piww janlup votements !
"Lah? Tumben letoy. Biasanya lu pada masuk di mari pake haha-hihi."
Mereka semua tidak langsung menjawab. Melainkan mengambil posisi masing-masing dan terduduk dengan lemas.
"LOH CA LU NGAPA KAYAK DIPUKULI WARGA SEKECAMATAN ANJIR."
"Emang dipukuli, tapi bukan sama warga," sahut Farzan sembari mengipasi tubuhnya dengan buku menu.
Jena mengernyit heran, "Lah trus?"
"Dia dipukuli sama anak IPA 2. Yang lain juga abis berantem, mending ayo bantuin gue ngobatin mereka. Ersya udah diobatin kok," jelas Dara membuat Jena membelalak kaget dan langsung menghampiri sepupunya yang masih terduduk lemas.
"Anjir, Ca. Lu gapapa? Bunda gimana? Udah lu kasih tau?" tanya Jena berturut-turut. Kecemasan terpampang jelas di sana. Kedua tangannya menangkup pipi cowok yang sudah dipenuhi plester itu.
Ersya tersenyum menenangkan dan menurunkan tangan sepupunya. "Gue gapapa. Jangan kasih tau Bunda, gue gak mau Bunda kepikiran."
"Ya ampun, Ca. Lu buat dosa apa sih."
Mendengar itu Ersya hanya mendengkus keras, masih merasa kesal dengan kejadian tadi. "Bukan gue yang mulai. Mereka yang tiba-tiba nyerang, udah itu rame-rame lagi. Emang benar, berasa kayak maling yang dipukuli warga sekecamatan."
"Udah, Jen. Mending kita ngobatin yang lain dulu. Kasian dari tadi make up-nya belum keapus."
Alfa terkekeh pelan. "Sialan lo, Ra."
Dara hanya menyengir lebar kemudian beranjak ketika matanya menangkap kotak P3K yang tergantung di tembok sebelah kanan. Untungnya Tiny Cafe sedang sepi pengunjung hari ini.
"Gue ngobatin Andra, Alfa, sama Dio, Revan. Lo ngobatin Asep, Farzan, Ardi."
"Dar," panggil Jena lalu mengangkat kedua tangan dengan raut wajah dramatis, "gua gak kuat kalo ngobatin dua bocah sedeng itu, Dar. Mending gua yang ngobatin Alfa, Dio, ma Revan, ma Asep. Tiga orgil tadi sama lu aja."
"Jahat kau Jubaedah," sahut Andra ikut dramatis.
"Tega kau mengatakan hal itu," tak lupa dengan Farzan.
"Ku menangiiiiiiiiiisss, membayangkan! Betapa kejamnya dirimu—"
"Dua tiga kamu dajjal, bacot kau dajjal."
"JENASU."
***
"Ahh...."
"ANDRA IH MALAH DESAH!" pekik Ardi tiba-tiba membuat Dara yang tadinya tengah menekan-nekan pelan luka terakhir yang ada di sudut bibir Andra menjadi tertekan dengan kuat secara tak sengaja.
"YA ALLAH RA SAKIT."
"Lebay ish," ejek Dara memukul lengan Andra pelan. Ia pun melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.
"Lo ngapa desah tadi goblok?"
"Otak lo kebanyakan selangkangannya makanya mikir gitu," gerutu Andra setelah Dara selesai membersihkan lukanya. "Malu sama Repan."
"Dari tadi gue diem padahal," gerutu Revan masih dengan posisi kepala diletakkan di meja.
"Gebukin aja, Pan. Meresahkan," Farzan sang pecinta keributan menyahut.
"Aku suka gaya Hefarzan binti Maemunah. Minta dihujat."
"TANGAN KOSONG KALO BERANEE!" pekik Farzan sembari menggebrak meja dengan tiba-tiba membuat Andra terjengkang kaget.
"BWAHAHAHAHA BEGO MAMPOS."
"ASU."
Asep tertawa keras sembari membantu Andra untuk kembali duduk dengan normal. "Ngapa sih anjir."
"Kaget bangsul tiba-tiba Tarjan teriak."
"MENGAKAK."
"DIEM ANJROT GUE GAK JADI-JADI DIOBATIN DARA GARA-GARA LO PADA!" seru Ardi tiba-tiba membuat Dara semakin tertawa hingga rahangnya terasa pegal.
"KOK KITA?"
"BIKIN LAWAK MULU SI DARA JADI KETAWA. INI MAKE UP-NYA BLOM DIAPUS SAT."
Pekikan Ardi semakin membuat suasana pecah. Jena yang sedang mengobati Revan pun sudah tidak fokus karenanya.
"PAKE PERENLOPLI AJA SAYANG."
"SEKALI PUTARAN."
"SETENGAH PUTARAN."
"BERSIHKAN SEL KULIT MATEK DAN KOTORAN."
"TAR PUTAR DI WAJAH."
"WAH."
"MUKANYA ILANG."
