Bila

By Alyaaa

1.4M 38.1K 4.9K

DITERBITKAN ### Ketika melihat sahabatmu mengakhiri masa lajang dan hal itu membuatmu susah bernapas. ### Seb... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 22 - Re post
Part 23
END
Extra Part --- Daffa 1 (re-post)
Extra Part --- Daffa 2 (re-post)
Extra Part --- Daffa 3 (re-post)
Extra Part -- Daffa (5)
INFO
PO Buku Bila
PO 2
Kejutan?

Extra Part --- Daffa 4 (re-post)

29.2K 930 16
By Alyaaa

Akhirnya aku menghabiskan waktu esok harinya dengan memastikan bahwa Bila sudah sehat. Siang hari setelah meyakinkan bahwa dia sehat, aku memutuskan pulang ke Bandung. Sejujurnya, ini adalah keputusan yang sangat sulit, bagaimana bisa aku pergi meninggalkan seorang yang akhir-akhir ini ada di otakku ditambah dia baru saja sembuh dari sakitnya. Aku khawatir. Satu minggu, aku meyakinkan diri sendiri bahwa waktu satu minggu itu akan cepat berlalu dan kami akan bertemu lagi.

-Jangan lupa makan-

Aku memandang ponselku untuk yang ke sekian kali. Sudah hampir satu minggu kembali ke Bandung dan kami hanya bisa berkirim pesan. Aku tidak sanggup untuk melihat wajah dan mendengar suaranya jika itu hanya akan membuatku semakin ingin pergi ke kota itu segera. Hah, aku tidak menyangka bisa menjadi bergantung dengan wanita ini hanya karena hubungan malam.

Satu kali lagi aku melihat ponsel dan pesanku masih saja belum dibalas. Ada apa dengan Bila? Dia tidak sakit lagi, bukan?

"Assalamu'alaikum."

Akhirnya aku bisa mengembuskan napas lega saat jawaban dari ujung panggilan.

"Wa'alaikumsalam. Kenapa kamu tidak membalas pesanku, Bila? Lalu, kenapa juga suaramu serak begitu," tanyaku saat menyadari suara Bila sedikit berbeda.

"Tumben telepon?"

Aku mendengus bosan mendengar kalimat tanya darinya. "Jawab dulu baru bertanya."

"Aku belum sempat bales, kepalaku agak pusing. Itu juga mungkin penyebab suaraku serak. Lalu, kenapa telepon?"

"Aku khawatir," kataku pada akhirnya.

Hening, tidak ada jawaban dari Bila. Aku sampai menjauhkan ponsel hanya untuk memastikan bahwa panggilan kami masih terhubung.

"Aku hanya pusing seperti minggu lalu. Lagi pula, hari ini istirahat jadi besok pasti sembuh. Kak Daffa kapan pulang?"

Pulang? Ah, aku baru saja ingat kalau beberapa jam yang lalu hrd mengabarkan kalau aku harus ikut training karyawan yang akan diadakan besok Sabtu. Kalau saja tidak wajib, aku pasti menolak datang dengan segera.

"Justru itu, aku juga mau memberi tahu kalau ada kerjaan jadi buat minggu ini tidak bisa ke sana. Awalnya mau minta kamu yang ke sini, tetapi sepertinya tidak mungkin. Kalau begitu kamu istirahat saja, ya."

"Jadi Bang Toyib?" jawaban Bila terdengar tidak bersemangat. Entah hanya perasaanku saja atau sebaliknya.

"Terpaksa, aku tutup telponnya, ya. Sudah jam kerja!" putusku kemudian. Aku tidak siap untuk berlama mendengar suara Bila yang hanya akan membuatku ingin pergi menemui dan membuatnya tertawa. Ah, Daffa! Sepertinya kamu benar-benar sudah terkena candu.

Selesai dengan Bila, aku langsung melakukan panggilan kepada Didi. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa membantuku saat ini.

"Ayolah, Di! Sebentar saja, kamu bisa mampir ke rumah Bila sebelum bimbingan, kan? Pastikan dia baik-baik saja dan bawa ke rumah."

"Tapi, Kak! Didi bisa telat ini, jarang jarang tuh Dosen ada waktu begini. Ayah udah ngomel-ngomel gegara aku nggak lulus-lulus."

"Sekali ini saja, Di. Lagian aku yakin kalau Ayah justru akan memarahimu kalau tahu kamu tidak mau mengecek Bila."

