AMBISIUS : My Brother's Enemy...

By Karanaga

1.7K 53 2

Suatu hari, kelas Malta kedatangan seorang murid baru super tampan dari San Fransisco yang bernama Austin. Da... More

Book Cover
Tokoh
Prolog
Aku dan Jason yang Menyebalkan
Austin si Anak Baru yang Tampan
Jason Menghilang
Orang Tuaku Menghilang
Aku Menyukai Malta
Rahasia Jason
Pertemuan Austin dan Jason
Kencan dengan Austin?
Aku Membenci Larry
Wanita Berkumis dengan Senyuman Manis
Menonton Film dengan Austin
Rumah Berhantu
Catherine Hamlin
Pertandingan Basket Austin
Hari Sial Jack
Hoax
Miami
Larry Holmes (Part 1)
Allison James
Pesta Dansa Sekolah
Perpisahan
Surat dari Austin
Epilog

Larry Holmes (Part 2)

23 1 0
By Karanaga

[LARRY]

(Dalam pesan singkat)


Larry: Malta, kau sudah siap? Kami sudah

di depan rumah Bibi Eagle.


Malta: Sepagi ini? Ya sudah. Tunggu sebentar!

Aku dan Jason akan segera ke sana!


Hari ini, aku sengaja bangun sangat pagi agar kami bisa memiliki banyak waktu untuk menjalankan misi. Beberapa detik setelah aku membuka kedua mataku, aku segera menelepon Leticia dan Branton untuk meminta mereka berdua bersiap-siap. Walaupun pada akhirnya mereka malah menjawabku dengan makian karena telah mengganggu jam tidur mereka. Tetapi, mau bagaimana lagi? Bagaimanapun, ini tidak bisa dianggap remeh. Sebagai seorang detektif, kami harus bisa menjalankan misi ini sebaik mungkin. Bangun di awal hari merupakan langkah terbaik menuju keberhasilan.

Branton duduk terkulai di atas tanah, sambil bersandar pada batang pohon hikori yang tumbuh di pekarangan rumah Bibi Eagle. Pohonnya cukup besar. Jika aku yang tinggal di sini, mungkin sudah kubuat rumah pohon di atasnya. Lalu, akan aku jadikan basecamp untuk kelompok baruku ini dan aku beri nama, The Tree of Larry.

"Larry, apa kau sudah sarapan?" Tanya Leticia. Ia sudah menanyakanku hal itu sebanyak tiga kali pagi ini.

"Leticia Marple, sudah ku bilang berkali-kali, aku sudah sarapan. Dan ingat! Larry Holmes," jawabku.

"Oh, iya. Maaf, Larry Holmes. Aku hanya ingin menawarkanmu sandwich telur ini."

"Sandwich telur?" Celetuk Branton yang tiba-tiba bersemangat setelah mendengar nama makanan. "Buat aku saja, Leticia Marple! Aku belum sarapan"

"Lalu, apa yang tadi kau makan?!" Tanyaku kesal setelah melihatnya menghabiskan 3 buah wafel dengan sirop mapel beberapa menit yang lalu.

"Tadi itu hanya cemilan! Bukan sarapan! Sini Leticia, berikan padaku! Lagi pula Larry tidak mau," kata Branton berdalih.

Dalam kamusnya, sepertinya hanya ada makan dan tidur saja yang dia ingat.

"Berikan saja padanya, biar dia diam!" Kataku.

Dengan berat hati, Leticia memberikan sandwich telur itu kepada Branton. Kemudian, ia pergi melihat bunga-bunga yang di tanam di pekarangan.

Beberapa menit kemudian, Malta dan Jason datang menghampiri kami.

"Kenapa pagi sekali! Ini baru jam setengah 8 pagi," keluh Malta.

Branton menguap, "Huahhh...Tanya saja padanya!" Branton menunjukku. Aku tahu ia masih kesal setelah aku meneleponnya berkali-kali tadi pagi agar ia terbangun. "Kau jahat sekali, Larry! Aku masih sangat mengantuk."

"Teman-teman, semakin pagi kita mulai, semakin banyak waktu yang kita miliki untuk mencari petunjuk!" Kataku mencari alasan.

"Ya...dia ada benarnya juga," ujar Jason setuju.

"Ya sudah. Kita mulai saja!" Kata Branton.

