Aim for Aimee

Von nellieneiyra

9.9K 933 397

"Karena terkadang orang ketiga itu bukan manusia, tapi perasaan kita sendiri." . . . . . . . . Gasta adalah g... Mehr

1 - Gasta
2 - Aimee?
3 - Gasta, ternyata Aimee...
4 - Yang Telah Lama Hilang
5 - Sebuah Pengakuan
6 - Menemani Hati
7 - Sebuah Ketulusan
8 - Gasta Dimusuhi
9 - Keadilan untuk Gasta
10 - Gasta Diserang
11 - Aimee dan Kejutannya
12 - Tertuduh
13 - Terungkap
14 - Mengutuk Baskara
15 - ❤
16 - 💔
17 - Dia Bukan Gasta
18 - Tapi Dia Masih Aimee
19 - Diagnosa yang Mematahkan
20 - Definisi Kecewa
21 - Pertemuan yang Terulang
22 - Bertualangnya Aimee
23 - Memenangkan Ego
24 - Bicara pada Hati dengan Hati
25 - Agar Aimee Mengerti
26 - Kebenaran dari dan untuk Deon
27 - Deon Telah Memutuskan
28 - Sebuah Akhir yang Mengawali
29 - Baskara VS Feliz
30 - Baskara VS Gasta
31 - Aimee VS Gasta... Wait, What?
32 - Kedatangan Hati yang Lain
33 - Di Depan Mata Aimee
34 - Di Balik Sikap Aimee
35 - Ketika Mencoba Berubah
36 - Arti Sebuah Genggaman Tangan
37 - Malaikat Tak Pernah Dusta
38 - Mengalah Hingga Menang
39 - Dibalas dengan Luka
40 - Tergerusnya Kepercayaan
41 - Pentingnya Tahu Diri
42 - Tersuratkan
43 - Masih Ada(kah) Harapan
44 - Mee, Peduli Tidak?
45 - Refleksi Perasaan Gasta
46 - Melihatnya Rapuh
47 - Pertarungan dan Pertaruhan
48 - Tidak Ada Aimee di Sini
49 - Kali Ke-Entahlah
50 - Kelanjutan Kemarin
51 - Danes Kembali
52 - Airmata Terderas Gasta
53 - Masa Lalu yang Menguji
54 - Terus Terang, Terus Menerangkan
55 - Dia atau Dia, Aku atau Mereka
56 - Pengungkapan Penuh Derita
57 - Susah Dibunuh
59 - Dikira Pengkhianat
60 - Semudah Membalik Telapak Tangan
61 - Rintangan Mustahil Tak Ada
62 - Hadiah Pertandingan
63 - Rapuh, Tumbang, dan Terinjak
64 - Tidak Tepat, Tapi Tidak Terlambat
65 - Aimee si Penggerak Hati
66 - Hati Papa yang Terketuk

58 - Berani Tega yang Tak Disadari

95 7 4
Von nellieneiyra

Gangerti lagi tingkat haluku kayanya udah menembus cakrawala gegara #dirumahaja kaya gini. Tapi berdampak pada pemilihan kata yang asliiiii sangat flat dan ngebosenin.

Maka dari itu, aku minta jemari ajaib anisaawachida untuk mengubah kalimat dalam beberapa paragraf di part ini. Biar lebih berwarna, gitu. Lumayan sih, dua paragraf. Hehe. Thank you ya Nis 😘

Yuk, silakan nikmatu haluku yg kebablasan sampe 3400an kata ini!

***

Gasta terpaksa membolos pagi ini. Sudah terlalu kesiangan baginya untuk tidak terlambat masuk sekolah, karena ia masih di rumah Aimee. Feliz akan menjemputnya sebentar lagi.

Orang tua Aimee belum pulang dari luar kota. Pagi itu Aimee hanya berdua dengan Gasta di ruang tamu. Gadis itu melirik sebentar ke arah Gasta  yang sedang merapikan rambutnya dengan jari. Ingin mengatakan sesuatu, sebenarnya. Tapi bingung mulai dari mana.

"Gasta." panggil Aimee. Akhirnya dia memulai, dengan berdebar.

Yang dipanggil menoleh. Cowok itu baru saja mandi, tanpa mengganti bajunya tentu saja.

"Hmm?"

"Mulai hari ini, kita kaya dulu ya. No excuse." ujar Aimee.
Alis Gasta berkerut sebelum akhirnya dia menyahut, "deal."

