NEAR ✔ [Draco Malfoy x Reade...

De nairanonna

432K 57.9K 15.8K

JANGAN TERJEMAHKAN/REPUBLISH CERITA INI DI PLATFORM MANAPUN. __________________________________ [C O M P L E... Mais

HALO!
1.
2.
๏︿๏
3.
4.
5.
6.
𝘕𝘖𝘛𝘌
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
(✖╭╮✖)
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27. [END]

7.

14.3K 2K 330
De nairanonna

"Well, kalian tahu, aku berpikir hari ini..." Hermione memberi pandangan agak gugup kepada Harry lalu meneruskan, "aku berpikir kalau—mungkin waktunya telah tiba saat kita harus melakukannya sendiri."

Kami sedang berkumpul di ruang rekreasi. Hujan deras sedang berlangsung di luar, mengetuk-ngetuk atap Kastil Hogwarts. Semua anak sudah terlelap di tengah hujan ini, meninggalkan ruang rekreasi yang begitu hangat dengan banyak sofa kosong melompong. Keberuntungan yang menyenangkan.

"Melakukan apa sendiri?" kata Harry dengan curiga.

"Belajar Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam," kata Hermione.

Aku memandang Hermione dengan tatapan 'serius-kau?'. Cukup menarik, aku jadi bersemangat. Sudah lama pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam tidak ada praktek. Guru paling nyaman yang pernah aku temui adalah Professor Lupin. Aku bersyukur sekali diajar olehnya—sayang sekali beliau harus berhenti.

"Sudahlah," erang Ron. "Kau mau kita melakukan kerja ekstra? Sadarkah PR kita sudah menumpuk?"

"Tapi ini jauh lebih penting daripada PR!" kata Hermione.

Harry dan Ron menatapnya lekat-lekat. "Aku tidak mengira ada hal di jagad ini yang lebih penting daripada peer!" kata Ron.

"Jangan tolol, tentu saja ada," kata Hermione, dan bahwa wajahnya mendadak bersinar dengan semangat yang biasanya diilhami oleh SPEW pada dirinya. "Tentang mempersiapkan diri kita sendiri, seperti yang Harry katakan dalam pelajaran pertama Umbridge, untuk apa yang menunggu kita di luar sana. Tentang memastikan kita benar-benar dapat mempertahankan diri kita sendiri. Kalau kita tidak belajar apapun satu tahun penuh —"

"Kita tidak bisa melakukan banyak sendirian," kata Ron dengan suara kalah. "Maksudku, baiklah, kita bisa pergi melihat kutukan-kutukan di perpustakaan dan mencoba melatihnya, kurasa—"

"Tidak, aku setuju, kita sudah melewati tahap di mana kita bisa belajar dari buku," kata Hermione. "Kita perlu seorang guru, yang pantas, yang bisa memperlihatkan kepada kita bagaimana menggunakan mantera-mantera dan mengoreksi kita kalau kita salah."

"Kalau kau berbicara mengenai Lupin ..." Harry mulai.

"Tidak, tidak, aku tidak sedang membicarakan Lupin," kata Hermione. "Dia terlalu sibuk dengan Order dan, lagipula, kita paling cuma bisa bertemu dengannya selama akhir pekan Hogsmeade dan itu tidak cukup sering."

"Kalau begitu, siapa?" kata Harry sambil merengut kepadanya. Hermione menarik napas dalam-dalam. "Bukankah sudah jelas?" katanya. "Aku sedang berbicara tentang kamu, Harry."

Ada keheningan sejenak. Angin malam sepoi-sepoi menderakkan kaca jendela di belakang Ron, dan api bergoyang-goyang. "Tentang aku apa?" kata Harry.

"Aku sedang berbicara tentang kamu mengajarkan kami Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam." Harry menatapnya. Lalu dia berpaling kepadaku dan Ron, siap bertukar pandangan putus asa.

Ron bergumam, "Itu ide bagus,"

"Ide apa?" kata Harry.

"Kau," kataku menyambung. "Mengajari kami melakukannya."

"Tapi ..." Harry sekarang nyengir, yakin kami sedang mempermainkan dia. "Tapi aku bukan guru, aku tidak bisa —"

"Harry, kau yang terbaik di kelas kita dalam Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam," kata Hermione serius.

"Aku?" kata Harry, yang sekarang nyengir lebih lebar dari sebelumnya. "Bukan, aku bukan, kau sudah mengalahkan aku dalam semua ujian—"

"Sebenarnya, aku belum," kata Hermione dengan tenang. "Kau mengalahkan aku di tahun ketiga kita—satu-satunya tahun di mana kita berdua ikut ujian dan punya guru yang benar-benar tahu pelajaran itu. Tapi aku tidak berbicara tentang hasil tes, Harry. Pikirkan apa yang telah kau lakukan."

