AORTA

By MarentinNiagara

229K 18.7K 4.9K

-------------------💊💉------------------ 👶👶 Duuuhhhhh si imut yang ngegemesin. Bungsu yang akhirnya ikut m... More

00 • Prolog
01 • Little Crazy
02 • More Than That
03 • Love is Love
04 • Jelajah Rindu
05 • Mimpi Masa Depan
06 • Battle Bro
08 • Strunggle Love
09A • Pengawal Hati
09B • Pengawal Hati
10A • Stupidity
10B • Stupidity
11 • Contemplation
12A • Sacrifice
12B • Sacrifice
13A • Merenda Mimpi
13B • Merenda Mimpi
14A • Try To be Strong
14B • Try To be Strong
15 • Game Over
16 • Emergency Unit
17 • Mencoba Bicara
18 • Menunggu Mukzizat
19 • Gegabah
tok tok tok
11 • Contemplation
12 • Sacrifice
13 • Merenda Mimpi
14A • Try To Be Strong
14B • Try To Be Strong
15 • Game Over
16 Emergency Unit
17 • Mencoba Bicara

07 • Cerita Cinta

4.5K 728 377
By MarentinNiagara

🍬🍬 ------------------------------
Gravitation is not responsible for people falling in love
------------------------------ 🍬🍬

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

MATAHARI di London masih menyembul malu-malu. Semilir udara dingin masih sejenak menyapa. Meski musim telah berganti tapi sepertinya dingin masih enggan beranjak pergi. Hawwaiz membuka kembali kotak hitam yang telah dia persiapkan. Satu lingkaran keluaran tiffany dengan ukiran namanya. Hari ini Hawwaiz ingin menitipkannya kepada Arfan sebelum menerbangkan kembali garuda besi ke angkasa meninggalkan kota London. Hawwaiz pun juga harus kembali lagi ke Oxford sore ini.

"Om—" Hawwaiz menghela napas. Masih dengan gestur duduk tegak dengan tangan di bawah meja.

Arfan masih memperhatikan putra bungsu sahabatnya yang mendadak hari ini mengejutkan hatinya hingga bibirnya terkatup tak lagi bisa bicara. "Ada salah jika saya tidak menyampaikan ini terlebih dulu kepada pemilik gadis yang saya inginkan menjadi istri. Terlepas bagaimana nanti Om Arfan dan Tante Kania menanggapinya. Jika saya hanya berniat untuk mempermainkan hati Vira, pasti tidak akan berbicara segamblang ini."

Serius, Hawwaiz yang biasanya selalu terlihat santai ketika bertemu dengan siapa pun, kali ini semua hilang dari identitasnya. Mukanya tidak menunjukkan bahwa dia sedang bercanda dan keseriusan itu tampak sekali saat kedua tangan Hawwaiz terangkat dari balik meja dan terulur ke arah Arfan untuk menyerahkan kotak kecil yang sedari tadi di timbangnya.

"Titip ini sebagai tanda keseriusan saya meminta Vira kepada Om Arfan." Hawwaiz meminta Arfan menerimanya.

Semakin bungkam bibir Arfan melihat keberanian Hawwaiz membuktikan ucapannya. Arfan tahu itu bukan barang yang murah.

Arfan menerima dalam keadaan terbuka seperti yang diserahkan Hawwaiz. Setelah embusan napas kasarnya, dia bertanya kepada Hawwaiz untuk melihat dan menguji keseriusan meski tidak untuk memutuskan segera.

"Apa yang membuatmu yakin untuk ini, Iz?"

"Karena Allah meminta untuk menyegerakan sesuatu yang memang sepantasnya disegerakan. Saya ingin, saya berniat dan juga karena saya merasa mampu." Singkat dan sudah pasti jelas tanpa harus berputar-putar arah.

"Dan mengapa harus Vira?"

"Allah juga yang telah menuntun hati saya untuk memilihnya. Mengapa tidak yang lain, karena mata saya tidak bisa melihat kelebihan dari wanita lain ketika nama Vira telah ada di dalam hati saya." Hawwaiz kembali menjawabnya dengan kemantapan hati.

"Baiklah, Tante Nia harus tahu, terlebih Vira," kata Arfan.

"Hawwaiz—" Arfan menatap Hawwaiz dalam-dalam. "Apakah Daddy, Bunda dan seluruh keluargamu mengetahui akan hal ini?"

