantungnya dibuat berbedar dalam tempo yang tidak biasa.

"Apa ada bagian lainnya yang harus diobati?"

"Ha? Oh, tidak, itu sudah cukup. Terimakasih, hehe."

"Kau yakin?"

"Mn- aaaahh!" Wei Wuxian memekik ketika tulang rusuknya ditekan cukup keras.

"Sepertinya kau memang baik-baik saja." Wangji berujar acuh, ia  membereskan kotak obatnya dan meletakannya kembali kedalam rak khusus obat disana, "sebaiknya kau pergi kerumah sakit." Katanya, lalu membuka pintu dan hendak pergi dari sana,

"Apa aku boleh pergi ketempatmu saja?"

Wei Wuxian dengan susah payah mendekati Wangji dan tersenyum lebar pada pemuda itu, "Lan Zhan, apakah aku boleh menginap ditempatmu malam ini?"

Dahi Lan Wangji mengkerut ketika mendengar permintaan itu, serta merta dirinya menutup pintu dibelakangnya dengan sedikit kasar dan meninggalkan Wei Wuxian disana setelah mengatakan, "tidak." Dengan singkat dan jelas.

"Kenapa? Bukankah kita sudah menjadi teman?"

"Aku bukan temanmu."

"Apa? Setelah semua waktu yang kita habiskan bersama?" Pekiknya tak terima.

Namun Lan Wangji sama sekali tidak peduli, ia tetap melangkah menuju kelasnya tanpa menghiraukan pemuda yang mengekor dibelakangnya.

"Apa tuan muda sepertimu memang selalu seperti ini, huh?"

Sekali lagi tuan muda kedua Lan itu tidak menggubris Wei Wuxian.

"Terus saja seperti itu, semakin dingin sikapmu malah semakin membuatku tertarik untuk menggodamu."

Pemuda Wei itu tertawa, ia hampir kembali menyusul Wangji sebelum ponselnya berdering.

"Hal-"

"WEI WUXIAN! KEMANA SAJA KAU TADI MALAM HA?! KAU INGIN AKU MEMOTONG GAJIMU LAGI?"

teriakan seseorang diseberang telepon berhasil membuat telinganya berdengung sakit, ia menjauhkan ponselnya dan menatapmya dengan mata memicing, "maafkan aku bos, semalam aku-"

"Kucingmu terluka? Tetanggamu terkilir? Apa lagi?! Berhenti membuat alasan konyol dan cepat kemari sebelum aku memutuskan untuk memecatmu!"

Dan sambungan telepon terputus, Wei Wuxian berdecak sebal dan kembali menyakukan ponselnya, "baiklah, Lan Zhan, sepertinya tidak malam ini. Aku akan membuatmu mau menerimaku dirumahmu lain kali, daah~" ia berlari menjauhi Wangji dengan tangan melambai, lalu menghilang dikerumunan siswa sekolah mereka.

Menyisakan Lan Wangji yang masih diam menatap kearah dimana Wei Wuxian menghilang, lalu memutuskan untuk pergi kekelasnya sendiri yang terletak digedung khusus para siswa unggulan.

Dirinya tidak mau terlibat terlalu dalam dengan pemuda Wei itu,

Tidak, itu tidak akan baik untuk pikiran lurus dan hidupnya yang selalu tunduk patuh pada aturan.

Wei Wuxian, terlalu bertolak belakang dengannya.

.
.

"Pastikan kau tidak membuat masalah, mengerti?!"

"Yes, sir! Kau bisa mempercayaiku." Dengan senyum lima jarinya Wei Wuxian memberi hormat pada pemilik toko tempatnya bekerja, dan setelah pria tua itu pergi, Wei Wuxian tak tahan untuk tidak mengejek bos galaknya itu.

"Dasar pak tua, cih."

Klang

Lonceng yang diletakan diatas pintu berbunyi menandakan ada pelanggan yang masuk, Wei Wuxian tersenyum menyapa mereka,

"Selamat datang ditoko kami, silahkan berbelanja."

