AORTA

By MarentinNiagara

229K 18.7K 4.9K

-------------------💊💉------------------ 👶👶 Duuuhhhhh si imut yang ngegemesin. Bungsu yang akhirnya ikut m... More

00 • Prolog
01 • Little Crazy
02 • More Than That
03 • Love is Love
05 • Mimpi Masa Depan
06 • Battle Bro
07 • Cerita Cinta
08 • Strunggle Love
09A • Pengawal Hati
09B • Pengawal Hati
10A • Stupidity
10B • Stupidity
11 • Contemplation
12A • Sacrifice
12B • Sacrifice
13A • Merenda Mimpi
13B • Merenda Mimpi
14A • Try To be Strong
14B • Try To be Strong
15 • Game Over
16 • Emergency Unit
17 • Mencoba Bicara
18 • Menunggu Mukzizat
19 • Gegabah
tok tok tok
11 • Contemplation
12 • Sacrifice
13 • Merenda Mimpi
14A • Try To Be Strong
14B • Try To Be Strong
15 • Game Over
16 Emergency Unit
17 • Mencoba Bicara

04 • Jelajah Rindu

5.1K 748 198
By MarentinNiagara

🍬🍬 ------------------------------
No matter the family and who or what they are made of, a family is a family when they all come from love
------------------------------ 🍬🍬

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

MENYUSUR trotoar sepanjang jalan Kramat Gantung Surabaya, menyibak hamparan etalase yang memamerkan berbagai macam jenis kamera. Tentu saja Hawwaiz sangat tahu di Inggris dia bisa mencari berbagai model bahkan yang tercanggih dengan merk yang terbaik sesuai dengan spek yang dibutuhkannya.

Sesungguhnya tidak ada niat membelinya di sini karena dia masih merasa cukup dengan apa yang dimilikinya kini. Niat ini tiba-tiba muncul ketika Vira mengatakan bahwa dia harus mengikuti interview pekerjaan di kota yang sama. Ada rasa tidak nyaman saat membiarkan sahabat kakaknya itu sendirian pergi ke luar kota. Selagi Hawwaiz bisa tidak ada salahnya.

Vira yang terkesan easy going membuat Hawwaiz betah berlama-lama ngobrol dengannya, walau terkadang niat usil itu seringkali singgah untuk membuat wanita itu sedikit merona akibat gaya bercandanya yang terlewat jahil. Namun, sepertinya angin berubah arah ketika perhelatan akbar pernikahan kakak kembarnya. Hatinya mulai bimbang dengan desir halus yang mulai menyapa ketika dia berada di dekat Vira.

"Hi, what's up Guys. Finally today," Hawwaiz menghela napasnya setelah memutar kamera memperlihatkan backround tempatnya berdiri. Dengan mengenakan stelan jas yang memang telah dipersiapkan untuk pernikahan kakaknya.

"Yap, akhirnya hari ini aku kembali ke Indonesia. Jika kalian melihat banyak sekali ornamen bunga di belakangku berdiri saat ini, tentu saja hari ini aku berada di sebuah pesta pernikahan." Hawwaiz kembali tersenyum lalu memanggil kedua keponakan kembarnya.

"But, not me." Hawwaiz kemudian memainkan mata dengan gayanya yang khas.

"__and finally I have a time to meet up with them. My great twin nephew and niece, Habeel and Hafsha. They are delivered at Massachusetts, and have just returned to Indonesia five month ago. Hey you, introduce your self in front of my cam, please," kata Hawwaiz setelah kedua ponakannya mendekat.

"Hi guys, if all this time you have liked watching Uncle Haaz on his vlog, today we will be the hosts," kata Hafsha. Gayanya yang lucu nan imut pasti bisa disebut sebagai teman yang serasi untuk menemani Hawwaiz mengoceh di depan kamera.

"Ok, let's play some games. I will ask you and you have to answer quickly just with word yes or no, understand?" kedua keponakan Hawwaiz hanya tersenyum lalu menganggukkan kepala tanda mengerti. "And we call the games is a truth quickly. Are you ready?" tanya Hawwaiz kembali kepada kedua keponakannya yang sekali lagi dijawab anggukan oleh keduanya.

"One, do you like Uncle Kama?" Hawwaiz memulai pertanyaannya.

"Yes," ucap kedua bocah itu langsung menjawabnya.

"Two, Do you like Uncle Kama and Aunt Al to be one?"

"Yes," jawab keduanya kembali.

"Three, do you long for Uncle Haaz?"

