AORTA

Oleh MarentinNiagara

229K 18.7K 4.9K

-------------------πŸ’ŠπŸ’‰------------------ πŸ‘ΆπŸ‘Ά Duuuhhhhh si imut yang ngegemesin. Bungsu yang akhirnya ikut m... Lebih Banyak

00 β€’ Prolog
01 β€’ Little Crazy
02 β€’ More Than That
03 β€’ Love is Love
04 β€’ Jelajah Rindu
05 β€’ Mimpi Masa Depan
06 β€’ Battle Bro
07 β€’ Cerita Cinta
08 β€’ Strunggle Love
09A β€’ Pengawal Hati
09B β€’ Pengawal Hati
10B β€’ Stupidity
11 β€’ Contemplation
12A β€’ Sacrifice
12B β€’ Sacrifice
13A β€’ Merenda Mimpi
13B β€’ Merenda Mimpi
14A β€’ Try To be Strong
14B β€’ Try To be Strong
15 β€’ Game Over
16 β€’ Emergency Unit
17 β€’ Mencoba Bicara
18 β€’ Menunggu Mukzizat
19 β€’ Gegabah
tok tok tok
11 β€’ Contemplation
12 β€’ Sacrifice
13 β€’ Merenda Mimpi
14A β€’ Try To Be Strong
14B β€’ Try To Be Strong
15 β€’ Game Over
16 Emergency Unit
17 β€’ Mencoba Bicara

10A β€’ Stupidity

5K 761 187
Oleh MarentinNiagara

🍬🍬 ------------------------------
I love without knowing how, when, or from where
------------------------------ 🍬🍬

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار


QIYYA masih berharap ada keajaiban yang bisa mengubah keputusan Hawwaiz. Meski kata orang jarak bukanlah suatu halangan, tapi bagi seorang ibu tetap saja rasanya berbeda. Dekat dengan keluarga di hari tuanya adalah impian setiap orang tua di dunia ini.

"Mas, pernah membaca tulisannya Ali bin Abi Thalib?" Qiyya bertanya sesaat ketika sedang menikmati sarapan pagi bersama Ibnu.

Akhir pekan ini sengaja Qiyya meminta Hanif untuk tidak mengantarkan kembar ke rumahnya karena ada hal penting yang harus dia bicarakan dengan Ibnu tanpa diganggu oleh keberadaan Habeel, Hafsha dan juga Hazwan.

"Tulisan Ali kan banyak, yang mana yang kamu maksudkan, Sayang?" Tidak ada yang berubah dari Ibnu dari awal dia menikah denga Qiyya sampai sekarang intonasi suara untuk istri tercinta selalu sama.

"Didiklah anakmu sesuai zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu."

"Tentang Hawwaiz?" tanya Ibnu, dia kemudian membenarkan letak duduknya dan meminta Qiyya untuk mendekat padanya.

"Anak bungsu itu biasanya manja kepada orang tua, Hawwaiz memang manja tapi dia sangat mandiri karena dia merasa menjadi anak pria yang bertanggung jawab melindungi dua kakak wanita dan juga bundanya," kata Qiyya.

"Dari mana kamu tahu?" Ibnu mengerutkan keningnya.

"Ketahuilah suami Qiyya, ayah dari kelima anak-anak Qiyya, sebagai seorang ibu, Qiyya cukup bisa memahami setiap karakter dari kelimanya. Bagaimana dewasanya Hanif, berusaha menjadi contoh yang baik untuk keempat adiknya, foto kopianmu banget itu, Mas. Hafizh si pekerja keras yang ambisius meski terkesan begitu santai. Almira yang terbuka dan begitu tegas walau terkadang ada sisi manja yang membuatnya selalu ingin diperhatikan. Ayyana yang pendiam dan berusaha bijaksana dalam banyak hal. Dan terakhir Hawwaiz, anak bungsu kita yang selalu Mas Ibnu banggakan dengan sersan mayornya. Serius tapi santai, bersikap manis dan selalu berkoordinasi sebelum melakukan apa pun."

"Lalu?" tanya Ibnu.

"Back to my statement, Mas, didiklah anak sesuai zamannya. Zaman kita berbeda dengan zamannya Hawwaiz. Ini bukan Qiyya ingin membela atau tidak taat kepada Mas Ibnu, bukan. Tapi bertukar pikiran itu tidak ada salahnya, jangan sampai kita nanti menyesal." Qiyya mengusap telapak tangan Ibnu.