"Jadi, Kakak ngancam mau lapor sama Ayah? Hah! Oke-oke, Didi ke tempat Kak Bila sekarang. Pokoknya kalau sampai tahun ini aku masih belum bisa sidang dan lulus, itu salah Kakak, ya."

Aku tersenyum senang mendengar jawaban dari Didi. Walaupun awalnya dia menolak untuk menengok Bila dengan alasan skripsi, akhirnya dia tetap pergi. Sekarang aku tidak perlu khawatir lagi.

-Tugas selesai Kakak Ipar.-

Satu jam kemudian, Didi mengirimkan pesan yang membuat mingguku ini akan menjadi tenang.

**

Mungkin begini rasanya jatuh cinta? Tidur dan makan tidak enak sebelum mendengar kabar dari Bila. Hal itu membuatku menghabiskan waktu satu minggu nyaris seperti anak muda. Aku mengirimkan pesan hanya untuk meng-update kabarnya dan juga terkadang menghubungi jika sudah merindukan suara cerewetnya.

Akhirnya, setelah satu minggu terlewati, aku bisa menghirup udara sore dengan perasaam bahagia. Aku bahagia hanya karena akan bertemu Bila? Ini luar biasa.

Pintu terbuka dan pada saat yang sama menampakkan sosok yang beberapa hari ini menyita otakku.

"Kangen," ujarku begitu saja saat menemukan mata itu menatapku kaget. Aku memang sengaja berangkat dari Bandung tanpa memberikan kabar sebelumnya.

"Kita ke dalam," kataku kemudian dan menarik tangan Bila menuju kamar. Kenapa ke kamar? Karena aku sudah sangat lelah mengemudi dan juga mengantuk.

"Loh, ngapain ke kamar?"

"Aku capek banget, pijitin, ya?"

Tanpa menunggu lama, aku langsung menghempaskan badan ke ranjang.

"Aku bukan tukang pijit. Mesti berapa kali sih dibilangin?"

"Aku tidak bilang. Kalau tidak mau ya sudah, aku mau tidur," kataku lelah dan langsung memejamkan mata. Aku butuh istirahat. Di ambang kesadaran, aku bisa merasakan Bila mulai memijitku, ternyata walaupun awalnya dia menolak, dia tetap melakukannya. Pagi ini aku bisa merasakan kenyamanan dalam tidur.

**

Aku menatap ponselku dengan kesal, sejujurnya hari ini aku ingin menghabiskan waktu bersama Bila. Namun, ternyata kenyataan berkata lain, entah dari mana Bunda tahu kalau aku sudah berada di kota yang sama. Beliau mengatakan harus menitipkan Caca kepada kami. Caca, anak dari Om Alvin yang notabene adalah keponakan kami yang paling kecil. Aku sengaja tidak mengatakan kepada Bila mengenai hal ini, biarkan Bunda nanti yang menjelaskannya saat kami tiba di sana.

"Kenapa Caca bisa di sini sih, Bun? Terus Papa Alvin sama Mama Rere mana? Kenapa juga harus Bila yang jaga Caca? Ave sama Nada?" tanya Bila saat Ayah-Bunda akan berangkat ke Panti dan menyerahkan Caca.

"Memangnya Daffa belum jelasin?"

Aku berpura-pura sedang membuka ponsel saat Bunda mengatakannya, dari sudut mata aku melihat Bila menatapku penuh selidik.

"Belum."

"Jadi, gini loh, Kak. Caca kan baru liburan dan dia langsung ikut Ayah sama Bunda ke Jogja katanya kangen sama Ave. Eh, tahunya Ave baru ujian jadi tidak bisa menjaganya. Didi sibuk bimbingan sementara entahlah. Jadi, Bunda sama Ayah minta sementara arisan titip dulu. Cuma sebentar, Kak. Lagi pula suamimu juga tidak keberatan."

Aku tersenyum puas saat akhirnya Bunda menjelaskan urusan Beliau. Itu berarti minimal aku tidak perlu menghadapi protes dari Bila, mengingat dia tadi pagi mengajakku pergi ke pantai.

"Kak Bila, Dek Caca pengen ke taman yang waktu itu!"

Aku melihat Caca yang menarik-narik tangan Bila. Bila yang awalnya tidak senang karena menjadi pengasuh pun akhirnya berjongkok, menyejajarkan wajahnya dengan Caca.

"Ke Taman yang mana? Emangnya mau ngapain?"

"Itu yang pernah bareng sama Kak Ave, sama Dek Embun juga."