Dan ya, setelahnya ia disibukan dengan tugasnya melayani pelanggan.

Ini memang tidak mudah, disaat remaja seusianya sibuk bersenang-senang melepas penat seusai belajar, sedangkan dirinya harus banting tulang menghidupi dirinya sendiri.

Wei Wuxian melakukan semua yang dia bisa untuk bertahan hidup.

Menjadi penjaga toko, pengantar susu, mencuci piring,

Apapun.

Meski terkadang ia ingin menyerah ketika rasa lelah dan muak merongrong dirinya, apalagi ketika para bajingan itu datang mengejarnya, itu selalu mampu menggerus sisi kewarasannya hingga ia merasa bisa menjadi gila sewaktu-waktu.

Terkadang, ia ingin marah, meluapkan emosi yang ia tumpuk disudut hatinya.

Akan tetapi, pada siapa dia harus melakukan itu?

Pada orangtuanya yang sudah tiada?

Atau pada paman dan bibinya yang brengsek?

Namun kemudian ia kembali berpikir, melakukan hal seperti itupun terasa percuma, itu tidak akan pernah mengubah apapun dalam hidupnya, atau mengembalikan semua hal yang telah diambil paksa darinya.

Pada akhirnya, Wei Wuxian hanya bisa menipu dirinya sendiri. Menjalani hidup seolah semuanya baik-baik saja, mencoba terlihat bahagia meski sebenarnya tidak,

Dan itu adalah bagian tersulit dalam hidupnya, hingga membuatnya lupa seperti apa itu kebahagiaan yang sederhana namun nyata?

Bukan kebahagiaan semu seperti yang selama ini dirinya rasakan.

Lebih dari itu,

Dirinya bahkan lupa kapan terakhir kali ia merasakan letupan menyenangkan itu hadir dalam hidupnya.

Sampai kemudian dirinya bertemu dengan Lan Wangji.

Sosok yang selama ini tak pernah ia hiraukan, namun perlahan mulai mencuri perhatiannya.

Dalam kehidupannya yang gersang, Lan Wangji tak ubahnya oasis yang menuntaskan dahaganya setelah sekian lama dirinya terlunta-lunta diluasnya gurun pasir.

"Wei Wuxian, apa yang kau lihat?" Seseorang menggoyangkan bahunya cukup kencang, namun Wei Wuxian sama sekali tak menggubrisnya.

Dirinya hanya merasa terlalu sayang untuk melewatkan Lan Wangji yang melintasi koridor lewat jendela kelasnya. Bagaimana sosok yang terlihat angkuh itu berjalan memimpin orang-orang dibelakangnya,

Lan Wangji tampak memukau dengan segala karisma yang dia miliki.

Lalu, entah didetik keberapa tiba-tiba pandangan mereka bertemu. Wei Wuxian tak kuasa untuk tersenyum semakin lebar, namun Lan Wangji sama sekali acuh.

Ia memilih untuk mengabaikannya dan berjalan melewati kelasnya begitu saja.

Membuat senyuman pemuda Wei itu perlahan mulai turun, dan mata indah itu meredup sedikit kecewa.

"Apa kau menyukai Lan Wangji?" Tanya Jiang Cheng yang sedari tadi memperhatikan tingkah Wei Wuxian.

Ia menoleh lalu mengendikan bahunya setelah berpikir selama beberapa detik, "entahlah, apa menurutmu aku menyukainya?"

Jiang Cheng berdecak dan memberi toyoran dikepala Wei Wuxian, "idiot." Makinya, menimbulkan tawa tertahan dari Wei Wuxian, "aku tidak tau, mungkin saja aku menyukainya. Atau mungkin juga tidak." Katanya dan itu terdemgar menyebalkan ditelinga Jiang Cheng.

"Terserah Wei Wuxian, terserah." Tanggap Jiang Cheng malas, ia lebih memilih memperhatikan gurunya yang tengah menceritakan pengalaman hidupnya dibanding membahas materi yang ada dibuku.

Guru idaman murid-murid malas memang.

.
.