"Yes," kemudian kamera menyorot kepada sosok wanita yang berdiri membelakangi mereka.

"Do you know who is she?" tangan Hawwaiz menunjuk wanita yang disorot oleh kameranya kemudian mengarahkan kembali kepada keponakannya. "Yes,"

"And the next question is, do you like Aunt Vira?"

"Yes," jawaban keduanya masih tetap konsisten namun kemudian bibir mungil Habeel terbuka, keluar dari kesepakatan games yang dibuat oleh Hawwaiz. "Uncle wait."

"We like Aunt Vira, is this means Uncle Haaz and Aunt Vira will be like Uncle Kama and Aunt Al, both you are to be one?" tanya Hafsha.

"Next couple." Habeel menyambungnya, mereka lalu tertawa memperlihatkan gigi susu mereka ke kamera. Kalau cara berpikir kritis mereka seperti ini semua orang pasti percaya bahwa Hafsha dan Habeel adalah anak dari Hanif Asy Syafiq.

Ternyata anak kembar itu seringkali memiliki feel yang sama, padahal tidak saling memberitahu tapi antara Habeel dan Hafsha justru kompak untuk menjebak Hawwaiz dengan pertanyaan yang dibuatnya sendiri.

Bibir Hawwaiz melengkung ke atas. Melihat beberapa potongan video yang dia buat bersama keponakan yang dengan tidak sengaja justru mereka bertiga menggibah bersama perihal Vira.

"Mas, jadi beli kamera apa?" tanya Elram saat dia tahu Hawwaiz seperti tidak berminat untuk memilih satu pun kamera yang berjejer di etalase.

"No," jawab Hawwaiz.

Percakapan khas pria akhirnya menguar sebelum akhirnya mereka menjemput Vira lagi ke perusahaan internasional yang bergerak dalam bidang ekspor impor.

"Gimana Kak, sukses wawancaranya?" tanya Elram saat Vira sudah masuk ke mobil mereka.

"Alhamdulillah, kalian darimana tadi. Jadi beli kameranya?" Elram melihat sepupu di sampingnya yang masih terdiam saat Vira memberikan pertanyaan yang harusnya dia jawab.

"Mas--"

"Hah--?!" Hawwaiz mengalihkan pandangannya kepada Elram.

"Ditanyain Mbak Vira tuh," kata Elram.

"Apa El?" tanya Hawwaiz.

Vira terpaku, entah perasaannya atau karena kebetulan dia seolah melihat Hawwaiz tampak murung dan itu bukan perangainya.

"Kamu kenapa Bi? Kesambet danyangnya kota buaya? Atau kamu mau menjelma menjadi buayanya?" tanya Vira.

Diamnya Hawwaiz membuat suasana menjadi canggung hingga membuat tidak nyaman sampai akhirnya Elram berinisiatif mencairkan suasana dengan memberikan beberapa pertanyaan yang membuat Vira terkekeh.

"Kalau buaya gimana suaranya?" Pertanyaan Elram membuar Hawwaiz bereaksi.

Dia yang sedari tadi diam akhirnya membalikkan badan menatap Vira. Sementara Vira memberikan isyarat dengan dagunya untuk menjawab karena sepertinya dia tidak tahu bagaimana suara buaya itu. Tidak berbeda jauh dari Vira, Hawwaiz pun juga tidak tahu bagaimana suara buaya.

"Memangnya kamu tahu suara buaya, Ram?" tanya Hawwaiz

"Tahu dong," jawab Elram yang masih fokus dengan kemudinya.

"Apa coba?" tanya Vira.

"Suara buaya itu seperti ini--" Elram menolehkan kepalanya kepada Hawwaiz lalu tertawa lirih dan bicara lagi. "Asalamualaikum Ukhti, kalau saya chat ada yang marah nggak ya? Boleh kenalan? Masyaallah Ukhti cantik sekali malam ini, tabarakallah."

Tidak ada jawaban, Hawwaiz dan Vira justru saling memandang dan tidak mengerti maksud Elram.

"Maksudmu apa sih, Ram? Gagal paham deh." Hawwaiz mendengkus tidak mengerti maksud sepupunya.

"Jadi gini, Mbak Vira harus hati-hati ya, buaya millenial sudah pada kursus bicara sehingga ucapannya semanis madu dan selegit kue bolu. Empuk ning nyereti--"

"Hawwaiz dong itu berarti buayanya." Belum sampai Elram menyelesaikan bicaranya Vira langsung menyambung dengan pernyataan yang membuat Elram terbahak namun tidak dengan Hawwaiz.

"Enak saja, siapa yang bilang begitu?" tanya Hawwaiz.

"Mbak Vira,"

"Aku barusan." Suara Vira dan Elram kompak dan keduanya tertawa.

Sepertinya mereka sangat bahagia bisa membuat Hawwaiz kehilangan muka dan menampakkan kecut mimiknya. Hingga mobil berhenti di parkir mall terbesar di Surabaya Hawwaiz masih diam.

"Bi, kenapa sih dari tadi diem saja?" Vira berbicara lirih untuk bertanya kepada Hawwaiz.

"Aku bukan buaya, El."

"Ya Allah, karena itu? Kita berdua juga hanya bercanda. Serius amat sih nanggepinya. Kamu kenapa? Beda banget nggak seperti biasanya."

"Kamu suka aku yang diam atau yang seperti biasanya?" tanya Hawwaiz dengan nada yang serius meski Vira tidak begitu memperhatikan akan hal itu.

"Yang seperti biasanya lah, jadi diri kamu sendiri. Yah kita juga sama tahu kan kalau itu hanya bercanda saja supaya percakapan kita tidak membosankan." Vira menjawab sesuai dengan hatinya.

"Jika semuanya bukan hanya sekedar candaan, apa kamu masih menyukaiku?" Vira terhenyak mendengar pernyataan sekaligus pertanyaan yang Hawwaiz berikan.

"Maksud kamu apa, Bi?" tanya Vira memastikan.

"Aku serius denganmu, El. Aku bukan seorang buaya millenial." Masih juga belum bisa mencerna ucapan yang baru saja Hawwaiz katakan. Sayangnya saat Vira hendak bertanya lagi Hawwaiz telah berjalan menyusul Elram.

Dalam hati setiap manusia pasti akan setuju bahwa setiap orang bisa menuntun hati kepada cinta, tapi mereka tidak bisa membuat jatuh cinta. Karena cinta perlu ditumbuhkan, cinta perlu dipupuk dan cinta perlu diperjuangkan.

☼☼

Berbicara bagaimana kota dengan ikon kerinduan ini membagi candunya untuk berjuta-juta pasang mata, bahkan sampai mereka rela untuk sekedar berkunjung setiap tahunnya hanya demi menikmati suasana ramahnya kota budaya yang termasyur di dunia dengan sebuah jalan yang begitu romantis, Malioboro-Yogyakarta. Setelah pesta pernikahan sang kakak semalam, Hawwaiz memilih untuk menginap di Jogja, memilih hang over serta lebih mengenal Jogja dengan cara yang menurutnya luar biasa. Senyampang masih berada di Indonesia, sebelum berangkat ke Oxford lagi. Padahal kedua orang tua dan keluarga besarnya berencana pulang pagi ini, tapi dia memilih untuk menemani Ayya yang mungkin 'sakit' melihat saudara kembarnya menikah mendahului dirinya.

"Mbak Vira, tinggal di sini dulu. Kasihan tuh Mbak Ayya sendirian," ucap Hawwaiz saat seluruh keluarganya sedang sarapan.

Ibnu hanya mengangguk setuju mendengar usulan Hawwaiz meminta Vira tinggal di Jogja untuk beberapa waktu. "Benar Vira, temani Ayya bersama Hawwaiz di sini."

"Tante yang akan memintakan izin kepada mimi dan pipimu nanti."

"Mobil mau ditinggal satu, Dik? Supaya kalian mudah untuk mobilisasinya?" tanya Ibnu.

"Daddy bagaimana pulangnya?" tanya Hawwaiz.

"Daddy bisa sama Bang Hafizh, kan hanya sama Bunda saja." Ibnu masih menyelesaikan sarapannya ketika memberikan jawaban untuk putra bungsunya.

"Iya Dik, ajak Mbak Ayya senang-senang. Dia pasti mau, nanti Kesha juga biar ikut jadi kalian bisa senang-senang bersama." Qiyya menambahkan.

"Ya sudah, mobil Bunda saja yang di tinggal yang muat banyak orang." Hawwaiz akhirnya menyetujui usulan kedua orang tuanya. Ditambah lagi karena ada Elram yang berniat untuk berangkat ke Bandung dari Jogja.

"Hati-hati bawa mobilnya, kalau pulang capek mending istirahat dulu jangan dipaksakan," pesan Hanif sebelum semuanya meninggalkan Jogja dan menyisakan Hawwaiz, Ayya dan Vira.

