Bumi untuk Matahari [On Going]

By cungbagus

4.7K 1.9K 1.3K

BUMI Yang rasa sukanya sengaja disamarkan. "Karena bersikap biasa saja adalah cara gue menjaga." Tidak ada ke... More

START (B-U-M)
BUMI ALTAIR ABINAYA
MATAHARI KRISTALEA
1. SMA ANTARIKSA
3. RUMOR LANGITCACA
4. PAKETAN CANTIK
5. UJIAN PERTAMA
6. PAKETAN CANTIK 2
7. AWAL MULA
8. ATAP
9. MINI MARKET
10. RENGGANG
11. WELCOME SENJA
12. AWAL PENINDASAN
13. GWAENCHANAYO?
14. BUMI, LANGIT, DAN BINTANG

2. PEMILIK SEPATU TERBANG

305 160 70
By cungbagus

2. PEMILIK SEPATU TERBANG

"Dari sisi jahat manusia yang kita pandang sebelah mata, selalu ada kebaikan yang tak pernah mungkin kita sangka."

***

Sinar mentari kembali memancar seolah menyambut Ari yang sedang duduk di bangku taman seorang diri. Karena menyadari tali sepatunya yang lepas, ia cepat meraih dan mengikat tali sepatunya. Dengan model rambut jatuh ke samping kanan, membuatnya mendongak menatap sinar yang berhasil menembus celah dedaunan. Matanya mendadak sipit, kilauan itu ditangkap indah olehnya. Namun, tiba-tiba segerombol laki-laki berada tepat di depannya.

"Bum bukannya ini cewek yang nimpuk lo pake sepatu Minggu lalu itu?" tanya polos Bintang.

"Pake nanya lagi lo Tang," balas Venus menatap jengah.

Ari yang menyadari obrolan ke-lima cowok di hadapannya itu langsung mempercepat gerakan mengikat sepatunya, lalu membenarkan posisinya.

"Mau apa lo?" Ari berdiri tepat pada pembatas bangku taman. Tubuhnya seakan terkunci. Jarak Bumi dan kawan-kawannya begitu dekat.

"Gue bilang mau apa lo? Lo budek?" intonasinya kian meninggi. Perasaan takut berhasil menguasai dirinya.

Plakkk!

"Jangan macem-macem ya lo," Ari menampar wajah Bumi yang mendekat padanya.

"Siapa si yang mau macem-macem," pandangan keduanya jatuh saling bertatap. "Gue mau ambil ini," Bumi menunjukkan sehelai daun kecil yang ada pada rambut Ari. "Jadi orang gak usah kegeeran!" Bumi menegaskan kalimatnya tepat di telinga Ari.

"Minggir sana lo," Ari mendorong tubuh cowok di depannya itu. Bumi sedikit memperlihatkan tawa sinis namun manisnya.

"Mau ke mana?"

"Minggir!"

"Iya mau ke mana?" badan Bumi menghalangi arah pergi Ari. Dengan posisi kedua tangan di saku, Bumi terlihat begitu menikmati menggoda Ari. Entah, bisa-bisanya Bumi meluangkan waktunya hanya untuk Ari?

"Mau ke kelas lah, minggir sana!" Ari berusaha berontak badan kekar di hadapannya. Tanpa disadari, keduanya ditonton ke-empat teman Bumi.

"Romantis amat Bos pake pagang-pegang pundak segala," ujar Bintang nyengir. "Sikat bos, cantik," sambungnya.

"Brisik lo! Siapa juga yang pegang-pegang," kedua tangan Ari langsung turun dari pundak Bumi setelah mendapati sindirian halus dari Bintang. Wajahnya berubah memerah, ucapan yang keluar menjadi terbata-bata.

"Wuiidih cantik-cantik galak, fix idaman!" Bintang menujukkan suit tangannya yang sama sekali tidak menimbulkan bunyi. "Pepet teross boss, pepet," ujarnya menyenggol tubuh Bumi dari belakang.

Matahari selalu mencari celah untuknya bisa kabur dari Bumi dan kawan-kawan. Saat menyadari Bumi tengah lengah dari tatapannya karena sedikit berbincang mundur dengan teman-temannya. Matahari mendorong kembali tubuh Bumi hingga Bumi jatuh karena tak sergap dengan serangan tiba-tiba Matahari. Matahari berhasil kabur, sama sekali tidak menghiraukan Bumi yang tersungkur di kelilingi keempat temannya.