Tidak ada satupun hari yang Lan Wangji lewati tanpa gangguan dari Wei Wuxian.

Seolah, pemuda itu memiliki magnet dan akan mengikuti kemanapun dirinya pergi.

Sebenarnya ia tidak merasa terlalu risih, namun karena dirinya yang terbiasa sendirian, itu membuatnya sedikit merasa berbeda.

"Lan Zhan, kau tidak kekantin?"

Seperti kali ini, pemuda itu bahkan mengikutinya untuk menghabiskan istrihat dihalaman belakang sekolah, tempat biasa dirinya menghabiskan waktu bersama buku-buku kesayangannya.

"Tidak." Jawabnya acuh.

"Apa buku-buku itu membuatmu kenyang?" Canda Wei Wuxian kemudian, ia mengambil satu buku Lan Wangji dan membuka setiap halaman dengan cepat. Alisnya menukik dengan bibir yang mengkerut, merasa pusing hanya dengan melihat deretan kalimat yang berbaris rapat.

"Apa kau tidak merasa mual membaca semua itu terus-terusan?" Katanya, kembali mengembalikan buku Lan Wangji dan memilih meneguk soda ditangannya.

"Tidak."

Wei Wuxian mengendikan bahunya, ia merebahkan kepalanya disandaran kursi taman sekedar untuk menikmati angin yang berhembus nikmat, "aah, sepertinya aku akan ketiduran disini, sejuk sekali."

Diam-diam, Wangji melirik Wei Wuxian yang sudah memejamkan matanya dengan senyuman yang teroatri dibibirnya.

"Wei Ying."

"Hm?"

"........."

Wei Wuxian membuka matanya kembali dan menatap Lan Wangji, "kenapa?"

Ia terdiam sejenak, jemarinya tampak meremas pinggiran buku cukup erat, menandakan jika dirinya tengah dilanda gugup.

"Lan Zhan?"

"Tidak, lupakan."

Wei Wuxian mendengus, hampir matanya kembali terpejam namun pertanyaan Lan Wangji selanjutnya benar-benar membuatnya senang,

"Apa luka-lukamu sudah sembuh?" Ia bertanya dibalik buku yang tengah ia baca, sama sekali tak berniat untuk menatap Wei Wuxian secara langsung.

"Aw, apa Tuan Muda Lan ini mencemaskanku?" Godanya genit, berhasil membuat pemuda Lan itu mendelik tajam.

"Lupakan pertanyaanku, aku tau itu akan terdengat konyol."

"Hahaha, Lan Zhan, jangan marah~" rengeknya sambil menarik-narik lengan seragam Wangji.

"Aku sudah sembuh, lihat? Wajahku sudah kembali tampan kan?" Wei Wuxian meraih pipi Wangji dan mengarahkannya untuk menatapnya, namun selang beberapa detik Lan Wangji menepis tangan itu dan bergeser sedikit menjauh.

Ia hanya tidak ingin Wei Wuxian menyadari sepuhan merah yang menghiasi pipi dan telinganya.

"Sebenarnya, darimana kau mendapatkan luka-luka itu? Apa kau suka berkelahi?"

"Lan Zhan, aku laki-laki. Semua luka itu adalah hal wajar bagi laki-laki 'kan? Ah, kecuali untuk tuan muda sepertimu." Cengirnya.

"Kau laki-laki bukan berarti kau tidak memiliki hak untuk melindungi tubuhmu, Wei Ying. Setidaknya pikirkan orang-orang yang mengkhawatirkanmu."

"Orang-orang yang mengkhawarirkanku? Siapa yang menurutmu akan mengkhawatirkanku?" Ia bertanya sambil bertopang dagu, sudut bibirnya mengulas senyum kecil pada Lan Wangji yang kembali menolah menatapnya, "apa kau tidak memiliki orangtua?"

Sebenarnya, itu adalah pertanyaan refleks dari Lan Wangji. Ia tidak benar-benar ingin menanyakan itu. Hampir ia kembali tenggelam dalam bukumya ketika Wei Wuxian menjawab pertanyaannya secara mengejutkan.