Aku masih saja memerhatikan interaksi keduanya, mungkin Bila akan menjadi sabar dan dewasa ketika menghadapi anak kecil seperti Caca. Well, sepertinya kami harus membuat Caca KW segera.

"Om, Caca mau ice cim itu," rengek Caca kepadaku saat kami sudah duduk di salah satu kursi taman.

"Ya udah, yuk beli ke sana."

Aku bangkit berdiri dan membantu Caca turun dari kursi sebelum menggendongnya dengan tangan kiri.

"Om, Caca mau ice cim coklat, ya."

"Iya, tapi awas nanti giginya bisa ompong lho!" tegurku yang langsung dibalas dengan wajah manyun dari Caca.

"Ndak ompong, Om. Nii lihat, gigi Caca ada semua."

Aku tersenyum melihat Caca yang saat ini memamerkan gigi putihnya. Selanjutnya, kami sudah sampai ke penjual ice cream dan memesan satu buat Caca.

"Kak Bila, Om?" tanya Caca kemudian.

"Kak Bilanya lagi sakit, Dek. Jadi, ndak boleh makan ice cream."

Caca mengangguk paham, lalu kami kembali ke tempat Bila menunggu.

"Buat Kak Bila mana, Dek?" tanya Bila saat kami sudah duduk di sampingnya.

"Kata Om, Kak Bila masih sakit jadi ndak boleh makan ice cim."

Bila terus memrotesku hanya karena tidak dibelikan ice cream, dasar bocah! Aku lebih memilih mengabaikan protes dari Bila dan menanggapi Caca, fotokopian Bila. Mereka berdua sama-sama manja dan suka mengerucutkan bibir kalau sedang tidak suka. Tepat sore hari Caca sudah terlihat kelelahan dan kini dia sudah tidur bersandar di pangkuanku. Aku segera mengajak Bila pulang agar Caca bisa tidur lebih nyaman.

Sampai di rumah, kami menemukan Ayah dan Bunda yang sudah pulang, mereka kini sedang duduk di teras dengan makanan ringan ada di meja. Aku menyapanya sekilas sebelum berlalu dan menidurkan Caca di kamar.

Ketika kita sedang bahagia, waktu terasa cepat berlalu sementara saat kita sedang merindu, waktu terasa berjalan lambat bahkan, seakan berhenti.

Dua hari bersama Bila terasa sangat cepat berlalu, tidak terasa aku harus segera kembali ke Bandung. Hah, kalau saja Bila sudah resign pasti tidak akan seperti ini jadinya.

-Kak, kangen ^^-

Aku menatap pesan dari Bila dengan rasa frustrasi. Ini baru hari Selasa dan dia sudah mengirimkan pesan yang menggambarkan perasaanku saat ini.

Semua kata rindumu.

Semakin membuatku tak berdaya.

Menahan rasa ingin jumpa.

Percayalah padaku akupun rindu kamu.

Ku akan pulang, melepas semua kerinduan.

Yang terpendam....

**DEWA**

"Pak Daffa, dipanggil Bapak."

Panggilan dari Edo berhasil membuatku teralih dari rasa rindu yang tiba-tiba menyapa. Aku segera berdiri untuk beremu dengan Pak Dirga, manajer operasional.

"Makasih, Do!"

Oke semangat, aku hanya menunggu lima hari sebelum bisa bertemu dengan Bila. Sementara itu, abaikan saja dia agar rasa rindu ini tidak meledak.

**

Aku sampai di Jogja tepat jam makan siang, akhirnya kakiku kembali menginjak tanah di kota ini dan mataku bisa menatap seorang yang mulai menyita pikiranku.

Sepi!

Aku mencoba membuka pintu rumah Bila, tetapi terkunci. Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Bila.

"Hallo. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Kamu di mana?"

"Oh, Kakak udah di depan?"

"Depan?"

Aku mengernyit heran mendengar jawaban dari Bila, jadi dia melihatku ada di depan rumah? Lalu, sekarang dia di mana? Aku mencoba menengok ke kiri dan kanan, tetap tidak menemukan sosoknya.

"Ya udah, kalau gitu aku ke sana sekarang. Tunggu sebentar, ya."

"Bila,"

"Wassalamu'alaikum."

Klik.

Aku melongo bagai orang tolol saat panggilan terputus begitu saja. Aku baru akan menanyakan apa maksud dari Bila ketika dia memutuskan panggilan. Ini aneh! Setelah beberapa saat, Bila tidak menelepon balik, aku pun memutuskan untuk menghubunginya lagi.

"Iya," jawab Bila dengan suara pelan.

"Kamu di mana dan kenapa? Baik-baik saja, kan?" tanyaku mulai khawatir.

"Iya."

"Iya? Kamu di mana Nabila!"

"Supermarket. Ini mau pulang."

"Ya udah, hati-hati. Aku tunggu di rumah."

Ada yang aneh, aku yakin pasti tidak ada yang beres. Dari cara Bila mengangkat panggilan yang pertama, dia seperti menyembunyikan sesuatu. Tidak lama kemudian, suara taksi berhenti menarik perhatian, Bila turun dengan dua kantung belanjaan di tangan kanan dan kirinya.

Aku baru akan membuka mulut untuk mewawancarainya saat dia tiba-tiba menghambur ke pelukanku dan mulai terisak pelan. Bila memelukku erat, tidak ada yang bisa kulakukan kecuali mengusap punggungya. Setelah beberapa saat, aku meminta kunci kepada Bila yang masih dalam posisi sama. Aku membawanya masuk dan duduk di sofa, tidak akan lucu jika menjadi tontonan para tetangga.

"Kamu kenapa?"

Bila menggeleng pelan.

"Lalu, kenapa menangis?" tanyaku sekali lagi.

"Kamu tidak apa-apa?"

Kali ini Bila menjawab dengan anggukan.

Bosan dengan kediaman Bila, akhirnya aku menjauhkan badannya. Tanganku terulur untuk mengangkat dagunya agar bisa melihat wajahnya. Melihat Bila saat ini, entah mengapa membuat hatiku sedikit perih, dengan tangan lain aku mengusap air mata yang masih mengalir.

"Jadi, kenapa?" tanyaku mencoba berbicara selembut mungkin.

"Maaf...."

Aku mengerutkan dahi saat justru kata maaf terlontar dari mulutnya, "Aku tidak butuh maaf, aku butuh penjelasan. Kenapa tiba-tiba seperti ini dan kenapa tadi di telepon?"

"Fa."

"Fa?" ulangku membeo.

"Aku tadi ketemu sama dia."

Bila menggelengkan kepalanya pelan. "Aku nggak mau ketemu lagi, Kak. Aku nggak mau, pokoknya aku nggak mau. Ak__"

Gerakan menggeleng kepala Bila semakin lama semakin cepat, membuatku khawatir akan lepas sewaktu-waktu. Jadi, dia menjadi seperti ini hanya karena bertemu dengan Fa dan itu karena aku telah melarangnya sehingga dia merasa bersalah? Secara tidak langsung, akulah penyebab Bila menjadi menyedihkan seperti sekarang.

"Bila dengarkan aku. Aku tahu pernah melarangmu bertemu dengannya, tetapi tidak untuk membuatmu menangis seperti sekarang. Kalau kamu ingin bertemu dia tidak masalah, asalkan jangan berdua!" kataku dan berakhir dengan menarik kepala Bila agar kembali bersandar kepadaku. Mungkin sebelumnya aku terlalu keras saat menginginkan dia tidak menemui Fadli tanpa kehadiranku

Suara dengkuran halus menandakan bahwa Bila sudah terlelap dan itu berarti aku harus membawanya ke kamar. Setelah memastikan Bila tidur dengan nyaman, aku memilih mengambil belanjaan Bila yang tidak lain adalah bahan makanan. Aku baru tertidur satu jam di samping Bila saat perutku sudah mulai minta makan, terpaksa aku bangkit dari kasur untuk ke dapur dan mengolah alakadarnya.

Aku baru saja akan menaruh makanan di atas meja saat kulihat Bila sudah duduk manis di sana, dengan mata memandangku kalau aku boleh besar kepala. Hei, sejak kapan Bila bangun dan masuk ke dapur?

"Sudah puas?" tanyaku saat dia tidak bergerak sama sekali.

"Puas?"

"Iya, puas nangisnya?" padahal sejujurnya aku ingin mengatakan puas untuk melamun, tetapi ternyata mulutku berkata lain.

"Puas juga melihat suamimu memasak sendiri karena kelaparan sementara sang istri ketiduran?" kataku lagi yang langsung dibalas dengan Bila mengerjapkan mata beberapa kali, terlihat seperti sedang mengumpulkan kesadarannya.

"Maaf!"

"Sudahlah. Sekarang aku mau makan, sebagai hukuman kamu yang suapi."