Dari kejauhan, seorang pria pengantar surat menatap kami dengan heran sambil memasukkan beberapa pucuk surat ke dalam kotak surat. Ia mencurigai kami karena mendatangi rumah seorang wanita tua tanpa keluarga di pagi yang sepi. Terlebih lagi setelah Branton menatap pria itu dengan tatapan ala berandal jalanan sambil melontarkan beberapa patah kata untuk menakutinya. Pria itu terlihat ketakutan dan hampir saja berteriak. Untungnya, Bibi Eagle keluar dari rumahnya pada waktu yang tepat.

"Maafkan anak-anak ini! Mereka hanya bercanda!" Kata Bibi Eagle pada pria pengantar surat.

Pria itu akhirnya pergi sambil memelototi kami semua. Aku bahkan tak melakukan apapun padanya.

"Kau ini! Sama sekali tak membantu," bentakku kesal pada Branton.

Branton mengalihkan pandangannya dariku tanpa menjawab sedikitpun.

"Sudahlah...kita ke sini untuk sebuah misi! Sebaiknya jangan bertengkar untuk hal tidak berguna," kata Malta, mengingatkan.

Setelah itu, Bibi Eagle mempersilakan kami semua untuk memasuki rumahnya.

Kami duduk di ruang tamu dan menanyakannya beberapa hal mengenai kegiatan yang ia lakukan selama ia tinggal di rumah keluarga Armchair. Bibi Eagle mengaku jika ia tidak sering keluar rumah, kecuali untuk keperluan mendadak atau hal yang sangat penting. Lagi pula, ia hanya keluar rumah jika Jason dan Malta berada di rumah. Selain itu, ia lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah Malta.

"Kalau begitu, apakah Bibi ingat, mungkin saja ada tamu yang datang ke rumah selama seminggu terakhir?" Tanyaku.

"Tamu? Sepertinya tidak ada tamu yang datang selama seminggu terakhir," jawabnya sambil mengingat-ngingat.

"Coba ingat lagi! Mungkin saja ada yang kau lupakan," pintaku sedikit memaksa. Bagaimanapun, aku tidak punya cara lain. Petunjuk darinya akan sangat berarti.

"Maafkan aku! Aku tidak ingat apapun. Lagi pula aku sudah cukup tua. Jadi, banyak hal yang bisa aku lupakan."

"Sudahlah, Larry! Jangang memaksanya lagi!" Tegur Malta. "Bibi Eagle, sudahlah...tidak usah dipikirkan lagi! Kami akan mencari cara yang lain."

Kelihatannya, Bibi Eagle merasa bersalah. Ia menutup kedua matanya, berusaha mengingat semua hal yang terjadi belakangan ini, sambil menggaruki pelipisnya.

Kami mencoba membantunya memikirkan hal yang mungkin ia lupakan. Hal yang mungkin tak dianggap penting baginya.

"Sebentar! Sepertinya aku mengingat sesuatu!" Katanya tiba-tiba.

Kami semua segera mendekatinya, berharap mendapatkan petunjuk yang mungkin terlewat.

"Selama seminggu terakhir di sana, aku memang tidak pernah menerima tamu. Tetapi, bukan berarti tidak ada yang datang."

"Apa maksudmu?" Tanyaku tak mengerti.

"Memang tidak pernah ada tamu yang datang. Tetapi, aku ingat, ada seorang pengantar pizza yang datang untuk mengantarkan pesanan kami. Saat itu, ada Jason juga di rumah. Itu terjadi pada siang hari. Tapi, satu hal yang membuatku bingung adalah aku merasa tidak memesan pizza sama sekali. Selain itu, setahuku Jason juga kurang begitu suka membeli pizza. Apa lagi semenjak aku tinggal di sana, Jason selalu memintaku untuk tidak membeli makanan dari luar kecuali tak ada apapun untuk dimasak. Namun, saat itu aku berpikir, mungkin saja Jason merasa bosan dengan makanan rumah, sehingga ia membeli pizza hari itu. Oleh karena itu, aku tidak mempertanyakannya lagi," jelas Bibi Eagle.

Aku menatap Jason. Raut wajahnya berubah dalam sekejap. Ia menatap kami semua dengan penuh kebingungan.

"Bibi Eagle, aku kira kaulah yang memesan pizza hari itu. Aku sama sekali tidak pernah memesannya!" Ujar Jason.

Kami semua saling bertatapan.

