A-KU & A-MU

Oleh ditarskun

1.5K 102 3

Arion (28) tahun. Pemuda santai yang harus resign dari pekerjaannya demi menuruti keinginan sang papa menjadi... Lebih Banyak

PRAKATA DAN CAST
BAGIAN 1 - Sambutan Hangat
BAGIAN 2 - Sambutan Lebih Hangat
BAGIAN 4 - Kesibukan Tetangga Depan
BAGIAN 5 - Kemunculan yang Dirindukan
BAGIAN 6 - Bukan Rutinitas Biasa
BAGIAN 7 - Kebijakan Baru, Begitupun Isi Hati
BAGIAN 8 - Lika-Liku Laki-Laki
BAGIAN 9 - Bidadari Toko Seberang
BAGIAN 10 - Arti Dari Menjadi 'Obat Nyamuk'
BAGIAN 11 - Mengenang Yang Perlu Dikenang
BAGIAN 12 - Saatnya Bergerak Menyusun Strategi
BAGIAN 13 - Saran-Saran Menyesatkan
BAGIAN 14 - Obrolan di Tengah Perjalanan
BAGIAN 15 - Semudah Membalik Telapak Tangan
BAGIAN 16 - Jamuan Makan Malam
BAGIAN 17 - Pernah Dekat Di Masa Lalu
BAGIAN 18 - Ketika Semua Berjalan Tak Seperti Biasa
BAGIAN 19 - Parviz Culinary Tower
BAGIAN 20 - Peristiwa di Akhir Pekan
BAGIAN 21 - Pertemuan Dalam Pertemuan
BAGIAN 22 - Cara Sukses Mempermalukan Diri
BAGIAN 23 - Mencari Pokok Permasalahan
BAGIAN 24 - Semua Harus Diluruskan
BAGIAN 25 - Yang Terjadi Tiga Tahun Lalu
BAGIAN 26 - Malam Perpisahan, Malam yang Panjang
BAGIAN 27 - Di Balik Kendala Besar

BAGIAN 3 - Kunjungan dan Tinjauan

77 5 0
Oleh ditarskun

Pak Adinata Parviz adalah salah satu pengusaha berpengaruh di Indonesia. Beliau memiliki banyak café serta kedai makanan yang tidak hanya viral di Jakarta, melainkan juga di beberapa kota besar lainnya. Bisnisnya tak hanya berupa makanan di restoran, tapi juga merambah ke makanan kemasan yang ngetop sekali di kalangan food vlogger Indonesia, baik online maupun offline. Bisnis kerajaan kuliner tersebut berdiri di bawah naungan Parviz Culinary. Perusahaan kuliner yang digadang-gadang akan pindah tangan ke Arion sebentar lagi. Semua terjadi murni karena Kenan memilih untuk sibuk menjadi arsitek hingga mau tak mau Arion harus menerima tanggung jawab besar memegang kendali perusahaan dengan ribuan karyawan di bawahnya.

Tiba-tiba saja, Arion mual bila ingat dengan semua fakta tersebut. Ingin menolak, tapi dia tak mau dicap sebagai anak durhaka. Nasib baik yang tak selamanya baik, menurut Arion. Pemuda itu kembali menyuap sarapan saat ponselnya berdering. Siapa gerangan yang meneleponnya di pagi ini? Tidak cukupkah penderitaannya setelah kemarin lusa menemani sang mama berbelanja dengan wajah memar? Dia ingin menikmati awal pekan pertamanya di Jakarta dengan tenang dan rehat sejenak dari membaca rekomendasi profil café yang dikirimi sang papa sejak setibanya dia di Jakarta.

Arion menyeret langkahnya ke ruang TV untuk mengambil ponsel lalu melihat nomor yang tertera. Asing. Dia menautkan alis sembari menelan cepat kunyahannya, menggeser tombol ke atas kemudian terdengar suara seorang pria di ujung.

"Selamat pagi."

"Iya, selamat pagi?" Arion duduk di sofa terdekat.