"Bagaimana maksudmu?"

Ron berpaling kepada Harry. "Mari kita pikir," katanya sambil membuat wajah seperti Goyle yang sedang berkonsentrasi. "Uh, tahun pertama—kau menyelamatkan Batu Bertuah dari Kau-Tahu-Siapa."

"Tapi itu keberuntungan," kata Harry, "itu bukan keahlian —"

"Tahun kedua," aku menyela, "kau membunuh Basilisk dan menghancurkan Riddle."

"Ya, tapi kalau Fawkes tidak muncul, aku—"

"Tahun ketiga," aku berkata lebih keras lagi, "kau bertarung dengan sekitar seratus Dementor seketika—"

"Kau tahu itu kebetulan, kalau Pembalik-Waktu tidak—"

"Tahun lalu," Ron berkata, hampir berteriak sekarang, "kau bertarung dengan Kau-Tahu-Siapa lagi—"

"Dengarkan aku!" kata Harry, hampir marah, "Dengar saja, oke? Kedengarannya bagus ketika kau mengatakannya seperti itu, tapi semua hal itu hanya keberuntungan—aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan, aku tidak merencanakan apapun, aku hanya melakukan apapun yang bisa kupikirkan, dan aku hampir selalu mendapat bantuan—Jangan duduk di sana nyengir seperti kalian lebih tahu daripada aku, aku ada di sana, bukan?!" katanya dengan panas.

"Aku tahu apa yang terjadi, oke? Dan aku tidak melewati apapun bukan karena aku pandai dalam Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, aku melewati itu semua karena—karena bantuan datang pada saat yang tepat, atau karena aku menebak dengan benar—tapi aku hanya melewati itu semua dengan tolol, aku tidak punya petunjuk apa yang sedang kulakukan!" Crookshanks melintas pergi di bawah sofa. Senyum harapan di wajahku, Ron, dan Hermione telah hilang.

"Kalian tidak tahu seperti apa rasanya! Kalian belum pernah menghadapinya, bukan? Kalian kira cuma menghapal sejumlah mantera dan melemparkannya kepada dia? Sepanjang waktu kalian yakin kalian tahu tak ada yang menghalangi antara diri kalian dengan kematian kecuali—otak atau nyali kalian sendiri atau apapun—seperti kalian bisa berpikir jernih kalau kalian tahu kalian sekitar satu nanodetik dari dibunuh, atau disiksa, atau menyaksikan teman kalian mati—mereka tidak pernah mengajarkan itu di kelas, seperti apa menghadapi hal-hal seperti itu— dan kalian berdua duduk di sana bertingkah seperti aku anak kecil yang pintar karena berdiri di sana, hidup, seperti Diggory bodoh, seperti dia mengacaukan—kalian tidak mengerti, itu bisa saja sama mudahnya terjadi padaku, pasti terjadi kalau Voldemort tidak membutuhkan aku—"

"Kami tidak mengatakan yang seperti itu, sobat," kata Ron, terlihat terperanjat. "Kami tidak mengejek Diggory, kami tidak—kau salah menangkap," Dia melihat tanpa daya kepada Hermione, yang wajahnya tercengang.

Takut-takut aku kembali menatap mata Harry. Aku mulai memikirkan apakah kedepannya aku akan baik-baik saja? Bahkan, Cedric yang aku tahu begitu sempurna bisa diserang Voldemort—lalu meninggalkan duka pada banyak orang seperti aku. Aku ingin belajar, ingin jadi kuat, dan tidak ingin meninggalkan duka sebelum aku sendiri mengukir sejarahku.

"Harry," kataku pelan, "tidakkah kau lihat? Ini... ini persisnya mengapa kami perlu kamu, kami perlu tahu seperti apa... menghadapi dia... Voldemort."

Harry terbenam kembali ke kursinya, menjadi sadar. Luka dari Umbridge semakin memerah dan hampir berdarah, mungkin efek dari kemarahan Harry tadi.

"Well ... pikirkan tentang itu," kata Hermione pelan. "Kumohon?"

"Harry tidak bisa memikirkan apapun untuk dikatakan. Dia sudah merasa malu karena ledakan kemarahannya," sarkas Ron.

Harry mengangguk, hampir tidak sadar apa yang sedang disetujuinya. Hermione berdiri.

"Well, aku akan pergi tidur," katanya dengan suara yang jelas sealami yang bisa dibuatnya. "Ayo [Name],"

Aku mengeluh, "Bodohnya aku saat makan malam tadi minum kopi. Mataku masih segar Hermione. Aku akan menghangatkan diri di sofa dulu,"

Hermione menghela napas, "Baiklah, tapi jangan tidur di sofa,"

Ron bangkit akan tidur. "Ikut?" katanya dengan canggung kepada Harry.

"Nanti saja, aku mau di sini dulu,"

"Oke. Jangan macam-macam dengan [Name] lho! Nanti kau bisa dihajar Malfoy," aku tahu Ron mencoba mencairkan suasana.

"Tidak akan!" Harry berseru sambil tertawa.

Hermione dan Ron berpisah di persimpangan tangga yang menuju kamar masing-masing. Minum kopi benar-benar membuatku sulit tidur. "Harry, kau tidak mengantuk apa?"

"Tidak. Aku tidak bisa tidur saat aku banyak pikiran," ujarnya datar.

Begitu.

Keheningan ini, aku ingin membiarkannya saja. Menatap api yang berkilat-kilat—begitu hangat. Aku memejamkan mata, pernah tidak kau merasakan dua perasaan sekaligus? Seperti ingin makan dan tidur disaat bersamaan? Sekarang aku merasakan dua hal berbeda. Yang sebenarnya sangat jauh berbeda dibanding perumpamaan tadi.

Aku menyukai dan membenci disaat bersamaan.

Aku menghela napas lelah. Sejak lama aku merasakan perasaan ini dan baru sekarang menyadarinya. Aku kira jika menyukai seseorang bisa membuat orang itu selalu bahgia sepanjang waktu, memikirkan bagaimana rencana esok hari, dan memikirkan berbagai kemungkinan masa depan yang menyenangkan. Jauh dari semua itu, aku baru tahu kalau masing-masing orang memiliki caranya sendiri.

Aku tahu, namanya begitu membekas di kepalaku. Terlalu sering bertemu, membuat ulah, mengusik ketenangan teman-temanku, dan banyak hal lain. Kupikir semua berawal dari aku yang terlalu membenci dan kesal setiap kali membayangkannya di otakku—dengan begitu jelas sialnya. Aku terlalu banyak berkelit dan selalu menyangkal apa yang kurasa. Karenaku, bisa saja semua orang bisa terpengaruh.

Karena jelas, sejak awal aku dan dia berbeda. Draco Malfoy adalah sosok oang yang sudah jelas membenci Harry, membenci Gryffindor, dan selalu menganggap apapun yang dimilikinya adalah yang terbaik. Dibesarkan dengan cara yang istimewa, membuat dia tumbuh terbiasa dengan berbagai pujian. Ketika pada Tahun Pertama Harry banyak mendapat perhatian—terlebih juga menolak berteman dengannya, mungkin hal itulah yang membuat Malfoy jadi bersikap sengak.

Lalu ketika aku mengenal lebih dekat dengannya, aku merasa bahwa apa yang aku yakini dan ketahui selama ini—soal dia—ketidaksukaannya terhadap Harry—adalah benar memang. Dan benar lagi kalau aku mulai merasa jatuh hati. Dari sekian banyak orang, kenapa aku harus menyukai orang yang jelas-jelas sudah berbeda denganku sejak awal?

"Kau sedang banyak pikiran?" Harry menanyaiku tiba-tiba. Aku melemparkan tatapan kenapa-kau-bertanya-begitu padanya. "Soalnya, kau banyak menghela napas sedari tadi,"

Haruskah aku bercerita padanya soal ini?

"Tidak ada apa-apa," aku tersenyum senatral mungkin. "Kau dengan Cho bagaimana? Ada kemajuan?"

Pipi Harry bersemu merah, dia memealingkan wajah, "Hm, belakangan ini kami jadi lumayan sering mengobrol,"

Aku bertepuk tangan lirih, "Kemajuan yang baik," aku mendukung Harry—itu pasti selama yang dia lakukan benar. Sejujurnya aku agak meragukan Cho. Antara waspada atau berprasangka buruk—aku takut Cho hanya ingin mencari pengganti Cedric—menjadikan Harry pelarian. ah, Harry pasti sudah mempertimbangkan hal itu. "Kau harus mencoba lebih memastikan perasaannya padamu, kalau kamu ingin hubungan lebih dekat,"

"Sebenarnya aku belum berpikir soal itu. Aku baru berpikir bisakah aku berkencan dengannya? Maksudku, aku tahu dia belum sepenuhnya melupakan Cedric,"

Sosok Cedric memang sulit dilupakan bagi banyak orang. Sebagian siswa masih menyayangkan orang setampan Cedric harus pergi apalagi anak Hufflepuff. Aku terkikik kecil, "Ya harus berjuang keras lah. Kau bisa mengalahkan naga, tapi tidak bisa mengajak kencan?"

