Getaway 》Styles a.u

By catwink

11.4K 1.1K 514

When two people need to sacrifice their normal life and love over a dangerous mission. [ Indonesian ] More

"There's a bomb in your house."
"Don't give up."
"Hope to see you and Lily soon, eh?"
"Welcome to the Hugo's."
"It's all or nothing."
"Always and forever."
"Good luck."
"If you trust me,"

"Let it be, then."

1K 90 61
By catwink

Tersisa dua hari lagi bagi Harry maupun Lily untuk menjalankan misi ke Belgia. Semakin dekat dengan hari yang ditentukan, membuat mereka cukup penasaran akan bagaimana tugas bisa diselesaikan nantinya. Apakah berjalan dengan cara yang mulus–alias tak ada tindakan yang berarti–atau malah berujung fatal. Semua sudah termasuk resiko menjadi agen. Apalagi kedua insan tersebut dikenal betul kemampuannya dalam mengakhiri misi dengan sangat baik. Tanpa adanya bantuan dari Niall sekalipun, sebenarnya mereka mampu menuntaskannya.

Namun setelah mendapat jatah latihan ekstra dan segala persiapan yang diperlukan, Harry dan Lily masih saja merasa gugup sekaligus khawatir. Padahal menjadi salah satu agen rahasia adalah hal yang telah mereka kuasai sejak lama. Kemungkinannya sangat kecil jika Bos Hugo menarik mereka kembali tanpa melihat kualitas dan pengalaman yang dimiliki sedari dulu.

Contohnya saja saat seperti ini. Suatu kejutan tersendiri jika Bos Hugo tidak sungkan mengurus perlengkapan yang dibutuhkan ketika ikut mendampingi agen yang akan terjun ke lapangan. Hal yang jarang sekali terjadi. Tapi Harry dan Lily merasakan sebaliknya.

“Lily, kau tidak mendengarkanku, ya?”

Tak ada jawaban. Yang dipanggil malah melempar pandangan ke belakang punggungnya, memperhatikan gerak-gerik Harry dan Bos Hugo yang tengah membicarakan sesuatu. Rasa ingin tahu kini telah merajai pikirannya.

“Lily, aku berbicara padamu.”

“Oh, maaf, Lou,” jawabnya tanpa penyesalan sedikitpun. Padahal tingkahnya barusan serta merta membuat Louis–yang mengajak wanita itu bicara–harus mengulangi kalimatnya hingga beberapa kali. “Tadi kau bilang apa?”

Louis menghembuskan napas seraya memasukkan kedua tangan ke kantung celananya. “Tidak jadi. Lupakan saja.” Tanpa perlu mengikuti arah mata Lily tertuju, ia sudah tahu siapa yang wanita itu perhatikan. Mendesah pelan, Louis kembali melanjutkan ketika Lily menatapnya intens. “Bukan hal penting. Intinya, kau harus selamat.” Louis cepat-cepat mengoreksi kalimatnya. “Kau dan Harry. Kalian berdua.”

“Aku akan berusaha.”

Lily tersenyum pahit. Ia tahu betul kalau pria di hadapannya itu memang menyimpan perasaan padanya. Lebih tepatnya masih, karena sampai sekarang, cara Louis memandang Lily sama sekali tidak berbeda dari yang dulu. Bukan karena Lily adalah sosok peramal atau semacamnya, apalagi seseorang dengan kepercayaan diri yang luar biasa dan sok tahu, tapi ia menyaksikannya sendiri. Meskipun jelas sekali dalam ingatannya, tak perlu dijelaskan secara rinci bagaimana frustasinya Louis yang ditemukan mabuk berat delapan jam setelah Lily membawa sebuah kabar gembira. Harry melamarnya, dan itu adalah berita buruk bagi pria malang bernama Louis lima tahun yang lalu.

“Kau tahu, terlalu banyak melamun hanya semakin menyita waktumu. Apalagi membayangkan masa lalu.”