"Daddy dan Bunda belum mengetahuinya, Om. Hanya Bang Hafizh yang telah mengetahui meski saya juga belum mengatakan bahwa wanita itu Vira," jawab Hawwaiz jujur.

Arfan kemudian menggelengkan kepalanya.

Dia juga tidak yakin kalau putrinya telah mengetahui tindakan spontanitas tanpa rencana menurut Arfan yang dilakukan Hawwaiz hari ini. Padahal Hawwaiz sendiri telah menyiapkan semua ini jauh-jauh hari sebelumnya.

"Vira—?"

"Saya sudah berkali-kali menyampaikan kepada Vira. Namun, dia masih menganggap saya bercanda. Vira tahu perasaan saya kepadanya, Om Arfan. Namun, dia tidak mengetahui kalau hari ini kita membicarakan ini. Saya belum memberitahukannya."

"Lalu apa yang kamu lakukan saat Om berkata seperti daddymu. Kalian belum halal dan tidak diperbolehkan berkhalwat meski itu hanya lewat chat?" pancing Arfan.

"Saya siap, Om, apa pun keputusannya. Termasuk untuk tidak chating dengan Vira sampai saatnya nanti kami dipertemukan. Tidak berkhalwat kan? Artinya tidak chat hanya berdua saja? Saya bisa membuat group yang di dalamnya ada Vira, saya, Kak Al, Mbak Ayya dan semuanya supaya saya juga bisa memastikan Vira aman di Jakarta atau di mana saja ketika dia harus bekerja."

Arfan mendesah perlahan dengan senyuman tipis. Akal bulus Hawwaiz satu step di depannya mengenai teknik menghindari berkhlawat.

Pada akhirnya, Arfan mulai menyakini bahwa pria menginjak dewasa ini memang telah menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Dan itu tidak bisa instan seperti yang pernah dia rasakan kepada Kania.

"Sampaikan dulu niatmu kepada orang tua dan biarkan mereka yang menghubungi Om tentang hal ini." Arfan menyerahkan kembali cincin yang telah diberikan Hawwaiz kepadanya.

"Om tidak tahu harus menerima atau menolak, karena Vira juga tidak pernah bercerita kepada siapa hatinya berlabuh." Hawwaiz tersenyum getir tapi dia harus bisa memahami bagaimana posisi Arfan saat ini.

Melihat wajah kecewa walau tak terucap dari bibir Hawwaiz, membuat Arfan kembali bersuara. "Jika Allah menakdirkan cincin itu akan menjadi milik Vira nanti, sejauh apa pun kalian terpisah jarak dan waktu pada akhirnya dia akan menemukan jari manis Vira sebagai rumah terakhirnya."

Hawwaiz mengangguk lalu pembicaraan mereka beralih pada dunia kerja masing-masing sampai akhirnya Hawwaiz pamit harus kembali ke Oxford.

"Lain waktu kita sambung lagi."

"Hati-hati, Om. Nanti lihat pramugari serasa melihat Tante Nia kan ayahab." Kembali lagi pada mode Hawwaiz yang seperti biasanya.

"Kamu ini, jangan bilang Tante Nia kalau pramugari itu masih muda dan cantik."

"Eh busyet si Om. Masih tahu kalau pramugari itu cantik."

"Kalau ganteng namanya pramugara bukan pramugari. Gimana sih, Iz." Keduanya terbahak bersama.

Sadar, sesadar-sadarnya, cepat atau lambat Hawwaiz akan menyampaikan kepada Ibnu tentang niatnya dengan catatan kondisi daddynya memungkinkan untuk mendengar kabar yang mungkin akan sedikit mengejutkan.

Sore harinya ketika Hawwaiz melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dia tahu bahwa di Indonesia pasti malam beranjak larut. Namun, dia yakin Mas Hanifnya masih terjaga. Hawwaiz memotret ring box yang telah terbuka dengan menampilkan isinya yang terukir namanya melalui gawai dan mengirimkannya segera.

Mas Dokter
Mas, aku ingin menikahi wanita

Lalu Hawwaiz memasukkannya di dalam tas dan memasukkan gawainya di saku celana. Dia ingin memejamkan mata sebentar untuk menghilangkan penat dan grogi saat mengutarakan niat terbesar dalam hidupnya untuk meminang Vira.

Matanya benar terpejam sampai balasan message spam yang diberikan oleh Hanif tidak dirasakannya.