"Bayi besar?" tanya Bila dengan mata membulat sempurna

"Sebelum ada bayi kecil tidak ada salahnya," jawabku tidak peduli, lalu kemudian mengambil duduk di samping Bila.

Aku tersenyum saat akhirnya Bila berdiri dan mengamati apa yang ada di meja makan, bahkan dia sempat berdiri menuju lemari es hanya untuk mengambil cabai tidak ada sambal. Well, setidaknya saat ini Bila sudah kembali dengan ekpresi wajahnya yang bermacam-macam dan tidak seperti tadi, sendu.

"Nih," ujarnya sambil menyodorkan satu sendok menggunung berisi nasi dan sayur di depan wajahku yang sukses membuatku horor melihatnya.

"Kamu pikir mulutku sebesar apa? Itu kebanyakan."

"Udah minta disuapi, masih aja protes," gerutunya kemudian.

Bila terlihat tidak berniat menurunkan sendok dan mengurangi porsinya. Tanganku terulur untuk mendekatkan sendok yang dipegang Bila ke mulutku lalu memakan setengahnya. Aku yakin kalau Bila yang memasukkan sendok tersebut ke mulutku, pasti makanan tersebut akan masuk semua dan pipiku menggembung karena makanan yang takarannya tidak karuan.

"Buka," kataku dengan mulut yang terisi makanan.

"Hah?"

Bila membuka mulutnya sambil menggumam tidak jelas dan aku memanfaatkan mulutnya yang terbuka untuk memberikan sisa nasi yang ada. Setelah Bila bisa berbicara dan berkespresi, dia juga bisa makan, ini berarti bahwa semua baik-baik saja.

"Berhenti tersenyum begitu. Aku bukan badut!" ujar Bila yang membuatku sadar telah tersenyum saat melihat Bila kembali normal.

"Makan aja sendiri, gih!" lanjutnya kemudian.

Aku menggelengkan kepala tidak percaya pada suasana hati Bila yang cepat sekali berubah.

**

Tidak ada hal yang lebih menyenangkan selain apa yang baru kudengar dari Bila. Dia baru saja mengatakan kalau urusan resign sudah selesai dengan dia mengambil sisa cuti. Itu berarti dia sudah siap untuk ikut ke Bandung dan badanku bisa beristirahat saat weekend. Aku langsung menginstruksikan kepadanya untuk packing agar bisa segera berangkat ke Bandung. Namun, melihat rumah Bila, sepertinya membereskan rumah ini jika hanya berdua akan membuat badanku rontok.

Tuhan memang selalu mengirimkan bantuan yang tidak terduga. Pada saat yang sama, Ayah menelepon untuk menanyakan kabar kami dan saat aku mengatakan sedang packing Beliau berkata akan mengirimkan Didi dan Rangga untuk membantu. Benar saja, tidak lama kemudian keduanya sudah datang dan bisa dimanfaatkan walaupun sedikit menggerutu.

Setelah urusan beres, kami langsung bertolak menuju rumah Ayah untuk memindahkan barang dan juga berpamitan sebelum besok berangkat ke Bandung.

"Kita hanya ke Bandung Bila, seperti yang tadi malam aku katakan. Kalau kamu kangen sama mereka semua, kita bisa ke sini weekend depan," kataku kepada Bila yang kembali menjadi pendiam sejak kami meninggalkan rumah Ayah.

"Kalau saja Kakak mau tinggal di Jogja."

"Jangan egois, aku juga ada Papa dan Mama di Bandung sana. Tempatku mencari nafkah juga di sana, sekarang daripada kamu begini, lebih baik tidur saja. Percayalah, nanti kamu akan terbiasa berada jauh dari keluarga. Lagi pula di sana juga masih ada Papa dan Mama."

Bila mendesah panjang setelah aku menutup mulut, selanjutnya aku melihat matanya terpejam walaupun tahu dia hanya berusaha menenangkan diri. Faktanya memang tidak ada perpisahan yang menyenangkan.

Perpisahan, apapun itu bentuknya tidak ada yang menyenangkan.

Sampai di Bandung kami hanya menurunkan koper pakaian Bila.

"Besok saja kamu membereskan bajunya, sekarang istirahatlah! Ah iya, jangan lupa telepon rumah," tegurku kepada Bila yang sudah membuka koper dan hendak memasukkan baju ke almari.

"Aku sudah kirim pesan."