"Apa kalian memikirkan apa yang aku pikirkan?" Tanyaku.

"Jangan-jangan orang itu datang untuk mengembalikan cardigan milikku!" Kata Malta, menaruh curiga.

"Bisa jadi!"

"Saat itu, aku sempat meninggalkan si pengantar pizza sendiri untuk mengambil uang," ujar Bibi Eagle.

"Bisa jadi saat itu ia masuk ke dalam rumah untuk menyimpan cardigan itu!" Pikir Leticia.

"Iya. Menurutku juga begitu!" Kataku setuju. "Jason Wimsey, apa di rumah kalian ada CCTV?"

"Ada. Pas sekali mengarah ke pintu depan. Lalu, di pintu bagian belakang dan di dalam rumah juga ada dua," jawab Jason.

"Kalau begitu, ayo kita periksa rekaman CCTV hari itu!" Ajakku.

Kami kembali ke rumah Malta untuk memeriksa rekaman CCTV yang berada di bagian depan rumahnya. Kami harus mengecek beberapa rekaman, karena Bibi Eagle lupa kapan tepatnya kejadian itu terjadi. Hal ini cukup menguras waktu. Setelah beberapa lama, akhirnya kami menemukan rekaman itu. Kami memajukan vidionya tepat di saat kejadian itu terjadi.

Rekaman itu memperlihatkan seseorang dengan seragam pengantar pizza dan helm yang menutupi wajahnya sambil memegang sekotak pizza di tangan kirinya dan sebuah kantong yang tidak kami ketahui isinya di tangan kanannya. Bibi Eagle berkata jika orang tersebut merupakan seorang pria setelah mengingat suaranya. Tetapi, ia tidak bisa melihat wajahnya karena pria itu tak memperlihatkannya sama sekali.

Beberapa menit setelah Bibi Eagle dan pria pizza itu berbincang, akhirnya Bibi Eagle meninggalkan pria itu sendirian. Hal yang mengejutkan pun terjadi. Seperti yang kita duga, pria tersebut masuk ke dalam rumah, namun hanya untuk beberapa detik saja. Setelah ia keluar, tak lama Bibi Eagle kembali dan menyerahkan uang padanya. Lalu, ia menyerahkan pizza itu kepada Bibi Eagle dan pergi menghilang begitu saja tanpa jejak.

"Ada yang aneh! Kenapa pria itu hanya menyerahkan pizzanya saja, tetapi tidak menyerahkan kantong yang ia bawa juga? Jika tidak ingin diserahkan, untuk apa dibawa?" Aku bertanya-tanya.

"Betul juga! Jika kantong itu berisi pesanan orang lain atau barang miliknya, mengapa tidak ia tinggalkan di kendaraannya saja? Lagi pula ia hanya pergi sebentar," kata Malta, semakin curiga.

"Hmm...semua itu pasti ada alasannya. Bisa jadi, kantong itu tadinya berisi cardigan milik Malta. Lalu, saat ia masuk, ia mengeluarkan cardigan itu dan meletakkannya di dalam rumah. Hal itu sengaja dilakukan agar orang tidak curiga. Karena dia sadar, jika rumah ini terpasang kamera CCTV!" Kataku berasumsi.

"Tapi, sayang sekali. Kita tidak mendapat bukti apapun yang mengarah pada Austin. Walaupun kita menunjukkan rekaman ini kepada semua orang, namun tetap saja, rekaman ini tidak dapat membuktikan apapun!" Kata Jason, putus asa.

"Masih ada satu cara! Kita harus menemukan pria pengantar pizza itu!" Cetusku.

Semua orang menatapku dengan heran.

"Larry, bagaimana caranya?! Kita bahkan tak bisa melihat wajahnya!" Tanya Branton sambil menekan kedua pundakku dengan kencang.

Leticia membawakan kami beberapa gelas limun dingin untuk mencairkan suasana. Semua pemikiran ini sedikit membebani kami semua. Terutama Branton yang sudah terkulai lemas tak berdaya dan hanya memikirkan makanan sejak tadi pagi. Kini ia bahkan semakin menjadi-jadi.

"Branton Poirot...tenanglah! Coba lihat!" Pintaku sambil menunjuk ke arah pria pizza yang ditampilkan rekaman CCTV. "Lihatlah seragam yang ia kenakan! Ia jelas-jelas bekerja untuk restoran Pizza Island. Mengapa tidak kita cari saja dia di sana?"