"Kemarin Hanif cerita, dia sudah mengubah visanya untuk bisa menetap di sana. Apa Hawwaiz sudah bercerita denganmu?" Ibnu menarik dagu Qiyya yang tiba-tiba tertunduk setelah mendengar pertanyaannya. Satu bulir bening terlihat mengalir di pipi Qiyya yang bisa dikatakan tidak muda lagi.

"Kamu tahu kekhawatiran ibu apa, Mas?" Qiyya menjeda.

"Jauh dari anak-anak mereka." Qiyya menatap Ibnu dalam-dalam.

"Mau sampai kapan kalian saling mempertahankan ego, Mas?" tanya Qiyya pelan.

Ibnu masih bungkam dalam pikirannya. Memilih untuk tetap mendengarkan kalimat yang tersuarakan dari bibir istrinya.

"Mereka berdua ada di Inggris, Mas. Hawwaiz dan Vira ada di sana dan kita berempat tidak bisa memantau apa saja yang mereka lakukan di London atau di Oxford. Rasanya, bertemu dengan Arfan dan Kania bukan hal yang buruk," pinta Qiyya.

Menimbang beberapa saat akhirnya Ibnu menyetujui ide Qiyya dan memintanya untuk membuat janji ketemu di Malang, sekaligus mengunjungi Hafizh dan tentunya si mungil Kabsya.

Sementara di benua berbeda, Hawwaiz juga sedang menikmati akhir pekannya di London. Sengaja mengenakan setelan kasual dengan mantel wol panjang dan syal yang menggantung di lehernya.

Memasuki musim dingin di Inggris bukanlah hal yang baru bagi Hawwaiz tapi kali ini kali adalah musim dingin pertama bagi Vira jauh dari keluarga. Itu sebabnya Hawwaiz berkemas untuk mempersiapkan apa saja yang harus dilakukan Vira juga memenuhi kebutuhan harian jika sewaktu-waktu ada hujan salju yang mengganggu aktivitas di luar rumah.

"Bi, that's so very expensive. Mahalnya seseorang itu bukan karena barang yang dia kenakan. Trust me." Vira menolak pakaian yang dipilihkan Hawwaiz karena dia tahu Hawwaiz pasti akan menolak ketika dia mengeluarkan uang untuk membayar pakaian itu.

"Bukan masalah mahalnya, tapi nyaman atau nggak kamu pakainya. Kalau musim dingin tiba kamu pasti butuh mantel tebal," jawab Hawwaiz.

Tidak ada yang meragukan bagaimana kocek Hawwaiz untuk saat ini. Sebagai seorang influencer, pelaku endorsemen, konten kreator dan juga selebgram dengan jutaan pengikut di beberapa media sosial rasanya bukan hal yang asing lagi bagi orang lain untuk bisa tahu siapa dirinya. Dengan tampilan fisik yang menunjang semakin membuat Hawwaiz melejit sebagai seorang public figure.

Limpahan materi bukan lagi menjadi sesuatu yang perlu dikhawatirkan bagi mereka. Namun, karena Hawwaiz juga harus bersiap membeli tempat tinggal di Oxford membuat Vira lebih cerewet mengingatkan agar selalu berhemat. Melihat penawaran harga rumah di Inggris membuat Vira bergidik ngeri, terlebih di kota London, Cambridge dan Oxford.

"Kita harus berhemat katamu kan, untuk beli rumah," sewot Vira.

"Iya, tapi aku juga nggak mau kamu hipotermia di musim dingin pertamamu," jawab Hawwaiz.

"I can manage my self, Bi." Vira mendesah perlahan.

"Aku belum bisa di sampingmu setiap waktu, El. Please, jangan buat aku semakin khawatir." Hawwaiz kemudian berjalan menuju ke kasir untuk membayar semua belanjaan mereka.

Belum sampai di flat Vira, tiba-tiba cuaca ekstrim menyelimuti pemandangan kota London. Penerbangan ditutup sementara waktu karena jarak pandang tidak memungkinkan untuk melakukan take off atau landing. Semua moda transportasi umum juga delay dengan waktu yang tidak bisa ditentukan karena pengaruh cuaca.

"Bi—" Vira terlihat ketakutan.

"Don't be affraid, I'm here, aku nginep ya?" kata Hawwaiz.