"Teman, ya?" Aimee mengacungkan kelingkingnya ke wajah Gasta.
Gasta mengulum senyum. "Teman." timpalnya, mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Aimee.

"No hard feelings ya."
"Sure." sahut Gasta.
"Jagain aku dari hal-hal yang bisa ngancem aku ya Gas." pinta Aimee.
"Pasti." jawab Gasta. Diselimuti keraguan yang Aimee tidak tahu.
"Ingetin aku kalo aku salah. That's what's a friend for." pinta Aimee lagi.
"Iya, iya. Bawel." ledek Gasta sambil menarik hidung Aimee. Aimee menjerit kecil, namun tetap tertawa.

Semua kembali seperti dulu.
Tapi, semua tak sama... Tak pernah sama.
Seperti lirik lagu Padi.

***

Ini hari Sabtu. Tapi ada setumpuk hal yang perlu Feliz pikirkan kecuali bermalam minggu seperti gadis muda lainnya. Baginya yang setiap tingkahnya akan disorot, ia bahkan tidak bisa mengumpat sembarangan tentang betapa panasnya hari ini di lingkungan sekolah.

Feliz sedang setengah melamun ketika dari arah berlawanan, ia melihat Aimee berjalan dengan Rinka ke arahnya. Muridnya itu sudah melempar senyum padanya sejak mata mereka bertemu. Feliz membalas, sambil melambatkan jalannya sampai muridnya itu tepat di depannya.

"Mee, nanti malam, bisa ketemu ngga?"
"Ngapain, Miss?"
"Miss Feliz mau ngomongin program baru buat English Club. Banyak banget. Miss mau minta pertimbangan kamu. Bisa ngga?"
"Mmmm... Bisa sih Miss. Dimana? Di rumah Miss?"
"Boleh. Atau di luar juga bisa. Nanti sore Miss kabarin ya?"
"Siap, Miss."
"See you, Aimee. Thanks ya."
"Anytime."

Ketika Aimee dan Rinka melanjutkan jalannya, Feliz mendadak teringat adiknya. Lumayan juga ternyata selera Gasta. Pantas dia bisa sebegitunya. Aimee super anggun. Meski sering berteriak-teriak, aura princess dalam dirinya tidak sirna. Tipe orang yang sulit ditinggalkan, juga pantas diperjuangkan, meski rintangan seakan tak henti menghadang.

***

"Aku ikut ya Kak?" celetuk Gasta tiba-tiba.

Feliz yang tengah bersiap-siap di depan cermin, menoleh heran pada adiknya. "Ngapain sih? Ada ada aja." senyum terkulum di bibirnya yang merah.

"Ya ngga apa. Nemenin Kakak. Hehehe."
"Nemenin Kakak apa Aimee?"
"Dua-duanya sih. Hehehe."

Feliz menghentikan dandannya. Dihampirinya adiknya yang kini duduk di ranjangnya.

"Heh, babi hutan" olok Feliz, "katanya, masa lalu biar hidup di masa lalu. Kakak getok juga nih pake sisir?" Feliz mengacungkan sisirnya.
Gasta merengut manja. "Orang cuma pingin nemenin doang kok."
"Ngga usah." larang Feliz mentah-mentah.
"Yaaaah Kak. Ayolaaaah." Gasta merajuk.
"Haduh, Gas. Ini aja masih belum tau mau ketemuan dimana." dengus Feliz. Dia lalu mengambil ponselnya untuk mengontak Aimee.

Dan ternyata, ponsel Aimee tidak aktif.

Jam menunjukkan pukul 18.25. Feliz berulang kali menghubungi Aimee tapi hasilnya nihil. Whatsappnya centang satu, last seen-nya juga dimatikan.

"Kamu ada nomer Rinka ga sayang?" tanya Feliz pada Gasta sambil masih mengutak-atik ponselnya. Gasta turut mengutak-atik ponselnya sendiri.
"Ada. Aku kirimin ya?"
"He'em. Hape Aimee mati nih. Ngeselin abis. Orang mau ada janji juga." gerutu Feliz. Merasa sia-sia dia sudah dandan sedemikian rupa.

Ponsel Rinka juga tidak bisa dihubungi. Feliz geram setengah mati.