"Mn, kau benar. Mereka sudah pergi beberapa tahun yang lalu." Jawabnya enteng.

Lan Wangji menghentikan aktifitas membacanya, ia memilih menutup bukunya. "Wei Ying, maafkan aku. Aku tidak-"

"Lan Zhan, santai saja. Itu sudah lama sekali, aku baik-baik saja."

Setelahnya, hening mengalir selama beberapa saat. Lan Wangji sekali lagi melirik Wei Wuxian yang sudah kembali memejamkan mata.

Dan untuk kesekian kalinya, Lan Wangji dibuat penasaran dengan pemuda itu.

Tentang, seperti apa Wei Wuxian sebenarnya?

Dia memang tertawa, dia memang tersenyum, akan tetapi, ketika ia menilik jauh kedalam matanya, Lan Wangji hanya menemukan kehampaan disana.

Seolah semua ekspresi yang Wei Wuxian tunjukan hanyalah kebohongan.

Seolah Wei Wuxian tengah menyembunyikan kebohongan besar dibalik punggungnya.

Dan terkadang, ia merasa ingin sekali menggali dan menemukan apa yang selalu pemuda itu sembunyikan dari semesta.

.
.

"Apa kau menunggu bis juga?"

Wei Wuxian terkejut ketika mendapati Lan Wangji sudah duduk dihalte depan sekolah mereka.

Itu adalah pemandangan yang sangat tidak biasa.

"Aku menunggu supirku."

"Ah, kupikir kau penasaran ingin menggunakan bus."

Lan Wangji tak menjawab, ia lebih memilih menatap rintikan hujan yang turun cukup deras dan menikmati keheningan dihalte yang hanya terdapat dirinya dan Wei Wuxian saja.

Iris emas itu mencuri pandang pada Wei Wuxian yang menepuk bagian basah seragamnya sebelum mendudukan diri tepat disamping Wangji.

"Hari ini terasa lebih dingin daei biasanya." Katanya sambil mengusap kedua telapak tangan guna mencari kehangatan.

"Sebentar lagi musim dingin, itu wajar."

"Masih dua bulan lagi, Lan Zhan." Kekehnya.

"Kuharap aku bisa melihat salju pertama turun tahun ini." Katanya kemudian sambil menatap gumpalan awan kelabu yang menyelimuti seluruh kota.

"Kau pasti akan melihatnya, kecuali kau akan pergi kesuatu tempat yang sangat jauh."

Wei Wuxian tertawa, "menurutmu, apa aku bisa pergi sejauh itu?"

"Entahlah, mungkin saja."

Ia kemudian tersenyum, "baiklah, aku merubah harapanku. Kuharap aku bisa melihat salju pertama turun tahun ini bersamamu. Bagaimana?"

Wangji tidak menjawab, ia lebih memilih untuk pura-pura tidak mendengarnya.

Tak berapa lama, supirnya datang dan membukakan pintu untuknya. Wangji masuk dan pintu kembali tertutup.

Sebelum mobil itu melaju, ia sempat menatap Wei Wuxian dibalik jendela mobilnya, dan seperti biasa pemuda itu tersenyum lebar sambil melambaikam tangannya.

Hujan turun semakin deras, dan Lan Wangji masih memperhatikam Wei Wuxian yang masih berada dihalte dari kaca spion.

Akan tetapi, dahinya mengkerut ketika melihat sekelompok orang berbaju hitam turun dari mobil dan memasuki halte, Wangji memutar tubuhnya untuk melihat itu dari jendela dibelakangnya.

Mereka tampak berdiskusi.

Dan iris emasnya dibuat melebar ketika Wei Wuxian berlari dari sana, seolah tengah menghindari orang-orang yang kini mengejarnya.

"Putar arah!" Pintanya.

"Tapi tuan-"

"PUTAR ARAH!" ia membentak.

Sang supir tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti apa yang tuan mudanya minta, ia segera memutar arah dan mengikuti mobil yang ditunjuk Wangji.