Memilih untuk menikmati pemandangan di area Merapi, Hawwaiz memutuskan untuk mengambil long trip adventure mereka.

"Kamu di depan atau di belakang, El?" tanya Hawwaiz saat mereka hendak naik ke mobil jeep.

"Jalannya curam nggak, Bi? Menakutkan nggak?" tanya Vira sedikit ngeri membayangkan.

"Tidak akan semenakutkan Pipi Arfan ketika dulu manufer di udara dengan jet tempur yang dikemudikannya." Hawwaiz kemudian menyuruh Vira untuk segera naik. "Ayo naik, kalau takut aku temani di belakang deh. Nggak apa-apa kan, Mas?"

Driver menyilakan keduanya. Namun Vira justru mengerucutkan bibirnya. "Lagian sejak kapan kamu manggil pipiku dengan sebutan pipi juga."

"Semenjak aku dinobatkan sebagai calon menantu Pipi Arfan lah." Hawwaiz masih juga menanggapi meski kini sudah duduk di samping driver dan Vira duduk di belakang.

Pertengkaran-pertengkan kecil mewarnai perjalanan mereka. Percakapan mereka mengalir disela tawa, riuh, teriakan saat turunan tajam lalu berkelok hingga mobil mereka sampai di Bunker Kaliadem.

Ada semburat yang tak bisa terbaca mungkin juga berusaha untuk disembunyikan oleh Ayya. Hawwaiz datang memeluk sang kakak, berusaha membuatnya tersenyum tanpa ingin tahu lebih dalam apa yang membuat wajah kakaknya mendung seketika. Padahal pemandangan di sana begitu memukau mata.

"Selama di Jogja berapa kali datang kemari, Mbak?" tanya Hawwaiz.

"Dua kali ini." Cukup sudah, Hawwaiz tidak ingin bertanya lebih karena mungkin saja ada kenangan tertinggal di lereng gunung Merapi ini bagi seorang Ayya. Pemandangan yang tidak secuil pun hilang dari rekaman file ingatan Vira. Betapa Hawwaiz sangat mencintai saudara perempuannya.

Dan seperti biasa, Hawwaiz selalu berusaha untuk menjadi host dadakan untuk acara youtube pribadinya. Beberapa spot diambilnya bersama dengan saudara dan sahabat kakaknya. Dan lagi-lagi Kesha membuatnya geram dengan memanggilnya berondong. Namun, itu hanya berlangsung sebentar sebelum Kesha meminta maaf kepada Hawwaiz. Setelahnya justru mereka terlihat akrab berbincang seputar kesehatan.

"Jadi emang dokter itu kalau ngobrolnya dengan dokter langsung ya nyambung, konek nggak pakai kabel," kata Kesha.

Hawwaiz berkata lirih sambil tertawa.

"Kamu kalau ngobrol sama Om Ibnu, Mas Hanif dan Ayya juga begitu?" lanjut Kesha.

"Sepertinya," Hawwaiz menjawab singkat tetapi kemudian dia menambahkan. "Tapi bukan berarti kalau ngobrol dengan yang lain nggak bisa nyambung sih."

Tiba-tiba Vira datang mendekat setelah berbincang dengan Elram dan Ayya. Dia bertanya Kesha dan Hawwaiz ingin memesan minum apa dengan muka masam.

"Teh tawar hangat saja," jawab Hawwaiz.

"Tawar?" tanya Vira memastikan. Lalu Hawwaiz berdiri dan berjalan mendekati Vira untuk bersama menuju ke penjualnya. "Aku ikut aja ke sana deh."

Dalam perjalanan singkat mereka Hawwaiz tak lupa berucap, "Iya cukup teh tawar, kan manisnya sudah sama kamu."

"Gombal banget!" Masih dengan wajah yang sama.

Sepertinya Hawwaiz menyadari sesuatu. Ada tanya disela tawa, ada cemburu yang menjadi titisan dari rindu atau ada tatapan yang menipu ucapan. Jogja bersama dengan romansa penuh cinta ketika kata tak lagi bermakna untuk membawa hati bisa mengerti.

Menghabiskan seluruh waktu untuk bersenang-senang. Sampai kata lelah mengantarkan tubuh untuk segera mengambil hak istirahatnya. Sebelum memejamkan mata Vira menyempatkan diri untuk mengecek email terlebih dulu dan betapa terkejutnya saat dia mengetahui jika ada panggilan psikotest untuk kelanjutan dari wawancara tiga hari yang lalu.