"Anterin ke rumah Aimee dong, Gas?" pinta Feliz.
"Hah? Ketemu ortunya dong? Ga ah. Takut." tolak Gasta mentah-mentah.
"Yaelah. Kamu tunggu di motor deh. Ato kamu tinggal juga gapapa."
"Mager ah Kak."
"Nanti Kakak traktir boba deh pulangnya."

Gasta tergoda. Diliriknya kakaknya yang terlihat mengharapkan bantuannya.

"Yang brown sugar yang large ya?" todong Gasta dengan seutas senyum kecil di bibirnya.
"Siap."

Berangkatlah mereka ke rumah Aimee.

***

"Hah? Aimee keluar dari sore?" pekik Feliz kaget saat bunda Aimee menjelaskan bahwa Aimee tidak ada di rumah sejak sore.
"Betul, Miss. Bilangnya sih ke rumah Rinka. Nginep, ada tugas kelompok." terang bunda Aimee.
"Oh, gitu ya Bu. Soalnya udah janjian ama saya Bu, malam ini. Makasih ya Bu, infonya. Saya pamit dulu. Mari." pamit Feliz singkat. Dia merasa hari semakin malam, waktu untuk bertemu Aimee juga semakin sedikit.

Gasta menunggu di atas motor, di luar pagar Aimee. Dia sungguh deg-degan, karena berekspektasi akan bertemu Aimee dan kedua orangtuanya yang tempo lalu sikapnya berbeda satu sama lain terhadap dirinya. Bundanya yang arogan dan ayahnya yang friendly.

Namun Gasta harus menelan rasa kecewa malam itu; Aimee tidak ada di tempat.

"Lah, Aimee mana Kak?" tanya Gasta.
"Rinka." sahut Feliz. "Dia di Rinka. Kita ke rumah Rinka sekarang."
"Hah? Gila. Jauh Kak. Deket sekolah sana rumahnya. Yakin? Niat amet sih." cericip Gasta heran.
"Kamu tau ngga rumah Rinka?"
"Tau sih. Tapi jauh tau Kak. Serius mau kesana malem ini?"
"Kakak gregetan ama Aimee. Seenaknya ngelupain janji." sahut Feliz menggerutu sambil memasang helm. "Ya udah. Ayo sikat. Rumah Rinka."

Gasta melengos kesal, memutar bola matanya ke atas. Heran dengan kegigihan kakaknya yang menyebalkan. Rapat kapan-kapan kan bisa, batin Gasta.

***

Sudah lima menit Feliz dan Gasta mengetuk rumah Rinka, namun tak ada jawaban sedikitpun dari dalam.

Tak lama kemudian, seorang tetangga Rinka menyahuti dari halaman rumahnya.
"Mereka keluar dari abis magrib, Dek."

Feliz dan Gasta saling menatap, mendengus kesal sebelum akhirnya berterima kasih pada si tetangga tersebut.

"Ya udah lah Gas, pulang aja." Feliz putus asa.
"Yeeeeey, boba dulu dong?" tagih Gasta.
Feliz berdecak. "Kok inget aja sih kamu."
"Dih, kan, mau mangkir." olok Gasta, menyipitkan matanya ke arah Feliz.

Bertolaklah mereka ke kedai boba terlaris di dekat situ.

***

Boba sudah di tangan. Gasta sudah aman.

Perjalanan pulang terasa hampa karena Feliz diam saja.

"Diem diem bae." celetuk Gasta di jalan sambil fokus menyetir.
"Gedeg, tau ga. Kamu kok bisa sih suka ama cewe yang kaya gitu?" Feliz mulai mencerca.
"Yeeee, Kakak. Kan dia ngga pernah kaya gini sebelumnya." bela Gasta pada Aimee. "Sensi amet sih."
"Kamu kok jadi belain dia sih. Yang kakak kamu tuh sapa?" Feliz jadi gusar sungguhan.
Gasta memilih bungkam. Ternyata kakaknya lagi marah beneran.

***

Malam minggu yang suram. Feliz yang sudah ganti baju dan menghapus makeupnya, kali ini menonton film di ponselnya saja sambil rebahan. Sementara Gasta di sampingnya, rebahan di kasurnya sambil menggulir-gulir layar Instagramnya.

Sebuah direct message dari Valdi muncul.

"Gue kasi sesuatu tapi jangan kaget"

Alis Gasta berkerut. Valdi bukan tipe cowok penjulid lewat chat. Jadi bisa dipastikan kali ini masalah yang cukup urgent.

