Fase dalam Lingkaran [Selesai]

gemamembiru द्वारा

42.6K 8.7K 3.6K

[Trigger / content warning: domestic violence, self injury, negative vibes] Sejak di-PHK, Ayah berubah 18... अधिक

Awal
[1] Tingkat Kesadaran Sigmund Freud ⚠️
[2] CoA: Fase Satu ⚠️
[3] Simsalabim!
[4] Memori Manusia dan Stereotip
[5] Sebelum Beranjak Dewasa, Dunia Terlihat Menyenangkan
[6] Tempat Pelariannya Hilang
[7] CoA: Fase Dua ⚠️
[8] Rentetan Tanda Tanya
[10] Malam Ini Berisik, Pun Pikirannya
[11] Menghancurkan Bongkahan Batu ⚠️
[12] Kehidupan di Tanah Bumi ⚠️
[13] Harapan tanpa Nama
[14] Manusia di Posisi Tengah
[15] Pertikaian di Mendung Pagi ⚠️
[16] Berteman dengan Luka ⚠️
[17] Tidak Ada Cahaya di Ruang Gelap ⚠️
[18] Kedekatan; Penetrasi Sosial
[19] Manusia dan Peran Mendengar
[20] Film dari Dunia Tanpa Suara
[21] Pernikahan, Frekuensi, dan Komunikasi
[22] Berpendar, Buram, dan Runyam ⚠️
[23] Dunia sedang Tidak Baik ⚠️
[24] Pada Waktu Itu, Semua Lepas Kemudi ⚠️
[25] CoA: Fase Tiga ⚠️
[26] You Did Whale
[27] Dimensi Religiusitas dan Kebersyukuran
[28] Dialog Ibu, Monolog Ayah
[29] Kapal Ini Berlayar ke Mana?
[30] Kaleidoskop

[9] Tempat Aneh dari Ajakan Orang Aneh

1.1K 275 127
gemamembiru द्वारा


"Maem, Mbak." (Makan, Mbak)

"Inggih, Mbah." (Iya, Mbah)

Dengan kaku, bibir Ladin terangkat ke atas. Tangannya terulur ragu menyentuh gorengan di atas nampan hijau terang. Ada beberapa gorengan di atas kertas minyak yang menjadi alas nampan. Ia diam sejenak sebelum mengambil pisang goreng dengan ukuran paling kecil. Gorengan ini dingin.

Sembari mengunyah pisang gorengㅡdengan sedikit usaha karena gorengannya kerasㅡLadin melempar pandangannya ke sekitar. Tempat ini sunyi penduduk. Hanya ada tiga motorㅡtermasuk motor Kalaㅡyang terparkir di dekat warung. Meski tidak banyak, ada beberapa pohon di sekitar sini sehingga sengat matahari sedikit terhalau. Tempat ini cukup jauh dari pusat kota. Sepertinya, jika Kala tidak mengajaknya ke sini, Ladin tidak akan pernah tahu tempat seperti ini masih ada di kotanya.

"Wayah semene emang sepen, Mbak (jam segini emang sepi, Mbak)." Mbah bersuara setelah batuk-batuk. Rambutnya yang sudah didominasi warna putih diikat dengan karet bekas nasi kuning. Ladin menjadi sedikit prihatin memikrkan nasib Mbah yang harus menjaga warung seorang diri di usia senjanya.

"Inggih, sepen," balas Ladin dengan senyum sopan. (Iya, sepi)

"Ing wayah wengi bakal rame." (Kalau malam, bakal rame)

"Akeh sing rondha?" (Banyak yang ngeronda?)

Mbah tertawa dan batuk secara bersamaan. "Yo ora. Moso ngeronda?" (Ya enggak. Masa ngeronda?)

"... jadi?"

"Lha, piye? Mas Reja dheweke ngajak mrene?" (Lha? Mas Reja ngajak ke sini ngapain?)

Alis Ladin bertautan. Selain karena baru mendengar nama Reza, ia tidak merasa datang bersama orang lain selain Kala. Apa jangan-jangan ada makhluk halus yang dilihat Mbah saat kedatangannya tadi?

Ladin mendadak merinding. Ia mengelus tengkuknya sambil menatap waswas lingkungan sekitarnya. Tidak mengejutkan jika tempat ini menjadi 'sarang' makhluk gaib. Sepi penduduk, banyak pepohonan, dan jauh dari perumahan. Bukannya perpaduan yang pas untuk dijadikan tempat tinggal 'mereka'?

"Mboten ngertos, Mbah." (Nggak tahu, Mbah)

"Ning ndi toh Mas Reja?" (Di mana Mas Reja?)

"Mas Reja sinten, Mbah?" (Mas Reja siapa, Mbah?)

"Iku, bocah lanang sing teka karo awakmu." (Itu, laki-laki yang datang bareng kamu)

"Oh ...." Ladin membulatkan bibirnya, paham siapa yang dimaksud Mbah. Nama panjang Kala tiba-tiba muncul di permukaan memorinya. Aftakala Reza. "Kala?"

"Sopo Kala?"

Kepala Ladin sedikit miring. Sepertinya, Mbah mengenal Kala sebagai Reza. "Reza nembe mendhet motor kula, Mbah." (Reza lagi ambil motor saya, Mbah)

"Opo o motormu?" (Motor kamu kenapa?)

"Mboten napa-napa. Sikil kula lara amarga nembe tiba sangking motor. Jadiㅡ" (Nggak apa-apa. Kaki saya sakit karena jatuh dari motor. Jadiㅡ)

"Walah!" Ekspresi Mbah terkejut sempurna. Dengan badan yang bungkuk dan langkah tertatih, Mbah mendekati tempat duduk Ladin untuk mengamati kaki perempuan itu. Tidak ada luka serius. Namun, alis Mbah yang didominasi warna putih itu mengerut dalam. "Bahaya iki, Mbak."

"Mboten, Mbah. Kula isih saget mlampa." (Nggak, Mbah. Saya masih bisa jalan)

"Iki kudu diobati ben waras." (Ini harus diobati biar sembuh)

"Mboten usah, Mbahㅡ" (Nggak usah, Mbahㅡ)

"Sek, Mbak. Tak njupuk godhong nggo diulek trus ditemplekno ing tatumu iku." (Bentar, Mbak. Aku ambil daun buat ditumbuk terus ditaruh di lukamu)

Bola mata Ladin membesar. Terlebih lagi saat Mbah sudah bersiap mendekati pohon tinggi yang tak jauh dari warung. Setengah melompat, Ladin menahan lengan Mbah sembari mengajaknya untuk kembali duduk. Ia panik, takut jika Mbah benar-benar memanjat pohon hanya untuk mengobati lukanya.

"Sembuh, Mbah, udah sembuh," kata Ladin mantap. Ia bahkan melompat berulang kali, mengabaikan rasa nyeri yang semakin menjadi di kakinya, untuk menenangkan Mbah. "Mbah di sini aja, ya," pintanya.

"Iki, lho, Mbak. Yen dikompres kanggo godhong iki bakal waras," komentar Mbah, masih memerhatikan kaki Ladin yang sedikit bengkak. (Ini, lho, Mbak. Kalau dikompres pakai daun bakal sembuh)

Ladin kembali menahan lengan Mbah, mengajak wanita lanjut usia itu untuk mengobrol di kursi warung tanpa menghiraukan lukanya. Dalam hati, ia mengirim sinyalㅡyang semoga ditangkap Kalaㅡagar laki-laki itu segera datang ke sini. Ladin tidak ingin melihat atraksi Mbah memanjat pohon untuk memetik daun. Mengerikan!

Seolah sinyalnya ditangkap, Kala datang tak lama setelahnya. Perempuan itu ingin bersorak girang saat Kala berjalan menuju warung, tapi ditahannya karena tidak ingin terkesan sedang menunggu Kala. Alih-alih memberi raut wajah senang, Ladin justru memasang wajah tak acuh.

"Iki lho, Mas, luka," adu Mbah sembari menunjuk kaki Ladin. Orang yang ditunjuk hanya memasang raut wajah meringis.

