Nayyara, Lost in Marriage

By fey_ann

685K 48.1K 1.2K

Nayyara menerima pinangan Rayyan sebagai jalan keluar "kabur" dari rumah orangtuanya dengan cara yang baik. P... More

Prolog
Chapter 1: Oase di Gurun Pasir
Chapter 2: Not That Close
Chapter 3: Kumbang Lalu
Chapter 4: Her for Him
Chapter 5: The in Laws
Chapter 6: Bukan Urusanku!
Chapter 7: Jackpot
Chapter 8: Kayla Azzahra
Chapter 9: Melepas Kenangan
Chapter 10: Surprise
Chapter 11: Liburan, Yuk!
Chapter 13: Lullaby
Chapter 14: Maya
chapter 15: Ketemu
Chapter 16: Bukan Aku
Chapter 17: Bad Daughter in Law
Chapter 18: Unexpected
chapter 19: garis dua lagi
chapter 20: Kenyataan Lain
Chapter 21: Aku Cemburu
chapter 22: Aku Pergi
Chapter 23: Tempat Berlindung
"bukan update"
Chapter 24: Tentang Kamu (Kata Rayyan)
Chapter 25: Kayla (Kata Rayyan)
not an update
Chapter 26
Chapter 27: Menikah Itu Pilihan
Chapter 28: Keputusan Besar
Chapter 29: Rahasia Eyang
Chapter 30: Closure
Chapter 31: I, Want, You
Chapter 32: Sayang, Aku Rindu
Chapter 33: Make Her Back
not an update: curhat dooong
Chapter 34: Duh!
Chapter 35: Savage
Chapter 36: Tulip Putih
Chapter 37: PENANTIAN
Chapter 38: PENANTIAN RAYYAN POV
CHAPTER 39: BERAKHIR TIDAK?
CHAPTER 40: Akhir Dari Segalanya
Epilog

Chapter 12: Perjalanan Tak Terduga

11.1K 1K 37
By fey_ann

Chapter 12
Perjalanan Tak Terduga

Jika perih itu ada,

Semoga dia segera pergi,

Karena perlahan yang tertinggal,

Hanya tubuh tak berjiwa



"Semua udah siap?"

"Udah. Bawaan sudah masuk mobil semua. Baju ganti, peralatan mandi, charger, laptop, buku..." Aku menghitung apa saja yang harus kubawa, memastikan tidak ada yang tertinggal.

"Mau buat apa bawa laptop segala? Kan aku udah bilang, kita mau liburan?"

"Barangkali aja, di sana dapat inspirasi bagus? Mas Ray sendiri yang bilang, aku bakal suka suasana di sana," sergahku membela diri. "bisa buat nulis."

Mas Ray menggeleng pasrah. Aku tahu dia tidak setuju, tapi aku tak bisa lepas dari laptop sekarang.

Aku menemukan cara baru untuk bisa membuat diriku sedikit merasa lebih tenang, menulis di laptop yang dulu diberikan mas Ray ketika aku masih mengerjakan skripsi. Bukan apa-apa, hanya saja dengan laptop kecil itu, aku bisa menulis, menuangkan segala ide picisanku ke dalam lembar word dan menjadikannya sebuah kisah. Tak perlu orang lain yang membaca. Kadang memang kuikutkan lomba, tapi aku juga tak pernah berharap menang.

Aku menulis, agar aku bisa menciptakan dunia yang hanya aku sendiri yang bisa menggenggamnya. Tidak seperti di dunia nyata, ketika segalaku, bukan menjadi bagaimana mauku.

Hanya saja untuk kali ini aku sendiri sedikit heran, entah bagaimana cara mas Ray meyakinkan orangtuanya untuk bisa melepas kami travelling hanya berdua. Tapi memang dari dulu dia selalu memiliki cara tersendiri untuk bisa meyakinkan orang lain. Kalau saja itu aku, ketika mereka sudah menolak di awal, aku pasti sudah tak bisa berkata apa-apa dan pasrah saja. Aku tak berani mengeluarkan pendapatku, apalagi berontak.

"Bismillahirrahmanirrahim." Semoga saja, perjalanan liburan kami ini menyenangkan. Aku tersenyum tipis membayangkannya.

Ini perjalanan pertamaku berdua bersama mas Ray ke tempat yang jauh dari rumah. Seperti ini, aku merasa seperti benar-benar memiliki seseorang. Aku tahu aku tidak seharusnya berharap, tapi tanpa bisa dicegah, aku diam-diam menyimpan asa. Bahwa kami bisa menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya. Bolehkah?

Aku tahu, perjalanan kami masih panjang. Ah, bahkan hubungan kami berdua pun berjalan sangat lambat. Ada pergeseran makna dari hubungan yang kami jalani. Dari kakak beradik, menjadi suami istri. Walaupun status bisa secepat itu berubah karena sebuah janji di akad nikah, tapi aku tahu, hati tak bisa secepat itu berubah.

Menikah dengan orang yang dicintai, walau nyatanya aku tak berani membayangkan, tapi aku juga sama dengan orang lain. Aku inginkan itu.

Pernyataan Rifky yang tiba-tiba saat itu, benar-benar membuatku tak berdaya. Tak bisa kupungkiri, aku bahagia sekaligus meratap mendengarnya. Dicintai orang yang selama ini menjadi bagian terlekat di hatiku, bahkan bermaksud menjadikanku halal baginya. Namun sayangnya, justru di waktu ketika semua terlambat. Andai saja dia datang, sebelum mas Ray menikahiku, tentu akan lain ceritanya kan?

Tapi toh, sekarang memang begini takdirnya. Mas Ray yang menjadi pemenangnya. Membuat dia memelukku, bahkan membiarkannya menciumku walau hanya terjadi sekali saja, sudah cukup meyakinkan siapa yang berhak memilikiku sekarang.

Bukan Rifky, yang menjadi ilusi. Tapi mas Ray, yang nyata ada di sini.

***

Perjalanan panjang ke tempat tujuan kami hampir membuatku sedikit mabuk. Aku jarang pergi jauh, kecuali ke tempat Eyang Uti di Solo. Saat itupun perjalanan tidak terlalu panjang seperti ini, karena kami ke Solo dengan naik pesawat. Makanya, perjalanan yang memakan waktu hingga hampir delapan jam dengan mengendarai mobil ini, membuatku lelah dan mabuk.

Aku tidak menyangka, ternyata mas Ray mengajakku ke kota ini. Jember. Jauh dari Malang. Aku tak pernah tahu dari awal, kemana dia akan mengajakku. Kejutan, katanya.

Tapi aku memang benar-benar terkejut. Membaca baliho selamat datang di ujung jalan, memastikannya dari gapura penunjuk wilayah, aku memasuki area yang tidak akan kusangka mas Ray benar-benar mengajakku kemari.

Pantai Papuma, Jember. Tempat mas Ray bercerita, ketika dia mencoba mengajukan pinangan untuk gadis idamannya. Ya, aku ingat. Di Pantai Papuma, mas Ray melamar Kayla.

Perutku terasa bergejolak. Perasaan ingin muntah yang sedari tadi kutahan, sepertinya tidak bisa menunggu lagi. Setengah berteriak aku meminta mas Ray menghentikan mobilnya. Kami bahkan belum sampai memasuki wilayah pantai, masih di tepian hutan pinus.

Aku mengeluarkan segala isi perutku di pinggir jalan begitu mobil menepi. Dorongan tidak nyaman di hatiku, memperparah rasa mualku.

Tangan mas Ray terulur ke tengkukku, mencoba memijat pelan agar aku bisa menuntaskan muntahku. Aku hampir tak peduli, betapa terlihat jeleknya aku di depan mas Ray sekarang. Melihatku muntah, seharusnya membuatnya jijik. Ah, sejak kapan aku peduli bagaimana aku terlihat di matanya?

"Kamu yakin, nggak apa-apa?" tanyanya sambil mengulurkan botol minyak kayu putih padaku.

"Nggak tahu."

"Tahan dikit lagi, ya? Bentar lagi kita sampai cottage, kamu bisa istirahat di sana."

Aku tidak menjawab lagi.

Sungguh, saat ini bukan hanya perutku yang bergejolak. Tapi hatiku juga. Perjalanan liburan ini seharusnya menyenangkan, bukan? Kenapa sekarang terasa mengecewakan? Aku berharap aku tidak pernah kesini.

Bagaimana bisa, mas Ray mengajakku ke tempat dia pernah menyematkn cinta di sini bersama perempuan lain? Bukankah dia sendiri yang bilang, bahwa cerita dia dengan gadis muslimah itu sudah berakhir? Ataukah sebenarnya, dia ingin menunjukkan bahwa dia belum bisa melupakan Kayla?

Ah, ternyata diam-diam tanpa kusadari aku menaruh harapan pada hubungan pernikahan ini.

Kuingat kembali. Berapa kali mas Ray mengajakku ke tempat-tempat dia mengurat kenangan bersama Kayla. Seperti di Mie Dempo tempat kami makan siang bersama untuk pertama kalinya setelah kami menikah waktu itu. Disitu, tempat dia pertama kali mengenal Kayla dan disana juga mereka sering nongkrong bareng. Memang tidak pernah mereka pergi berdua saja, tapi tempat itu aku tahu, adalah tempat kenangannya bersama perempuan itu. 

Lalu Bebek Bakar Sonhaji di ujung jalan Ambarawa, pramusajinya rupanya sangat hafal dengan mas Ray sampai dia heran menyeletuk, "Wah, udah ganti lagi, Mas, pacarnya? Padahal yang dulu itu sudah cantik berhijab lho!" dan aku tahu, yang dimaksud olehnya adalah Kayla. Dan mas Ray hanya tertawa menanggapinya, tak terlihat berniat menjelaskan bahwa aku adalah istrinya, bukan pacarnya. Mungkin juga dia malu mengakui, pacarnya dulu berhijab, sedangkan istrinya sekarang tidak.

Bukan hanya itu saja. Dia juga mengajakku ke Bukit Payung pinggir jalan ke arah Pujon. Menikmati jagung bakar melawan rasa dingin. Dia tertawa-tawa senang katanya, tapi aku meringis. Tempat itu, dan tempat-tempat lainnya, adalah tempat dimana dia mengukir kenangan manis bersama Kayla.

Dia mungkin lupa, dia dulu selalu bercerita kepadaku, kemana saja dia pergi, apa saja yang dia lakukan, menghabiskan waktu kemana saja dia dengan perempuan itu. Selalu. Dan aku hafal. Dia mungkin lupa, bahwa akupun menyimpan setiap memori yang dia ceritakan padaku. Bahwa aku tahu, tempat-tempat yang dia sebut sebagai tempat kencan kami itu, adalah tempat penuh kenangan manis mereka.

Siapa menyangka, adik perempuan yang dulu selalu dicurhatinya dengan hati berbunga-bunga ini berakhir sebagai istrinya?

Paling parah, mengajak istri ke tempat dia melamar gadis lain.

Apa maksud mas Ray? Akupun masih bertanya-tanya. Aku tak berani mengajukan pertanyaan itu. Aku hanya berkewajiban mendampinginya. Keinginanku bukankah sudah tak ada artinya?

Aku membuang muka jauh keluar jendela mobil. Diam-diam ada rasa perih, menyadari itu semua. Aku tak mau mas Ray melihat mukaku yang memerah menahan gejolak dihatiku. Bersandar di jendela yang terbuka, membelakanginya sepenuhnya. Seakan aku mencari udara segar setelah muntah begitu banyak.