"Apaan?"

Cling. Sebuah video Instagram story dari akun yang tidak Gasta kenal dikirim oleh Valdi.
Gasta membukanya.

"Halo gaes, kita lagi otewe ni gaes. Zi, Zi, hai dulu dong."
"Paan sih norak anjeng!"

Instastory milik Fais. Yang menyorot Uzi sedang menyetir mobil dengan pencahayaan yang remang-remang.

Kamera mulai mengarah ke jok belakang.

"Kita mau ke Puncak gaes... Di sini ada Danes, halo Danes... ama cememewnya, Aimee... Dadah dulu dong Mee..."

Puncak...
Danes...
Aimee...

Hanya satu kata yang tercetus di otak Gasta saat itu.
Bangsat.

Lalu tampak Aimee sedang menutupi wajahnya dan berteriak malu-malu, menolak untuk disyuting. Dan di kursi belakang ternyata ada Alam sendirian.

Which means, Aimee adalah satu satunya cewek yang ada di situ.

"Siapa, Gas?" Feliz terdistrak oleh suara gaduh Uzi dkk. dari ponsel Gasta.

Gasta tak menjawab. Lidahnya terlalu kelu untuk berkata-kata. Semua ini seperti tidak nyata. Tiba-tiba ada rasa nyeri menyerang dadanya. Nyerinya sebuah pengkhianatan.

"Sapa sih?" Feliz meraih ponsel Gasta.
"@faisfree? Ini Fais murid Kakak, si brandalan itu?" Feliz mencoba meyakinkan.
"Liat aja sapa yang ada di situ." tutur Gasta lirih tak kuasa.

Feliz menajamkan penglihatan dan pendengarannya.
"Hah? Ga salah nih? Aimee? Ke Puncak? Hei! Ngga inget apa dia ada acara ama Kakak! Sakit jiwa semua nih!" umpat Feliz kesal sekali. Dia melempar ponsel Gasta ke kasur. "Kok bisa sih dia kaya gitu, Gas?"

"Ngga tau lah Kak, aku pusing." Gasta memunggungi Feliz. Direct message dari Valdi tidak dibalasnya lagi. Sekujur tubuhnya terlalu lemas untuk melanjutkan membuka akun Instagramnya. Ponselnya saja kini tergeletak di atas kasurnya.

Feliz merepet emosi. "Kok bisa gitu sih? Tadi kata bunda Aimee, dia ke Rinka. Kok? Di mobil, ama cowok-cowok brengsek lagi. Hih! Kakak ngga ngerti lagi deh. Kok berani banget sih dia boong ke ortunya Gas!"

"Ya mana aku tau Kak." balas Gasta ikutan emosi. Gasta yang memunggungi Feliz sudah tidak berbentuk lagi hatinya. Diacak-acaknya rambutnya berulang kali. Tangannya mengepal dan dihantamkan berulang kali ke kasur Feliz. Gasta hancur. Banyak alasannya.

Satu, Aimee membatalkan janjinya secara sepihak. Dua, Aimee pergi bersama Danes jelas membuatnya cemburu. Tiga, Aimee tidak jujur pada orangtuanya maupun Feliz. Empat, Danes brengsek sekali berani-beraninya mengajak Aimee ke tempat seperti itu, bahkan tanpa meminta ijin ke orangtua Aimee.

"Gas?" panggil Feliz.
Adiknya tetap bergeming. Feliz pindah posisi ke depan Gasta. Gasta mendongak, tampak hidung dan matanya memerah.
"Kamu kenapa, sayang?" tanya Feliz panik.

"Parah, Kak." jawabnya dengan suara parau. Matanya sedikit berkaca-kaca.
"Astaga, Gasta." cetus Feliz, mengerti keadaan Gasta. Dia lalu mengusap-usap pundak adiknya.
"Brengsek emang Danes. Bajingan. Bangsat." umpat Gasta dengan dada yang naik turun.
"Gasta, mulutnya ih." tegur Feliz. "Kakak tau, kamu pasti emosi. Tapi tetep dijaga lah mulutnya."
Gasta menyeka ujung matanya, tetap dalam posisi berbaring.