***

"Eh lo Ca, ngagetin gue aja," ucap Matahari dengan nafas ngos-ngosan. Alih-alih matanya masih menatap sepanjang jalan koridor yang tengah ia lalui dengan perasaan takut begitu saja.

"Emangnya gue setan apa Ri!" balas Caca judes. "Lagian lo kenapa lari-lari di siang bolong begini?" Caca menatap heran sepanjang jalan. Matanya bersinergi mencari sumber. Kedipan demi kedipan, bahkan kucekan mata ia lakukan. Tetap, hanya ada seliweran siswa Antariksa yang tidak pantas untuknya curigai. "Lo lihat hantu Ri?" Caca memegang pundak Ari dan menatapnya lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Enggak,"

"Lah terus ngapain tadi lo lari-lari, sampe ngos-ngosan lagi?"

"Ceritanya ntar aja di kelas," Ari berjalan mendahului Caca. Namun, dengan cepat Caca menyusulnya.

***

"Halo, iya kenapa Bang?"

"Bang Galak hari ini enggak bisa jemput kamu, Bang Galak ada urusan. Kamu pulang sama Mama aja," jelas Galaksi pada penerima teleponnya itu.

"Ari naik angkot aja Bang. Mama kan kerja," terangnya sedikit lesuh.

"Oke satu hari Abang izinan kamu pulang naik angkot. Lain kali, enggak. Ya udah, hati-hati naik angkotnya. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Bang Galak!"

"Iya ih bawel Abang,"

"Inget!"

"Iya Abang!"

Tuuttt tuttttt...

Awan-awan terlihat sangat cantik di balik background redupnya itu. Alam memang selalu mempunyai cara untuk para makhluk tak henti-henti mengucap syukur. Bentuk kagum akan ciptaan sang pencipta, hadir murni dari mata turun ke hati.

"Bang Galak belum jemput Ri?" tanya Caca yang sempat terpisah untuk pulang bareng karena Caca harus menemui Bu Mega di ruang guru.

"Hari ini Bang Galak enggak jemput Ca. Dia ada urusan," ujarnya duduk termenung di halte kecil yang dibuatkan khusus untuk siswa Antariksa yang menunggu angkutan umum ataupun jemputan.

"Oh ya udah lo bareng gue aja Ri," ajak Caca.

"Enggak Ca. Lo duluan aja, gue naik angkot aja," ujarnya tak berniat menolak. Hanya tak enak hati. Suasananya sudah mulai dirundung gelap.

"Yakin mau naik angkot aja?" tanya Caca kembali.

"Iya gapapa. Lo pulang duluan aja, udah sore juga," Ari melebarkan senyumnya.

"Oke gue duluan Ri," Caca melambai-lambaikan kedua tangannya.

"Hati-hati Ca,"

Setelah kepergian Caca. Ari kembali duduk termenung di bangku halte. Matanya kembali menatap ke atas, hanya kicauan burung yang menemani. Suara bising motor yang berseliweran bahkan ia abaikan.

Drm...drng..drg...

Laki-laki tepat di depannya sedang dengan sengaja memainkan gas motornya. Diikuti keempat teman-temannya yang mendadak berhenti di belakangnya.

Matahari diam membisu. Laki-laki di hadapannya bahkan memperhatikannya dengan serius. Mengingat kejadian beberapa jam yang lalu di taman membuatnya semakin takut.

"Ngapain lo di sini?" lempar Bumi melepas helm khususnya itu.

"Nunggu angkot,"

"Udah jam segini mana ada. Cepet naik!" Bumi sedikit memutar posisi kepalanya menunjukkan bahwa masih ada tempat di belakangnya untuk seseorang tumpangi.

"Enggak. Mending lo pulang aja!" ketus Ari justru memalingkan pandangannya.

Suasana sudah mulai gelap. Sudah hampir 3 jam Ari menunggu di halte. Tetap, angkot kali ini tidak berseliweran. Entah, ada apa!

"Please dateng angkot please tolong kali ini lo bersahabat," Ari bermonolog dengan rasa cemasnya.

"Kalian duluan aja, ntar gue nyusul," ujar Bumi kepada keempat temannya.

"Oke siap,"

"Hati-hati dengan hati Bum," goda Venus sebelum menancapkan gas motornya.

"Pacar baru nih ye. Terus kelas sebelah mau lo ke manain Bos?" ujar Bintang yang dibarengi dengan kekehan.

"Brisik lo pada!"