Pantas saja, aku tak pernah disentuhnya lebih, walau aku sudah memberikan sinyal bahwa aku telah bersedia menyerahkan diriku seutuhnya. Dia sampai membuat kami menjadi bulan-bulanan teman-temannya, karena belum pernah menjalani ritual sebagai suami istri walau pernikahan kami sudah berjalan lebih dari setahun.

Sebuah tangan menyentuh bahuku pelan, membuatku tersentak dari lamunanku.

"Kamu mikir apa, sih?"

Aku menoleh, mas Ray mengerutkan keningnya terlihat khawatir, "Kita sudah sampai. Kamu kupanggil dari tadi ngga dengar?"

Kuedarkan pandang ke sekitar. Benar ternyata, kami sudah di pantai. Pikiranku terlalu sibuk, sampai tidak sadar, kami sudah berhenti di depan cottage sewaan.

"Sampai menyewa cottage segala? Memangnya kita nginep berapa hari sih?"

Mas Ray hanya tersenyum. Ah, sudahlah. Aku malas bertanya.

"Kamu masuk aja dulu, biar aku yang bawa bawaan kita masuk. Kamu istirahat dulu, ya?"

Aku tak menjawab. Kuambil tas selempangku sendiri. Barang bawaan yang lain aku tak peduli. Biar dia urus sendiri.

***

Aku terbangun, saat matahari sudah hampir tenggelam. Badanku sedikit segar setelah beberapa saat tertidur. Rasa mual di lambungku juga sudah mereda. Bukan hanya ragaku yang lelah, batinku juga ternyata.

Aku tak menemukan mas Ray di kamar sewaan kami. Kemana dia rupanya? Akupun tak bisa meneleponnya karena dia meninggalkan ponselnya di meja nakas. Ah, lebih baik aku mandi dulu, barangkali dia akan kembali setelah itu.

Tapi ternyata, selepas aku sholat maghrib pun, mas Ray belum kembali. Ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Nugroho. Kuingat dia salah satu orang yang ada di grup percakapan mas Ray beberapa hari yang lalu. Grup yang membahas tentang kami yang masih perjaka dan perawan. Aku jadi tergoda untuk mengangkatnya. Aku ingin tahu, apa lagi yang mereka bahas.

Ponselnya terus berdering. Sampai ada sekitar tiga panggilan. Tetap dari orang yang sama. Kuberanikan diri mengangkatnya. Aku tahu ini lancang dan salah. Tapi aku penasaran!

"Walah, Ray! Masih juga hari pertama, sudah sulit aja dihubungi, bro! Hahahaha... Sudah berapa ronde? Masih kuat, nggak? Atau jangan-jangan belum dimulai?" Suara di seberang terkekeh membuat mukaku memerah mendengarnya. Aku bahkan tak mengeluarkan suara, tapi dia terus berbicara. Rupanya bahasan tentang mantalk itu belum berhenti juga.

"Take your time, bro! Sudah, lu honeymoon aja dulu. Payah lu, masak nikah setahun baru honeymoon sekarang. Kasihan tuh istri lu dianggurin. Hahahah... jauh-jauh ke Papuma musti lu manfaatin, tuh!"

Apa? Honeymoon?

"Oke, Sori-sori, bukannya gua mau ganggu lu ya, hehehe... tapi ini urgent. Gua ngga bisa nemuin file yang kemarin lu approve. Udah lu taruh dropbox, belum?"

Lelaki di seberang itu terus saja berbicara, meskipun aku terdiam. Dia tak tahu aku bukan mas Ray. Tapi aku tertegun, saat dia mengatakan tentang honeymoon itu.

"Woi, jawab, dong! Dari tadi lu diem aja."

Dan saat itu juga, mas Ray masuk membawakan segelas teh panas yang masih mengepulkan asapnya.

"Ehhh, maaf, ini mas Ray baru datang."