Mas Dokter
Jangan gila kamu!

Kuliah belum bener sudah mau nikah, lulus dulu baru nikah

Siapa wanita itu?

Dik

Dik

Dik

Entah berapa kali lagi Hanif menuliskan kata 'dik' untuk memanggilnya. Dan Hawwaiz menyadari itu setelah dia keluar dari stasiun kota Oxford menuju ke flatnya. Membiarkannya sesaat karena Hanif juga bisa dipastikan sudah tidur melihat jam berapa dia terakhir membuka aplikasi pesan tersebut.

Mungkin besok pagi Hawwaiz akan menelepon kakak sulungnya. Saat ini dia hanya ingin beristirahat.

Di sisi lain Hanif yang menunggu kabar dari adik bungsunya kembali tidak bisa memejamkan mata. Baru saja dua minggu yang lalu dia menikahkan Ayyana dengan Aftab kini si bungsu sudah mengatakan niatnya untuk menikahi wanita. Adik yang paling unik di antara semuanya. Adik yang hanya mirip akan wajah dan tampilan fisik tapi sifat sama sekali jauh berbeda darinya.

Hanif masih berpikir keras siapa wanita yang telah menggoyang iman Hawwaiz untuk menduakan cita-citanya. Dia meremas rambutnya kasar. Ulah si bungsu menambah beban pikirannya sebagai anak tertua.

"Mas, jangan suka tidur malam terus ih. Hazwan dan Haura sudah tidur. Kita tidur juga yuk." Azza menghampirinya dan mengajaknya untuk merapat di dunia mimpi.

"Ada yang dipikirkan kok keningnya mengkerut seperti ini?" tanya Azza lagi setelah tahu saat mata Hanif tertutup tapi keningnya sedang menunjukkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu.

Hanif memilih berkata jujur kepada istrinya dan menceritakan apa yang meresahkan hatinya malam ini.

Hingga pagi datang, menjelang salat subuh Hanif membuka matanya dan mengecek gawainya tidak ada balasan dari Hawwaiz padahal pesannya sudah dibaca oleh adiknya.

Hanif memeriksa kondisi Ibnu pagi ini. Sengaja sekaligus ingin memperoleh informasi apakah adiknya telah mengatakan hal yang sama kepada daddy mereka.

"Dad—" kata Hanif

"Hmm?"

"Dik Hawwaiz apa kabarnya?"

"Kok nanya ke Daddy, memangnya selama ini kamu tidak pernah berhubungan dengan adikmu."

"Jarang kalau telepon, Dad. Takut saja mengganggu kuliahnya. Apalagi menjelang koas."

"Terus maksudnya nanya adikmu ke Daddy apa?"

Hanif sepertinya salah memulai pertanyaan.

"Kali saja Dik Hawwaiz bilang apa gitu kepada Daddy, kuliahnya mungkin atau kesulitan apa. Karena sejauh ini tidak pernah mengeluh kepada Hanif." Hanif akhirnya bisa bernapas lega karena bisa memberi alasan yang pas untuk Ibnu.

"Tidak ada keluhan sama sekali, semuanya masih aman katanya kemarin."

"Nggak pernah menyampaikan keinginannya apa dalam waktu dekat ini."

"Kenapa, Mas? Ngomongin Hawwaiz tapi muter-muter. Adikmu itu ngomong apa?"

Hanif tersenyum dan menggelengkan kepala. "Nope, Dad."

"Ya sudah, jadi kapan ini Daddy boleh terbang ke Aussie?"

"Kondisi Daddy baru pulih 85%, main safety saja ya, Dad. Daripada nanti malah merepotkan Aftab di sana karena Daddy kenapa-kenapa."

"Hush ngomongnya." Ibnu cemberut tetapi Hanif justru tersenyum tipis.

Hawwaiz memutar angannya saat terbangun dari tidurnya. Menimbang hati mengatakan kepada Hanif atau tidak tentang Vira. Namun, dia tidak ingin menundanya lagi. Memperjuangkan Vira adalah kepantasan yang sudah ditimbang baik dan buruknya oleh Hawwaiz. Hingga membuat bulat tekadnya dan menuliskan kembali pesan kepada Hanif sebagai jawaban dari pertanyaan kakaknya.

