Trust

By dhitapuspitan

4.2M 273K 8K

Hidupnya indah, pada masanya. Satu masalah datang membuatnya bertransformasi menjadi dia yang lain, yang tak... More

Trust x 1. Ratinka Mara Derisha
Trust x 2.
Trust x 3.
Trust x 4.
Trust x 5.
Trust x 6.
Trust x 7. Hujan
Trust x 8. Yang Dulu
Trust x 9.
Trust x 10. Penasaran
Trust x 11.
Trust x 12. Sebuah Senyuman
Trust x 13.
Trust x 14. Peringatan Bukan Ancaman
Trust x 15. Menjauh
Trust x 16.
Trust x 17.
Trust x 18. Berawal dari Cotton Candy
Trust x 19. "...orang itu kamu."
Trust x 20. "Trust"
Trust x 21.
Trust x 22.
Trust x 23. Perbincangan Kecil
Trust x 24. Cintaku
Trust x 25.
Trust x 26. Jika Terlalu Sulit Untuk Dikatakan
Trust x 27. I Do
Trust x 28.
Epilog
Extra
Hey, How Are You?
#1 - Ratinka Mara Derisha
#2 - The Lost Book
#3 - Black Out
#5 - When The Invisible One Got The Spotlight
#6 - On The Same Car
#7 - Guessing
#8 - Things Won't be Easy Anymore
#9 - What's The Point?
#10 - Is That a Threat?
#11 - Open Up
#12 - Don't Judge A Book by Its Cover?
#13 - A Warning
#14 - Wall Up (Again)
#15 - All Silent
#16 - A Plan
#17 - Apologize
#18 - Arrested
#19 - Home?
#20 - Awkward
#21 - The Truth
#22 - At Least That's What I Hope
#23 - Regret

#4 - Curious Dana

1.7K 230 16
By dhitapuspitan

"Liat kan, anak orang kena batunya gara-gara kelakuan kamu. Masih untung satu, gimana kalo sepuluh? Sepuluh-sepuluhnya juga kamu bawa ke sini?"

Dana memejamkan mata bosan, "Udah kenapa sih? Capek dengernya."

"Ya kalo gitu kamu harusnya juga capek ngelakuin hal-hal nggak guna kayak gini."

"Udah dong, kalian tuh adik-kakak nggak ada akurnya sama sekali lho," Dokter yang menangani cewek yang kini terbaring di atas tempat tidur bangkit. Menghela napas pada keduanya, memaklumi dengan kelakuan Tamara yang cerewet terhadap adik satu-satunya dan Dana yang memang keras kepala.

"Ya nggak bisa sesantai itu lah, Mbak. Coba kalo yang jadi korban kenakalannya nggak cuma perempuan ini, apa Dana mau tanggung jawab gitu aja? Nggak mungkin. Tipe-tipe kayak Dana gitu, nggak ada yang bisa diandelin dari dia."

Dana menaikkan alis mendengar cibiran kakaknya. Ia tak memperdulikan, dan kembali memandang tempat tidurnya yang penuh. "Jadi dia gimana?"

Dokter Nita, selaku kakak kandung dari Dimas yang berstatus suami Tamara kembali menatap Mara yang terbaring di atas ranjang. Sebuah luka di dahi cewek itu kini telah diobati, perban putih menempel di sana. "Dia baik-baik aja kok, luka di dahinya cuma luka kecil jadi nggak perlu di jahit."

Dokter Nita beralih membereskan perlengkapan yang sebelumnya ia bawa. "Ya udah kalo gitu, aku balik ke rumah sakit ya? Nggak pa-pa kan ditinggal? Kamu jagain dia ya Dan,"

Dana mengangguk dan ikut bangkit dari duduknya.

"Makasih ya, Mbak. Aku anter ke depan," Tamara juga mengangguk, mengikuti Dokter Nita dari belakang keluar kamar Dana. Namun, wanita itu menolehkan kepalanya kembali ke Dana dan berkata, "Aku sekalian jemput Kikan dari les, urus temen kamu."

Dana tak mengubris. Ia malah menghela napas, lalu kembali menghempaskan tubuhnya di atas sofa kamar yang ia tempati tadi. Menopang kepala dengan sebelah tangannya, mata cowok itu memandang Mara yang terbaring di atas ranjangnya. Dana terbayang kembali kejadian sore tadi, kalau saja teman-temannya tidak tiba-tiba datang entah darimana untuk membantunya, mungkin dia dan Mara tidak dengan keadaan baik-baik aja selain lebam-lebam yang mungkin lebih parah dari yang Dana dapat sekarang.

Tapi, Mara yang lebih parah. Jatuh pingsan dengan luka di dahi.

Sedikit rasa bersalah muncul karena sadar akan omongan kakaknya ada benarnya. Tapi, kenapa Mara bisa ada di gang itu? Apa cewek ini nggak tau ada tawuran di sekitar sekolahnya?