"Tidak menelepon?" tanyaku heran. Bisa-bisanya dia hanya memberikan pesan utnuk mengabarkan kalau kami sudah sampai di Bandung.

"Takut nangis!"

"Dasar cengeng."

Sejak kepindahan Bila, ada yang tampak berbeda dalam kehidupanku. Setiap pagi saat aku membuka mata, selalu ada mata lain yang menatapku atau tengah terlelap. Setiap malam saat aku akan memejamkan mata, ada napas lain yang berbaur menjadi satu. Saat aku akan berkerja, ada kening yang bisa kukecup dan saat pulang bekerja, ada yang mencium punggung tanganku.

Semua kurasa terasa sempurna pada awalnya sampai-sampai saat sore ini pulang dan menemukan rumah kosong ada terasa yang hilang. Ke mana perginya Bila? Seharusnya kalau dia ingin pergi meminta ijin, bukan? Dia bukan wanita single yang bebas berpergian ke mana dan kapan saja. Aku sudah sangat ingin menghubungi Bila, tetapi mengingat dia yang pergi tanpa pamit membuatku mengurungkan niat tersebut.

"Kamu dari mana?" tanyaku saat ada orang yang masuk ke dalam rumah dan tidak lain sudah pasti adalah Bila.

"Aku... dari rumah Mama."

Aku menyipit mendengar jawabannya dan memerhatikan Bila kembali, pantas saja baju yang dipakai saat ini tidak asing. Aku baru ingat kalau itu adalah pakaian Mama.

"Kenapa tidak minta ijin? Aku sudah menunggu dari tadi dan seperti orang bodoh mencarimu ke seluruh sudut rumah."

Bila berdecak kesal mendengar pertanyaanku. "Baru tahu rasanya gimana nunggu dan nggak ada kabar?"

Tidak, ini bukan masalah bagaimana rasanya, tetapi ini adalah masalah tanggung jawab di mana seharusnya seorang istri harus meminta ijin kepada suami saat akan ke luar rumah.

"Bukan masalah bagaimana rasanya, Bila. Tetapi, seorang istri tidak boleh pergi tanpa ijin suami, ingat itu."

"Iya, aku tahu, lagian itu tadi cuma ide yang terlintas gitu aja. Aku mau ngabarin Kakak juga pasti nggak dibales kan? Tadi siang aja aku kirim whatsapp Kakak juga nggak bales. Lalu, apa gunanya? Percuma! Kemarin awal nikah aja ngingetin buat makan siang, sekarang boro-boro," ujar Bila terdengar emosi. Kenapa justru dia yang marah dan membentakku?

"Bila!" tegurku yang dianggap angin lalu oleh Bila karena setelahnya dia sudah membuka mulutnya kembali.

"Kakak itu nggak tahu gimana rasanya jadi Bila! Setiap hari cuma beresin rumah sama masak, abis itu nungu Kakak pulang yang janjinya pulang jam empat ternyata faktanya jam delapan. Bahkan, terkadang hampir tengah malam baru sampai rumah. Nggak ada yang bisa aku lakuin selain itu, Kak. Bosen tahu nggak, sih? Terus hari ini waktu aku telepon Mama, Beliau mengajakku main ke sana untuk membuang rasa bosan dan itu masih aja salah di mata Kakak? Aku pulang jam segini juga karena kirain Kakak pulang malem lagi. Lagi pula kalau emang khawatir tinggal telepon apa salahnya? Aku minta maaf."

Bila mengakhiri kalimat panjangnya dengan menghilang di balik pintu kamar. Perkataan Bila sukses menohokku. Selama Bila ada di rumah ini, aku memang belum pernah pulang on time. Dia pasti bosan menunggu dan hari ini ketika dia berusaha menghilangkan penat justru aku memarahinya. Arghhhh, Daffa bodoh, kenapa tidak pernah memikirkan hal sepenting ini sebelumnya. Ck!

Baiklah, ini semua memang salahku yang mengacuhkan Bila selama ini. Aku memutuskan untuk menyusul ke kamar, tetapi ternyata Bila tidak ada dan pintu kamar mandi tertutup. Samar, kudengar isakan dari dalam.

"Bila, buka pintunya."

Aku mengetuk pintu pelan, tidak ada jawaban dari Bila sementara suara isakan itu masih terdengar.

"Bila," panggilku lagi.

"Bila, aku minta maaf, sekarang buka pintunya."

"Bila, ayolah, aku tahu kamu mendengarkan."