Mas Dokter
Elvira Maritza Aldebaran

☼☼

SUASA hati yang akhirnya menjadi pengendali. Perjalanan terberat dilalui setelah seorang pemuda yang dengan tulusnya meminta sang putri kesayangan. Namun, pagi ini Arfan tetap harus fokus, dia harus membawa 460 penumpang dan mendaratkannya dengan selamat.

"Are you OK, Sir?" tanya copilot yang membersamai Arfan dalam penerbangan kali ini.

"Not in one hundred percent, but still okay for take this flight to next airport."

"Mr. Abraham can be replace you now if you feel not okay. I will ask him for it."

Dalam penerbangan panjang peraturan yang harus dipatuhi adalah awak kabin terbang dengan dua tim yang akan bersiap secara bergantian melayani penumpang.

"I have, it's still under control." Profesionalisme yang selalu dijunjung Arfan tetap harus dijalankan sebagaimana mestinya.

Sampai jam kerjanya selesai, Arfan berhasil mengendalikan garuda besi itu dengan baik. Setelahnya dia memilih beristirahat sampai pesawat mendarat di Soekarno Hatta dengan sempurna. Namun, pikirannya masig berfokus pada ucapan Hawwaiz.

Mengapa sejauh ini Arfan tidak pernah merasakan signal itu. Apakah sebagai seorang ayah dia terlalu buta untuk sekadar mengetahui bagaimana bahasa hati putrinya?

Keputusannya sudah bulat. Setelah penerbangannya kali ini, Arfan harus bertemu dengan putrinya, Elvira Maritza Aldebaran.

Satu jam selanjutnya Arfan telah duduk berhadapan dengan putrinya. Cerita dari hati ke hati menjadi pembicaraan utama dalam pertemuan mereka kali ini.

"Pi, nanti pas Kak Aftab menikah resmi Adik pengen ke Perth."

"Memang bisa dapat izin dari kantor?" tanya Arfan.

"Diusahakan, Adik ingin menjadi penguat buat kakak setidaknya saat Pipi dan Mimi yang tidak bisa hadir nanti."

"Pipi dan mimimu ingin ke sana tapi—"

"Adik paham Pi, uang tiketnya bisa dipakai untuk pengobatan Mbak Ayya, makanya biar Vira aja yang ke sana nanti."

"Kalau memang niatmu sudah bulat, berangkatlah. Tapi Hawwaiz tidak akan berangkat lho Dik, karena tidak bisa meninggalkan Oxford." Kalimat terakhir Arfan yang membuat Vira tersedak tiba-tiba.

"Pelan-pelan minumnya, Pipi tidak akan memintanya terlebih Hawwaiz."

"Pi—?!"

"Adakah cerita yang terlewat untuk Pipi ketahui dari kalian berdua?" tanya Arfan tak lagi bisa menyembunyikan tujuan utamanya menemui putrinya.

"Pipi?" Air muka Vira berubah menjadi lebih serius.

"Ceritakanlah, Pipi akan menjadi pendengar setia untukmu. Maaf kalau Pipi masih fokus dengan urusan kakakmu kemarin."

"Maaf, tapi Vira tidak bermaksud untuk membohongi kalian. Pipi tahu dari siapa?" kata Vira.

"Kamu tidak ingin bercerita tentang hatimu?" Arfan tersenyum.

"Hawwaiz beberapa kali mengajak Vira untuk menjalani hubungan serius," Vira mulai bercerita. "Tiga bulan yang lalu kami bertemu di Jepang dan pada kesempatan itu Hawwaiz mengatakan ingin bicara kepada Pipi secara langsung. Kejadiannya juga sebelum Mbak Ayya tertimpa musibah, Pi."

"Jadi apa yang diucapkannya ketika kita semua terhubung dalam zoom di pernikahan kakak kalian saat di Malinau itu adalah kebenaran?"

Arfan mengerutkan keningnya ketika Vira masih bungkam.

"Kamu menyukainya?" tanya Arfan.

"Pi ...."

"Pipi hanya ingin kamu jujur dengan hatimu."

"Bilal itu menarik dengan caranya, Pi. Dia bisa merubah suasana apa pun menjadi ceria dengan caranya. Tidak pernah menyombongkan apa yang dia miliki dan apa yang dia bisa. Intinya Bilal itu unik."

"Oh jadi Bilal, bukan Hawwaiz manggilnya."