Tiba-tiba Gasta bangkit untuk duduk.
"Cowok macem apa Kak yang bawa-bawa cewek ke Puncak, ama temen-temen cowoknya, ngga ijin orangtuanya lagi? Hah?" pekik Gasta. Feliz turut duduk, lalu mengusap-usap pundak adiknya.
"Sabar, Gas. Sabar."
"Aimee juga. Tolol banget. Diajak ke tempat kaya gitu juga mau aja." gerutu Gasta gusar.
"Kakak yang diPHPin kok kamu yang emosi sih?" sindir Feliz kemudian.
"Ya soalnya ini keterlaluan banget, Kak! Danes, Aimee, semuanya! Tolol semua!" maki Gasta tanpa ampun.
"Gasta, astaga." tegur Feliz. Kini punggung Gasta yang diusap-usapnya. Berusaha meredam amarah Gasta yang tidak disangkanya bakal sebesar ini.
"Mereka tuh... ah ngga tau lah. Otaknya ngga dipake apa ya? Kesel banget aku Kak. Hih!" Gasta menonjok bantal di depannya.

"Sabar dong sayang, aduh...." Feliz mendekap kepala adiknya. "Kamu ngapain segala marah kaya gini sih? Kamu sendiri yang rugi kalo ikutan marah gini." tegur Feliz.

"Kak, Aimee tuh ngga ngotak! Kok Kakak heran liat sikapku sih? Ya sapa yang ngga kesel Kak, digituin? Liat gituan? Aku ngga terima ya kalo ada yang gituin Kakak. Apalagi ini mereka ngga ijin ke ortu. Parah lah pokoknya!" marah Gasta, entah pada siapa. Aimee benar-benar meremuk redam hati Gasta. Ingin sekali dia memarahi Aimee malam itu juga. Tapi apa daya, ponsel Aimee masih tidak aktif.

"Ya udah. Sekarang kamu tidur. Sholat dulu." suruh Feliz. Gasta menurut saja meski dengan hati yang luar biasa gusar.

Setelah memaksa tidur selama setengah jam, akhirnya Gasta terlelap juga. Namun pukul sebelas malam, Gasta terbangun tiba-tiba.

Kegusaran itu kembali merayap di hatinya.

Kebohongan Aimee pada kakaknya, kebodohan Aimee yang mau diajak Danes begitu saja, dan kekurangajaran Danes karena berani membawa anak gadis orang ke tempat yang belum pantas didatangi oleh anak seusianya seakan menjadi bara api yang merekah di hatinya.

Bisikan untuk membuka ponsel pun datang.
Jemarinya seakan tergoda untuk membuka DM dari Valdi untuk melihat postingan Fais. Mana tau ada IG story baru. Gasta menuruti rasa penasarannya. Persetan bila dia dicap stalker oleh Fais dkk. yang notabene memang tidak menyukainya itu.

Dan voila, sudah ada dua IG story baru lagi.

Yang pertama, boomerang mereka berempat: Fais, Uzi, Alam, dan Danes, yang sepertinya dipotretkan oleh Aimee.

Yang kedua ini yang membuat hati Gasta hancur kembali, tertulis baru dipost dua menit yang lalu.
"Pulang dulu gaes... Otewe balik ini..."  ucap Fais di IG storynya.
"Ngantuk gaes... Yang di belakang udah tepar tuh..." Uzi menunjuk ke kursi belakang. Fais menyorotnya.

Boom.
Tampak jelas Aimee tidur dalam dekapan Danes. Danes hanya mengacungkan jempolnya saat kamera Fais menyorotnya dengan flash. Alam di belakang juga sama dengan Aimee. Sudah pulas. Tapi Gasta mengabaikannya. Dia terlalu fokus pada Aimee dan Danes di jok tengah.

Melihat Aimee tertidur pulas dalam dekapan Danes, rasanya dunia Gasta berhenti berputar. Apalagi melihat senyuman Danes saat jempolnya teracung, membuat Gasta berpikir santet online mana yang halal agar bisa dipraktikannya pada Danes.

***

Esok paginya, Gasta bangun dengan rasa sakit di dada. Dia kira penyakitnya kambuh, tapi ternyata bukan. Masih rasa dongkol pada Aimee semalam.

Wajah Gasta kusut padahal hari itu hari Minggu. Feliz yang masih mager sudah di depan tivi sambil memainkan ponselnya.

"Nomor Aimee udah aktif belum?" Gasta memulai hari itu dengan percakapan soal Aimee. Bukan awal yang bagus tentunya.