Sedang Lan Wangji sendiri, dirinya masih merasa sangat shock akan kejadian yang baru saja ia lihat.

Dirinya tidak tau siapa orang-orang itu, atau apa hubungan Wei Wuxian dengan mereka.

Akan tetapi, jika Wei Wuxian sampai melarikan diri seperti itu. Mereka pasti bukan orang yang baik.

Wangji bahkan tidak menyadari bahwa saat ini matanya sudah berkaca-kaca, merasakan kekhawatiran yang merongrong dirinya, jauh dalam hatinya, ia merasakan ketakutan,

Apa Wei Ying akan baik-baik saja?"

.
.

S

ekali lagi Wei Wuxian harus mengalami hal ini.

Berlari menghindari orang-orang yang mengejarnya seperti orang gila.

Dibawah rintikan hujan yang semakin deras, ia kembali berlari disepanjang trotoar jalan, berharap menemukan satu orang saja yang akan menolongnya.

Namun nihil, semesta seolah sedang berkonspirasi dengan nasib buruknya.

Jalanan terlalu sepi, dan orang-orang itu kini malah mengepungnya, ia tak memiliki pilihan lain selain berlari memasuki gang, berlari diatas genangan air yang menyipat kotor, menembus udara yang kian terasa dingin.

Dirinya, hanya mencoba untuk bertahan hidup.

"Kau pikir kau bisa lari anak sialan?!" Teriakan menggema disepanjang dinding gang yang sempit, namun Wei Wuxian tidak peduli. Ia semakin mempercepat langkah kakinya dan kemudian-

Buntu.

Ia berakhir terjebak dibangunan tua yang telah dintinggalkan.

Wei Wuxian merasa panik, juga putus asa. Tangannya yang gemetar meraba pagar kawat yang menyelubungi tempat ini, berharap menemukan jalam keluar.

Namun gaungan tawa dibelakangnya telah memutus harapannya yang setipis benang.

Orang-orang brengsek itu telah berhasil mengepungnya.

"Apa lagi yang kalian inginkan, ha?" Desisnya sedikit bergetar.

"Yang kami inginkan? Kau tau pasti apa yang kami inginkan, kan?" Tanya salah satu dari mereka main-main.

"Bukankah kau bilang akan memberiku satu bulan lagi? Lalu kenapa kau dan bawahan sialanmu itu datang bahkan sebelum satu bulan?"

"Oh itu, aku berubah pikiran. Melihat bagaimana kondisimu, aku tidak yakin kau akan membayar lunas hutangmu meski aku memberimu waktu satu tahun lagi. Jadi, kita persingkat saja sampai disini, bagaimana?"

"Apa maksudmu?"

Tawa culas menggema digedung tua yang sunyi.

"Tentu saja aku akan mengambil organ-organmu, seperti yang kau janjikan."

"AKU TIDAK PERNAH MENJANJIKAN HAL ITU!"

"Ssttt, jangan berisik. Kau tidak lihat? tempat ini rapuh. Bangunan ini bisa runtuh kapan saja jika kau berteriak sekeras itu."

Wei Wuxian terperangah, "kau gila." Desisnya, dirinya semakin dibuat panik ketika dua orang lainnya mendekat kearahnya. Tangannya segera menyambar botol bekas minuman keras dan memukulkannya hingga menyisakan bagian runcing yang kemudian ia acungkan.

"Berhenti!! Jika kalian mendekat, aku akan membunuh kalian semua brengsek!" Ia memekik dengan napas memburu, antara takut dan panik. Ia hanya sedang mencoba menguatkan diri ditengah pusaran keputus asaan.

"Ow, aku takut." Ejeknya, ia lalu memberikan kode untuk mengurus bocah didepannya.

Dan Wei Wuxian, dengan sisa tenaga yang ia miliki beruasaha melawan.

Dirinya mengayunkan senjata miliknya membabi buta, menggunakan instingnya untuk melukai orang-orang bremgsek itu.