"Hah?" Kedua mata Vira membulat.

"Aku menginap kalau kamu takut," jawab Hawwaiz menenangkan.

"Apa di London sering seperti ini, Bi?"

Hawwaiz mengangkat kedua bahunya tanda tidak mengerti karena sebelum ada Vira, dia sangat jarang berkunjung ke London jika tidak ada keperluan yang begitu mendesak. "Mungkin, tapi nggak terlalu ekstrim. Aku kan tinggal di Oxford, El, mana aku tahu di London seperti apa?"

"Tapi kalau sekarang balik ke Oxford pun juga nggak mungkin, Bi. Transportasi umum lumpuh." Vira kembali mendesah.

"That's why I choose for stay over night here." Hawwaiz segera masuk ke flat Vira setelah pintu terbuka.

"At my flat?" tanya Vira memastikan.

"Yes, of course, where's else?" Hawwaiz duduk di sofa yang ada di flat.

Vira masih menimbang, walau hanya semalam tinggal satu atap bersama pria yang sangat dikenalnya, rasa risi itu jelas sekali kentara.

"Kan ada hotel," jawabnya.

Vira membuka tirai di sebelah tempat tidurnya. Terlihat angin semakin kencang berembus.

"Badai di luar, El, I'm lazy to find some hotel." Hawwaiz berpindah untuk merebahkan tubuhnya di pembaringan milik Vira.

Apartemen studio yang disewa Vira hanya memiliki satu kamar tidur. Jika Hawwaiz menginap, tentu saja salah seorang di antara mereka harus ada yang mengalah tidur di sofa.

Lelah yang mendera dan rasa kantuk yang tidak lagi bersahabat membuat kedua mata Hawwaiz mengatup seketika. Berlayarlah dia ke peraduan mimpi terindah.

Kantung mata, perubahan fisik Hawwaiz yang begitu terlihat kurus, tak terawat dan kusam, membuktikan bahwa Hawwaiz memang benar kelelahan. Dia harus bekerja sementara tugas belajarnya bukan hanya menggantungkan atas nasib baik atau keberuntungan tanpa usaha. Jelas, mata panda itu berbicara bahwa dia dipaksa bekerja melahap deretan kalimat yang harus dituntaskan untuk diketahui oleh calon dokter ini.

Beberapa jerawat muncul di wajah berahang tegas milik Hawwaiz, lalu rambut-rambut tipis di sekitar rahang yang sepertinya sengaja dibiarkan tumbuh atau semua itu menandakan bahwa dia melupakan daily routine untuk membersihkan mukanya. Vira memperhatikan, menikmati sejenak tarikan napas teratur dengan dengkuran halus hingga gawainya berbunyi dan nama miminya tertera di sana.

Sedikit menjauh dari Hawwaiz, bermaksud supaya percakapan Vira dengan orang tuanya tidak mengganggu tidur Hawwaiz.

"Kamu di mana, Dik?" tanya Kania.

"Di flat, Mi, ada badai di luar. Tadi baru saja belanja pakaian musim dingin dan beberapa kebutuhan lainnya."

Bertukar kabar dan yang lebih penting adalah memastikan keadaan Vira pada perubahan musim yang sedikit lebih ekstrim saat ini. Awalnya semua percakapan terasa begitu ringan hingga sampai pada saatnya Kania berbicara hal yang lebih privasi kepada Vira.

"Hawwaiz tidak pernah bersikap kurang ajar kepadamu kan, Dik?" kata Kania.

"Maksud Mimi?" Vira mengerutkan keningnya.

"Mimi dan Pipi nggak bisa kontrol kalian. Tante Qi dan Om Ibnu juga sama. Kami bisa memahami tapi ada hal yang ingin Om Ibnu pastikan atas Hawwaiz," cerita Kania.

"Oh jadi Om Ibnu menemui kalian, Mi?" Vira tersenyum sekilas bersamaan dengan jawaban Kania yang menceritakan keduanya baru saja pulang.

"Sebenarnya maksud Hawwaiz itu baik lho, Mi. Mimi sendiri tahu kan, dia datang langsung ke Pipi untuk memintaku. Lalu salahnya di mana?" Vira mulai berpendapat.

"Nggak salah, tapi selama Om Ibnu belum memberikan restunya, Pipi juga nggak akan mau menikahkan kalian." Kania menggelengkan kepala.