Kuulurkan ponsel ke tangan mas Ray. Setengah berbisik dia menanyakan siapa yang meneleponnya. Aku mengendikkan bahu, tak menjawab. Aku tak berani langsung menatapnya, agak jengah tapi penasaran. Beringsut agak menjauh, aku berusaha melirik sekilas airmukanya saat menjawab panggilan telepon itu. Apa maksudnya honeymoon?

Mas Ray bicara biasa saja. Menjawab pertanyaan tanpa terlihat ekspresi dari percakapan yang mencurigakan. Tapi saat dia menutup telepon, keningnya berkerut.

"Aneh," gumamnya pelan.

Aku yakin temannya itu tidak membahas lagi tentang apa yang dia ocehkan padaku tadi. Tapi aku penasaran. Kenapa lelaki itu membahas honeymoon? Bulan madu? Dan sepertinya bukan hanya sekedar sedang menggoda. Kata-katanya sudah terdengar seperti rencana.

Apa memang mas Ray mengajakku kesini untuk berbulan madu? Mukaku tanpa bisa dihentikan terasa memanas dan kuyakin pasti memerah.

"Apanya yang aneh?" tanyaku seraya berbalik memunggunginya berpura-pura mengecek ponselku sendiri.

"Dia ngomong kaya buru-buru. Lalu minta maaf," jawab mas Ray terdengar heran. "Dia ngomong apa tadi memangnnya?"

Aku tidak segera menjawab. Apa perlu dia tahu kalau aku mengetahui rencananya? Jika memang itu adalah rencana yang dia rancang untuk kami saat ini.

"Nggak ngomong macam-macam lagi, kan?" Dia tertawa garing.

Aku tahu dia khawatir aku memergokinya seperti tempo hari. Bahkan karena insiden itu, butuh beberapa hari bagiku bersikap biasa lagi dan akhirnya menyetujui liburan ini. Membayangkan berlibur dengan perasaan kesal, tentu saja sangat tidak enak. Apalagi ini liburan pertamaku jauh dari keluarga. Seharusnya bisa membuatku merasa... tenang, bukan?

"Aku mau lihat-lihat keluar dulu, boleh ya? Pingin tahu. Dari tadi ngga memperhatikan sekitar sejak datang." Aku menghindar. Kentara sekali. Aku penasaran, tapi aku malu.

"Tunggu," sergah mas Ray menggamit tangan menahanku yang hendak keluar kamar, "bareng aja."

Mas Ray berjalan di sampingku, menemaniku menikmati pantai di malam hari. Andai saja saat ini tidak gelap begini, pantai pasti akan terlihat indah. Pantai Papuma bukan merupakan tempat yang aman untuk berenang. Karena di sini adalah pantai berkarang. Di sepanjang pantai aku menemukan banyak sekali batu karang yang tersembul dari dalam laut. Mulai dari yang terkecil, hingga yang membentuk bukit.

Di beberapa spot, aku menemukan tenda-tenda yang dipasang kokoh berikut dengan api unggunnya. Sepertinya seru sekali mereka berkemping di pinggir pantai begini. Aku juga ingin sebenarnya.

"Dulu, kalau kesini, aku ya kemping sama teman-teman. Seperti mereka yang di sana." Mas Ray menunjuk sekelompok pemuda yang tengah mengitari api unggun.

"Bakar ikan, bakar jagung. Bikin kopi panas-panas. Makan nggak perlu beli walau banyak warung di sini."

Mendengarnya aku jadi menyadari, aku merasa kedinginan karena hembusan angin pantai. Di dekat api unggun, tentu terasa hangat. Tapi hatiku sendiri terasa hangat, menyadari genggaman tangan mas Ray tak pernah dilepas. Aku suka ketika dia menggandengku seperti ini. Menautkan jemarinya diantara jemariku. Biasanya, dia akan menggandengku ketika ada acara saja. Menggandengku secara formalitas saja di depan orang banyak. Mungkin juga biasanya dia akan malu menggandengku. Tapi, saat ini dia sama sekali tak melepas tangannya sejak tadi dia menggamitku sebelum keluar cottage.

