#2 - The Lost Book

2.2K 292 30
                                    

Mara mendecak berkali-kali. Tangan-tangannya cekatan membuka bagian-bagian dari tasnya dengan harapan dirinya bisa menemukan sesuatu yang ia cari-cari. Namun berkali-kali mengobrak-abrik tasnya tak juga membuatnya menemukan apa yang ia cari. Tinggallah buku-buku bekas hari kemarin yang tak sempat ia kembalikan ke rak bukunya.

Mara mendesah, menyenderkan tubuhnya dengan kasar ke kursi. Bukunya hilang. Entah hilang, atau kemana, namun cewek ini menyadari satu hal. Terakhir kali ia menggunakan buku tersebut adalah di perpustakaan. Apa mungkin masih di sana? Atau... sudah bersama tumpukan buku-buku tak berguna lainnya? Atau malah sudah terdampar di dalam tempat sampah bersama puluhan sampah lainnya?

Tapi Bu Dian si penjaga perpustakaan tidak mungkin sekejam itu untuk membuang bukunya. Terakhir kali yang ia lihat, banyak tumpukan buku-buku tak terpakai di meja perpustakaan. Bisa saja bukunya berada di antara tumpukan-tumpukan itu kali ini.

"Ratinka Mara Derisha!"

Satu interupsi dari sang guru sejarah membuat jantung Mara berdegup lebih kencang. Panggilan berdasarkan absen yang kini mencapai pada namanya membuat Mara mau tak mau maju selangkah demi selangkah menghampiri sang guru. Dan tepatnya, tanpa membawa apa-apa. Tidak dengan bukunya yang hilang.

"Buku kamu mana?"

Mara menggigit bibirnya, "Saya nggak tau tapi kayaknya—"

"Nggak tau? Buku kamu sendiri kamu nggak tau?"

"Saya pikir buku saya ketinggalan di perpustakaan kemarin, jam istirahat saya ke perpustakaan, ngerjain tugas sejarah ini, dan... saya pikir saya lupa bawa bukunya dan ketinggalan di perpustakaan," jawab Mara. "Tapi tolong, Bu. Kasih saya kesempatan, saya akan balik lagi ke perpustakaan buat ngambil buku saya—"

"Iya kalau buku kamu masih ada. Kalau enggak? Atau... iya kalau emang omongan kamu benar? Kalau enggak?" tanya sang guru dengan nadanya yang angkuh. Ia melanjutkan, "Saya kasih kamu toleransi, buku itu harus ada di meja saya sebelum bel pulang sekolah bunyi. Kalau enggak..., resiko kamu tanggung sendiri."

"Setuju?" tekannya lagi.

Mara mengangguk pasrah. Dalam hati mendengus sambil memikirkan hal yang sama. Itu pun andaikan bukunya masih ada. Kalau tidak? Tidak mungkin ia menyelesaikan rangkuman dua bab penuh dalam satu hari disertai pelajaran-pelajara lain, kan?

Semoga saja bukunya masih ada.

"Yaudah, silahkan kamu duduk kembali ke kursi kamu."

***

Ketika bel istirahat berbunyi, hal itu tak membuat seorang Dana tergerak untuk menarik Genta dan Dega menuju kantin seperti biasanya. Cowok itu malah merasa tak ingin kemana-mana selain duduk di kursi paling belakang, bermain dengan ponselnya serta memasang earphone di telinga, entah hanya untuk mendengarkan lagu lalu memejamkan matanya sejenak atau bermain game yang bahkan tak membuatnya bersemangat sama sekali.

Dua kali Dega bertanya apakah ia ikut ke kantin bersamanya dan Genta untuk bertemu teman-teman lainnya, balasan yang diterima hanyalah gelengan dan ucapan semacam, "Nggak, gue ngantuk, lo duluan aja."

Hingga akhirnya, kedua cowok itu meninggalkannya sendiri di kursi paling belakang, menyenderkan punggung pada tembok, dan bermain game sebelum berniat untuk mencari earphone di dalam tasnya.

Namun, ketika ia merogoh isi tasnya, matanya tak sengaja menangkap sesuatu yang mengusik rasa penasarannya. Sebuah buku sampul cokelat yang kemarin ia temukan di perpustakkan ia keluarkan dari dalam tas. Matanya menelisik, kali ini sambil mengucapkan nama yang tertera di sana berkali-kali seakan mantra.

TrustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang