Sweet Husband [END]

By Rarasprasasti22

1.7M 122K 2.9K

[Sebelum membaca follow akun ini dulu] Sita rasa hidupnya sudah cukup bahagia karena di hidupnya sudah ada k... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Lima Puluh Tiga
Lima Puluh Empat
Laras Story
Kevin story

Delapan Belas

31.4K 2.1K 63
By Rarasprasasti22

Pelukku Untuk Pelikmu-Fiersa Besari

*****

Laras menarik Elle yang masih membatu di tempat. Laras menutup pintu, Laras kembali menarik Elle yang masih shock. "El," Laras mengguncangkan bahu Elle. "Woi, sadar."

"Bang Adrian tadi, Sita. Mereka--ngapain Ras?" tanya Elle tak beraturan, namun Laras masih bisa menangkap maksud Elle.

"Lo tanya sama gue El? Perasaan dulu kita bareng-bareng nonton film Fifty Shades Of Grey juga ada suara gitu deh."

"Mereka kerasukan setan Ras?" pertanyaan Elle mulai ngelantur. Laras memejamkan matanya, mengatur napas yang sempat ia tahan tadi.

"Bulan puasa El. Setan pada di lockdown."

"Tapi itu, Sita, Bang Adrian anu."

Laras menyeret Elle yang masih linglung, masuk ke dalam unit mereka. "Ini semua saran dari lo El dan ini akhirnya. Jadi kalau gini siapa yang di salahin?"

"Gue gak nyangka kalau sampai kayak gini akhirnya Ras. Bang Adrian itu orangnya gak neko-neko."

"Singa lapar kalau dikasih daging juga bakal di samber El. Lo yang bilang sendiri kalau Bang Adrian udah suka sama Sita dari kita SMP kelas tujuh." timpal Laras. "Gue tau Bang Adrian orang yang bertanggung jawab. Disamping dia suka sama Sita--atau mungkin cinta, dia juga yang ambil keperawanannya Sita,"

"Dia harus tanggung jawab. Papah bakalan marah tau kejadian ini." Elle menatap cemas ke depan, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Semua udah terjadi El. Sita udah gede, dia berhak nentuin jalan mana yang bakalan dia pilih ke depan."

Elle menyentuh dahinya, kalut. "Gue malah takut reaksi Papah nanti. Papah itu kayak paranormal, walau kita belum cerita, beliau pasti udah tau masalahnya." tubuh Elle terduduk di lantai. "Dan gue pasrah."

*****

Bunyi nyaring suara alarm dari ponsel menganggu tidur nyenyak Sita. Tangan Sita bergerak meraba nakas di samping tempat tidurnya. Ketika ia bergerak sedikit lebih maju untuk menggapai ponselnya, tubuhnya di tarik kembali ke belakang. Perutnya terasa berat, ia menengok ke samping.

Menyadari keberadaan Adrian di sampingnya, mau tak mau pipi Sita merona. Sita memutar tubuhnya, menghadap Adrian. Tangan Sita bergerak menelusuri wajah Adrian, menikmati anatomi wajah tampan Adrian. Bibir lumayan tebal, hidung mancung, bentuk wajah tirus dan yang paling Sita suka, alis tebal Adrian. Laki-laki akan terlihat lebih seksi di mata Sita saat laki-laki tersebut memiliki alis yang tebal.

Bicara tentang kejadian kemarin. Entah kegilaan apa yang ada di dalam tubuh Sita, ia tidak menyesal. Keperawanan yang ia jaga selama ini telah ia berikan pada laki-laki di depan matanya. Hatinya tak merasa ragu dengan keputusan yang ia ambil. Sita tak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Kenyamanan yang Adrian berikan padanya merambat sampai ke hatinya. Sita tidak pernah merasa senyaman ini berada di dekat pria manapun. Hanya Adrian.

Adrian menggeliat, tangannya makin merapatkan tubuh Sita padanya. Perlahan, mata Adrian terbuka, senyumnya mengembang begitu lebar. "Morning Sweetheart."

"Pagi Mas." Sita tersenyum cerah, secerah manusia yang mendapatkan segepok uang di tanggal tua.

"Sleep well?"

"Ya." Sita memindahkan tangan Adrian dari pinggangnya. "Aku mau bikin makanan untuk kita makan dulu."

Adrian kembali menarik Sita ke dalam pelukannya. Mengapit kaki Sita dengan kakinya, tak perduli dengan tubuhnya yang polos--sama polosnya dengan tubuh Sita. "Masih pagi. Tidur lagi aja."

Dahi Sita mengernyit heran. "Masih pagi? Ini udah siang Mas, liat aja mataharinya udah ada di tengah-tengah." balasnya. "Mas lepas, aku mau bikin makanan dulu."

"Gak mau."

"Mas Adrian...,"

"Gak mau."

Malas berdebat, Sita lebih memilih menuruti permintaan Adrian. Mereka tertidur sampai jam dinding sudah menunjukkan pukul satu siang. Sita bangun terlebih dahulu, keluar kamar dengan menggunakan kemeja Adrian, berjalan tertatih ke dapur. Karena di dalam kulkasnya hanya terdapat telur, keju, smoke beef dan beberapa sayuran. Sita memilih untuk membuat omelette, makanan simple dan mudah di buat. Sita juga menambah menu makanannya dengan samyang cheese.

Tangan Sita mengaduk mie dia dalam panci dengan garpu. Sesuatu melingkupi perutnya, tubuhnya tertarik sedikit ke belakang. Adrian menguburkan wajahnya di ceruk leher Sita, sesekali ia menggigit kecil leher jenjang milik Sita.

"Kenapa gak bangunin Mas?"

"Mas tidurnya kayak kebo. Susah dibangunin."

Adrian terkekeh. Ia semakin gemas menggigit leher Sita sampai wanita itu menggeliat. "Mas, geli!"

"Kamu wangi banget."

Sita mematikan kompor. Membawa panci ke depan wastafel, dan membuang air yang masih tersisa di dalam panci. "Mas, aku susah gerak ini." keluh Sita, Adrian masih terus saja mengikuti langkahnya dengan tangan yang memeluk pinggang Sita.

"Kamu pagi-pagi begini udah makan pedes?" tanya Adrian. Ia menggesekkan dagunya ke leher Sita.

"Baru kepingin aku. Mas! Ih, geli!"

Brak!

Pintu unit terbuka dengan kasar. Sita dan Adrian memandang Elle, wajah gadis itu terlihat gusar. Elle menghampiri Adrian, menyeret tubuh Adrian mengikuti dirinya untuk keluar unit. Tak perduli Sita yang melihatnya bingung.

"El?"

Plak!

Elle menampar wajah Adrian sampai wajah Abangnya terhempas ke samping. "Apa yang Abang lakuin sama Sita kemarin?"

Adrian menyentuh pipinya. Ia menatap menatap Elle yang masih terbawa emosi. "El, kemarin Aba--" belum selesai Adrian berbicara, satu pukulan mendarat mulus di pipinya.

"Abang tau yang Abang lakuin itu salah?"

"El," panggil Adrian. Ia menyentuh lengan Elle, tapi Adiknya menghindar.

"Abang itu punya adik perempuan, Mamah juga perempuan. Harusnya kalau Abang mau ngelakuin itu sama Sita, Abang mikir, Abang udah ngucap janji di depan Tuhan belum. Jangan asal begituan aja." Elle menjeda ucapannya. "Jangan jadi pengecut Bang. Elle gak mau tau, Abang harus menikah sama Sita!"

"Iya El, Abang bakalan tanggung jawab atas perbuatan yang Abang lakuin."

"Kalau sampai Abang lepas tanggung jawab, Elle bakal bikin perhitungan sama Abang." Elle meninggalkan Adrian, ia masuk ke dalam unit Sita dan kembali berujar. "Bang Adrian jangan masuk dulu. Elle mau bicara sama Sita."

Sementara itu, Sita di dalam unit menatap was-was Elle yang berjalan ke arahnya. "Ta."

"Apa El?" jawab Sita dengan kepala tertunduk.

"Liat gue Ta. Jangan lihat lantai."

Sita mengadah, pandangannya bertemu dengan Elle. "Jawab pertanyaan gue Ta. Apa yang lo lakuin sama Bang Adrian kemarin?"

"Gu-gue...."

"Jangan ada yang lo tutup-tutupi dari gue Ta. Gue gak suka dibohongin."

"Maaf El."

"Gue gak suruh lo minta maaf, gue suruh lo jelasin semua."

"Gue sama Mas Adrian kemarin...," mata Sita tidak fokus, ia bingung mencari pilihan kata yang tepat.

"Making love?" tebak Elle.

Sita mengangguk, ia meremas jari tangannya.

"Lo tau yang lo lakuin itu zina? Tuhan gak suka itu. Apapun agama kita, zina itu dilarang Ta."

"Maaf El."

"Gue ngerasa bersalah banget sama Mama lo. Dia yang minta ke gue buat jagain lo dan gue merasa gagal banget. Gue tau, yang lo lakuin kemarin itu pilihan lo, gue gak berhak ikut campur. Tapi pernah gak sih lo mikir Ta, gimana perasaan Mama lo di atas sana. Gimana perasaan dia saat tau anak gadis satu-satunya yang dia banggain malah ngehianatin kepercayaan Ibunya dengan having sex sama orang yang belum jadi suaminya?"

Sita mulai terisak pelan.

"Gue kira waktu SD dulu kita udah di ajarin sepuluh perintah Tuhan. Dan dilarang berzina itu ada di urutan ke enam. Mama lo juga pasti ngajarin itu kan?" Elle menghampiri Sita, ia menyentuh pundak Sita. "Gue emang bukan siapa-siapa di hidup lo Ta. Tapi buat gue, lo itu udah seperti saudara gue sendiri. Gue sayang banget sama lo. Jujur gue kecewa sama lo."

"Maafin gue El."

"Lo tau kan dimana letak kesalahan lo?"

"Tau El."

"Abang gue pasti mau tanggung jawab, itu pasti. Tapi itu juga tergantung sama lo, pernikahan tanpa cinta itu kayak masakan tanpa bumbu. Hambar. Balik lagi ke lo, semua keputusan ada di tangan lo." ucap Elle panjang lebar. "Gue balik dulu ke unit."

Tepat ketika Elle keluar dari unitnya, Adrian masuk ke dalam tanpa permisi. Sita masih terisak di tempat. Adrian mendekati Sita, menyentuh jari tangan Sita yang saling meremas.

"Kamu kenapa?"

"Aku salah Mas. Aku udah buat Elle dan Bunda kecewa sama aku." cicit Sita, ia makin terisak. "A-aku,"

Adrian merengkuh tubuh Sita dalam dekapannya. "Sssttt... Ini bukan salah kamu aja. Mas pastikan kita bakalan menikah, Mas akan minta ijin sama Papa lalu keluarga kamu."

Tubuh Sita menegang. Keluarganya? Apa masih ada yang perduli padanya saat ini? Sita tak pernah punya keluarga kecuali Bunda, Sita tak merasa punya siapapun yang dapat di sebut keluarga. Sita tak tahu apakah Ayahnya masih memikirkannya atau tidak hingga hari ini.

"Mas akan berusaha buat kamu cinta sama Mas, kalau itu yang kamu pikirkan sekarang."

"Mas?"

"Ya?"

"Aku gak punya keluarga. Cuma Bunda, dia sudah tenang di sana."

Adrian mengelus punggung Sita, ia mengecup Puncak kepala Sita beberapa kali. "Papa kamu perlu tau."

"Aku gak pernah merasa punya Ayah selama ini."

"Ta."

"Orang egois itu gak pernah memikirkan aku. Aku cuma jadi pembantu di sana."

"Sita."

"Dia cuma percaya sama omongan istrinya, dia gak pernah mau mendengarkan opini aku. Dia selalu nyiksa aku, dia memperlakukan aku seperti hewan."

"Sayang."

"D-dia gak pantas di sebut Ayah. Dia, dia...," Sita menenggelamkan wajahnya di dada Adrian, menangis di sana. Bayangan yang sempat ia lupakan muncul lagi ke permukaan ingatannya.

******

"Kamu sadar ini barang mahal?" Mrs. Jena membentak di depan wajah Sita.

"A-aku tadi gak sengaja Ma..., maaf."

"Selain minta maaf kamu bisa apa?! Maaf gak bisa bikin vas itu balik lagi kayak semula." ucap Mrs. Jena marah. "Bersihin lantai itu dari pecahan vas. Cepat!"

"Iya Ma."

"Jangan cuma iya doang. Bersihin."

Sita berdiri, berniat ke dapur mengambil plastik tetapi tangannya ditahan oleh Mrs. Jena. "Mau kemana kamu?"

"Ambil plastik Ma."

"Siapa suruh kamu bersihin pakai plastik? Pakai tangan."

"Ta--"

"Udah berani ngebantah kamu?"

Sita akhirnya terduduk di tempat semula, ia mengambil potongan-potongan vas yang ia jatuh. Kadang tangannya mengeluarkan darah karena serpihan kecil dari vas di tangannya. Ia meringis menahan perih, darah di tangannya menetes sampai mengenai lantai.

"Udah gak usah manja. Cuma bersihin lantainya aja pakai nangis segala. Nanti kalau udah selesai, kamu lap darah yang ada di lantai. Jijik liatnya."

Sita mengangguk. Ia keluar rumah untuk membuang pecahan vas ke dalam tong sampah. Sita mencuci tangannya dari keran air dekat pohon mangga. Ia mengeluarkan serpihan kecil pecahan vas yang masuk ke dalam kuku. Sesekali Sita mengusap mata yang berair.

Sita masuk ke dalam rumah Ayahnya, mengambil pel lalu membersihkan sisa darahnya yang tertetes ke lantai beberapa menit yang lalu.

Sita mengembalikan pel yang usai ia pakai ke tempat semula. Kakinya melangkah menuju gudang yang sudah diubah menjadi kamarnya, bagian belakang dekat kolam renang.

"Siapa suruh kamu tidur di sana?" suara Mrs. Jena terdengar kembali.

"Terus Sita tidur dimana Ma?"

"Sini kamu." Mrs. Jena menarik lengan Sita, ia mendorong Sita keluar dari rumah Ayahnya. "Kamu tidur di luar. Vas yang kamu pecahin itu harganya mahal, untuk hari ini dan besok kamu gak akan Mama kasih makan dan kamu gak boleh masuk!"

"Ma--" Sita belum sempat menyelesaikan ucapannya, namun pintu sudah tertutup. Sita memutuskan untuk berjalan sedikit jauh ke taman depan di halaman rumah.

Sita duduk di atas rerumputan taman rumah Ayahnya, kepalanya memandang langit malam yang tampak banyak bintang bertebaran di sana. Tangan Sita terulur ke atas, seolah dirinya ingin menggapai salah satu bintang di langit.

"Bunda... Sita kangen banget. Kapan Sita bisa nyusul Bunda ke sana?"

"Sita gak suka tempat ini Bun. Tempat ini lebih buruk dari neraka buat Sita."

"Gimana kabar Bunda di sana? Bunda senang gak di sana?"