Dana mendecak lagi, menghela napasnya lagi. Bahkan hampir memejamkan mata untuk ikut tidur, sebelum matanya menangkap pergerakan dari Mara. Dana lantas bangkit dari rebahannya dan duduk semestinya untuk memperhatikan Mara.

Mata cewek itu mengerjap disertai kernyitan di dahi, yang bisa Dana pastikan adalah Mara pasti merasa sakit di sekujur tubuh, hal itu membuatnya ikut mengernyit sedikit simpati. Apalagi melihat mata Mara terbuka dan langsung menatap ke sekeliling kamar yang pastinya terlihat asing untuk dirinya, kamar bercat abu-abu yang cukup berantakan dengan pakaian-pakaian dan buku-buku yang berserakan yang jelas-jelas bukan miliknya.

Lalu, yang Dana lihat lainnya adalah tangan Mara naik untuk menyentuh perban di dahi. Dengan sekali lagi melemparkan tatapan menyelidik ke seluruh ruangan, raut wajah cewek itu semakin terlihat bingung. Seakan bertanya, gue dimana?

"Lo di rumah gue," ucap seseorang yang lantas membuat Mara menolehkan kepalanya ke sumber suara. Mara melotot seketika. Cewek itu buru-buru bangkit dari tidurnya, dan seketika merasakan sakit menjalari punggungnya. Bangunnya tertahan, ia meringis pelan sambil memegangi punggungnya.

Dana yang melihat itu sedikit mengernyit ngilu, ia bisa merasakan apa yang Mara rasakan karena Dana sudah biasa. Tapi, untuk ukuran Mara yang merupakan seorang cewek, yang artinya tak terbiasa dengan kekerasan, hal barusan pasti lumayan sakit.

"Sakit?"

"Kenapa gue bisa di sini?"

Dana menatapnya. "Lo pingsan. Well.., karena ada yang tiba-tiba ngelempar batu bata ke punggung lo."

Mara terdiam menatapnya, matanya menyipit, sementara Dana jadi risih. Dan selama itu otaknya menyelami memori kejadian sore tadi ketika ia pulang sekolah, menghiraukan gosip tawuran yang beredar dari mulut ke mulut, lalu nekad pulang dan berakhir cukup buruk.

Bisa saja berada di kamar seorang Dana bisa dikategorikan buruk bagi cewek lain, namun Mara di sini, mengategorikannya sebagai hal yang cukup buruk.

Mara melirik dirinya sendiri, lalu bernapas lega ketika melihat pakaiannya masih lengkap. Tapi, sesuatu memberatkan dahinya membuatnya lagi-lagi menaikkan tangan untuk menyentuh perban di sana. Ketika mulutnya membuka untuk bertanya, Dana mendahului.

"Waktu dilempat batu bata, dahi lo... kejedot."

Mara memejamkan matanya, lalu menarik napas pelan.

"Tapi seenggaknya gue udah bilang lo buat lari, ya tapi... lo nggak lari," tambah Dana lagi yang malah terdengar canggung.

Mara mengangkat kepalanya, kedua alisnya naik dengan sedikit siratan jengkel di wajahnya. "Lo pikir gue bisa mikir buat kabur gitu aja? Sementara lo narik gue tanpa gue napas sedikit pun, dan banyak anak-anak dari sekolah lain yang bawa alat macem-macem. Kayak... pentungan? Gir?"

Di samping niatnya yang ingin membalas bahwa cewek itu tak perlu memikirkan posisinya karena ia sudah biasa menghadapi situasi seperti itu. Senyum jenaka malah muncul di wajah Dana mendengar itu. "Well, seneng dengernya lo mikirin keadaan gue."

Sementara Mara malah menatapnya seakan tak percaya, dan senyum tadi masih tercetak di wajah Dana, membuat Mara mendesah. Cewek itu mengusap wajahnya frustrasi sebelum kembali menatap cowok itu. "Oke," katanya, "Thanks, udah tanggung jawab," lanjutnya lagi sebelum bangkit hati-hati sambil menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya.

Mengingat banyak hal yang hilang di sekitar tubuhnya, cewek itu kembali menatap Dana. "Dimana sepatu gue?"

Dana menunjuk samping pintu.

"Tas?"

Dana menunjuk meja di samping komputernya. Namun ketika Mara mengambil satu persatu barangnya dengan terburu-buru, ia bertanya, "Mau ngapain?"

Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, Mara malah menggeleng, melanjutkan langkahnya keluar kamar Dana tanpa berpikir bahwa bisa saja ada orang lain di rumah besar cowok itu. Tapi kenyataanya, Mara tak menemukan siapapun ketika ia keluar dari sana, rumah itu sepi, dan hal itu membuatnya bernapas lega. Namun, satu tarikan di lengannya membuat ia berbalik.

"Mau kemana lo?"

Melirik sekilas, Mara kembali melanjutkan jalannya. "Pulang," jawabnya, ia harus cepat-cepat keluar dari rumah cowok itu.