Ah, kenapa seperti ini? Aku sendiri tak berani menoleh ke arahnya, pandanganku kulabuhkan sejauh mungkin. Aku tak mau terlihat gugup. Konyol memang. Aku masih saja merasa gugup dan salah tingkah kepada suamiku sendiri. Padahal aku sudah mengenalnya seumur hidupku, dan kami pun menikah juga bukan kemarin.

"Teman mas Ray tadi mengatakan kalau kita sedang honeymoon," ujarku tiba-tiba. Kuberanikan diri menoleh ke arahnya.

Walau gelap aku bisa melihat ekspresi mas Ray berubah, dia terkejut, dan... terlihat malu-malu?

"Mas?"

"Dia..." Mas Ray seperti kesulitan menjawab.

"Tapi ini Papuma lho, Mas," selaku.

"Iya... aku tahu. Tempatnya pas, kan, buat liburan dan... bulan—"

"Kamu mengajakku ke tempat kamu melamar Kayla." Aku mengatakannya! Walau lirih suara yang keluar, tapi aku mengatakannya, apa yang mengganggu pikiranku sejak tadi.

Ya ampun, aku sendiri terkejut dengan mulutku yang tidak bisa di rem kali ini. Aku benar-benar mengatakannya. Dan aku bisa melihat air muka mas Ray yang berubah lagi, mengeras.

Perlahan, jemarinya yang tertaut padaku terurai. Mas Ray melepas genggaman tangannnya dariku. Dia melepasnya justru ketika aku mengungkit tentang Kayla. Bodohnya aku. Bisa-bisanya aku merasa ada rasa nyeri di atas perutku. Ada goresan tak terlihat namun terasa nyata.

Aku gelagapan memperbaiki kalimat yang akan kuutarakan. Sungguh bodoh.

Jika benar bulan madu tujuan dia mengajakku, kenapa harus ke tempat ini? Bukankah datang ke tempat ini seperti membuka lagi kenangan dia bersama perempuan itu? Ataukah, dengan mengajakku berbulan madu ke tempat penuh kenangan indah ini bisa membuatnya merasa bahwa perempuan yang dulu dilamarnya itulah yang akan menuai malam pertama bersamanya?

Kuulurkan tanganku meraih lengannya. "Mas," panggilku memberanikan diri tersenyum saat dia menoleh. Padahal dalam hatiku banyak spekulasi yang membuatku sakit kepala.

"Kamu jangan punya pikiran aneh-aneh," ujar mas Ray akhirnya. Pelan tapi tegas. Dia tidak sedang ingin dibantah. "Kita liburan berdua, kita nikmati saja. Oke?"

Aku mengangguk. Memaksakan senyuman senatural mungkin.

Aku tak boleh terlihat kecewa. Dia tak boleh melihat perasaanku yang sebenarnya. Aku hanya harus bermain peran secantik mungkin. Peranku adalah istri yang mengerti apa yang menjadi kesulitan suaminya. Keinginan suaminya. Kerinduan suaminya akan kehadiran perempuan lain.

"Aku tahu, aku istrimu sekarang."

"Benar. Kamu istriku," sambutnya dengan tersenyum lagi. Di sudut hatiku terasa bimbang. Aku terbuai dengan senyumannya, namun di saat yang sama aku juga merasa perih, membayangkan senyuman itu bisa saja bukan milikku.

"Dan sebagai istrimu, aku memiliki kewajiban yang lain, bukan?" Perlahan kutarik telapak tangannya, kugenggam dan kubawa kedalam dekapan di depan dadaku. Mungkin terlihat memalukan, namun sepertinya aku harus menyatakannya dengan jelas saja. Bahwa aku bukan sekedar istri di atas kertas.

"Kamu jangan jadi bahan lelucon teman-teman kamu lagi, Mas." Kutahan nafas mengatur kata, berjinjit sedikit agar setara dengan telinganya, "Kalau Mas Ray ingin, sungguh, Mas Ray halal menyentuhku," bisikku pelan di kalimat terakhir.