"Maaf mengganggu waktunya, apa benar dengan Pak Arion Parviz?" Suara penelepon tersebut terdengar sangat sopan dan berhati-hati.

"Betul, saya sendiri."

"Saya Handoko, pegawai di Kabar Kopi."

"Kabar Kopi?" Arion bergumam.

"Iya, salah satu café milik Parviz Culinary. Saya mendapat kabar dari kantor pusat kalau Pak Arion akan datang ke café kami hari ini dan mereka menyarankan saya untuk menghubungi Pak Arion."

Arion mengelola informasi tersebut secepat kilat dan dia paham sekarang. "Ini pasti ulah papa!" gerutunya sembari menjauhkan sejenak ponsel dari mulut. Dia berdeham dan melanjutkan. "Iya Pak, benar."

"Saya dengar juga, kalau Pak Arion akan bekerja membimbing kami di sini sebagai manajer café?"

"Manajer café?" Lagi-lagi dahi Arion berkerut atas informasi yang sama sekali baru baginya. "Benar-benar papa! Seenaknya sendiri." Gerutunya lagi.

"Kenapa Pak?"

"Ng... nggak Pak. Ehm, maksud saya, iya." Mau tak mau Arion sementara menyiyakan keputusan sepihak itu.

Suara Pak Handoko yang semula berhati-hati, kini terdengar lega. "Mungkin bisa diberitahu apa saja yang harus saya siapkan untuk kunjungan dan tinjauan Pak Arion hari ini ke café?"

Arion tak bisa berpikir. Tak ada hal terlintas di benaknya mengenai info yang baru saja dia terima. Menjadi manajer café di Kabar Kopi? Bagaimana bisa sang papa memutuskan hal tersebut tanpa merundingkannya terlebih dahulu dengan Arion? Meski dia pernah berkarir di perusahaan bisnis, tapi menjadi manajer café adalah pekerjaan baru baginya. Maksud Arion menjadi karyawan di salah satu café adalah benar-benar menjadi karyawan. Tidak memegang jabatan apalagi manajer. Juga satu hal, dia ingin sekali identitasnya disembunyikan dari para rekan kerja. Bukannya malah diberitahu secara resmi oleh kantor pusat, sampai-sampai membuat karyawan di café harus menghubunginya.

"Pak Arion, apakah masih tersambung?" suara Pak Handoko dari seberang menyadarkan pikiran Arion.

Arion menghela napas panjang. "Iya, Pak. Saya masih di sini." Pemuda itu memijat pelipisnya dan berpikir sejenak. Dia mencoba mengingat, apakah sang papa sudah mengirimkan profil tentang Kabar Kopi di balik tumpukan file dalam surelnya? "Bapak tidak keberatan kalau menunggu sebentar? Saya akan mengecek sesuatu terlebih dahulu."

"Baik, Pak Arion." Sahut suara di seberang patuh.

Dia letakkan ponsel di meja lalu buru-buru beranjak ke kamar untuk mengambil iPad. Mengutak-atik sebentar dan mengetik di pencarian. Benar saja, satu file berjudul Kabar Kopi dalam puluhan file berisi rekomendasi profil café yang sempat dia unduh, muncul di sana. Segera dia ketuk dan terlihat dokumen dengan foto sebuah café bergaya industrial terpampang di halaman awal. Penjelasan singkat di bawah foto, menyusul setelahnya. Arion membaca sejenak dan mengangguk-angguk.

"Pak Handoko?" panggil Arion lagi setelah beberapa menit meninggalkan ponselnya.

"Iya, Pak. Saya masih di sini." Sahut suara di seberang dengan suara backsound seperti obrolan-obrolan random mengenai bahan makanan.

"Pak Handoko dan tim tidak perlu menyiapkan apapun mengenai kedatangan saya. Biarkan café tetap berjalan seperti apa adanya. Kemungkinan nanti selepas jam makan siang, saya ke sana."

Terdengar suara lega Pak Handoko di seberang. "Baik Pak. Terima kasih. Maaf sekali saya menelepon sepagi ini."

"Tidak apa-apa. Kita bertemu nanti Pak Handoko."