Dana mengernyit, tangannya menarik lengan Mara lagi. "Badan lo masih sakit kan?"

"Gue bisa jalan," jawab cewek itu pendek, ia menghentakkan lengannya pelan agar pegangan Dana terlepas.

Dana mendesah. "Biar gue anter pulang," katanya.

Mara mengernyit menatapnya. "Gue bisa pulang sendiri."

"Gue anter lo pulang," nada bicara Dana terdengar final.

Mara menggeleng. "Gue bisa pulang sendiri," ulangnya sedikit jengkel, langkahnya ia percepat untuk melewati setiap ruangan menuju pintu utama dimana ia bisa membebaskan diri dari rumah itu. namun lengannya lagi-lagi ditarik, kali ini terkesan lebih kasar seakan yang menarik lengannya tak lagi sabar menghadapinya.

"Gue yang bawa lo ke sini, jadi gue yang anter lo pulang. Ngerti?"

Tatapan tajam yang di berikan Dana entah mengapa membuatnya tak bisa berkutik. Yang bisa ia lakukan balik menatap dengan sedikit rasa terintimidasi, namun tatapan mata mereka terputus ketika cowok itu menarik lengannya mengikutinya keluar rumah menuju mobil.

***

Mara memeluk tasnya sambil kepalanya menghadap jendela. Sambil bersender, matanya melirik jalan raya ke arah rumahnya.

Dana meliriknya berkali-kali di samping dirinya mengemudikan mobil. Mara diam sedari tadi, dan hal itu malah membuat Dana tak hanya memfokuskan diri pada jalanan di hadapannya tapi juga pada Mara. Entah apa yang membuat cewek itu keras kepala, atau bahkan terlihat membencinya, Dana tak tahu.

Tapi satu yang pasti, rasa penasarannya semakin muncul untuk tahu tentang cewek di sebelahnya lebih dari yang ia tahu sekarang.

"Stop-stop!"

Satu suara menyentakkannya, Dana mengernyit. "Yang mana rumah lo?"

"Berhenti aja di sini."

Dana akhirnya mengerem mobilnya hati-hati hingga berhenti di pinggir jalan raya yang luas dan tak ada satu pun rumah ada selain ruko ataupun warung-warung di sekitarnya. Jadi, yang mana rumah Mara?

Lalu, satu tebakkan muncul di otaknya.

"Berhenti di sini terus lo jalan sampe rumah lo gitu?"

Mara menyipitkan mata kesal, ia mulai tak sabar. "Lo tuh kenapa sih?!"

"Elo yang kenapa! Lo masih nggak percaya sama gue? Denger, gue bukan orang jahat yang mesti lo waspadain untuk nggak ke rumah lo. Gue nggak akan rampok rumah lo, mau itu rumah lo gedongan atau sampe gubuk reyot sekalipun." Dana mendesah pelan, "Atau ada lagi? lo mikir gue mau macem-macem sampe di sana? Niat gue Cuma satu, nganterin lo pulang dengan selamat. Karena lo kayak gini sendiri itu karena gue," katanya, "Jadi bisa nggak, lo duduk manis aja di sini sambil tunjukkin gue jalan rumah lo kemana?"

Satu sentakan tadi membuat Mara terdiam dengan sedikit rasa bersalah dalam dirinya. akhirnya ia menjawab, "Lurus aja, sampe ada perempatan belok kiri."

***

Now it's time for me to introduce... Ardana Dika Mahesa or the one you always call by Dana. Baru ngeh juga namanya ada Ardan Ardan-nya (if you know what I mean hahaha). let's hope this guy not ruin you imagination about Dana. But if it is, kalian boleh pake siapapun yang menurut kalian cocok jadi Dana buat gambaran selama kalian baca cerita ini <3

Once again, don't forget to add this book  on your library, give vote/comment if you like, and follow this account. ofcourse you can follow my main account too, it's dhitapuspitan on ig. See you on tuesday? xx

- Dhita

Continue Reading

You'll Also Like

SUMMER TRIANGLE By -

Teen Fiction

273K 15.4K 51
Ada satu hal yang akan kau ketahui saat menatap mata Lyra. Bahwa gadis itu begitu mencintai Baren, namun sebaliknya mungkin Baren tidak.
4.8M 637K 48
Orang-orang mengatakan, jika kamu menyukai seseorang, maka perasaan itu hanya bertahan selama 4 bulan. Lebih dari itu, artinya kamu mencintainya. Awa...
2.4M 218K 96
[THE COLD CEO] 'Seandainya manusia bisa memilih seperti apa masa lalunya, pasti tidak akan sulit untuk membuat kau dan aku menjadi kita' Dua orang de...
2M 119K 60
(Squel Mine) (Sangat berbeda di novelnya) Aku selalu memikirkan tentang kita, hubungan kita. Tapi, kenapa aku semakin lama merasakan hal yang aneh? a...