"Mi, tapi bukankah menikahkan anak itu adalah tugas seorang ayah kepada putrinya?"

"Jangan membantah, Dik!" jawab Kania tegas.

"Almira sudah akan punya anak, Aira juga sama, lalu ketika aku telah menjatuhkan hati mengapa kalian justru membuatnya menjadi rumit? Apa kalian lebih senang melihat aku membujang lama seperti halnya Kak Aftab dulu?" Vira bicara dengan nada sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.

"Astagfirullah, ini masalahnya ada di Hawwaiz," jawab Kania.

"Apa yang salah dengan Hawwaiz? Dia memang lebih muda dariku tapi bukan berarti dia nggak dewasa. Kalian salah selama ini," desah Vira.

"Dengan memutuskan untuk menjauhi keluarganya, kamu bilang itu adalah sikap pria dewasa?" Kania tidak mau kalah, dia bicara lebih tegas lagi dari sebelumnya.

"Mi, masalahnya kan—"

"Mengapa sekarang kamu jadi nggak nurut seperti ini sih Dik?! Apa semua karena Hawwaiz?"

Vira menghela napas sejenak perdebatannya dan sang ibu membuat mata Hawwaiz terbuka. Meski samar dan setengah tersadar Hawwaiz bisa mengira-ngira dengan siapa dan apa saja yang dibicarakan mereka.

Entah mendapat dorongan kekuatan dari mana, Hawwaiz bangkit lalu berjalan mendekati Vira tanpa diketahui. Niat hati sesungguhnya ingin memberikan dukungan untuk Vira, sayangnya ketidaktahuan Vira membuatnya terkejut dan melontarkan ucapan yang sebenarnya biasa saja tapi menjadi luar biasa mana kala teleponnya masih tersambung dengan sang ibunda.

"Astagfirullah Bi. Please, your hands make me ticklish. Why are you awake?" tanya Vira.

"You are noisy," bisik Hawwaiz tapi masih cukup terdengar melalui sambungan telepon.

"Bilal—" Nada manja dari suara Vira saat Hawaiz mengusap pucuk kepalanya membuat helaan napas dari seberang telepon yang akhirnya membuat Vira berjingkat dan menutup teleponnya beberapa saat.

Vira mendesah perlahan, Kania pasti mendengar percakapannya dengan Hawwaiz. Dengan sedikit takut gadis itu mencoba untuk menjelaskan kepada miminya. "Mi, ini nggak seperti yang Mimi—"

"Katakan kepada Mimi, Hawwaiz ada di flatmu, Dik? Dia menginap? Ini sudah malam, sekarang jam berapa? Apa yang kalian perbuat di sana?"

"Mi ...."

Rentetan pertanyaan itu mungkin akan membuat Vira dan Hawwaiz terjaga hingga pagi. Panggilan suara itu pun berubah menjadi video yang akhirnya membuat Vira mau tidak mau menyorotkan kamera kepada Hawwaiz.

Meski Hawwaiz memiliki paras tampan dan juga good looking, tapi tetap saja orang bisa membedakan dengan penglihatannya bahwa pemuda itu baru saja terbangun dari tidurnya.

"Tunggu jangan dimatikan, Pipi harus tahu masalah ini!" perintah Kania.

Tidak perlu lagi bertanya berapa beats per minutes yang kini dirasakan oleh Elvira Maritza Aldebaran. Ketakutan, kekhawatiran, semua bercampur jadi satu. Begitu juga dengan Hawwaiz. Pemuda itu masih terlihat sangat kaget dengan apa yang terjadi. Dia menggaruk kepalanya yang membuat rambutnya semakin berantakan.

Hanya karena badai dan tidak ingin meninggalkan Vira ketakutan sendiri di flat menjadi alasan sesungguhnya. Padahal tubuhnya meminta segera diistirahatkan setelah beberapa minggu ini digempur dengan banyak kegiatan. Ujian di kampus, pekerjaan sampingannya juga kebutuhan konten untuk mempertebal dompetnya. Hampir satu bulan terakhir ini Hawwaiz hanya memejamkan matanya rata-rata 4 jam sehari.

"Dik, mana Hawwaiz?" Suara sekaligus wajah Arfan terlihat di gawai. Tidak ada lagi senyuman hangat seperti biasanya ketika bertemu dengan Hawwaiz.

"Bi, Pipi ingin bicara." Gawai pun berpindah tangan.