"Iya Pak, sekali lagi terima kasih."

Telepon ditutup. Arion memandangi kembali layar iPad-nya lalu mengacak rambut hitamnya yang jatuh ke dahi. "Papa!" dia mengerang kesal.

# # #

Café yang dititahkan oleh sang papa berjarak lumayan dari apartemennya. Butuh waktu hampir empat puluh menit untuk sampai di sela kondisi macet kota Jakarta yang sudah lama tak dia jumpai. Untung saja dia memesan ojek online sehingga mobilitasnya tak terganggu di waktu sibuk jam makan siang. Setibanya di pinggir trotoar café, dia turun dari boncengan dan berbincang sejenak dengan si pengendara ojek kemudian membayar pesanannya.

Arion melangkah ke trotoar depan cafe dan menatap penuh penilaian pada bangunan di depannya. Tampilannya sesuai dengan yang dia lihat di profil. Sebuah cafe baru dan beroperasi tidak lebih dari dua minggu. Ada enam karyawan untuk ukuran café dua lantai. Tidak terlalu megah serta bisa dijangkau oleh kantong mahasiswa, karena berada di lingkungan kampus. Bangunannya seperti bangunan setengah jadi. Dindingnya dibuat dari batu bata expose. Pintu ganda kaca dengan pinggiran kayu bercat warna hitam. Tak lupa tanaman hias bersulur dan bebungaan diletakkan di dalam pot plastik berwarna cokelat, tertempel di satu sisi dinding. Pemandangan dibuat asri oleh tampilan tersebut. Terlihat segar di antara deret-deret pertokoan yang tampak gersang di samping kanan kiri cafe.


Dia menaiki beberapa tangga depan sebelum membuka pintu, menyaksikan sejenak suasana di dalam café yang terlihat padat oleh para kawula muda. Nuansanya begitu hangat bagi Arion, membuat perasaan dongkolnya agak terobati.
Arion masuk dan dirinya segera disambut oleh kesibukan di jam makan siang. Dua orang pelayan masih hilir-mudik membawakan pesanan, mesin kopi yang terus berbunyi, serta seorang barista tak henti membuat minum. Bunyi denting piranti makan juga obrolan mengenai perkuliahan, seruan-seruan dari dalam dapur yang memberitahu bila ada pesanan yang sudah siap, entah kenapa begitu menyenangkan bagi Arion. Satu lagi, wangi kue-kue dari balik meja etalase menghiasi udara. Tak perlu diragukan lagi, semuanya pasti enak.

Dia pun memilih duduk di kursi tepi jendela yang berhadapan langsung dengan tanaman hias juga jalanan. Arion masih mengamati sekeliling ketika seorang pelayan memberikan buku menu padanya.

"Selamat siang, Kak? Ini buku menunya." Ucap pemuda itu ramah.

Arion membuka buku menu. Dia mengangguk-angguk saat melihat tampilan menu yang begitu lezat dan menggiurkan. Dia pun melongo saat melihat harga yang jauh lebih ekonomis bila dibandingkan dengan standar café di Jakarta pada umumnya.

"Harganya beneran segini?" Tunjuknya pada buku menu.

Pelayan mengangguk. "Iya, Kak. Kita sengaja memberi harga tersebut karena daerah ini adalah daerah pelajar. Jadi harga yang kita patok juga bisa diterima mereka. Maklum Kak, rata-rata pelanggan kita anak kos." Terangnya. "Tapi tenang, walaupun harga ekonomis, kami berani jamin tetap menggunakan bahan berkualitas." Lanjutnya panjang lebar.

Arion tersenyum. Dia paham dan kembali membolak-balik buku menu. "Oke. Saya pesan beberapa makanan ini." kemudian Arion sudah menunjuk gambar-gambar, lengkap dengan minumnya juga.

Pelayan itu mencatat dengan cepat di buku kecil yang dia ambil dari kantong celemeknya. "Sandwich tuna, miles crepes stroberi. Minumnya air mineral dan jus jeruk." Dia membaca lagi menu pesanan Arion.