Namun tentu tidak mudah, sementara mereka adalah orang terlatih dan berpengalaman,

Sedangkan dirinya, hanya seorang bocah.

Tentu saja, bagi orang-orang itu, Wei Wuxian bukanlah suatu ancaman besar.

Mereka bisa dengan mudah melumpuhkannya.

Seperti saat ini.

Entah siapa, yang menusukkan benda tajam itu keperutnya.

Itu terasa dingin pada awalnya, kemudian kebas, rasa panas dari darah yang merembes, juga perih yang menyebar hingga ketulang.

Wei Wuxian merasa tidak tahan, apalagi dengan rasa berat yang kemudian hinggap dikelopak matanya.

Ia sangat ingin memejamkan matamya.

Namun bayangan Lan Wangji yang kini ada dihadapannya memaksanya untuk terbuka lebih lama lagi.

Ia ingin memanggilnya, namun rasa menggigil itu menahannya.

Pada akhirnya, ia hanya bisa tersenyum melihat wajah yang tampak buram itu. Ia bahkan merasa kehangatan menyelimuti seluruh tubuhnya yang sempat membeku kedinginan.

Lalu setelahnya, kegelapan merenggut dirinya seutuhnya.

.
.

Jika ada hal yang paling Lan Wangji sesali didunia ini,

Itu adalah perasaannya.

Kenapa ia tidak pernah menyadari perasaannya dulu?
Saat Wei Wuxian masih tersenyum disampingnya? Saat ia masih memiliki kesempatan untuk mengutarakannya pada pemuda itu?

Kenapa ia harus menyadari perasaannya setelah semuanya terlambat?

Wangji mengusap kepalanya yang terasa pening. Ia memasuki apartemennya yang besar, namun sepi.

Semenjak dirinya memasuki tahun kuliah, ia memutuskan untuk lergi daei rumah dan membeli apartemennya sendiri. Meski kakaknya sempat menentangnya, namun ia sudah bertekat.

Dan disinilah dirinya.

Wangji membuka pintu lemari es dan mengambil satu botol air mineral kemudian meneguknya. Setelah dahaganya tuntas, dirinya memutuskan untuk pergi kekamarnya, membersihkan tubuh dan mengganti pakaiannya.

Setelah itu, ia memasuki pintu lain yang terdapat dikamarnya, dan seketika aroma obat-obatan tercium kuat.

"Xiongzhang." Panggilnya.

Lan Xichen menoleh dan tersenyum pada adiknya, "kau sudah pulang?"

Wangji mengangguk, "kulikir Xiongzhang di rumah sakit."

Lan sulung menggeleng, ia tengah mengecek selan infus didepannya, "aku tidak bisa meninggalkannya sendirk selama kau belum pulang." Katanya.

"Mn."

Lan Xichen kembali tersenyum, "kondisinya semakin stabil."

Wangji mengangguk, menatap sosok yang masih betah berbaring disana. Ia mendekat, membelai ujung alisnya dengan lembut.

"Xiongzhang, menurutmu. Kapan dia akan bangun?"

Lan Xichen yang tengah membereskan alat medisnya merenung.

"Apa masih lama?" Ia kembali bertanya.

"Apa kau lelah menunggunya?"

"Tidak."

Lan Xichen menepuk pundak Wangji, "aku tidak tau pasti kapan Wei Gongzi akan bangun, tapi aku yakin, dia pasti akan kembali padamu."

Wangji mengangguk.

"Kalau begitu, aku akan kembali kerumah sakit, hubungi aku jika terjadi sesuatu."

Setelahnya, tempat itu kembali hening. Hanya pekikan suara elektrokardiograf yang terdengar konstan.

Wangji mendudukan diri dikursi disamling ranjang tempat Wei Wuxian berbaring, menatap wajah pucat yang tertidur damai.

Sudah satu tahun berlalu semenjak dirinya menemukan Wei Wuxian yang dikepung oleh orang-orang asing itu. Ia masih belum bisa melupakan bagaimana mengerikannya Wei Wuxian yang terkapar penuh darah.

