Orang-orang telah mencapai dek dan menyerang para penjaga. Suara-suara tembakan mendominasi malam yang kian larut. Peluru melesat ke berbagai arah, menembus daging targetnya dan terus menewaskan satu demi satu dari mereka.
Alexa melempar gelas vodka-nya ke lantai hingga pecah. Pantauan cctv yang ia akses di ruangan itu menunjukkan orang-orangnya mulai tersudut oleh anak buah Natalie. Ia segera mengeluarkan pistol yang sedari tadi menjadi pegangan senjatanya, menodongkan ke salah satu pegawainya yang berada paling dekat.
"SURUH SEMUA TIM MAJU MENGHENTIKAN PARA PEMBAJAK ITU!!" Perintahnya.
"Ba-baik Nyonya." Pria paruh baya itu pun segera melesat ke luar ruangan.
Rachel yang tampak lebih tenang, tetap duduk di tempatnya sembari menuang vodka lagi ke gelasnya. "Hebat. Sepertinya rencana melautmu akan menjadi lebih sulit."
"Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan si jal*ng itu dan James. Mereka berani menyerangku?!"
"Mereka sama sepertimu. Takkan membiarkan projek yang selama ini di impi-impikan rusak begitu saja. Mereka ambisius." Rachel meneguk minumannya dengan santai.
"Akan kubuat mereka menghilang di samudera ini!" Alexa berpaling lagi ke rekaman pantauan itu. Orang-orangnya semakin tak bisa mempertahankan posisi mereka. Terlihat puluhan mayat semakin banyak tercecer di lantai, peralatan dan kabin-kabin di sekitar sana rusak parah, sementara suara baku tembak terus saja menghiasi suasana yang kian mencekam.
Dari sudut lain, beberapa timnya menyerbu orang-orang Natalie tersebut. Namun tak lama, mereka hanya seperti pion yang menjadi objek tembak anak buah Natalie yang bersenjata lebih baik. Satu persatu dibombardir oleh peluru, tewas secara merata bahkan sebelum mereka menarik pelatuk pistolnya masing-masing.
Sekali lagi, Alexa menjadi makin geram. Wanita itu menggebrak meja sangat keras. Membuat semua orang yang ada di sana kian menegang. "SI*LAN!!! HARUSKAH AKU MENUMPAS KALIAN SAJA JIKA TIDAK BISA LEBIH BERGUNA?!!!"
"Tenang Nyonya. Semua akan baik-baik saja." Seorang pria agak tua bangkit dari kursinya, meninggalkan pekerjaannya untuk menenangkan Alexa. Namun tak diduga, Alexa justru menodongkan pistolnya ke kepala pria itu dan melepas tembakannya. Seketika pria itu pun ambruk ke lantai dengan timah besi menembus tempurungnya.
Rachel memalingkan pandangan ke sisi lain. Sementara orang-orang yang ada di ruangan itu menjadi membeku karena ulah majikannya itu.
"Singkirkan mayatnya, CEPAT!" Seru Alexa pada dua orang yang berada paling dekat dengannya. Dua pria itu pun segera menggotong jasad orang tua itu keluar dari ruangan.
Rachel menuang minumannya dan meneguknya. Sejenak ia dapat melihat kefrustasian sangat jelas terbinar di wajah Alexa. Ia dapat menebak bagaimana tertekannya wanita itu dengan ulah James dan Natalie yang mengacau dan menewaskan orang-orangnya.
Wanita itu lalu berpikir beberapa saat. Tampaknya kondisi juga kian memburuk, ia tahu James dan Natalie tak mungkin mau diajak bernegosiasi. Ia dan Alexa bisa saja bernasib seperti sepuluh tahun lalu.
"Alexa," Sapanya mengalihkan fokus temannya itu.
"Apa?"
"Jika aku boleh memberi saran, lebih baik kau akhiri ini."
"Akhiri? Apa maksudmu?!"
"Kita mundur untuk sementara, menunda rencana kita. Biarkan Natalie dan James menang untuk malam ini, kita pergi dari sini, melancarkan strategi berikutnya untuk memberi balasan." Rachel berdiri dari kursinya.
"Menunda, apa kau gila?! Kita selangkah lagi mendapat apa yang kita mau. Kita hanya harus mengusir mereka, mendapatkan kembali putraku dan menjalankan misi seperti sebelumnya. Malam masih sangat panjang. Apa yang kau maksud dengan akhiri? Kau menyuruhku untuk mengalah?!"
"Mereka menyerangmu habis-habisan. Kita tak memiliki persiapan apapun untuk ini."
"Mereka hanya orang-orang bod*h!" Alexa menggebrak meja untuk yang kedua kalinya.
Rachel terdiam sejenak. Ia tak tahu lagi harus bagaimana dengan temannya itu di tengah situasi yang terus memburuk ini. Tak lama ia lalu melangkah menuju pintu.
"Kau mau ke mana, Rachel?!" Seru Alexa.
Tak menggubris kawannya itu, Rachel hanya berjalan keluar melewati pintu meninggalkan Alexa dan kru-nya. Di sana ia melangkah melewati sebuah koridor panjang. Dan di ujung lorong ia tiba-tiba bertemu dengan seorang anak buah kapal yang sibuk dengan beberapa senjata. Rachel menghampirinya dan mengatakan sesuatu pada pria kecil itu.
"Selamat malam, boleh aku meminta bantuanmu?"
"Ya, ada apa Nyonya?"
"Tolong siapkan satu boat untuk kita meninggalkan kapal si*lan ini."
"Meninggalkan kapal?"
"Kenapa? Kau tak ingin pergi menghindari maut? Sepertinya percuma saja bekerja dengan bos kepar*tmu itu. DIA SUDAH GAGAL."
*****
Sean dan Anna melihat bagaimana kekacauan itu menjadi makin besar. Sekitar dua puluh orang lebih terus berjatuhan dari atas kapal masuk ke dalam lautan. Suara-suara tembakan tak berhenti menghiasi malam, dan ledakan di beberapa sudut kapal menjadi tak kalah terang dengan Purnama di atas mereka.
Sean mencoba mengalihkan fokusnya yang lama kelamaan mulai tergugah dengan apa yang ia lihat tersebut. Entah bagaimana, aroma darah dan daging segar dari luka orang-orang di bawah sana yang terbawa angin menyentil penciumannya dan seketika membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Aroma yang dengan berat hati bisa ia katakan sangat, harum. Aroma santapan lezat yang mengguncang nalurinya sebagai seekor, predator.
Ia mencengkram pinggiran pagar balkon dengan kuat. Bukan hal penting sekarang untuk lebih fokus pada daging-daging yang berjatuhan, atau darah yang akan membasahi tenggorokannya dan membuat aroma santapan itu semakin lezat, namun yang harus menjadi perhatiannya ialah, apa yang terjadi dengan ibunya sebentar lagi, Alexa. Apakah wanita itu bisa bertahan di bawah kendali James hingga mereka kembali ke daratan-dengan tangan kosong-dan ia bisa meringkus mereka secara hukum seperti rencananya? Harusnya begitu.
Anna meraih tangan Sean dan menggenggamnya. Seketika mengalihkan segala hal yang berkutat di benak pemuda itu. Sean menoleh dan memandangnya beberapa saat. Rautan cemas dan ketakutan melingkupi gadis yang berdiri di sebelahnya tersebut begitu kuat. Hampir memutuskan untuk menggenggam tangan Anna balik untuk memberinya ketegaran, tiba-tiba Sean dikejutkan oleh sebuah seruan yang terdengar dari permukaan air di bawah kapal.
"Meree?"
Sean yang awalnya mengira kalau ia hanya salah mendengar, seketika memutuskan untuk mencari arah datangnya suara itu. Ia melepaskan tangannya dari genggaman Anna dan beranjak ke sudut lain anjungan kapal.
"Sean, ada apa?" Anna melangkah menyusulnya.
"Kau dengar itu?"
"Dengar apa?"
"Seruan itu,"
"Se-ruan?" Terlihat ekspresi bingung dari wajah Anna.
Sean memutari tepian anjungan dan memandang lebih cermat permukaan lautan yang gelap di sekitar kapal mereka. Suara itu, suara Meree? Seruan dari mahkluk seperti mereka. Apa betina itu kembali ke area berbahaya ini? 'Shit!'
"Aku tak mendengar apapun Sean. Seruan apa maksudmu?" Anna mengikuti Sean yang sekarang turun melewati tangga ke anjungan lain di bawah sana.
Sean mengabaikan sejenak pertanyaan Anna. Mungkin memang hanya dia yang dapat mendengarnya.
Pemuda itu lalu terhenti di sudut anjungan di arah barat. Suara itu berasal dari sisi kapal itu. Terdengar makin jelas. Ia tak bisa menebak apa yang dipikirkan Meree sehingga berani kembali ke permukaan seperti ini. Namun jika suara itu didengarkan lebih seksama, suara itu bukan hanya berasal dari Meree saja, tapi dari ratusan Siren yang seakan memberi sebuah peringatan, peringatan akan adanya pertarungan. Seperti para prajurit di medan perang yang berlari sembari berseru untuk siap menumpas habis lawan mereka di depan sana, mereka terdengar sangat bersemangat. Dan Sean tahu ini justru akan berakhir buruk bagi mereka, para siren itu, bila benar-benar tiba di kapal-kapal ini.
Tidak hanya menggagalkan rencana Sean, tapi mereka juga bisa membuat keadaan Alexa, si Ratu pemburu itu bangkit di mana negosiasi yang awalnya tak mungkin dilakukan dengan James, dapat terjadi antara dua pemburu itu. Negosiasi yang membuat spesies Meree, akan mendapat eksploitasi besar.
...