Pria, pantang bersikap sebagai pengecut. Hawwaiz harus menghadapi semuanya meski mungkin yang ada di dalam pikiran mereka tidak seperti kenyataan yang terjadi di antara dia dan Vira.

"Iz, Om nggak pernah berpikir buruk tentang kamu sedikit pun bahkan sampai detik ini. Namun, melihat kamu ada di flat Vira selarut ini, kamu pikir apa yang ada di otak kami sebagai orang tua? Apa?!" Terlihat Arfan berusaha menguasai diri untuk menahan amarahnya.

"Maaf, Om, Om Arfan jangan salah paham dulu. Hawwaiz bisa menjelaskan semuanya." Hawwaiz bicara dengan sopan.

"Penjelasan seperti apa? Kamu akan bilang kalian nggak ngapa-ngapain? Itu hanyalah alasan klise," jawab Arfan.

"Pi, beri kesempatan pada Hawwaiz untuk bicara." Vira yang sangat paham situasi dan mencoba menjadi air di antara percakapan Hawwaiz dan pipinya.

"Diam, Dik. Pipi sedang bicara dengan Hawwaiz bukan denganmu!" Bukan lagi aura hangat, Arfan sepertinya sudah mendidih. Biasanya tidak pernah bicara sekeras itu kepada Vira tapi kali ini suaranya terdengan sangat jelas, keras dan tegas.

"Adik bukan prajurit, Pi." Lirih bibir Vira bergumam. Hawwaiz yang masih bisa mendengarnya hanya memandang dan memintanya diam dengan isyarat mata.

"Iya, Om, saya."

Tidak ada jawaban dari Arfan, artinya Hawwaiz harus segera bersuara kembali untuk menjelaskan. Namun, di saat yang sama Arfan justru membuat bibir Hawwaiz terkatup kembali.

"Kalau kalian nggak bisa menjaga, Vira nggak perlu bekerja jauh-jauh. Pipi masih bisa memberikan apa yang dia inginkan. Tulis surat resign dan pulang kembali ke Indonesia." Tidak lagi ingin mendengar alasan, Arfan hanya menginginkan putrinya tidak salah melangkah.

"Om, ini nggak adil untuk Vira. Klise memang tapi kami berdua memang tidak ngapa-ngapain. Sore ini ada badai, kebetulan akhir pekan ini saya menyempatkan diri ke London untuk menemani Vira belanja persiapan musim dingin. Karena kecapekan saya langsung tidur. Sumpah demi Allah, Om, saya nggak menyentuh Vira sedikit pun," jelas Hawwaiz.

"Bukan masalah menyentuhnya, kalian berdua di dalam flat itu saja keliru. Adik, siapkan surat resign. Pipi yang akan bayar punishment dan kompensasinya, besok Pipi kirim tiket untuk kembali ke Indonesia!"

"Pi, semua bisa dibicarakan, jangan main grasa-grusu seperti ini. Adik berjuang lho untuk bisa di titik seperti ini." Vira tidak bisa menerima setelah susah payah dia bisa menggapai mimpinya.

"Pipi justru selalu berjuang untuk menjagamu."

"Pi, Hawwaiz dan adik nggak ngapa-ngapain. Pipi jangan egois."

"Pipi egois? Dari mana kamu belajar mengenal kata itu? Sekarang jelaskan kepada Pipi, sisi mana yang disebut Pipi egois?"

"Vira ingin bekerja, Pi."

"Apa Pipi melarangnya?" tanya Arfan dengan seringainya.

Vira menggelengkan kepala. Arfan memang tidak melarangnya bekerja.

"Lalu—?" kata Arfan.

"Pipi tidak melarangnya, memang. Namun, hanya karena mengetahui Hawwaiz tertidur di flat Adik, lalu Pipi bersikap seperti ini. Semua bisa dibicarakan dengan baik kan, Pi?"

"Om, sedari awal saya memang ingin serius. Om Arfan sendiri telah mengetahuinya. Nggak mungkin saya akan mengambil sesuatu yang memang belum menjadi hak saya," bela Hawwaiz.

"Siapa yang tahu? kalau Tante Nia nggak menelepon, apa kami tahu kalau kalian sedang berdua?" tanya Arfan.

"Pi, Hawwaiz benar. Kami tidak melakukan apa pun." Vira masih membela Hawwaiz karena keduanya tidak melakukan hal-hal yang belum seharusnya dilakukan.