Sampai saat ini, rasa sesak itu masih menyambanginya.

Waktu itu, ia seperti kehilangan pikirannya selama beberapa saat. Ia bahlan tidak sadar ketika dirinya berlari membawa tubuh Wei Wuxian dalam gendongannya menuju rumah sakit. Sedang orang-orang itu langsubg diamabkan polisi yang sempat Wanghi hubungi.

Dokter bilang, luka tusukan itu hampir mengenai jantung Wei Wuxian.

Namun untungnya tidak berakibat fatal.

Akan tetapi, Wei Wuxian mengalami kondisi koma yang cukup panjang.

Bahkan, sampai satu tahun berlalu.

Wei Yingnya masih belum juga membuka mata.

Wangji menggenggam tangan Wei Wuxian dengan erat, membawanya kehadapan wajahnya untuk ia kecup.

"Wei Ying, apa kau masih belum ingin membuka mata?" Bisiknya.

"Bukankah kau bilang ingin melihat salju pertama turun bersamaku?" Ia membawa tangannya membelai pipi halus itu, "sebentar lagi musim dingin tiba, ayo kita melihatnya bersama, Wei Ying."

Tanpa sadar, kedua matanya telah basah.

Setiap kali ia melihat wajah itu, ia selalu mengingat fakta-fakta tentang Wei Yingnya.

Tentang kecelakaan yang merenggut kedua orangtuanya, tentang paman dan bibinya yang menelantarkannya, dan tentang bagaimana kehidupan keras yang dialami Wei Wuxian akibat lilitan hutang yang seharusnya bukan menjadi tanggungjawabnya.

"Wei Ying, bangunlah. Tidak akan ada yang menyakitimu mulai sekarang. Orang-orang itu sudah membusuk dipenjara, paman dan bibimu juga."

"Kumohon Wei Ying, aku mencintaimu."

Wangji menangis sambil mendekap tangan Wei Wuxian, ia merasa tidak tahan menyaksikan tubuh itu terbaring tanpa daya setiap hari.

Ia ingin melihat senyum dan tawa itu kembali, ia ingin hari-harinya kembali diganggu oleh suara berisik Wei Wuxian.

Ia benar-benar merindukan sosok ceria itu.

"Lan Zhan."

Suara bisikan yang teramat lirih menghentikan isakannya.

Lan Wangji mendongak perlahan, dan terkejut ketika mendapati mata itu telah terbuka dan menatapnya.

"Wei- Wei Ying." Ujarnya terbata, ia merasa bahagia ketika melihat senyum itu kembali, meski terhalang oleh masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya.

Akam tetapi, itu sudah lebih dari cukup untuk membangun harapannya yang sempat redup.

Sebuah harapan tentang kebahagiaan yang menanti mereka dimasa depan.

Ya, Lan Wangji telah berjanji akan memberikan kebahagiaan kepada Wei Wuxian.

Dan itu akan terwujud sebentar lagi.

.
.

Butuh berhari-hari untuk nulis ini, berharap bisa menghasilkan sesuatu yang bagus tapi pada akhirnya masih gini-gini aja.

Maaf jika mengecewakan😭


Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

158K 1.2K 13
one-shot gay ⚠️⚠️⚠️ peringatan mungkin ada banyak adegan 🔞 anak anak d bawah umur harap jangan lihat penasaran sama cerita nya langsung saja d baca
21.1K 2.1K 26
-sinopsis- Namanya Jeno, pemuda yang selalu tersenyum menawan, dan senyum itu selalu terpasang di raut wajah pucatnya. Saat tersenyum matanya akan me...
315K 17.1K 19
[VOTE AND COMMENT] [Jangan salah lapak‼️] "Novel sampah,gua gak respect bakal sesampah itu ni novel." "Kalau gua jadi si antagonis udah gua tinggalin...
926K 59.7K 37
SLOW UPDATE Kisah tentang seorang bocah 4 tahun yang nampak seperti seorang bocah berumur 2 tahun dengan tubuh kecil, pipi chubby, bulu mata lentik...