Arion mengangguk.

"Ada yang bisa dibantu lagi, Kak." Tanya pelayan itu lagi sebelum dia bergerak ke meja servis.

"Boleh saya bertemu dengan Pak Handoko? Dia juga karyawan di sini." ucapnya.

Pelayan itu menautkan alis. Dia memandang Arion dari atas hingga bawah. "Kalau boleh tahu, ada perlu apa ya, Kak?"

Melihat gelagat pelayan tersebut yang tak tahu menahu atas kedatangan Arion, sepertinya sang papa tidak sepenuhnya membeberkan identitas dirinya pada semua karyawan café. Hanya orang tertentu saja atau mungkin Pak Handoko seorang. Dia bersyukur, ternyata Pak Adinata tidak melanggar janji seutuhnya. Meski setelah ini, mereka akan tahu juga siapa Arion sebenarnya.

"Kemarin sudah ada pemberitahuan yang dikirim ke email café ini, kalau saya akan melakukan kunjungan. Sampaikan saja seperti itu pada Pak Handoko." ucap Arion.

Pelayan tersebut terkesiap. Dia menoleh sebentar ke meja barista, melambaikan tangan untuk memberi kode. Namun sepertinya, tak ada yang sadar dengan itu karena semuanya sibuk. "Aduh, gawat nih! Ada inspeksi mendadak." Gumamnya.

Arion hanya mengulum senyum mendengar itu.

"Bang Erik!" panggilannya tertuju pada barista yang sedang meletakkan cangkir ke nampan.

Masih tak ada tanggapan. Tapi tak berapa lama, pelayan itu memperbaiki ekspresinya. "Baik Kak, ditunggu sebentar." Tak berapa lama, pelayan itu segera meluncur ke meja servis dan membisikkan sesuatu pada sosok barista yang baru saja selesai mengerjakan pesanannya.

Entah apa yang dibisikkan oleh pelayan itu, yang jelas seusai berbisik, ekspresi mereka berubah panik lalu buru-buru membersihkan tangan. Salah satu barista pun melongok ke pintu dapur dan berbicara di sana. Tak berapa lama, pintu dapur terdorong lebar. Memunculkan seorang chef dengan topi tinggi yang juga sedang mengelap tangan kemudian diikuti oleh chef lainnya keluar dari dapur.

Arion yang belum menyadari reaksi dari karyawan café, terlihat berpangku tangan sambil memerhatikan suasana luar. Jalanan kompleks pertokoan yang di ujung jalan sana berdiri sebuah kampus. Terlihat lalu lalang kendaraan hanya sebatas motor dan beberapa mobil pribadi. Kendaraan besar seperti truk atau bus, tak diizinkan masuk ke wilayah itu. Biasanya angkutan umum pun berhenti di depan gang, lima puluh meter dari café.

Pandangan Arion masih saja terfokus keluar jendela sebelum sebuah sapaan resmi dan sopan, menghentikan kegiatannya.

"Pak Arion?" suara seorang pria dari balik punggung Arion membuat pemuda itu berbalik.

"Selamat datang Pak Arion. Saya Chef Handoko." Pria berusia empat puluh tahunan itu membungkuk sopan.

Arion segera berdiri dan mengangguk. Dia terkejut karena Pak Handoko yang menelepon adalah chef Kabar Kopi.

"Saya senang dan merasa tersanjung akhirnya bisa menyambut Pak Arion di tempat ini." Chef Handoko mengulurkan tangan untuk berjabatan.

# # #

Arion baru selesai menyapa karyawan. Setelah memperkenalkan diri yang disambut antusias dan memberikan sedikit briefing, dia kembali duduk di kursinya. Dia membuka ransel dan mengambil ponsel yang sejak tadi dirasa bergetar di tas. iPad juga dia buka untuk kembali membaca dan mempelajari berkas-berkas mengenai perusahaan yang tertumpuk begitu banyak dari email sang papa. Menu yang dipesannya tadi sudah terhidang di meja. Arion mengunyah makanannya. Tak perlu diragukan lagi memang masakan dari Parviz Culinary. Begitu lezat, selalu berhasil memanjakan lidah.