Aku bernapas lega saat akhirnya pintu terbuka dan menampakkan wajah Bila yang berantakan dan ini semua karenaku.

"Aku lelah," katanya sambil terus berjalan menuju ranjang tanpa memandangku.

"Jangan tidur dulu, kita bicara sebentar."

Bila duduk di ranjang dan menatap kosong pada apa yang ada di hadapannya.

"Minum dulu," kataku sambil menyerahkan gelas dan langsung dihabiskan olehnya. Dia pasti kehausan.

Aku tidak ingin membuang waktu lebih lama saat sekarang Bila sudah tenang, aku harus minta maaf.

"Aku minta maaf. Aku tidak tahu kalau beberapa hari ini secara tidak langsung sudah menyiksamu, membuatmu menunggu dan juga mengabaikanmu. Kamu tahu sendiri kan aku biasa hidup sendiri? Insya Allah mulai sekarang aku akan berubah, pulang ontime, membalas pesanmu, dan menempatkan kamu menjadi yang nomor satu. Asalkan kamu janji, jika ada yang mengganjal di hati jangan dipendam sendiri. Komunikasi adalah hal yang paling utama. Kamu lihat tadi? Kamu marah-marah seperti tadi pasti sebagai luapan emosi yang sudah kamu tahan beberapa hari ini."

Bila mengangguk paham, tidak berkata apapun. Air mata masih mengalir dari kedua mata, tanganku terulur untuk menghapusnya sebelum membawa Bila ke dalam pelukan. Selanjutnya, untuk waktu yang agak lama dia kembali terisak.

"Sudah shalat?" tanyaku saat Bila terlihat tenang.

Dia mengangguk pelan.

"Sudah makan?"

Bila menggeleng pelan, tangannya bergerak menunjuk pada rantang yang ada di atas meja. Ini adalah rantang yang tadi dia bawa saat pulang ke rumah.

"Ya sudah, sekarang kita makan. Sekali lagi aku minta maaf."

Aku melepaskan Bila dari dekapan dan mengambil rantang tersebut sebelum membawanya ke meja makan. Saat membukanya, mataku langsung berbinar melihat ikan bumbu di bumbu kuning. Pasti Mama sengaja membuatkannya untukku.

Selesai makan, kami tidak langsung tidur dan memilih duduk di ruang keluarga sambil menonton acara televisi. Kepala Bila bersandar di bahuku sementara tangannya membuka game favoritnya, tetapi hanya didiamkan saja. Saat aku melihat wajahnya, ternyata dia nampak sedang berpikir.

"Ada yang ingin kamu ceritakan?"

"Apa?" Bila mendongak dan justru membalikkan pertanyaan yang kuberikan.

"Otakmu sedang berkeliaran."

Hening, Bila tidak memberi jawaban dan aku memilih untuk melihat acara televisi yang ada. Setelah beberapa saat kemudian, Bila kembali memanggilku dan berkata ada yang ingin disampaikan, bahkan dia sudah duduk bersila menghadapku. Meskipun sedikit enggan, aku mengikuti apa yang dia lakukan karena penasaran. Saat ini kami sudah duduk saling berhadapan.

"Iya, aku mendengarkan. Sekarang bicaralah."

Hening.

"Bila."

Aku mengernyitkan kening saat Bila tiba-tiba saja bungkam. Hei, bukankah dia tadi bilang akan mengatakan sesuatu.

"Nabila!" panggilku lagi.

Bila terlihat menarik napas panjang sebelum membuka mulut. "Sebelumnya aku minta maaf karena melibatkan Kakak dalam hidupku. Aku minta maaf karena menerima lamaran Kakak, tetapi di sisi lain masih memikirkan orang lain. Fadli, Kakak masih ingat dia, kan? Aku dan dia memang bersahabat baik, awalnya aku berpikir kalau hubungan kami hanya sebatas itu. Sampai akhirnya, saat dia memutuskan menikah aku baru sadar kalau aku menyayanginya lebih dari sekadar sahabat, aku mencintainya. Waktu itu aku menerima lamaran Kakak karena selain untuk menuruti permintaan Ayah, juga berniat untuk melupakan Fadli. Seperti yang Kakak bilang, kita menjalani simbiosis mutualisme. Aku kira semua akan berjalan dengan mudah, tetapi ternyata keadaan kita yang tidak begitu mengenal membuatku sulit menjalani ini semua."