"Udah. Udah centang dua. Tapi ngga dibaca-baca. Auk ah. Males udah Kakak." gerutu Feliz cuek.

Tanpa menyahuti, Gasta langsung mengambil ponselnya. Dihubunginya nomor Aimee, dengan kesabaran yang sudah setipis kulit dan keberanian yang dikumpulkannya sekuat tenaga.

"Halo?" suara Aimee terdengar sangat santai.
"Mee." panggil Gasta datar.
"Apa?"
"Ini Aimee kan?"
"Iya. Aimee ini."
Gasta menarik napas panjang.

"Semalem kamu dimana?" nada bicara Gasta terdengar posesif sekali. Dingin, cepat, dan tajam.
"Kenapa?"
"Udahlah jawab aja."
Aimee terdiam beberapa saat.

"Di luar. Malmingan. Kenapa?" sahutnya enteng.
"Sampe jam sebelas? Bagus." sindir Gasta dingin.
"Engga kok, jam setengah sebelas."
"Semuanya cowo? Bagus." Gasta mengulang sindirannya.
Aimee memicingkan matanya bingung.

"Kenapa emangnya Gas?"

Kenapa? Kenapa katanya?
Kalau saja dia tidak ingat Aimee ini perempuan - yang tetap dicintainya meski dia sebal setengah mati seperti saat ini - pasti sudah keluar kata kasar dari mulutnya.

"Gak ijin bunda juga? Bagus." lanjut Gasta.
Aimee menghela napas. "Kok perhatian gini sih kamu?"

"Ga gitunya. Kamu tuh cewe. Ntar kalo ada apa-apa, bundamu gimana?" omel Gasta.
"Gas. Aku baper nih Gas. Ati-ati loh." Aimee malah tidak serius.
"Ck. Ijin Bunda kan bisa." omelan Gasta berlanjut.
"Ya, yang penting kan aku sekarang ngga kenapa-kenapa." Aimee masih bisa-bisanya membela diri.

Hembusan napas kesal Gasta terdengar dari seberang telepon.
Rinka yang ada di sebelah Aimee menatap Aimee dengan alis bertaut.

"Kamu kesambet apa pagi-pagi udah ngomel gini? Tau dari Rinka?" tanya Aimee, melirik curiga sahabatnya. Rinka jelas menggeleng cepat, seakan mengisyaratkan bahwa dia tidak bilang apa-apa.
"Ngga penting tau darimana." sahut Gasta masih dengan nada kesal.
"Lah? Kok gitu? Dari Miss Feliz?"
"Bukan Kak Feliz lah." Gasta semakin gusar.

Kerutan di alis Aimee semakin menjadi.
"Lah? Terus dari sapa dong?"

Kok lo bisa nyante kaya gini sih Mee? Perasaan bersalah lo dimana? bentak Gasta dalam hati.

"Hash." dengus Gasta. "Sekarang kamu dimana?"
"Di rumah Rinka." jawab Aimee. "Kenapa?"
"Bener, di rumah Rinka? Ntar kamu boong lagi kaya kamu boong ke Bunda."
"Hiiiiih." Aimee geregetan. "Rin, sini Rin teriak." Aimee mendekatkan ponselnya pada Rinka.
"Apa Gaaaas?" pekik Rinka.

Gasta menjauhkan ponsel dari telinganya karena teriakan Rinka keras sekali.
"Beneran, kan? Lagian kamu kenapa sih? Aneh banget tau gak."

"Sekarang aku nanya," ujar Gasta, "gimana ceritanya Danes bisa ngajak kamu keluar ampe malam gitu?"
Aimee berdecak kesal. "Kepo." timpalnya.
"Jawab ato aku laporin Bunda." ancam Gasta. "Aku ada bukti."
"Ya sore itu aku ke rumah Rinka. Eh, tiba-tiba diajakin Danes. Ya aku langsung iyain lah. Orang udah lama ngga malam mingguan." terang Aimee.
"Ya tapi kenapa ngga ijin Bunda?"
"Ya ngga mungkin diijinin lah Gas. Kaya ngga tau Bunda aja. Apalagi Ayah. Lagian, aku kan ijinnya ke Rinka." bela Aimee. "Kamu kenapa sih Gas?"