"Iya, Mbah. Tadi jatuh katanya."

Sembari membereskan bungkus nasi kuning yang tadi dimakannya, Mbah memberi nasihat pentingnya pertolongan pertama pada luka sebelum meradang. Sebagai orang tua, pengobatan tradisional menjadi kunci utama Mbah. Beberapa daun memiliki khasiat untuk menyembuhkan luka sehingga menurut Mbah, menumbuk daun dan mengompresnya di bagian luka dapat mengobati luka itu.

"Lama banget," kata Ladin pelan di tengah-tengah ceramah Mbah. "Aku udah jantungan karena Mbah mau manjat pohon," bisiknya tertahan.

Mendengar cerita Ladin, Kala tidak bisa menahan tawanya. "Mbah mau manjat pohon? Ngapain?"

"Mau ngambil daun buat lukaku!" balas Ladin dengan gigi terkatup rapat. "Nggak kebayang kalau tadi Mbah beneran manjat. Mati di tempat aku." Ladin geleng-geleng sementara Kala semakin tertawa.

"Mbak," panggil Mbah setelah meja jualannya bersih. "Yen ora diobati, sampeyan bisa wae diamputasi." (Kalau nggak diobati, bisa diamputasi)

Bola mata Ladin terbelalak sementara Kala berusaha sekuat tenaga agar tidak tertawa. Pandangan Ladin mengarah pada lukanya, menatap Mbah, lalu memasang wajah ngeri. Masa bengkak gini aja bisa diamputasi?!

"Hati-hati, La. Bisa diamputasi," ulang Kala pelan dengan nada geli.

"Emang beneran?" Ladin menatap takut-takut ke arah kawan bicaranya. "K-kalau diamputasi, artinya nggak punya kaki ...?"

"Punya, tapi udah nggak utuh," jawab Kala yang sama sekali tidak membantu. Perempuan itu justru semakin membesarkan bola matanya.

"Diurut aja biar nggak makin bengkak," saran Kala.

"Sakit nggak?"

"Ah, enggak kok."

Setelah mendapatkan persetujuan dari Ladin, Kala meminta bantuan Mbah untuk mengurut kaki Ladin yang disambut sukacita oleh Mbah. Dengan lihai, tangannya menyiapkan minyak yang disimpan di laci meja sebelum duduk di sebelah Ladin.

"Beneran nggak sakit, kan?" bisik Ladin pada Kala, memastikan sekali lagi tidak ada adegan sadis yang akan dilakukan Mbah. Menjawab pertanyaannya, Kala menggeleng dengan wajah meyakinkan, sedikit membuat Ladin duduk lebih rileks dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.

Baru saja mengambil napas tenang, jari keriput Mbah menekan kuat betis kaki Ladin, lalu mengurutnya memanjang ke bawah. Seluruh energi di dalam tubuh Ladin tiba-tiba terpanggil dan tersangkut di rongga dadanya. Ia menahan napas sesaat, sampai Mbah memberi minyak pada kakinya, lalu mengurut betisnya dengan kekuatan ekstra.

"Mbah ... s-sakiIIITTT AAAAAAAAA." Tangan Ladin mencengkram erat ujung kaos Kala. Persis seperti ibu-ibu melahirkan yang ditemani suaminya di ruang persalinan.

***

Untungnya, Ladin benar-benar bisa jalan setelahnya.

Perempuan itu melompat riang dengan senyum lebar di wajahnya. Rasa nyeri yang berdenyut di kakinya hilang karena tangan ajaib Mbah. Meski perempuan itu menghabiskan 15 menitnya dengan teriakan keras sebab Mbah memijit kakinya sangat kuat, hasil dari pijitan Mbah ampuh membuat kakinya berdiri sempurna.

"Matur suwun, Mbah," ujar Ladin kesekian kalinya. "Sikil kula sampun dhangan, Mbah. Matur suwun." (Kaki saya udah nggak sakit lagi. Makasih, ya)

"Atos-atos, Mbak. Mugi-mugi sehat terus." (Hati-hati, Mbak. Semoga sehat selalu)

"Inggih, Mbah." Sebelum berpisah dengan Mbah karena Kala mengajaknya pergi, Ladin menyalami Mbah dan memberi beberapa lembar uang. "Buat gorengan sama pijit tadi. Matur suwun, Mbah."

"Iya. Wes ojok matur suwun maneh. Ndang metu karo Mas Reja." (Iya. Udah, jangan makasih lagi. Pergi sana sama Mas Reja)

Sudut bibir Ladin terangkat ke atas, menghasilkan cengiran kecil. Ia berpamitan pada Mbah, lalu menyusul Kala yang sudah berjalan terlebih dahulu ke arah belakang warung.

Kakinya melangkah ringan melewati rumput-rumput liar. Sesekali, Ladin bersenandung sembari mengikuti jejak langkah Kala. Perasaannya sedikit ringan setelah berteriak bebas saat dipijit Mbah tadi. Ia seperti naik wahana tinggi di Dufan dan dipersilakan berteriak sebebasnya untuk menumpahkan perasaan mengganjal di dalam dadanya. Rasanya menyenangkan.

"Sampai."

Mendengar kata 'sampai' yang diucapkan Kala, netra perempuan itu mengedar sebelum berhenti di titik bangunan berukuran sedang di depannya. Tempat ini sama sunyinya seperti warung di depan. Hanya terdapat lima motor dan satu mobil yang terparkir.

Di depan bangunan itu, tertulis besar kata 'Karsa'. Dengan alis Ladin bertaut, bola matanya bergerak cepat mengitari bangunan bernama Karsa itu agar dapat segera menyimpulkan tempat seperti apa yang diajak Kala untuk didatangimya kali ini.

Kafe?

"Ayo, masuk!" ajak Kala sembari membuka pintu.

Saat kakinya menginjak lantai Karsa, mulut Ladin terbuka lebar. Ia kembali menyelisik ruangan. Beberapa meja dengan sofa empuk, lalu-lalang para pekerja yang membersihkan ruangan, juga seseorang dengan pakaian rapi yang berdiri di meja tinggi. Mata Ladin memicing, memastikan rak yang ada di belakang orang itu adalah ... alkohol?

Ini jelas bukan kafe!

"Mau pesen apa?" Kala membuyarkan keterkejutan Ladin. Ia sedikit terkekeh melihat ekspresi bingung dan terkejut yang sangat kentara di wajah perempuan itu.

Ladin berdeham. Ia menggaruk lehernya, lalu tersenyum kikuk. "Masih kenyang habis makan gorengan tadi."

"Ya udah, minum aja. Mau minum apa?"

"... air putih, ada?"

Kala tidak dapat menahan tawanya. Ekspresi Ladin yang bingung serta gestur tubuhnya yang sangat tidak nyaman tampak sangat lucu. Laki-laki-laki itu mempersilakan Ladin duduk di salah satu kursi, meninggalkannya sebentar, lalu kembali dengan segelas air mineral dingin.

"Thanks," ujar Ladin gugup. Setelah duduk di salah satu kursi, ia dapat melihat jelas berbagai merk alkohol yang berjajar di rak. "Ternyata di sini ada air putih juga."

"Ada, dong."

"Ini air putih beneran, kan?" Ladin menatap Kala sangsi. Mendapati anggukan Kala, perempuan itu langsung meneguk cepat air mineral pemberian Kala. Tenggorokannya kering setelah berteriak tadi.

"Harganya 32 ribu."

Ladin langsung mengeluarkan sisa air mineral yang berada di mulutnya ke dalam gelas. Ia batuk-batuk, lalu meletakkan gelas berisi air bekas minumnya ke atas meja. Perempuan itu mengumpat dalam hati. Di kondisi keuangannya yang kritis, mana mungkin ia rela mengeluarkan uang Rp.32.000 hanya untuk segelas air mineral?!

"Bercanda. Gratis, kok."

Meski Kala sudah mengatakan air mineral itu gratis, Ladin tidak berniat meminum ulang air yang baru saja dimuntahkannya. Jika Kala mengatakan bahwa minuman itu gratisㅡatau setidaknya, tidak perlu menyebut harga minumannyaㅡLadin pasti meneguk habis air mineral itu tadi. Beda cerita jika Kala memang tidak ikhlas memberinya minuman gratis.