Sita terus berbicara sendiri, kegiatan yang sering ia lakukan saat sang Ibu sudah tak berada di sisinya. "Sita gak senang di sini. Sita gak suka Ayah, gak suka Mama. Cuma Kak Hardi yang ngertiin Sita, tapi dia baru gak ada di sini. Jadi Sita gak ada yang belain Bun."

"Tinggal sama Ayah buat hati Sita tambah sakit Bun." Sita mengusap sudut matanya yang tak berhenti menjatuhkan air. Sita tidak tahu apa yang membuatnya menangis saat ini, hatinya tak bisa merasakan apapun sekarang. Ia hanya ingin melepaskan sesuatu yang sudah ia tahan. Menangis bisa meringankan beban yang sudah ia tanggung.

Deru mesin mobil masuk ke dalam rumah. Ayahnya keluar dari dalam mobil. Hanya meliriknya sekilas lalu masuk ke dalam rumah tanpa bertanya kenapa Sita tidak masuk ke dalam rumah. Tanpa bertanya kenapa ia bisa berada di sini. Tanpa bertanya kenapa ia bisa menangis seorang diri di depan rumah besar ini. Tanpa bertanya apa yang ia pikirkan saat ini. Tanpa bertanya apa terjadi padanya. Bahkan Sita yakin jika ia tidak menghembuskan napas lagi, Ayahnya tidak akan perduli padanya.

Sita memandang kosong panggung Ayahnya yang menghilang di telan pintu. Hatinya bertambah perih saat ia menyadari pintu kembali dikunci dari dalam. Memberi tahunya jika ia tidak di ijinkan masuk ke dalam rumah.

Pelukan dari Ayah tak pernah ia rasakan walau Ayahnya berada di depan matanya. Tidak ada kata maaf terucap dari bibir pria yang menyandang status Ayahnya. Tidak pernah terpikir di otak pria itu menganggap Sita sebagai putrinya.

Lalu apa yang bisa Sita lakukan selain menangis?

Berdoa?

Setiap hari Sita selalu melalukan hal tersebut. Berdoa semoga Ayahnya mau menerima dirinya dengan tangan terbuka. Bukan dengan terpaksa seperti ini. Ia tidak menyalakan Tuhan. Tidak. Sita bersyukur atas semua yang terjadi padanya, ia hanya manusia tidak sempurna yang memohon pada Tuhan agar semua di dalam rumah itu bisa menyayanginya. Hanya itu. Tidak lebih.

Dan terkadang ia bertanya pada dirinya sendiri. Apakah ia bukan anak pria itu? Namum test DNA yang ia lakukan secara sembunyi-sembunyi sudah membuktikan, seseorang yang ia panggil Ayah memang benar orang tua kandungnya. Namun kenapa dia diperlakukan layaknya anak tiri? Apa salahnya?

"Bunda kenapa pergi ninggalin Sita?"

Dan itu adalah pertanyaan yang selalu di keluarkan bibirnya tatkala ia berkomunikasi dengan Ibunya melalui bintang yang menjadi perantara.

*****
Bersambung...

Update secepatnya lagi kalau vote bisa sama kayak bab sebelumnya. Wkwkwk.

Ehm... Boleh minta disemangatin?

Continue Reading

You'll Also Like

334K 17.9K 35
Tidakkk.... hidup di kota New York City terlalu sulit untukku. Di usia 7 tahun aku sudah tidak memiliki seorang ayah. Semua itu karena kecelakaan di...
669K 65.8K 47
Daisy Aqueenesya Abraham. Gadis cantik yang lahir dari keluarga konglomerat kaya raya tidak membuatnya menjadi gadis yang hanya bisa mengandalkan har...
250 82 33
Para Magus adalah orang-orang yang memiliki bakat menggunakan kekuatan Mana. Sedangkan Battle Magus adalah orang-orang yang khusus menggunakan Mana u...
8.5M 642K 96
Series ke 3 dari Abraham's family. Dominic putra Abraham. Pria dingin serta kaku yang baru merasakan cinta. Keysha Amelia. Wanita dengan sejuta lu...