Arfan semakin paham, tanpa harus bertanya banyak kepada Vira. Warna merah yang menghias pipi putrinya cukup menjadi jawaban atas semua pertanyaan yang ada.

"Kemarin, Hawwaiz datang menemui pipi untuk melamarmu."

"Bilal," ucap Vira lirih saking terkejutnya. "Pipi tidak bohong?"

"Untuk apa pipi membohongimu."

Cerita kembali mengalir dari bibir Arfan. Tidak ingin sang putri salah mengambil keputusan, dia pun memeberikan beberapa nasihat supaya Vira bisa memutuskan dengan baik.

"Pipi tidak keberatan, tapi kamu juga harus tahu apa yang menjadi tuntutan keluarga Hawwaiz padanya. Om Ibnu pasti tidak akan setuju dengan keputusan yang tergesa-gesa seperti ini. Apalagi kejadian kakak kalian beberapa bulan yang lalu. Pipi pun juga akan berpikir yang sama." Arfan menggenggam tangan putrinya.

"Jodoh tidak akan lari menjauh, putriku," lanjut Arfan.

Dua jam berlalu, kebersamaan mereka membuat Vira merasakan betapa kedua orang tuanya tidak pernah mengabaikan perhatian untuk anak-anaknya. Perpisahannya dengan Arfan membuat Vira tersadar bahwa dia harus bisa menjaga dirinya sendiri selama jauh dari kedua orang tuanya.

Merasakan gawainya bergetar dengan beberapa pesan baru beruntun masuk dan saat melihat dia menemukan sebuah group baru untuk percakapan yang di dalamnya hanya ada 4 orang anggota. Hawwaiz, dirinya dan kedua kakak mereka yang kini tengah berada di Perth.

RESTU 👫

My Bi
Kak Aftab, Mbak Ayya, mohon izin untuk tetap berada di group karena Om Arfan meminta aku tidak berkhalwat dengan Vira

Kakak
Maksudnya apa Dik?

Mbak Ayya
Dik?

My Bi
El, aku sudah bilang ke Pipi tentang kita.

Kak Aftab, Mbak Ayyaku sudah sah jadi milikmu.
Vira buat aku ya, ya, ya, please

Mbak Ayya
Dik

Kakak
Hawwaiz maksudnya?

My Bi
Mbak Ayya, adik gumuzhmu ini jatuh cinta dengan adik dari suamimu

Mbak Ayya
subhanallah

Kakak
Hawwaiz, serius?
Dik,
Vira
Vira

My Bi
Kemarin sudah ngomong ke Pipi, Kak Af. Aku nggak mau mengulang kejadian kalian yang memilih nggak komunikasi.
Tolong jangan leave group. Aku akan ngomong ke Daddy agar mau nemui Pipi dan meminta El untukku.

Belum sampai Vira selesai membaca chat di group yang sudah begitu banyaknya. Gawainya bergetar kembali dengan nama kakaknya yang muncul untuk melakukan panggilan suara.

"Assalamu'alaikum, Kak."

"Waalaikumsalam. Dik, bisa menjelaskan maksud dik Hawwaiz di group, kamu pasti sudah membacanya." Suara Aftab dari balik gawai milik Vira yang masih menempel di telinganya.

"Aku baru bicara dengan Pipi, Kak."

"Hawwaiz?" tanya Aftab.

"Iya, kata Pipi kemarin mereka bertemu di London dan Hawwaiz memang mengutarakan bermaksud untuk meminangku seperti Kakak meminang Mbak Ayya."

"Ya Allah, kuasa-Mu" Aftab terdengar menghela napas panjang. "Mas, Vira dan Dik Hawwaiz memangnya? Iya Sayang, mereka sepertinya berniat untuk seperti kita." Percakapan antara Aftab dan Ayya yang terdengar di telinga Vira.

"Kak, aku ...."

"Kamu menyukai Hawwaiz?" Vira bingung harus menjawab apa.

"Kalau menurut Kakak bagaimana sebaiknya?" tanya Vira akhirnya.

"Tadi sudah bicara banyak dengan Pipi bukan? Mulai sekarang sering-seringlah berpacaran dengan Allah, minta petunjuk-Nya. Ikuti nasihat Pipi, nanti kakak telepon Hawwaiz untuk memastikannya."

"Jangan marahi dia," pinta Vira.

"Kenapa memangnya?" tanya Aftab dengan nada sedikit meninggi.