"I think you have a lots of questions. Just ask."

"Nggak, sih." Sambil menopang dagu, Ladin membuang pandangannya ke arah lain. Ia memperhatikan seorang pekerja yang berada tak jauh darinya, sedang membersihkan gelas-gelas kaca yang tampak mahal.

"Nggak usah bohong. Di kening kamu kelihatan jelas ada tanda tanya besar," balas Kala dan dengan bodohnya, Ladin menyentuh keningnya untuk memastikan ucapan laki-laki itu.

"Oke." Ladin menyerah. Ia menurunkan egonyaㅡyang sebenarnya entah untuk apa dipertahankannya. "First of all, Mbah kenal kamu sebagai Reza?"

"Sebenernya, keluargaku aja yang manggil dengan sebutan Reza. Pas pertama kali ngenalin diri ke Mbah, Mbah langsung nyimpulin nama panggilanku Reza. Mungkin nama Kala nggak familier buatnya," jelas Kala diiringi kekehan kecil.

Ladin manggut-manggut.

"Temen-temenku biasanya manggil aku Kala. Kamu juga boleh manggil dengan sebutan Kala."

"Tapi aku bukan temen kamu."

"Kamu juga bukan keluargaku," balas Kala, membuat kawan bicaranya kesal karena tak bisa menimpalinya. Salah satu sudut bibir Kala terangkat, puas karena merasa menang oleh perdebatan tak berdasar yang mereka ciptakan.

"Sebentar." Kala memotong saat Ladin membuka mulut untuk kembali bersuara. Ia berdiri, lalu menoleh. "Shift-ku sebentar lagi. Aku mau siap-siap dulu."

Ladin mengangguk, membiarkan Kala pergi dari tempat duduknya. Setelah beberapa saat ditinggal sendirian, ia mulai merasa tak nyaman. Duduk seorang diri di tempat asing membuatnya sedikit risi.

Sembari mengedarkan pandangan, ia mulai berpikir mengenai situasinya sekarang. Kenapa rencana awalnya pergi ke Solo justru gagal dan berganti dengan mendatangi tempat hiburan malam bersama laki-laki yang baru ditemuinya tiga kali? Kenapa bisa? Bahkan ke tempat yang memang berpotensi didatangi Satpol PP!

Club malam.

Sejujurnya, ini kali pertama Ladin menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Rasanya aneh, tapi adrenalirnya justru terpacu saat melihat jajaran alkohol di rak dan merasakan euforia di bar. Ia seperti tertantang tanpa sebab. []


Karena aku bukan orang Jawa, kalau ada bahasa Jawa yang salah atau kurang tepat boleh tolong dikoreksi, ya. Hehehe. Terima kasih (◕ᴗ◕✿)

28/10/2020

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

Under Your Spell 2 Sahlil Ge द्वारा

किशोर उपन्यास

28.1K 7.4K 13
Berlatar di tahun 2039, sebuah kekacauan dari mantra terlarang memisahkan dunia menjadi dua sisi yang mencekam. Energi romansa gelap menyelimuti selu...
2M 257K 64
(Sedang dalam Proses Penerbitan dan sebagian part sudah dihapus). Pemenang Wattys2019 kategori Romansa. Sinopsis Aarunya Hira Mahawira selalu merasa...
Shoplifting Heart kèy|| HIATUS द्वारा

किशोर उपन्यास

168K 15.9K 42
|COMPLETED| Alvero Ragandra Ghiffari. Cowok yang dikenal sebagai biang onar SMA Garuda. Balapan, mengusili teman-teman sekolahnya, sudah menjadi hob...
172 cm öri | girlwithabeat द्वारा

किशोर उपन्यास

52.7K 10.1K 25
Kalau jin pengabul permintaan itu benar-benar ada, Kikan cuma punya satu keinginan, yakni jadi cewek mungil yang lucu nan imut. Tapi sayang, lampu aj...