"Larry! Pizza Island memiliki banyak cabang. Di Chicago saja mungkin ada banyak! Bagaimana caranya kita bisa menemukan restoran tempat ia bekerja?" Tanya Jason.

"Pizza Island memang memiliki banyak cabang. Tetapi, di setiap daerah hanya ada satu cabang. Jika kalian menelepon restoran itu untuk memesan pizza, pasti mereka akan menghubungi restoran terdekat dengan rumah kalian. Lagi pula, restoran itu punya aturan, mereka hanya akan mengantar ke rumah yang masih dalam batas jangkauan. Jadi, itu berarti restoran tempat ia bekerja berada di sekitar sini. Tidak akan jauh," jawabku. "Oleh karena itu, kita datangi saja tiga cabang terdekat dengan lokasi rumah ini!"

"Betul juga! Aku bodoh sekali tidak berpikir begitu," kata Jason merasa malu.

"Tidak usah menyalahkan! Sekarang, saatnya kita pergi ke sana!" Ajakku dengan semangat.

"Tapi, bagaimana caranya pria pizza itu bisa memiliki cardigan Malta? Kapan Austin menyerahkannya?" Tanya Leticia.

"Mungkin saja mereka sudah bersekongkol sejak awal. Austin sudah lebih dulu pergi ke restoran untuk menemui salah satu pengantar pizza. Lalu, ia meminta pria itu untuk mengantarkan pizza ke rumah Malta serta mengembalikan cardigan itu ke rumahnya. Tapi, untuk menghilangkan kecurigaan, Austin sengaja menelepon restoran itu untuk memesan pizzanya dan menyerahkan alamat rumah ini. Ia menelepon hanya untuk formalitas saja agar semuanya tercatat pada catatan pembelian restoran dan agar si pengantar pizza tidak mengantar pizza secara ilegal. Selain itu, ia juga mungkin pergi ke sana untuk memastikan jika pizza pesanannya memang diantar oleh si pria pizza yang sudah bersekongkol dengannya," jawabku dengan yakin.

"Tetapi, itu baru asumsi saja," kata Jason.

"Tetapi, asumsi ini masuk akal," balasku.

Setelah perdebatan yang cukup panjang, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke tiga cabang restoran Pizza Island. Jason pergi ke restoran pertama, aku dan Leticia pergi ke restoran kedua, sedangkan Branton dan Malta pergi ke restoran ketiga. Kami pergi ke sana untuk memeriksa catatan pembelian pizza yang diantarkan ke rumah Malta.

Sesampainya di restoran, aku dan Leticia segera meminta kepada salah satu pelayan untuk memberi tahu manajernya tentang kedatangan kami dan maksud kami datang ke sana. Awalnya, mereka sempat menolak, tetapi kami sudah kehilangan banyak waktu, jadi aku terpaksa masuk ke dalam ruang manajer tanpa izin.

Untungnya, manajer restoran itu mau memaklumi kami dan bersedia memeriksa catatan pembelian restoran itu selama seminggu terakhir. Tak lama, secara mengejutkan, kami mendapatkan petunjuk jika restoran itu memang mengantarkan pizza ke rumah Malta.

Tapi berita buruknya, sang pengantar pizza sudah berhenti bekerja dari restoran tersebut tanpa alasan yang jelas. Manajer restoran juga tak ingin memberi tahu kami di mana pria itu tinggal kecuali kami memiliki surat izin untuk itu. Akhirnya, dengan berat hati kami pergi meninggalkan restoran.

Aku merasa kesal karena tidak dapat menemukan pria itu. Orang yang bisa menjadi salah satu bukti penting bagi kasus ini. Pengakuannya akan sangat membantu. Walaupun aku tidak yakin ia akan mengaku jika seandainya kami bertemu.

Jason, Branton, dan Malta memberi tahuku jika mereka tidak berhasil mendapatkan petunjuk apapun. Dengan penuh penyesalan, Jason berpamitan karena harus pergi untuk suatu urusan. Sedangkan Branton dan Malta menemui aku dan Leticia di salah satu mini market.

Saat itu, sudah jam 4 sore. Kami membeli beberapa makanan dan minuman ringan untuk dibawa ke basecamp alias rumah Malta untuk mendiskusikan permasalahan ini lebih lanjut. Tapi, tanpa disangka, hal mengejutkan terjadi.