"BANGSAT!"
Ekspresi Farzan dan Andra serta gerakan memutar yang dilakukan persis seperti di iklan membuat yang lain tergelak. Dengan nada yang persis seperti di iklan, kedua cowok itu benar-benar menghidupkan suasana.
"Udah ih udah! Rahang gue sakit!" Dara yang masih puas tertawa pun berusaha menghentikan keadaan ini karena mengingat masih ada luka yang belum terobati.
"Lu pada ye, mentang-mentang udah selese diobatin malah bertingkah," keluh Jena kembali fokus mengobati Revan.
"Tau tuh, gak bisa diem."
Andra menyengir lebar sembari menggaruk belakang kepalanya. "Kapan lagi bikin si Ardi menderita, Ra. Biasanya juga dia yang nistain orang."
"NAH BETOL!"
"Emang kalian kayak setan."
***
"Jen, gue mau nanya boleh?"
Sembari mencuci piring, Jena mengangguk menjawab pertanyaan Dara. Cewek itu mengenakan celemek dan hendak mengeringkan gelas-gelas dengan kain bersih.
"Gini, gimana kalo lo harus ngelarang seseorang buat lakuin hal yang bisa jadi positif bagi mereka?" Dara bertanya membuat Jena menaruh gelasnya sejenak dan menoleh penuh ke ketua kelas IPS 5 itu.
"Buat apa ngelarang kalo itu hal yang positif?"
"Bagi dia doang, bagi orang disekitarnya enggak," balas Dara seraya bergerak gelisah. "Gue tau setiap hal punya sisi positif sama negatifnya, tapi kalo yang ini keterusan dilakuin bakal ngasih dampak yang negatif."
Jena memicingkan kedua mata, tiba-tiba menatap curiga ke arah Dara. Jari telunjuknya terangkat menunjuk cewek itu seraya menuding, "Lo ngomongin mereka, ya?"
Mendengar kata 'mereka', Dara otomatis mengalihkan atensi ke sekumpulan cowok yang masih berbagi kegilaan di sana. Melihat seseorang, helaan napas berat lolos dari belah bibirnya. "Gue ngomongin Alfa."
"OHHHHH..., DIA RUPANYAAAA...."
Dara bergegas menempelkan jari telunjuk ke mulutnya, mengisyaratkan untuk pelan-pelan. "Ntar kedengaran, Jeeeeen."
"Ngapain dibawa puyeng kalo sama dia, Dar," kata Jena mengabaikan kecemasan Dara. "Pasti soal hobi dia, kan?"
Mengangguk pelan, Dara kembali mengembuskan napas berat. "Gue bingung. Dia tuh gak bisa dibiarin berantem mulu, tapi soal kejadian tadi gue udah liat gimana dia. Gue gak munafik, tapi emang ada keuntungan juga dari hobinya."
Jena mencuci tangannya yang masih penuh dengan sabun kemudian mengeringkan dengan kain bersih yang tergantung di celananya.
"Gini, Dar," cewek itu menarik Dara menuju dua kursi yang terletak di samping wastafel. "Menurut gua, lu gak usah ngelarang-larang Alfa deh. Mending kek kasih apa ye susah gua bilangnya. Biar dia kek sadar gitu."
Dara mengangguk pelan, ia paham dengan apa yang hendak dikatakan Jena. "Tapi kalo dia ngeyel?"
"Betot aja betot."
Punya selera humor yang rendah, Dara tertawa keras mendengar jawaban Jena. Cewek itu benar-benar bisa mencairkan suasana.
"Piringnya masih banyak? Gue bantu, ya?" tanya Dara saat melihat tumpukan piring kotor di wastafel.
Mengikuti arah pandangan cewek itu, Jena segera menggeleng sembari mengibaskan kedua tangannya. "Gak usah, gua bisa kok. Mending lu ngomong sama si Alpa aja dah. Biar kelar masalahnya."
"Seriusan?"
"Iyeeeee Daraaaa."
Dara tersenyum geli dan beranjak dari duduknya, menghampiri sekumpulan cowok yang masih heboh itu.
"EH MASDEP GUE DATANG."
"Dahlah capek gue liat kelakuan si Andra. Gak ada abis-abisnya," celetuk Ardi.
Farzan bertanya dengan iseng, "Ra, lo mau kagak sama si Andra?"
Dara menggeleng pelan sembari tersenyum pedih.
"BEHAHAHAHAHA MAMPUS."
"GINI YA RASANYA DITOLAK SEBELUM BERJUANG."
"NGAKAK BANGET MUKANYA SI ANDRA UDAH KAYAK SEMPAK BELOM DISETRIKA."
"SIYALAN ERSYA!"
Ditengah kehebohan itu, Dara menghampiri Alfa yang masih tertawa bebas dengan yang lain. Ia mendekati telinga cowok itu dan berbisik,
"Al, boleh ngomong sebentar?"
***
avv ak suka ending
yg gantung wkwk