Merasa dirinya bagai ditampar oleh kalimat yang terlontar dari orang di sebelahnya, Lily lantas mengubah perhatiannya pada persediaan pistol di sudut ruangan. Ia masih belum sempat menentukan apa saja senjata yang harus dibawanya nanti. Kehadiran Bos Hugo rupanya ikut memberi tekanan tersendiri bagi Lily, pikirannya sedang buntu, namun mau tak mau ia harus cepat memutuskan. Tangan Lily pun hanya asal-asalan meraih pistol di depannya.

“Pistol Corner Shot… hmm, tidak cocok untukmu.”

Lily melirik Louis yang ternyata sudah mengekorinya. Enggan berdebat, ia lebih memilih untuk meletakkan kembali pistol yang barusan dipegangnya dan mengambil jenis lain.

Mauser M712. Ibarat susu coklat, tidak enak.”

Kali ini Lily tertawa kecil atas perumpaan pria satu itu yang menurutnya kekanakan. Ditukarnya lagi pistol yang ia pilih.

Flintlock, pilihan yang bagus.” Louis mengangguk-anggukkan kepalanya layaknya seorang ahli senjata. “Tapi kau sepertinya lupa, itu sama seperti milikku, cari yang lain.”

Lily mendecak kesal. Ia kira pilihannya kali ini sudah tepat. Lagipula pistol seperti itu bukan Louis saja yang memiliki. “Aku tidak ingat pistol ini hanya ada satu di dunia,” sindirnya.

Pria itu kontan terkekeh. “Kau hanya tidak perlu menambah jumlah pemiliknya karena menurutku sudah cukup.” Ia kemudian menunjuk barisan pistol di rak paling atas. “Bawa Beretta 92FS dan Glock 17 bersama kalian sebagai cadangan, kurasa akan lebih berguna.”

“Cadangan?”

“Pistol lamamu dan Harry masih disimpan di lemari ruang kerjaku. Nanti akan kuserahkan setelah latihan fisik hari ini.” Louis melipat tangannya di depan dada. “Jangan bilang kau juga lupa pistol Safari Matchmaster milik kalian…”

Tak pernah terpikir olehku untuk melupakannya, batin Lily. Sebaliknya, ia malah mengangguk. “Kau benar. Sepertinya aku hilang ingatan setelah keluar dari sini. Tapi akan kusampaikan pada Harry.”

Louis memeriksa arlojinya. “Baiklah, aku masih ada urusan lain. Sampai nanti.”

Lily mengangguk seraya memperhatikan punggung Louis yang mendekat ke arah pintu sebelum ia benar-benar pergi. Laki-laki itu sebenarnya hanya datang atas kemauannya sendiri, tidak disuruh untuk menemani Lily maupun Harry. Sekarang Lily makin bingung harus berbuat apa. Pandangannya lalu beralih pada Harry yang menghampirinya bersama Bos Hugo. Nampaknya ia sudah ingin pergi menyusul Louis.

“Lily, sekali lagi aku senang kau bisa kembali. Kehilangan dua agen terbaikku bagai ditinggalkan keluargaku sendiri, jadi berjanjilah untuk tetap selamat.”

“Aku tidak bisa, tapi aku akan berusaha.”

Keluarga yang menghancurkan rumah orang seenaknya. Jadi itu yang disebut keluarga? batin Lily masih saja kesal telah bertemu dalang dari kejadian tempo hari.

“Soal rumah kalian, tidak usah khawatir. Serahkan semuanya padaku.”

Huh?

Harry menatap Lily geli, menandakan bahwa wanita itu lupa jka Bos Hugo pandai membaca mimik wajah seseorang. Bos mereka lantas terkekeh pelan.

Bos Hugo. Hunnington Govch. Entah bertolak belakang dengan namanya atau tidak, namun di umurnya yang hampir mencapai setengah abad, pria yang selalu tersenyum ramah ini bertubuh pendek. Badannya tidak gempal, malah terbilang kurus dengan rambut putihnya. Sosoknya yang berkharisma membuatnya banyak disegani. Tapi karena sudah lama tidak bertemu, Harry dan Lily masih gugup jika harus berhadapan dengannya.

“Raja Wallonia adalah salah satu sahabatku. Jadi mendengar berita bahwa putrinya terancam, aku ingin membantunya sebisa mungkin, dan kalian berdua sangat kupercaya dalam hal ini.”

Lily perlahan menatap mata pria paruh baya di depannya dan menghela napas. “Aku mengerti.”

“Kalau begitu, semoga sukses, Harry dan Lily.”

Itulah kalimat yang Bos Hugo ucapkan sebelum akhirnya berjalan keluar ruangan. Ditinggal berdua, Harry pun kini menjadi sasaran interogasi Lily. Ia penasaran apa yang tadi suaminya bicarakan dengan pimpinan mereka barusan.

“Tadi apa saja yang kalian bicarakan?”

Harry menaikkan kedua alisnya, tampak terkejut. “Tentang sahabat karibnya, Raja Wallonia, tidak lebih.”

“Oh…” Kecewa dengan jawaban yang tidak sesuai ekspetasinya, Lily mulai menyibukkan diri dengan beragam pistol yang akan dipilihnya.

“Ia bilang, Raja Wallonia itu pernah menolongnya,” tambah Harry.

“Oh…”

Harry kontan mengerutkan keningnya lalu merangkul pundak Lily. “Berarti sekarang giliranku! Boleh aku tahu tadi apa saja yang kau bicarakan dengan Louis, hmm?”

Lily mendongak, membalas tatapan Harry ke arahnya dengan malas. “Tidak ada.”

“Apanya?”

“Kubilang, tidak ada yang kami bicarakan.”

“Jadi?”

Hah?” Pertanyaan Harry membuat Lily keheranan.

“Kenapa?”

“Harry.” Lily memutar bola matanya kesal. Harry tahu ia berbohong, dan itu salah satu triknya agar Lily mau mengaku.

“Ada yang ingin kau katakan, Jane?” tanya Harry dengan senyum innocent miliknya.

Fine, fine! Louis tadi bilang ia masih menyimpan pistolmu.” Lily melirik Harry yang seketika terdiam. Pipi laki-laki itu sedikit memerah dan ia terlihat lucu sekali menyembunyikan rasa malunya.

“O-oh, bagus kalau begitu…”

“Ada yang ingin kau katakan, Edward?” ledek Lily menahan tawanya melihat ekspresi Harry yang seperti anak kecil.

“Sudahlah, ayo pergi. Jadwal latihan kita kurang dari 15 menit lagi.”

Lily mengangguk setuju, masih berusaha menahan senyumnya yang kian melebar.

Pistol adalah senjata yang jarang dipakai Harry ketika bertugas. Jika keadaan mendesak, Harry akan memakai pistol lain yang bukan miliknya. Oleh karena itu Lily lah yang dulu selalu berinisiatif membawanya tanpa sepengetahuan Harry. Sudah bertahun-tahun lamanya pria itu lebih memilih pedang, pisau, atau senjata tajam lainnya. Hanya karena satu hal.

Dulu, Harry pernah menyatakan cintanya pada Lily dengan cara yang konyol, menggunakan dua buah pistol tanpa peluru–entah itu romantis atau bukan. Harry akan terlebih dahulu menarik pelatuk ke arah Lily, seakan-akan telah menembaknya. Jika diterima, maka Lily harus mengambil sebuah pistol dari tangan Harry dan membalasnya. Namun kenyataannya, Lily asal mengambil dua-duanya, yang berarti penolakan. Pertahanan Harry yang berlagak santai dan penuh percaya diri pun runtuh. Tanpa basa-basi, ia langsung berjongkok dan menangis saat itu juga.

Padahal maksud yang sebenarnya, Lily hanya bercanda.

“Bisakah kita tidak membahasnya lagi?” Harry kembali mengoceh hingga mereka masuk ke dalam lift, kentara sekali ia gelisah.

Kejadian memalukan perlu dibuang jauh-jauh! batin Harry.

“Daritadi aku hanya diam, kau saja yang terlalu berlebihan memikirkannya,” ujar Lily tenang. “Lihat sisi positifnya saja. Jika kau terlambat menyatakannya, aku bisa saja menikah dengan pria-”

“Oke, cukup.”

Lily kembali menarik sebuah senyuman. “Let it be, then.

Harry akhirnya menurut. Jemarinya meraih tangan Lily dan menggenggamnya. “Berjanjilah padaku kau tidak akan pernah meninggalkanku sendirian.”

“Kau bodoh atau apa?”

Mendengar istrinya yang malah menertawakannya, Harry meringis. “Jawab saja, Lily. Kau mengkeruhkan suasana dramatis di sini.”

**

Harry dan Lily melakukan latihan fisik untuk yang terakhir kali hari ini, dan sampai sekarang mereka berdua diawasi oleh Jack dan Troy seperti kegiatan-kegiatan sebelumnya. Karena dirasa sudah siap, Harry dan Lily harus bertanding untuk kedua kalinya. Tidak, bukan satu lawan satu, tapi mereka harus bisa bekerja sama melawan Jack dan Troy–penjaga mereka sendiri.

“Sangat adil. Tiga pria, satu wanita. Kurasa aku yang akan menang,” ucap Lily mencoba menjaga jarak dari dua lelaki di hadapannya yang siap menyerang.

Harry lantas mengalihkan pandangannya ke Lily dan melihat istrinya itu dengan tatapan jadi-aku-ini-dianggap-apa, sementara Lily mengedikkan bahunya.

“10 menit lagi pertandingan akan selesai, tapi belum ada yang tumbang.” Louis–sebagai wasit–berkomentar sambil memeriksa arlojinya. Sesekali ia menguap menahan rasa kantuknya sehabis lembur semalaman.

Pertandingan terasa dua kali lipat melelahkan dibandingkan dengan yang lalu. Jack dan Troy ternyata punya kemampuan bela diri yang amat baik. Mereka memang terlatih sejak awal. Beberapa kali pukulan mereka nyaris, hingga tepat mengenai Harry maupun Lily, sasaran mereka.

Harry memukul,

Lily menendang,

Jack membalas tendangan tinggi,

dibalas lagi oleh Harry,

Troy ambil bagian dan menyerang Lily,

Harry memblokir Troy.

“Sudahlah, Harry. Kalian menyerah saja.” Louis sudah tidak tahan lagi. Ia ingin segera tidur di ruang kerjanya.

“Enak saja!”

Harry pun mengambil langkah panjang dan berusaha meninju Jack di pelipis dan perutnya, tapi gagal karena ia menghindar. Troy lalu membalas sebuah pukulan dan dapat ditepis oleh Harry. Saking seringnya Harry menguasai matras kesana kemari, Lily merasa ruang geraknya menyempit.

“Harry, beri aku kesempatan menyerang!”

Harry menoleh ke belakang, merasa tidak terima. “Kau perempuan, biar aku saja!”

“Aku juga ingin bertanding!”

“Lily, kau berlindung saja di belakangku!”

“Apa?! Aku tidak mau!”

“Sudahlah-”

BUGGHH! BUGGHH!

Dua tendangan pun melesat cepat mengenai Harry dan Lily yang masih sempat-sempatnya berdebat. Harry terkena tendangan di betisnya hingga ia–yang tak bisa menjaga keseimbangan–jatuh tersungkur di atas matras, sedangkan Lily terkena tendangan di pinggangnya, membuatnya tersungkur lebih jauh.

“Akhirnya! Pertandingan selesai!” seru Louis gembira.