Tidak ada yang lain kecuali memberikan kabar itu kepada Hawwaiz karena besok jam 13.00 sudah harus berada di Surabaya.

Vira meminta izin kepada Ayya untuk menelepon Hawwaiz setelah memberitahukan email yang dikirimkan perusahaan kepadanya.

"El, belum tidur?" suara serak Hawwaiz saat menerima telepon dari Vira.

"Maaf, Bi, aku gangguin tidurmu. Besok jam satu siang aku harus sampai di Surabaya ada psikotest."

Mata Hawwaiz yang sudah terpejam menjadi terbuka sempurna.

"Aku sudah cek tiket kereta hari ini sudah fullbook, sementara aku tidak membawa pakaian formal. Bagaimana ya?"

"Berikan teleponnya kepada Mbak Ayya," kata Hawwaiz disusul Vira memberikan gawainya kepada Ayya.

"Nggak bisa, Dik. Takutnya nanti tiba-tiba pengumuman koas, jadwalnya juga minggu-minggu ini. Gini saja deh, besok pagi kalian berdua ke Surabaya saja. Aku yakin kalian tidak akan mengkhianati kepercayaan kami." Ayya akhirnya memberikan keputusan untuk kebaikan semuanya.

"Makasih ya, Ayya," kata Vira ketika Ayya mengembalikan teleponnya.

"El, kamu istirahat ya. Kita berangkat menjelang subuh, salat di jalan saja," kata Hawwaiz sebelum telepon mereka terputus.

Memejamkan mata lalu mengukir mimpi. Bisa jadi Vira menyelipkan doa bahwa apa yang diusahakannya tidak pernah ada yang sia-sia.

Keesokan paginya seperti yang dijanjikan Hawwaiz, dia datang sebelum Subuh untuk menjemput Vira. Mereka berangkat ke Surabaya berdua.

"Ayya aku berangkat dulu," pamit Vira.

"Mbak, berangkat dulu," kata Hawwaiz.

"Hati-hati kalian. Dik, nyetirnya boleh kenceng tapi tetap fokus. Vira, tolong ajak bicara terus, biasanya dia suka ngantuk kalau nggak ada teman ngobrol," pesan Ayya.

Mobil yang mereka tumpangi akhirnya membawa keduanya menuju ke Surabaya. Hawwaiz sendiri yang mengemudikan dan mengusahakan bisa masuk ke Surabaya sebelum jam 11.00 karena dia juga harus mengantarkan Vira membeli pakaian yang pantas untuk dikenakan mengikuti tes.

"Makasih ya Bi, nggak tahu lagi deh gimana ngucapinnya," kata Vira memecah keheningan di antara mereka.

"Apaan sih El, selama kita bisa membantu orang ya kita bantu. Lagian aku juga nggak ada kerjaan. Santai saja, kapan lagi bisa nolong kamu." Hawwaiz menjawabnya dengan serius dan fokus mengemudi.

"Bi--"

"Hmmm," jawab Hawwaiz.

"Tapi beneran aku ngerasa utang banyak sama kamu."

"Siapa yang menghitung sebagai utang sih, aku ikhlas bantuin kamu," kata Hawwaiz lagi.

"Tetap saja, ish, aku yang ngerasa begitu meski kamu nggak menghitungnya sebagai utang." Vira masih rewel.

"Ya sudah aku yang ngalah, kamu mau apa?" tanya Hawwaiz.

"Kok jadinya kamu yang nanya aku maunya apa, aku dong yang harusnya nanya kamu. Sebagai imbalannya kamu mau apa?" kini Vira yang ganti bertanya kepada Hawwaiz.

"Yakin kamu mau aku menjawabnya?" tanya Hawwaiz lagi.

"Ya iyalah Bi, nggak enak tahu berutang budi kepada orang lain." Vira memainkan jemarinya.

"Kalau nggak enak kasih kucing, gampang kan?"

"Bilal, aku serius--" Hawwaiz justru tersenyum dengan tatapan masih fokus ke depan. "Kamu mau apa?" kata Vira

"Aku?" tanya Hawwaiz dengan menunjukkan jari telunjuknya kepada dirinya sendiri.

"Iya, sedari tadi juga nggak jawab-jawab. Kamu mau apa?" tanya Vira lagi.

"Aku mau kamu."

"Apaan sih! Serius ini, malah ngajakin bercanda." Vira semakin gemes dengan adik sahabatnya ini.