Harry menoleh ke arahku dan wajahnya memerah sempurna, "Sulit sekali," aku berhenti menggodanya.

"[Name], kalau menyukai seseorang membuatmu merasa bersalah, tinggalkan saja. Kalau membuatmu merasa hidup, jalani. Kalau keduanya kau rasakan, kau harus lebih mengenal dirinya dan bahkan menganalisa situasi yang ada," celetuknya tiba-tiba. Bagai ditamparr, jantukngku berdegup lebih cepat. Ketahuan seperti ini rasanya memalukan dan membuatku merasa bersalah.

Harry menatapku datar, "Pahami situasi bagaimana kau harus bertindak,"

"Apa aku terlihat seperti sedang menyukai seseorang?"

Harry mengulurkan tangan mendekat ke perapian, "Merupakan sebuah refleks untuk memperhatikan orang yang tidak kau sukai. Wajar jika aku merasakan curiga setiap saat dan berprasangka buruk apalagi kelakuannya yang memungkinkan melukaiku. Akhir-akhir ini, aku menemukan kau menatap ke arah yang sama denganku. Dengan tatapan berbeda,"

Aku menegakkan badan, "Kau bicara tentang siapa?"

"Siapa lagi? Draco Malfoy," Harry enataku lurus. Memastikan reaksiku menerima kebenaran dari ucapannya.

Aku bingung harus berkata apa. Mengelak un aku tidak ingin. Sudah jelas sekali dalam pikiran Harry bahwa apa yang dikatakannya adalah kenyataan. Memalukan. "Harry, apa kau membenciku yang seperti ini?"

"Bagaimana bisa? Kau bercanda," Harry terkekeh, "Kau yang terbaik, [Name]. Tapi sudah jelas, aku tidak akan baik padanya meski sahabatku sendiri menyukai Malfoy,"

"Apa kau mendukungku?"

"Tidak bisa dibilang begitu. Kalau kau tidak dengannya, aku lebih senang. Seperti rahasia, kita tidak pernah memilih siapa orang yang kita suka bukan?"

"Iya,"

"Kuharap juga kau tidak akan buta karena cinta," Harry mengejekku, "Jangan melupakan hal yang benar hanya demi ular itu,"

"Tentu saja tidak! Meski Ayah Malfoy Death Eaters, aku tidak akan mengikutinya. Aku juga kadang masih mebencinya tahu!" aku mendengus.

"Kau memang hrus begitu. Sial [Name], mendengarmu bercerita aku jadi makin tidak suka dengannya. Huh, aku memang tidak bisa berpura-pura,"

"Eh... Maaf,"

"Sudah kubilang tidak apa-apa. Aku tidak menyalahkanmu kok. Bagaimanapun, aku tetap mempercayaimu," Harry tersenyum tulus, meyakinkan betapa percayanya dia padaku. Jadi jangan coba-coba mengkhianatinya.

Aku berjanji, tidak akan menjadi bodoh hanya karena menyukai seseorang. Karena aku, [Name], akan tetap menjadi [Name] seperti yang dikenal sahabtaku dan orang lain.

[.]

1 Mei 2020.

Continue lendo

Você também vai gostar

363K 4K 82
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
121K 14.2K 17
[Update setiap Senin, Kamis, Sabtu.] Karanina William Campbell kembali lagi ke Hogwarts untuk tahun keenamnya. Yang tidak ia sadari adalah, akan bany...
85K 8.7K 15
❝ 𝑖𝑡 𝑖𝑠 𝑏𝑜𝑡ℎ 𝑎 𝑏𝑙𝑒𝑠𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑎𝑛𝑑 𝑐𝑢𝑟𝑠𝑒 𝑡𝑜 𝑓𝑒𝑒𝑙 𝑒𝑣𝑒𝑟𝑦𝑡ℎ𝑖𝑛𝑔 𝑠𝑜 𝑣𝑒𝑟𝑦 𝑑𝑒𝑒𝑝𝑙𝑦. ❞ ࣪⠀ ִ ۫ ᮫ ׂ ۪ ׁ...
6.5K 653 23
gimana sih rasanya jadi pacar inumaki?yuk baca ehek:v