Ketika kami berempat sedang duduk dengan tenang di bangku depan mini market, tiba-tiba seorang wanita paruh baya berteriak meminta tolong karena tasnya dicuri seseorang. Wanita itu berlari dengan kencang hingga terjatuh di pinggir jalan. Sedangkan si pencuri berhasil kabur darinya sambil membawa tas curiannya.

Pencuri itu sempat melewati kami berempat ketika kami sedang asyik bicara dan tidak menyadari jika ia adalah seorang pencuri. Namun, setelah mendengar wanita itu berteriak dan menunjuk ke arahnya, dengan cepat mataku tertuju padanya. Saat aku melihat wajahnya, tak ku sangka, ternyata pencuri itu terlihat sangat familiar.

"Itu dia! Harta karun kita ada di sana! Cepat kejar!" Pintaku, berteriak.

Secara spontan, aku berlari mengejar si pencuri itu dan teman-temanku mengikutiku dari belakang.

"Larry Holmes! Kita mau kemana?!" Tanya Branton.

Selama lima menit kami mengejarnya. Pencuri itu berbelok ke arah gang kecil, sedangkan kami masih mengikutinya.

Tak lama, aku mendengar sirene polisi berbunyi. Kelihatannya, para petugas kepolisian sudah sampai di lokasi untuk mencari pencuri itu.

Malta dan Leticia berhenti karena kelelahan. Aku meminta mereka berdua untuk menunggu di depan toko roti, sedangkan aku dan Branton tetap melanjutkan pengejaran kami.

Ketika kami berbelok ke arah gang itu, kami kehilangan si pencuri. Kelihatannya ia berhasil lolos.

"Larry, pencuri itu hilang! Sudahlah...tak usah dikejar lagi! Lagi pula polisi sudah datang," kata Branton sambil terengah-engah karena lelah berlari.

"Bukan itu masalahnya!"

"Lalu apa?"

Tiba-tiba, aku mendengar sebuah suara dari dalam tong sampah.

"Apa kau dengar itu?!" Tanyaku sambil berbisik.

"Dengar apa?"

"Sshhh!!" Aku menyuruhnya diam.

Kami berjalan perlahan, langkah demi langkah, mendekati tong sampah itu.

Aku memberikan aba-aba kepada Branton untuk segera bersiap-siap, "Satu...dua...ti...ga!"

Secara bersamaan kami membuka tong sampah itu, dan ternyata dugaanku benar. Pencuri itu bersembunyi di dalamnya sambil memeluk tas curian milik wanita itu. Pencuri itu mencoba kabur, tetapi kami berhasil menahannya.

"Tunggu dulu! Bukankah dia???" Branton terlonjak kaget setelah mendapati bahwa pencuri itu merupakan pria yang berada di dalam foto palsu Malta yang tersebar di sekolah. "Ternyata kau adalah seorang pencuri! Tak ku sangka, kejahatanmu banyak sekali!"

"Apa maksudmu? Lepaskan aku!!! Lepaskan!!!" Pintanya sambil melawan.

Aku mengeluarkan sebilah pisau swiss army yang selalu aku bawa untuk berjaga-jaga. Pencuri itu terlihat takut. Aku mengancamnya hingga akhirnya ia berhenti melawan.

"Kau dengar itu?" Tanyaku sambil mendekatkan pisau itu ke lehernya. "Itu suara sirene polisi. Jika kau melawan, aku akan menyerahkanmu ke polisi sekarang juga!"

"Tolong lepaskan aku! Aku berjanji akan mengembalikan tas ini, tetapi biarkan aku pergi!"

"Boleh saja. Tapi...dengan satu syarat!"

"Apa? Katakan saja! Asal bukan nyawaku saja!"

"Larry!" Tiba-tiba, Leticia dan Malta datang menghampiri kami. "Apa yang kalian lakukan?!" Tanya Malta, bingung.

"Pria ini yang mencuri tas wanita itu!" Leticia mendekatkan wajahnya kepada si pencuri, "Hah! Bukankah dia?!"

"Ya! Dia adalah pria yang berada di foto itu," kata Branton, memahami apa yang Leticia pikirkan.

"Jika kau ingin bebas, kau harus mengakui mengapa kau bisa berada di dalam foto ini dan siapa yang bersamamu saat itu!" Kataku sambil menunjukkan foto palsu tersebut.