Bisa kulihat jelas, dia terperangah dengan apa yang kubisikkan padanya. Mungkin dia tak akan menyangka aku yang akan mengatakan terlebih dahulu tentang hal ini. Tentang hal yang bagai tabu untuk dibahas diantara kami berdua. Tapi setidaknya aku mencoba. Karena aku tak tahu lagi, siapa yang belum siap. Aku atau malah Mas Ray.

"Kamu ngga lagi bercanda, kan?"

"Jangan bikin aku menarik kata-kataku," balasku, "aku sudah malu mengatakannya lebih dulu."

Dia tertawa, lalu minta maaf saat melihatku mendelik, tapi terus tertawa lagi. Tidak, dia tidak sedang mengolokku. Aku bisa melihat tawanya tulus. Mungkin karena lega. Entahlah. Hanya dugaanku saja.

Malam itu, entah kenapa terasa lebih hangat. Kami kembali berjalan-jalan di pantai sekaligus mencari tempat untuk makan. Aku bisa merasakan dia tidak menahan diri seperti sebelumnya. Sentuhan-sentuhan kecil lebih sering dia lakukan, tidak ada keraguan dalam sentuhannya. Genggaman tangan, menautkan jemarinya, mengelus punggung tangan, bahkan pipi dan daguku! 

Dia bahkan semakin sering merangkulku, walaupun di sekitar kami juga banyak orang. Dia tidak canggung melakukannya. Aku yang canggung menanggapinya. Sebentar-sebentar aku merasakan tulang punggungku menegang setiap kali dia menyentuhku. Dan ketegangan itu seperti karet mengikat erat kepalaku, membuat kupingku terasa kesemutan, dan jantungku seperti di remas tidak karuan. Aku tidak akan pernah terbiasa dengan perlakuannya ini.

Malam itu, rasanya aku memerankan peranku dengan baik. Kami sholat berjamaah, dia mencium keningku dan mengulang doa yang pernah dia ucapkan setelah akad nikah kami. Doa yang seharusnya menjadi awal malam pertama kami dulu, tertunda hingga setahun kemudian.

Tersenyum manis, kuikuti permainan yang dia ingin aku mainkan. Malam itu, dia tidak hanya sekedar menggandeng tanganku, atau merangkulku, atau memelukku sesaat. Untuk kedua kalinya dia menjatuhkan ciumannya kepadaku setelah hari wisudaku beberapa bulan yang lalu. Untuk pertama kalinya, dia menyentuhku lebih jauh dari yang biasa dia lakukan.

Aku tak tahu, apa yang dia rasakan saat membuaiku. Yang aku tahu, ternyata lelaki bisa berhasrat dan melakukan percintaan dengan wanita yang bahkan tidak dicintainya. Mungkin dia menyayangiku, tapi dia tidak mencintai. Dan baru kutahu malam itu, bahwa wanitapun bisa demikian.

*

Continue Reading

You'll Also Like

208K 13.4K 47
Married By Accident. Alasan mengapa Rere dan Dewa menikah. Bukan, mereka bukanlah remaja yang 'apes' karna pergaulan bebas di kota metropolitan. Mer...
134K 5K 46
Karena serampangan, ucapan Karina terkabul ketika meminta menikah saja saat merasa lelah dengan skripsinya. Ia mendadak dijodohkan dengan pria yang m...
178K 11.9K 60
Hamil? Punya anak? Mana bisa? Dipegang saja tidak pernah! Maharani Aqila Dewi. 22 tahun, IQ dibawah rata-rata, bucinnya Saka. Raysaka Wahyu Mahendra...
177K 13.3K 58
Karena gagal taruhan, Sarah harus menerima tantangan dari temannya yaitu dengan mendaftarkan diri di aplikasi kencan online. Siapa sangka, hal itu me...