"Kamu ngga tau aja kemaren aku ama Kak Feliz ke rumah kamu. Ketemu Bunda. Bunda kamu bilang kalo kamu ke Rinka. Terus aku ama Kakak ke Rinka. Rinka ngga ada di rumah. Pergi sekeluarga. Aku panik, Mee. Mikir yang engga-engga. Eh, kamu malah enak-enak tidur-tiduran di mobil ama Danes. Ke Puncak, lagi. Sementara Bunda mikirnya kamu di Rinka. Untung Bunda kamu ngga nyamperin ke Rinka. Kalo misal kejadian kaya gitu, kamu mau gimana?" Gasta mencerocos panjang lebar persis ibu-ibu.

Deg. Jantung Aimee melompat ke kerongkongan. Pasti ini menyangkut meeting itu, batinnya.

"Ngapain kamu ama Miss Feliz nyariin aku?" pertanyaan Aimee terdengar bodoh.

"Gila kamu ya? Haduh. Kan kamu ada janji ama Kak Feliz, Mee. Gimana sih." kesabaran Gasta sudah habis. "Ngga usah pura-pura lupa deh Mee."

Ketahuan deh, batin Aimee. Namun tentu reaksi Aimee tidak begitu.

"Astagaaaaaaa Gas. Ya ampun. Aduuuh. Aku lupa. Ya ampun. Gimana dong? Astagaaa. Gas, maafin aku ya?"

Gasta semakin dongkol mendengarnya.
"Minta maaf ke Kak Feliz sana."
Aimee hening sebentar.
"Kamu tau darimana sih kalo aku dari Puncak?"
"Ngga penting. Pikir aja sendiri." pungkas Gasta emosi.

Tut. Gasta menutup teleponnya.

"Ketus amat Gas, astaga." Feliz melenggang melewati Gasta yang tadi menelepon sambil berdiri dan berkacak pinggang.
"Bodo. Kesel banget aku Kak. Udah. Gasta mau di kamar aja. Jangan ganggu."

Feliz tidak ambil pusing. Diiyakannya saja ucapan adiknya. Namun yang dia herankan, kenapa reaksi Gasta bisa sehancur itu?

***

Upacara bendera selesai. Sejak di barisan petugas, Gasta yang kali itu hanya jadi petugas cadangan, tidak melepaskan pandangannya dari Danes. Bayangan Danes mendekap Aimee yang terlelap di sampingnya terus menggerogoti hatinya. Belum lagi kekurangajaran Danes yang menculik Aimee tanpa ijin ortunya sama sekali.

Karena Gasta petugas, dia kembali ke kelas agak molor. Ketika semua teman sekelasnya sudah di kelas, yang petugas upacara baru masuk.

Langkah Gasta kian cepat ketika Danes terlihat sudah di kelas. Begitu tiba di kelas, diburunya Danes yang sedang asyik bersenda gurau dengan Marco dan Altof.

"Brengsek!" Gasta mendorong pundak Danes. "Maksud lo apa bawa-bawa anak gadis orang ampe larut malem ngga pake ijin orangtuanya?" Gasta mulai mencecar.

Seperti biasa, semua aktifitas di kelas 9A terhenti.

Danes tentu kaget, bercampur bingung. Dicarinya apa maksud cowok ini berkata seperti itu.
Dan baru nyambung bahwa cowok ini membicarakan Aimee.

"Urusan lo, hah?" tantang Danes, berdiri dari kursinya. Dadanya didekatkan ke dada Gasta, merasa lebih jagoan, padahal malah lebih kayak adu besar-besaran payudara.

"Kenapa? Lo ngerasa cemen buat ngomong ke bokap nyokapnya dia?" balas Gasta.
"Gue tanya, emang ini urusan lo?" kembali Danes menyerang.
"Ini ngelibatin kakak gue. Jadi ini urusan gue."
"Hash segala berlindung di balik jabatan kakak lo. Kenapa? Cemburu, gak bisa ngajak dia keluar malem?" senyum Danes di mata Gasta terlihat seperti ejekan, karena memang itu senyum ejekan.

Gasta balas tersenyum. Sinis. Namun sorot matanya masih hangat, karena senyum Gasta sepertinya tidak pernah tidak indah.

Sementara itu, atmosfer kelas tetap membeku. Seakan tidak ada yang berani melerai keduanya.