"Itu...itu...aku tidak tahu kenapa aku bisa ada di foto itu!" Balas si pencuri.

"Jangan bohong! Kalau begitu kau tidak bisa bebas!" Ancamku.

"Tidak...tidak! Percayalah! Aku benar-benar tidak tahu!"

Aku tidak tahu apakah ia berbohong atau tidak. Tetapi, melihat sorot matanya, sepertinya ia tidak berbohong.

"Coba kau ingat! Apakah kau merasa pernah bertemu dengan gadis ini? Coba ingat sesuatu!"

Pria itu terlihat berusaha sekali untuk mengingat apa yang terjadi dengannya dalam foto itu.

"Oh! Aku ingat sekarang! Tapi hanya samar-samar!"

"Tidak apa-apa. Katakan saja semua yang kau ingat! Leticia Marple, cepat rekam dia!" Pintaku.

"Baik"

Dengan segera, Leticia mengeluarkan ponselnya dan merekam semua pengakuan pria itu.

Kami sangat terkejut setelah mendengarnya. Tapi, karena telah berjanji, dengan terpaksa kami melepaskan pria itu. Ia langsung menghilang hanya dalam waktu beberapa detik saja.

Kami membawa tas curian itu dan menyerahkannya lagi kepada pemiliknya. Kemudian, kami semua memberikan kesaksian palsu. Seorang polisi tampak curiga ketika mendengarkan penjelasan kami, namun akhirnya kami berhasil membuatnya percaya. Lagi pula, pencuri itu tidak mengambil satu barang pun dari dalam tas itu, sehingga semua barangnya masihlah utuh.

"Fiuuuhh...hampir saja!" Kataku sambil menyeka keringat.

"Polisi tadi cukup pintar. Untungnya kita masih lebih pintar darinya," ucap Branton dengan bangga, walaupun sebenarnya ia tidak mengatakan apapun saat diperiksa.

"Teman-teman, akhirnya!!! Akhirnya, kita memiliki bukti!" Aku melompat-lompat kegirangan.

"Tapi, apa ini saja cukup? Maksudku, bagaimana jika mereka mengira pernyataannya palsu. Mungkin saja, mereka akan berpikir jika kita membayar pria itu untuk mengatakan hal itu. Bisa saja, kan? Kita harus memiliki bukti lain yang lebih konkrit," pikir Malta.

"Tapi, apa lagi? Ini saja kita dapatkan dengan susah payah, juga dengan sedikit keberuntungan," ujar Branton, kehilangan ide.

"Bukan hanya sedikit. Tapi, banyak keberuntungan!" Tambah Leticia.

"Entahlah. Kita pikirkan lagi nanti! Sebaiknya, kita kembali ke basecamp sekarang untuk memberi tahu Jason. Mungkin saja ia sudah pulang," ajakku.

Setelah pengejaran yang melelahkan, kami kembali ke rumah Malta untuk menyantap beberapa cemilan yang sudah kami beli di mini market. Untungnya, kedua orang tua Malta sedang pergi ke suatu tempat untuk rapat. Jadi, kami tidak perlu merepotkan siapapun di rumahnya, terkecuali Malta dan Jason.

Jason tampak sangat terkejut setelah kami memperlihatkan vidio pengakuan pria itu yang baru kami dapatkan sore tadi.

"Jika mendengar ciri-ciri yang ia sebutkan, itu pasti Austin! Austin pasti mengenakan jaket tim basket saat itu. Sedangkan gadis itu, ia bilang memang terlihat sedikit mirip dengan Malta. Katanya, pria yang bersama gadis itu memanggilnya Chelsea. Menurut kalian siapa Chelsea?" Tanya Jason.

"Hah! Sepertinya yang ia maksud bukan Chelsea! Tapi Cassy!" Celetuk Malta.

"Cassy? Siapa?" Tanya Branton.

"Cassy! Nama panggilan, Cassandra. Dia adalah wakil ketua osis. Sekarang semuanya terlihat jelas!" Jawab Malta dengan yakin.

"Apa maksudmu?" Tanyaku, bingung.