Ke-empat temannya melaju pergi meninggalkan Bumi. Jika di sekolah Warung Bu Dede yang menjadi andalan The Onar  tongkrongi. Kini Warung Tante adalah pelariannya untuk nongkrong bersama ketika di luar sekolah. Entah ketika mereka bolos ataupun kumpul-kumpul di luar hari sekolah.

"Ayo cepet naik!"

Matahari menatap sejenak laki-laki di hadapannya itu. Tidak ada pilihan baginya selain ikut dengan Bumi. Jika tidak, bisa-bisa ia tidur di halte karena matahari pun nampaknya sudah diujung tanduk untuk kembali pada tempat peraduannya.

"Kalo enggak gue tinggal nih," ujar Bumi hendak memakai pembungkus kepalanya yang tiada tanding.

"Eh,,,eh iya iya tunggu gue ikut," ujarnya pasrah lalu bangkit menghampiri Bumi.

Matahari kian sudah duduk termangu di balik badan besar Bumi. Ada yang aneh dengan pandangannya saat ia mendapati tulisan yang melingkar di helm tepat di depan matanya PUTRA ABINAYA. Helm itu mampu membuat bulan sabit hadir dengan sendirinya. Bagaimana bisa seorang Bumi memakai helm lucu layaknya bocah? Tidak tidak! Ari mulai berimajinasi tentang Bumi.

Tidak hanya pada helm Matahari terpaku. Ada yang lebih mengejutkan sampai-sampai matanya terbelalak melongo. Ada darah di lengan Bumi.

Bagaimana bisa Matahari dengan jelinya memperhatikan seorang Bumi?!

"Lengan lo kenapa?" Matahari memberanikan diri untuk bersuara. Entah, rasanya seperti ada yang mengganjal dalam hatinya.

"Lupa?" tidak ada jawaban yang Matahari dapati dari Bumi. Justru ia dipertanyakan balik saat Bumi mendadak berhenti di sisi jalan.

"Maksud lo?" Matahari menaikkan kedua alisnya. Sama sekali tidak mengerti apa yang laki-laki itu maksudkan.

"Pas lo tiba-tiba dorong, lengan gue kena bangku taman," terang Bumi di balik helmnya yang sedikit memutarkan posisi pandangannya ke Matahari.

"Eh,,,iya?" Matahari seolah mendapati batu besar tiba-tiba di atas kepalanya. Tidak habis pikir, ulahnya yang konyol membuat Bumi terluka. Matahari turun dari motor hitam besar itu "Kalau gitu gue minta maaf," ujar Matahari menyodorkan tangannya tepat di depan Bumi.

Bumi hendak melepas helmnya. Rambutnya dibiarkan tersapu angin. Warna hitam agak kemerahan itu nampak jelas terlihat. Meski terlihat acak-acakan, tetap Bumi terlihat tampan.

"Lo lucu ya," ujar Bumi menopang dagunya dengan tangan yang bersender pada motornya. Pandangannya lekat menatap cewek di depannya itu.

"Ih apa sih lo," sebelum Matahari menarik kembali tangannya yang tersodor kurang lebih satu menit, Bumi dengan sigap turun dari motor dan meraih tangan itu. "Gue maafin, tapi ada syaratnya," ucap Bumi membuat suasana menegang di antara keduanya. Apalagi dengan hati Matahari. Seolah kinerja jantungnya memompa lebih kali ini.

"Apa?" Matahari melepaskan genggaman itu dengan keras.

"Lo jadi pacar gue!" bisik Bumi di telinga Matahari.

"Ih apasih lo," Matahari mendorong badan Bumi yang terlalu dekat dengannya.

"Ih apasih lo, ih apasih lo" Bumi memeragakan layaknya Matahari ucapkan. "Dasar cewek," tutur lanjutnya.

Matahari tersenyum manja. Entah, harus marah atau senang. Dalam dirinya, marah dan senang kian tidak ada yang lebih dominan ia rasakan. Semuanya imbang, fifty fifty!

"Ayo lanjut! Bentar lagi nyampe, itu rumah gue," ujar Matahari ngeles ganti topik. Lalu, langsung lari naik di motor, di balik badan Bumi kembali.

"Gue becanda gak usah serius-serius," ucap enteng Bumi dengan sedikit senyum simpulnya.

Apa-apaan ini! Setelah buat perempuan terbang, langsung dijatuhkan ke jurang. Fix, Matahari tidak suka. Untung saja Matahari tipikal cewek yang tidak gampang terbawa perasaan.

TBC

Diketik dengan 1480 kata.

Continue Reading

You'll Also Like

537K 26.2K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
1.3M 97K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
2.5M 126K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
1.3M 118K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...