Gasta melanjutkan. "Dia ngelupain janji ama kakak gue gara-gara lo. Dan ortunya ngga tau kalo lo ajakin dia keluar ampe jam sebelas, dia tidur lo peluk-peluk, lo rangkul pinggangnya, lo..."
"Jeles kan lo?" potong Danes. "Ngaku aja deh. Biar sekelas tau." Danes menunjuk seantero kelas. "Gasta, Gasta. Liat cewe idaman lo dibawa jalan-jalan aja kaya gini. Lemah." hina Danes, masih dengan senyum sinisnya.

"Bangsat!" pekik Gasta, seraya melayangkan tinju ke wajah Danes.

"Gasta!" Aimee berlari dari bangkunya. Semua teman sekelasnya ternganga. Cinta segitiga kampret itu lagi, batin mereka.

Aimee menarik tangan Gasta, lalu menjauhkannya dari Danes. Napas Gasta terdengar berat. Amarahnya menggelegar saat itu. Memang, sejak mengidap sirosis, emosi Gasta sering tidak stabil. Gasta jadi lebih sering meluapkan emosinya daripada menahannya seperti dulu.

Danes juga sudah ditahan-tahan oleh Altof dan Marco kali itu ketika berusaha membalas Gasta. Valdi yang duduk tak jauh dari situ, jelas menghampiri mereka.

"Apa lagi sih ini? Hah? Mau kalian diDO?"  tegurnya.
"Di, ngga usah, Di. Ngga usah." Aimee berusaha meredam amarah Valdi. Maksudnya, tidak usah dilaporkan ke BK.
"Ribut mulu heran deh. Gue yakin sekali lagi lo lo pada ribut, gue ga bakal liat muka lo lo lagi di sekolah ini." omel Valdi.

Mereka semua terdiam. Danes melirik Aimee. Pergelangan tangan Gasta masih ada dalam genggaman Aimee. Aimee lalu menarik Gasta dari situ, membawanya ke bangkunya.

"Gas, udah ya. Jangan sampe temen sekelas tau. Plis." mohon Aimee. "Aku tau kamu pasti marah banget ama aku. Aku minta maaf ya. Maaf banget."

Gasta seakan tak menggubrisnya. Napasnya yang berat karena menahan amarah masih membuat dadanya naik turun.

"Ini semua aku yang salah. Aku yang ngeiyain Danes. Aku ngga cerita ke Bunda. Aku ngelupain janji ama Miss Feliz. Maafin aku." ujar Aimee sambil terus menatap Gasta.

"Makasih udah khawatir ama aku. Aku ngga papa, Gas. Aku baik-baik aja. I'm fine, see? Kamu ngga perlu panik. Aku janji aku ngga akan pergi tanpa seijin Bunda maupun Ayah lagi. Janji." Aimee mengusap-usap pundak Gasta yang masih tidak menatapnya. Pandangan Gasta lurus ke depan, yang mana Aimee tidak tahu bahwa dia sedang menahan airmatanya agar tidak luruh.

Danes di ujung kelas menatap gadis kesayangannya itu dari kejauhan. Bertanya-tanya, salahkah jika dia cemburu bila melihat sikap Aimee yang terkesan lebih memilih Gasta daripada dirinya?

Gasta yang menyerang, tapi Gasta yang ditenangkan hatinya, yang dibesar-besarkan hatinya. Padahal Danes berekspektasi bahwa Aimee akan melabrak atau memarahi Gasta habis-habisan karena menyerang Danes duluan. Tapi nyatanya? Dia harus melihat tatapan memohon Aimee yang begitu teduh seakan menenangkan Gasta.

Yang pasti, satu hal terbersit di benak Gasta saat itu: pemikiran yang sama dengan Danes.

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

24.1K 1.8K 45
𝐭𝐡𝐞 𝟐𝐧𝐝 𝐛𝐨𝐨𝐤 𝐨𝐟 𝐬𝐡𝐨𝐫𝐭 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐚𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐨𝐥𝐢𝐯𝐢𝐚 𝐫𝐨𝐝𝐫𝐢𝐠𝐨 𝐚𝐧𝐝 𝐲/𝐧'𝐬 𝐦𝐞𝐞𝐭-𝐜𝐮𝐭𝐞𝐬/𝐥𝐨𝐯𝐞 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐢�...
78.2K 2K 30
A little AU where Lucifer and Alastor secretly loves eachother and doesn't tell anyone about it, and also Alastor has a secret identity no one else k...
196K 10K 89
Being flat broke is hard. To overcome these hardships sometimes take extreme measures, such as choosing to become a manager for the worst team in Blu...