"Apa pun itu, kalian keliru dan Pipi nggak akan memberikan toleransi. Ingat, Dik, Pipi masih punya hak menentukan masa depanmu juga untuk menentukan dengan siapa kamu menikah. Tapi apa Pipi melakukannya?" tanya Arfan.

Vira dan Hawwaiz sama-sama tidak menjawabnya.

"Kamu tahu kenapa? Karena Pipi nggak ingin menjadi manusia yang egois," tambah Arfan.

"Kalau begitu nikahkan kami berdua, Pi." Air mata kini mulai menetes di pipi Vira. Kesalahpahaman ini sepertinya semakin meruncing dan apa lagi kekuatan wanita saat-saat terakhir selain air mata?

"Mahalkan harga dirimu, Dik! Pipi tidak pernah mengajarkanmu seperti itu," bentak Arfan.

"El, jangan seperti itu. Beliau ayahmu, kamu harus tetap menghormatinya," cegah Hawwaiz.

"Sudahlah Bi, biarkan aku bicara dengan Pipi. Kamu bilang kita harus berjuang bersama bukan?" Vira berucap kepada Hawwaiz yang membuat pemuda itu hanya memandang tanpa bisa berucap sepatah kata pun. "Nikahkan kami berdua, Pi. Agar kalian nggak khawatir lagi. Sama-sama harus resign dari pekerjaan, kan?"

Arfan berdeceh sesaat lalu menggelengkan kepalanya, seolah tidak lagi mengenali siapa yang kini sedang diajaknya bicara.

"Kalau Pipi merasa nggak egois, nikahkan kami berdua." Suara Vira tak lagi sekencang sebelumnya bahkan kini terdengar sangat bergetar karena dia berbicara sambil menangis.

"El, minum dulu." Hawwaiz menyerahkan satu gelas air kepada Vira bersama tisu untuk menghapus air matanya.

Jika sudah halal ingin rasanya memeluk dan meminta seluruh beban yang kini menyesak di dada Vira, tapi sekarang apalah daya ditambah aktivitas mereka dipantau langsung oleh seorang Arfan Aldebaran. "Biar aku yang bicara dengan pipimu."

Hawwaiz dan Arfan kembali berhadapan, "Om, mengenai hal ini saya minta maaf, saya salah, Vira juga salah, kami berdua salah. Kami minta maaf, hanya saja saya boleh menegaskan bahwa tidak ada yang kurang dari Vira. Saya hanya numpang istirahat, itu saja." Bagi Hawwaiz tidak akan ada penyelesaian jika semua menginginkan apa yang dikehendaki terpenuhi. Terlebih mereka hanya tersambung melalui telepon meski bisa saling memandang tapi jauh panggang dari api.

"Bi—?!" Vira menatap Hawwaiz nanar, maksudnya bukan seperti yang diucapkan Hawwaiz. Vira ingin Hawwaiz juga berjuang bukan malah mengakui kesalahan.

Memejamkan mata sejenak sambil menggelengkan kepala, cukup memberikan isyarat kepada Vira untuk tidak lagi melanjutkan bicaranya. "Tolong jangan meminta Vira untuk resign dari pekerjaannya, Om. Itu salah satu mimpi besarnya."

"Tidak! Adik resign, Pipi nggak percaya lagi. Pekerjaan nggak hanya di sana saja, di Indonesia, di dekat kami juga masih banyak peluang kerja," tegas Arfan.

"Pipi—" bantah Vira.

"Om Arfan tolong, jangan renggut mimpi Vira hanya karena masalah ini."

"Pipi egois!" Sekali lagi Vira melontarkan kalimat pendek itu untuk memprotes sikap pipinya.

"Ok, pilihannya adalah Vira resign kembali ke Indonesia atau dia tetap bisa bekerja tapi jauhi anak Om!" pungkas Arfan

"Om, bagaimana mungkin? Saya nggak mungkin bisa menjauhi Vira, bagaimana saya hidup?" Hawwaiz terkejut seketika. Sementara di saat yang bersamaan Vira juga mengungkapkan keberatannya. "Pi, Pipi pernah muda nggak sih?"

"Bagaimana kamu hidup ya bukan urusan Om, Iz."

"Mengapa Pipi menjadi egois seperti ini, Vira bukan prajurit Pipi dulu yang hanya bisa berkata siap, Ndan."