Masih tak habis pikir dengan kegiatan yang dihadapinya kali ini, membuat Arion sesekali mengembuskan napas panjang-panjang. Café ini yang akan menjadi tanggung jawabnya sebentar lagi. Jika ingin menyalahkan seseorang, seharusnya Kenan yang akan dia cecar. Seenaknya sendiri meraih mimpi, sementara tanggung jawab besar diserahkan pada Arion. Tapi setelah mengingat-ingat akan jasa Kenan yang begitu menyayangi, melindungi, serta selalu mengorbankan kepentingan dan kesenangan masa remajanya demi merawat Arion ketika masih kecil. Juga menggantikan peran kedua orang tua yang sibuk mengurus bisnis, Arion kembali hanya bisa mengembuskan napas panjang. Mungkin ini satu-satunya cara dia membalas budi pada Kenan.

Mulutnya yang masih penuh, terus mengunyah sambil menelusuri pemberitahuan di layar. Kemudian mengecek ponselnya sendiri. Banyak pesan masuk. Ada pula panggilan video dari Pak Adinata dan Kenan.

"Mereka pada janjian apa, telepon gue? Selang beberapa detik gitu." Lirihnya tanpa ada niatan membalas atau menelepon balik. Dia pun menyandarkan iPad, memeriksa beberapa dokumen untuk diunduh. Dengan telaten, Arion membuka berkas-berkas tersebut dan mempelajari sepintas. Sebentar lagi, ini akan menjadi rutinitasnya. Maka mulai sekarang, dia harus terbiasa dengan semuanya.

Tak berapa lama, ponselnya bergetar lagi. Kali ini pesan dari sang mama. Untuk satu ini, Arion tak berani mengabaikan.

Mama : Lagi apa, Ar? Udah makan siang?

Arion : Lagi lunch, Ma.

Mama : Di mana?

Arion memotret sudut barista yang terpasang lampu neon berbentuk nama cafe di atasnya.

Arion : (send picture)


Mama : Kabar Kopi? Daerah mana itu?

Arion : Cabang cafe yang baru aja buka, Ma. Belum nyampe sebulan. Dekat kampus swasta.

Arion meminum air kemudian mengarahkan kamera ponsel ke arah jalan depan cafe. Dia mencari sudut yang pas agar jalanan itu dikenali mamanya. Arion memotret beberapa kali dan dia siap mengirimkan foto tersebut saat pandangannya berhenti di salah satu foto yang sedang dipilih. Satu objek tampak menarik pandangan. Dia perbesar beberapa kali dan tanpa sadar Arion mengalihkan penglihatan dari layar ponsel ke seberang jalan. Benar saja. Tetap berada di sana. Arion masih mencoba memahami apa yang baru saja dia lihat. Matanya berkedip beberapa kali, mencoba meyakinkan pandangannya lagi.


Bersambung...

Apaan yang Mas Arion lihat tuh? sampe terbengong-bengong dan kedip-kedip? pinisirin

pantengin next part ya... 😁

Follow akun ini dan IG: ditarskun.story untuk tahu spoiler dan pengumuman cerita ini selanjutnya.. 🤗

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

35.9K 6.6K 32
Mengetahui adiknya mendapat kekerasan verbal dari ibu mertua, juga kasus perselingkuhan yang dialami kakaknya, membuat Fyan yakin tidak menikah seumu...
12.2K 715 31
Distance /'distans/ noun an amount of space between two things or people; verb make (someone or something) far off or remote in postion o...
7.6K 1.3K 21
Elmira Knourish Kusumoatmadja, seorang perempuan yang telah memasuki usia dua puluh sembilan tahun, memiliki target untuk menikah yang telah ia susun...
1.3K 64 23
Sakha sangat tidak mau dijodohkan oleh orangtuanya. Walau bagaimanapun ia sudah dewasa dan bisa mencari pasangan hidup sendiri. Namun, papinya malah...