"Kak, please. Kakak fokus dengan kesembuhan Mbak Ayya. Masalah kami biarlah kami bersama orang tua yang menyelesaikannya."

"Tapi kamu tetap adiknya kakak."

"Iya Vira paham, Bilal juga menyampaikan semuanya karena tidak ingin berkepanjangan berbuat dosa dengan mungkin kami yang sering bertemu di belakang kalian."

Aftab tertawa lirih.

"Kok Kakak tertawa?"

"Dengan caramu membela Hawwaiz saja Kakak sudah bisa memastikan kalau kamu juga mencintainya, adikku. Kakak menelepon Hawwaiz juga nggak akan memarahinya. Yang jelas Kakak juga ingin memastikan, sebagai kakakmu dan juga sebagai suami dari kakaknya. Kalau ingin bicara dengan Daddy, sampaikan dulu kepada Mas Hanif atau Bang Hafizh. Kondisi beliau masih belum cukup stabil karena musibah yang menimpa Mbak Ayya. Jangan ditambahi lagi dengan berita kalian yang pasti membuat beliau semakin syok."

Setelah bicara banyak dengan Aftab, Vira kembali melanjutkan membaca pesan di group chat dengan mereka sampai selesai.

My Bi
El, cukup diam dan berdiri di tempatmu. Aku yang akan bergerak untuk maju dan mendekatimu, bersama kedua orang tua dan mahar terbaik yang akan aku persembahkan kepadamu.

Pesan terakhir yang tertulis dari gawai Hawwaiz untuknya. Disaksikan oleh kedua kakak mereka. Apakah masih ada yang harus diragukan dengan keseriusan Hawwaiz kepadanya?

Tak lama kemudian muncul pesan dari kakak iparnya yang memintanya untuk menjawab.

Mbak Ayya
Vira, adikku masih kecil tapi aku yakin kalau dia tahu bagaimana caranya membuatmu bahagia.

Dulu aku juga beranggapan bahwa harus bisa menyelesaikan pendidikan dokterku, namun ternyata Allah memberikan jalan takdir yang berbeda dari inginku dan bahkan pilihanNya adalah yang terbaik untuk kami semua.

Perjuangkan, apa yang semestinya kalian perjuangkan. Kalau diniatkan untuk ibadah, Allah pasti akan memberikan kemudahan jalan.

me
Jadi Mbak Ayya?

Mbak Ayya
Aku akan mendukung kalian
Selamat berjuang ya.
Dik, meski demikian jangan pernah terbersit angan nggak nyelesaiin kuliahmu.

My Bi
Mbak Ayya, aku padamu 💕
Sekolah tetep sekolah, menikah ya menikah, dua hal yang berbeda dong.
Asal El bersedia untuk menjadi sederhana seperti Mbak Ayya, aku akan persiapkan mahar terbaik yang aku mampu berikan.

me
Bi, aku nggak ingin Om Ibnu drop lagi.
Lakukan tugasmu tanpa harus membuat beliau terkejut mengetahui semuanya.

My Bi
Aku hanya butuh support dan doamu. InsyaAllah akan disampaikan kepada Daddy, Bunda dan semuanya dengan cara yang baik.

Mbak Ayya, Kak Aftab, mohon doanya juga ya.

Kakak
Dasar adik nggak mau rugi, kakaknya diminta malah gantian minta adiknya kakak ipar 😄😄

My Bi
🙏🙏

Di luar batas teritori hati, katanya cinta nggak punya mata Kak, tapi hati nggak pernah salah mengenali kepada siapa cintanya bermuara.

Mbak Ayya
Ini adiknya siapa ya? sepertinya nggak ada mirip-miripnya sama aku 😭😭

My Bi
Kalau mirip Mbak Ayya dan Mas Hanif semua, dunia bisa anyep, nggak ada angetnya sama sekali.

El, jangan lupa makan, bobok jangan malam-malam, kerja jangan capek-capek. Kalau bisa milih di London saja biar nanti nggak jauh-jauh.

Vira hanya tersenyum membaca pesan Hawwaiz untuknya tanpa berniat untuk membalasnya. Semoga pilihannya akan menjadi surprise terindah untuk mereka nantinya.☼

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 19 September 2023
*sorry for typo

Continue Reading

You'll Also Like

513K 19.2K 33
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
2.6M 129K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
752K 10.3K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.5M 28.6K 12
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...