"Akhir-akhir ini, aku sering melihat Austin bersama dengan Cassandra. Mereka sering makan bersama di kantin atau ngobrol di koridor sekolah. Jika memang laki-laki yang pria itu maksud adalah Austin, itu artinya gadis itu adalah Cassandra. Larry! Apa kau tidak ingat? Orang-orang sering salah menegurku di koridor. Mereka selalu mengira jika aku adalah Cassandra. Banyak orang mengatakan jika wajah kami terlihat mirip sekilas. Apa lagi jika dilihat dari belakang!" Jelas Malta.

"Oh, ya. Benar juga! Aku baru ingat sekarang. Waktu aku sedang berbicara denganmu di taman, ada laki-laki yang mendekatimu dan menyerahkan laporan pengeluaran untuk acara pentas seni sekolah. Dia kira kamu adalah Cassandra!"

Aku benar-benar melupakan hal ini. Jika ada yang bisa menyaingi kemiripan Malta, pasti dialah orangnya. Hanya saja aku tidak mengerti. Mengapa Cassandra mau melakukan hal ini?

"Hahahaha! Akhirnya, kita memecahkan kasus ini!" Aku tertawa dengan riang. Tak ku sangka, kasus ini terpecahkan. Hanya saja, kami masih kekurangan bukti lainnya.

"Tapi, apa menurutmu ini saja cukup?" Tanya Malta, sedikit khawatir.

"Entahlah. Tapi mau bagaimana lagi. Di mana lagi kita bisa mendapatkan bukti? Siapa lagi yang harus kita tanyai? Apa kita perlu bertanya langsung pada Austin dan Cassandra?" Jawabku.

"Apa kalian pikir mereka akan mengaku begitu saja? Bodoh sekali!" Ucap Jason.

"Yah...benar juga! Lalu bagaimana sekarang?" Branton berjalan mondar-mandir. Terlihat sedikit cemas.

Kami merasa sedikit kehilangan harapan. Mencoba memikirkan berbagai cara, tapi rasanya, tak ada satupun yang bisa kami gunakan.

Di tengah kegentingan itu, seseorang menekan bel rumah sebanyak tiga kali.

Kami semua saling melirik satu sama lain.

"Apakah itu orang tuamu?" Tanyaku.

"Tidak mungkin! Mereka baru saja mengirimkanku pesan bahwa mereka tidak akan pulang hari ini."

"Lalu, itu siapa?" Tanya Branton sambil melongo.

"Entahlah, kita lihat saja!" Aku mencoba menenangkan.

Dalam satu sisi kami merasa gugup, namun, dalam sisi lainnya kami berusaha untuk tetap berpikir positif. Tanpa banyak berpikir, kami segera turun untuk melihat siapa yang datang.

Karena penasaran, kami semua berdiri di belakang pintu lalu mengintip melalui lubang intip pada pintu.

"Apa dia teman kalian?" Tanyaku.

"Coba ku lihat!" Pinta Malta.

Ia mendekatkan kedua matanya kepada lubang itu. Kami semua menunggu respon yang ia berikan. Berharap itu bukanlah Austin dengan bala tentaranya yang datang untuk membungkam kami semua.

Secara perlahan, Malta melepaskan matanya dari lubang intip dan berjalan mundur menjauhi pintu. Ia terlihat sangat terkejut. Raut wajahnya seketika berubah, "Hah! Tidak mungkin!"

Branton dengan tak sabarnya berlari menuju pintu untuk mendapatkan jawaban.

"Memangnya dia siapa? Kenapa kau begitu terkejut?" Tanya Branton, bingung.

"Dia adalah pacar Austin. Aku melihatnya memeluk Austin setelah timnya memenangkan pertandingan basket antar sekolah waktu itu," jawab Malta dengan tatapan terheran-heran.

Bel rumah kembali berbunyi.

"Pacar Austin? Untuk apa dia kemari?" Tanya Jason.

Untuk memastikan, Jason pergi mengeceknya sendiri, "Apa! Itu bukan pacar Austin!"

Kami semua terkejut.

"Bukan? Lalu siapa?" Tanya Malta.

"Dia adalah Allison. Adiknya Austin. Aku mengenalnya sejak lama," jawab Jason dengan yakin.

"Apa?! Austin memiliki seorang adik!"

Continue Reading

You'll Also Like

6.1M 477K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
13.3M 1.1M 81
β™  𝘼 π™ˆπ˜Όπ™π™„π˜Ό π™π™Šπ™ˆπ˜Όπ™‰π˜Ύπ™€ β™  "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
717K 67.2K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
2.2M 122K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...