“Baiklah, baiklah, kalian yang menang.” Harry mendecak kesal, sementara Jack, Troy beserta Louis bergerak ke pinggir ruangan dan beristirahat. Ia pun mencari keberadaan istrinya yang juga menjadi korban.

“Kau tidak apa?” tanya Harry menangkap sosok Lily di seberangnya. Sementara itu, Lily memegangi perutnya yang terasa luar biasa sakit. Ia bagai mati rasa.

“Lily?” Akhirnya Harry bangkit dan menghampiri Lily yang masih terdiam dengan punggung beralaskan matras dan napas yang tersengal-sengal.

“Lily! Bicaralah padaku!”

“Oh, ayolah, jangan mendramatisir. Aku baik-baik saja.” Kelopak mata Lily terbuka, ia mendengus. Hal itu mengundang tawa dari Louis yang menyaksikan mereka berdua dari jauh.

“Jangan main-main, oke?”

Yes, sir!” Lily menepuk pipi Harry dua kali sebelum bangkit dari matras. “Tidak keberatan, ‘kan kalau aku duluan yang menemui Liam?”

Harry tersenyum. “Tak masalah. Aku akan menemui Louis dan mengambil pistol kita.”

Lily pun berjalan ke arah pintu, meninggalkan Harry di belakangnya karena ia menuju lorong yang berbeda. Ketika tidak ada satupun orang yang melintas, Lily langsung menyandarkan punggungnya ke dinding, merasa nyeri yang teramat sakit. Bahkan Ia hampir saja menangis.

“Liam, apa bayiku baik-baik saja?” tanya Lily sesampainya di ruang kerja Liam yang terisi lengkap dengan peralatan laboratorium.

“Untuk sekarang, kau masih beruntung karena dia tidak apa-apa. Tapi aku tidak menjamin ke depannya,” jawab pria itu kemudian memutar kursinya sehingga ia berhadapan dengan Lily yang sedang terbaring. “Ini baru permulaan, Lily. Aku minta kau memikirkannya lagi, masih ada waktu meskipun sedikit.”

“Liam, aku sudah pernah mengalami keguguran, dan bisa kau bayangkan bagaimana reaksi Harry jika ia tahu aku hamil. Ia bisa lebih protektif seratus kali lipat. Tidak mungkin aku bisa mendampinginya nanti.”

“Aku tahu-”

Suara pintu terbuka tiba-tiba, menghentikan percakapan Liam dan Lily, menampakkan seseorang tengah berjalan masuk. Bukan Harry, tapi,

“Niall?”

“Oh, Lily? Kenapa kau ada di sini?” Ia terdengar kaget, tapi ekspresinya tidak.

“Ia dan Harry harus kuperiksa kondisinya tiap hari. Ada apa, Niall?” tanya Liam balik sekaligus menjawab pertanyaan laki-laki berambut pirang itu barusan.

Niall pun mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. “Mana Harry?”

“Sedang menemui Louis. Ada apa, Niall?”

“Santailah sedikit, Liam. Aku hanya ingin menemui sahabatku.”

“Siapa? Lily atau aku?”

“Karena kebetulan Lily ada di sini, jadi sekaligus saja.” Ia terkekeh pelan.

Jawaban Niall membuat Liam hanya bisa geleng-geleng kepala. “Aku banyak kerjaan, pergilah.” Liam lalu beralih pada komputernya dan mengetik sesuatu.

Niall kebingungan seraya menatap Liam yang memunggunginya sebelum kembali pada Lily. Ia tersenyum kecil, rasa sakit itu masih ada, tapi ia menangkap sesuatu yang membuatnya kaget dan melupakan kejadian sebelumnya.

“Lily, kau hamil?”

Sontak Liam dan Lily langsung menatap ke arahnya dengan tajam.

“Obat itu…” Wajah Niall tampak serius, 180 derajat perbedaannya dibandingkan saat ia masuk tadi.