Bila mengembuskan napas. "Aku mohon kerjasama dari Kakak, bantu aku untuk bisa menerima Kakak sepenuhnya. Aku tidak tahu kapan bisa melupakan Fadli, tetapi kalau Kak Daffa saja tidak memerhatikanku seperti sebelumnya, bagaimana mungkin aku bisa move on ke Kakak? Aku tidak yakin, padahal aku tahu ini salah. Karena itu, aku mohon, tolong Kakak berubahlah, jangan cuek seperti sekarang."

Aku mendengarkan dengan seksama kalimat dari Bila. Masalah perasaan Bila kepada Fadli aku tidak terkejut sama sekali karena sebelumnya memang sudah menduga hal ini. Namun, yang tidak pernah terlintas di otak adalah Bila akan mengatakan semuanya. Bahkan dengan terus terang memintaku untuk menggantikan Fadli.

"Jadi, aku ini pelarian?" tanyaku mencoba mencairkan suasana karena Bila sudah menyelesaikan penjelasannya dan hanya diam menatapku.

"Bukan begitu. Aku hanya berpikir kalau Kakak dan aku sama-sama membutuhkan status pernikahan. Selain itu, aku juga butuh seseorang agar bisa melupakan Fa. Jadi, kumohon Kak Daffa bantu aku, setidaknya gantikan posisinya yang selama ini ada di hidupku."

"Aku tidak mau menjadi pengganti. Seperti ban serep saja."

"Oke, bukan pengganti, tetapi menjadi sesuatu yang baru dalam hidup Bila. Konon kalau ada yang baru maka yang lama akan terabaikan lalu terlupakan. Jadi, tolong bantu, kita tidak mungkin terus hidup dengan hati yang terbagi, kan?"

"Lalu?"

"Tolong bantu biar aku bisa move on. Bantu aku mencintai Kak Daffa. Bantu aku menjadi ketergantungan sama Kakak. Pokoknya tolong bantu aku berubah."

Bohong kalau aku bilang aku baik-baik saja mendengar kalimat kejujuran dari Bila saat ini. Sejujurnya hatiku sedikit terluka saat istri sendiri berkata memiliki perasaan kepada orang lain. Namun faktanya, aku memang hanya orang yang muncul di dekat Bila setelah kepergian Fadli dan itu berarti aku memang penggantinya.

"Bila, semua itu tergantung dari dirimu sendiri. Sekuat apapun aku mengubahmu, kalau kamu tidak niat sama saja. Jadi, semua kembali ke dirimu sendiri. Bukan aku yang mengubah cara pandangmu, tetapi belajarlah berubah dalam menilai dan memandangku. Sebenarnya sejak awal aku tahu kalau ada rasa spesial darimu untuk Fadli saat pernikahan itu. Dia saja yang tolol sampai tidak peka atau justru pura-pura tidak tahu," kataku pada akhirnya.

"Aku sudah niat dan tadi sudah kubilang kan kalau pengen move on."

"Berdoa, jangan lupakan itu!"

Tidak ada yang lebih hebat dari kekuatan doa.

"Selalu!"

"Berusaha."

Jika doa tidak diiringi dengan usaha, maka hasilnya akan percuma.

"Sedang proses."

"Nah, sekarang saatnya kita berusaha bersama. Aku akan membantu."

Sebuah ide paling jitu muncul di otakku. Hah, kurasa sekarang otakku memang tidak jauh-jauh dari kata 'ranjang' kalau berada di dekat Bila.

"Tunggu apa lagi?"

Aku bertanya retoris sambil berdiri menuju kamar, sementara Bila dengan sedikit bergumam mengikuti langkahku. Sekarang saatnya berusaha melupakan masa lalu.

Bersambung ke Daffa 5

Continue Reading

You'll Also Like

4.4K 841 31
-Kita serasi, namun tak serasa- *** Lisya adalah satu dari segelintir orang dengan keterbatasan indra yang bisa masuk sekolah normal. Tapi sayang, di...
40.8K 5K 52
[COMPLETED] Namanya Orion, manusia sedingin aphelion yang pernah gadis itu temui. Tampan? Sudah jelas. Pintar? Pasti. Namun, dingin dan cuek adalah s...
609K 18.4K 9
Pemenang Wattys 2017 Kategori "The Breakthroughs" Sebut saja Bintang, gadis mungil yang mempunyai banyak mimpi. Rasa cintanya pada musik telah mendar...
1.3K 235 6
Kisah suka dan duka tentang para hantu penghuni rumah. :) Kocak, bikin merinding, tapi mengsad bareng. Yuk, dibaca!