"Elvira!" cegah Hawwaiz.

"Cukup Bi, capek akunya begini terus." Vira langsung menolaknya.

"Iya tapi jangan bicara seperti itu kepada orang tuamu, aku juga nggak akan setuju."

Perselisihan itu semakin meruncing manakala suara Arfan kembali menengahi perdebatan mereka. "Sama seperti Mas Ibnu, Om juga minta kamu menjauhi Vira, Iz. Dulu Aftab juga seperti itu. Keluar dari flat anak Om malam ini juga, atau besok Om sendiri yang akan menjemput Vira di London!" perintah Arfan.

"Pi, mengapa jadi mengikutsertakan Kak Aftab dan Mbak Ayya? Mereka sudah bahagia dan kami punya jalan cerita sendiri." Vira tetap bertahan.

"Benar, Om, tolong jangan samakan kami dengan mereka," pinta Hawwaiz.

"Iz, coba kamu pikir ulang apa yang diinginkan daddymu dulu pada Aftab." Arfan tersenyum kecut.

"Om tetap nggak terima kamu memperlakukan Vira seperti sekarang! Jauhi dia sekarang juga!" lanjutnya.

"Om, mana bisa begitu. Hawwaiz nggak mungkin bisa jauh dari Vira, nggak!" tolak Hawwaiz.

"Pi, sudah. Ini di London masih malam, bahkan masih tengah malam, istigfar. Hawwaiz sebaiknya kamu nyari penginapan di London jangan menginap di flat Vira." Kania menyudahi perdebatan mereka.

Melihat kondisi Arfan yang sudah tidak bisa bicara dengan tenang membuat wanita itu harus segera mengambil sikap. Sambungan video call dimatikan, kini hanya ada Hawwaiz dan Vira yang tersisa dengan lelehan air mata yang entah seperti apa. Vira sendiri semakin tidak peduli seberapa mahal harga dirinya sebagai wanita.

Hawwaiz masih meredam emosinya, ucapan Arfan yang terakhir kali cukup menyentil relung hati terdalamnya. Tidak ada yang salah, justru semua benar adanya. Dan jika ada benang merah yang bisa diambil semua berawal dari sang daddy dengan dalih ingin yang terbaik untuk semua anaknya. "Daddy—!" Hawwaiz mengepalkan tangan kuat-kuat.

Mata Hawwaiz bergerak saat lirih suara Vira memanggil namanya. "Bi—" masih dengan getar yang sama, Vira juga berusaha meredam untuk menguasai emosi hatinya.

"Apa? Kamu butuh sesuatu?" jawab Hawwaiz.

"Apa karena Pipi kamu akan meninggalkanku?" Keduanya saling menatap. Masih ada titik air mata yang belum mengering di pipi Vira. Ingin rasanya Hawwaiz mengambil semuanya, menghapus semua yang ada tapi bagaimana mungkin dengan keadaan mereka saat ini. "Aku lelah dengan semuanya, atau memang benar ucapanmu dulu agar mereka menikahkan kita."

"Ucapanku dulu?" Hawwaiz menunjuk dirinya sendiri, mengingat ucapan apa yang telah dia sampaikan kepada Vira untuk membuat orang tua mereka merestui. "Ucapan yang mana?"

"Impregnate me now!"

"Jangan gila kamu, El. Kalaupun toh aku mampu melakukannya sekarang aku nggak akan mau. Karena aku ingin menjagamu sesuai dengan janjiku kepada kedua orang tuamu."

"Aku lelah—" Bukannya berhenti menangis, Vira justru semakin histeris.

Berniat ingin meredam suara tangisnya sendiri tapi justru membuat sesak di dadanya semakin menjadi hingga terdengar senggukan dan tak lagi berpikir panjang Hawwaiz hanya ingin memberikan perlindungannya. Mencoba mengeja arti kata perhatian dengan memberikan sepenuhnya tanpa melihat lagi apa yang sesungguhnya menjadikan batas antara mereka.

Kedua tangan kokoh itu akhirnya merengkuh Vira ke dalam pelukannya. Mencoba memberikan ketenangan meski dalam hatinya sendiri bergolak, sikap yang tidak seharusnya dia lakukan. Yang semakin menambah masalah adalah sikap Vira yang seolah justru semakin masa bodoh dengan skinship yang mereka lakukan. Memberikan free pass dengan berbalik memeluk Hawwaiz semakin erat. Menumpahkan semua air mata di dada sang pujaan hati hingga dia merasa lega.

Pertama kalinya mereka bersentuhan. "Aku harus mencari hotel, El, kalau kamu seperti ini mana mungkin aku tega meninggalkau sendiri." Hawwaiz berucap lembut sembari mengusap kepala Vira.

"Jangan, jangan tinggalin aku. Aku nggak mau sendirian di flat, Bi. I need you."

Hawwaiz baru melihat sisi manja dari wanita yang selalu dilihatnya mandiri ini. Meski dengan tangan bergetar dan hati yang tak kalah berdebar, skinship yang mereka lakukan jelas memberikan pengaruh yang sangat berarti bagi Hawwaiz. Niat hati yang awalnya hanya ingin menenangkan saja akhirnya tidak bisa dipungkiri hasrat yang selama ini terpendam sampai juga ke permukaan.

Bahkan hanya dengan saling menatap, berniat hanya untuk bisa menguatkan, saling melindungi, nyatanya tatapan mereka justru semakin memantik ingin yang selama ini tersembunyi. Berawal dari mata lalu turunlah ke hati, ah bukan, nyatanya berawal dari tatapan mata rekah bibir Vira terlihat semakin ranum. Hingga kesadaran Hawwaiz yang semakin menipis disambut gembira oleh kawanan syaitan nirojim.

"Jangan salahkan aku jika aku menginginkannya malam ini," kata Hawwaiz parau.

Kelopak mata Vira yang mulai tertutup membuat akses Hawwaiz semakin leluasa untuk bisa mengeksplore apa yang ada di dalam pikirannya. Pada akhirnya embusan napas tipis itu beralih menjadi tuntutan untuk melakukan lebih dalam lagi. Tidak hanya Hawwaiz, justru Vira yang terlihat lebih menikmati sentuhan itu. Sampai bukan hanya bibir saja yang bermain, refleks tangan Hawwaiz pun ingin mengambil bagian untuk memeriahkannya.

Dan saat keduanya meraba bagian sensitif, seketika akal normal Vira kembali menyapa. Menghentakkan tubuh Hawwaiz dengan seketika. Dahaga belum sepenuhnya tersirami sudah harus terputus di tengah jalan.

"El—" Sorot mata Hawwaiz berkabut gairah. Seketika kedua tangan Hawwaiz meraih dagu Vira, mendekatkan bibir mereka kembali dan hendak merasakan penyatuan saliva untuk kedua kalinya. Sayangnya tangan Vira lebih cepat melayang hingga mengenai pipi Hawwaiz dengan keras.

Plakk!!

"As you wanna, I will impregnate you tonight. Lupakan Daddy, Bunda, Pipi, dan Mimi, malam ini milik kita berdua bukan?" bisik Hawwaiz dengan suara mendesah.

"Jangan gila kamu, Bi!" tolak Vira.

"Kamu yang membuat aku menjadi tergila-gila. Jika kita sudah jujur tapi mereka tetap menuduh kita melakukan sesuatu, mengapa nggak kita lakuin saja apa yang mereka tuduhkan itu? Aku mencintaimu Elvira Maritza Aldebaran. Aku menginginkanmu malam ini untuk menjadi satu-satunya wanitaku dengan menerimaku sepenuhnya," kata Hawwaiz.

Mungkin bumi salah berputar arah, mungkin dunia tak lagi gempita menyambut gurat keemasan saat mentari mulai menampakkan sinarnya.

"You have to go! Go! Go, Bi, ini salah. Kita telah keliru." Vira kembali menangis tapi Hawwaiz semakin menuntut.

"Remember my words, don't ask me to leave because once I leave you then I won't to turn back again."

"Bilal Hawwaiz—"

"I love you, El and I want you now." Desah napas Hawwaiz semakin memburu meminta Vira untuk memenuhinya.

Seolah Vira lupa siapa yang memulai, membangunkan singa kelaparan di tengah hutan lalu berusaha untuk menghempaskannya.

May the universe give miracles to humans who try to remember even in an injury time.

☼☼

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 19 Februari 2024
*sorry for typo

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

5.4M 394K 55
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
256K 11.7K 17
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓡𝓲𝓼π“ͺ𝓷�...
497K 18.7K 33
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
5.5M 306K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...