Liam lantas menepuk jidatnya keras. Ia baru sadar kalau Niall juga seorang dokter walaupun masih menjadi calon. Lily bahkan tidak tahu harus mengatakan apa atau untuk sekedar menepis perkataan Niall.

“Lily.”

Lily kontan menarik punggungnya yang tengah bersandar pada kasur, ia menyentuh lengan Niall. “Aku mohon padamu, jangan bilang pada Harry tentang hal ini.”

“Lily.”

“Aku mohon, Niall.” Lily menutup matanya kuat.

“Baiklah.”

Liam melihat Niall dengan tak percaya. Semudah itu? tanyanya dalam hati.

“Ini sebagai permintaan maafku karena sebagai sahabat, aku malah menganggapmu lebih. Maafkan aku, Lily.” Niall berusaha tersenyum. “Liam, kau punya dua rahasia sekarang yang harus kau jaga. Jaga dirimu baik-baik, Lily. Aku pergi dulu!”

Niall berjalan cepat ke luar ruangan. Ia menutup pintu lalu menghela napas panjang. Perbincangan yang sebelumnya ingin ia sampaikan dengan Liam pun hilang seketika. Sebenarnya, ia punya perasaan bersalah yang lebih dari itu. Apalagi setelah mengetahui bahwa Lily hamil, pikirannya kembali gundah.

**

Malam harinya.

Seorang laki-laki sedang meminum wine yang entah sudah keberapa gelas dan seperti tidak ada niat untuk berhenti. Sekelilingnya penuh dengan asap rokok dan wanita-wanita yang setiap detik meliriknya nakal.

Tapi ia tidak peduli.

Pikirannya penuh dengan seorang wanita yang ia cintai sampai sekarang, tapi perasaannya tidak pernah dan tidak akan terbalas.

“Lily, maafkan aku.”

Ia kembali meneguk minumannya ketika merasakan getaran ponselnya. Ia menaruh gelas di atas meja lalu merogoh saku jaket yang ia kenakan. Ada sebuah telepon, dan rahangnya mengeras.

“H-halo?”

“Keluar dari pintu belakang, sekarang.”

Pip.

Tanpa berpikir panjang, ia langsung bangkit dari kursinya setelah menaruh beberapa lembar uang di meja. Ia terlihat terburu-buru hingga laki-laki itu benar-benar keluar dari Bar dan,

BUGGH!!!

Dua orang pria bertubuh kekar memukul tengkuknya keras hingga ia terjatuh tidak sadarkan diri. Salah satu pria itu memegang tongkat baseball dan satunya lagi sedang menelepon seseorang.

“Dia sudah ada di tangan kami.”

****

A/N:

- sebelumnya, maaf banget baru bisa apdet sekarang :’) aku kangen kalian, kangen nulis HIKS. gak terasa udah 6 bulan ya ampunnn, 3 bulan lagi melahirkan nih /plak/ semoga chapter ini tidak mengecewakan, tapi sebenernya garing bingo, yasudahlah apa boleh buat wkwk

+ weyheyy udah 2015 nih, apa aja resolusi kalian tahun ini? /kepo/

+ last, MAKASIH BANYAK BUAT KALIAN YANG MASIH MAU BACA GETAWAY!!!!! Kritik/saran sangat diterima di sini~ tinggalkan jejak~ makasih banyak sekali lagi :’D

 

Ciao, Inem xo

Continue Reading

You'll Also Like

83.2K 4.5K 30
Pluto thai gl novel မြန်မာဘာသာပြန်
212K 9K 25
"မောင် မဆိုးစမ်းနဲ့ကွယ်" "ကျုပ်ကိုမချုပ်ခြယ်နဲ့"
45.3K 1.4K 90
Coming Into Your World I Fell In Love With You| "I'm...In love with someone who's in a TV show?! And he's not even in the show he's supposed to be a...
74.6K 840 54
🔞#5 BILLIONAIRE Ezekiel Gallagher Sakura Ximenez 09-01-22