"Iya, iya serius. Aku ikhlas bantuin kamu, El. Kenapa maksa banget nanya aku maunya apa sih. Giliran dijawab aku maunya kamu, eh kamunya nggak percaya," kata Hawwaiz.

"Ya kali, itu mah gombalan kamu banget." Vira mengerucutkan bibir.

"Bukannya kamu suka, ya?" tanya Hawwaiz yang membuat keduanya jadi tertawa bersama. "Ok, ok, kali ini aku jawab serius. Kamu ingin membalas semua yang kulakukan supaya tidak berutang budi padaku, kan?" Vira mengangguk.

Hawwaiz kemudian menoleh ke kiri sekilas. Melihat Vira yang masih menunduk sambil memainkan jarinya di ujung jilbab yang dia kenakan dari ekor matanya. Setelah menghela napasnya perlahan Hawwaiz melanjutkan ucapannya. "Cukup berikan nama belakangku sebagai nama marga anakmu kelak maka utang budi di antara kita akan lunas."

Vira memberanikan diri menatap Hawwaiz sambil bertanya, "Asy Syafiq?"

"Ya," Hawwaiz pun menjawab tanpa ada gurauan sedikit pun. Kedua tangannya masih mencengkeram setir bundar yang ada di depannya.

Vira sendiri tidak tahu lagi harus menjawab apa, mungkin dia akan terjebak dalam sebuah prank yang dibuat oleh Hawwaiz. Namun hingga ke sekian menit berlalu dalam kebungkaman mereka tidak ada tanda-tanda Hawwaiz untuk melanjutkan aksinya jika dia hanya ingin membuat prank untuknya.

"Kamu pikir aku akan ngeprank kamu?" tanya Hawwaiz saat membelokkan kemudinya di sebuah rest area tol menuju ke Surabaya.

Vira masih menimbang keseriusan Hawwaiz, melihat sikapnya dalam-dalam lalu menggeleng perlahan.

"Aku serius, El. Kapan kamu siap, aku yang akan berhadapan dengan Pipi dan Daddy. Kamu?" kata Hawwaiz menunjuk Vira yang masih syok, "Kamu cukup diam di belakangku dan mengiyakan apa yang aku katakan kepada mereka."

"Eh kita mau ngapain?" Vira mengalihkan topik pembicaraan mereka karena mobil yang mereka tumpangi mulai berjalan perlahan.

"Kamu mau ke belakang nggak?" tanya Hawwaiz yang dijawab gelengan kepala oleh Vira.

"Kita beli fastfood, drive thru saja supaya tidak telat sampai Surabaya, aku lapar." Hawwaiz mengelus perut ratanya.

"Tapi Bi, kamu lagi setir."

"Lalu apa fungsinya kamu duduk di sampingku?" tanya Hawwaiz yang mulai memesan menu makanan yang diinginkan. "Kamu pengen makan apa?"

"Kamu--" kata Vira.

"Eh, jangan dulu, kita belum halal," jawab Hawwaiz lirih supaya tidak terdengar di mikrofon pesan.

Pipi Vira tiba-tiba bersemu merah mendengar jawaban Hawwaiz lalu dia dengan cepat mengkoreksi ucapannya.

"Maksudnya samain dengan pesanan kamu." Vira mengoreksi.

Setelah Hawwaiz membayarnya, mereka kini berhenti di pintu pengambilan pesanan. Hawwaiz meletakkan bungkusan berisi makanan di ruang yang ada di antara mereka. "El__" Hawwaiz memanggil Vira.

"Hmmm," kata Vira.

"Suapin, aku lapar."

Saat tangan Vira tak lagi canggung menyuapkan sendok demi sendok ke mulutnya, dalam hati Hawwaiz berteriak. Yogyakarta, sepertinya ada rindu yang harus dijaga untuk membuat cerita itu selalu ada. Letup rasa yang mulai tersemai di dalam hati dan enggan untuk membuatnya mati.

Yogyakarta, menggenggam rindu menjadi candu lalu berjuang untuk bertemu.

Yogyakarta, satu kata sejuta makna dengan isyarat cinta.☼

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 01 Maret 20
*sorry for typo

Continue Reading

You'll Also Like

6.8M 286K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
482K 51.1K 21
*Spin off Kiblat Cinta. Disarankan untuk membaca cerita Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengetahui alur dan karakter tokoh di dalam cerita Muara Kibla...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.6M 38.7K 17
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
3.1M 152K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...