Hi, Captain! [COMPLETED]

Par niqceye_

27.2M 1.6M 367K

18+ [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Ini tentang dua orang yang tidak mengenal, tiba tiba dijodohkan. Namun seiring... Plus

REYGAN ADITAMA
JENNIFER ALASYA
1|Kesan Pertama.
2| Berdebar
3| Look at her.
4 | Pilihan
5 | Tentang keduanya
6| Wedding day.
7| A night with you
8 | About caring
[REVISI] Feeling
[REVISI] Respect
[REVISI] Mulai berani
[REVISI] Keputusan
[REVISI] Broken
[REVISI] Satu permintaan
[REVISI] Pahit
[REVISI] A Regret
[REVISI] Unexpected
[REVISI] After all happened
[REVISI] A mistakes
[REVISI] A Chance
[REVISI] QuΓ­tatelo
[REVISI] Beginning
[REVISI] Heart Beating
[REVISI] Daily Routine
[REVISI] Meet Again & Feeling
[REVISI] A Happiness with you
[REVISI] Surprised
[REVISI] What's going on?
[REVISI] Honestly
[REVISI] Curious
[REVISI] True or False?
[REVISI] A Statement
[REVISI] Uncomfortable + CAST
[REVISI] Ardan and Rain
[REVISI] Salahkah?
[REVISI] Penyelesaian
[REVISI] Truth
[REVISI] Keputusan^
[REVISI] Sebenarnya ada apa?
[REVISI] Feeling good
[REVISI] Yay/Nay
[REVISI] U hurt Me
[REVISI] Apologize
[REVISI] Knowing
[REVISI] Knowing^2
[REVISI] Ingin Bertemu
[REVISI] Akhirnya bertemu
[REVISI] Kisah kita
[REVISI] Indonesia-Milan
[REVISI] Papi
[REVISI] Ketegasan
[REVISI] Finding you
[REVISI] Finally found you
[REVISI] Spend the time with you
[REVISI] Ragu dan rayu
[REVISI] The most beautiful day
[REVISI] A New Life Begin
[REVISI] Samudera Raga A
[REVISI] Raga & Reygan
[REVISI] Raga & Reygan^2
[REVISI] Happy Family
[REVISI] Happy family^2
[REVISI] Piccola Famiglia
[REVISI] Perfect day
[REVISI] A New Born
[REVISI] Piccola Famiglia^2
Hi, Captain! : Last chapter
SEKUEL

[REVISI] U Hurt Me^2

289K 17.2K 3.3K
Par niqceye_

******

Happy reading gais💙

*****

Jangan lupa tekan vote, supaya aku lebih semangat okey.

*****

Kaki Jennie menapaki apartemen Ardan, laki-laki yang dipercayanya. Jennie pergi dari rumah Reygan, tanpa membawa apapun, hanya baju lusuh dan celana panjang hitam yang dipakainya sehabis mandi tadi.

Sementara, Ardan duduk sambil meringis kecil. "Aww, sshh..sakit banget gila."

Jennie duduk disebelah Ardan. "Gue ke dapur, ambil air buat basuh luka lo. Mau?"

Ardan mengangguk pelan, sambil sesekali menyeka darah di hidungnya. "Gila kekuatan apa sih nih, hidung gue retak ini kayaknya."

Jennie kembali duduk dengan baskom, air hangat dan obat merah serta plester luka. "Sini mana, mukanya."

Ardan mengamati Jennie lamat-lamat, wajahnya, hidungnya, alis, dan... bibirnya. Entah, kenapa rasanya kasihan sekali melihat Jennie, harusnya Ardan senang kan kala Jennie bercerai dengan Reygan? Oke, ralat hampir bercerai.

Tapi, melihat Jennie serapuh ini, karena dilecehkan belum lagi karena cerai, membuat Ardan kasihan, dan malah ... tidak senang. Dia ingin, perempuan dihadapannya ini bahagia.

Walau, bukan dengannya.

"Gue minta maaf, gara-gara gue, lo kena terus. Dari bajingan itu, dari suami gue."

Ardan terkekeh. "Itu namanya laki-laki. Ya wajar lah, lagian laki lo dongo banget sih."

Jennie menatap Ardan penuh tanya.

"Dongo lah, harusnya dia tuh dengerin dulu penjelasan lo, bukan asal main bogem gue gini. Itu tuh, buktinya udah keburu berburuk sangka sama orang."

Jennie menunduk. "Iya lo bener, harusnya dia percaya gue, bukan malah gini. Bukan sekali dua kali, kita berantem. Tapi, ini fatal sampe dia bawa-bawa... cerai."

Ardan menghembuskan nafasnya. "Jen, lo tenang aja, yang namanya kebenaran bakal terungkap dengan cara apapun. Apapun Jen."

Jennie mengusap air matanya, namun sialnya air mata itu tetap turun, membasahi pipinya. "G--gue capek, kalo Reygan kaya gini terus, gue salah terus dimata dia. Dia berulangkali salah, terus minta maaf, tiba-tiba baik, tiba-tiba marah. Gue capek, gue beneran udah capek."

Ardan merangkul pundak Jennie. "Lo tenang aja, gue tetep disini, membantu lo melewati semua ini."

Jennie menangis, menutupi wajahnya dengan rambut yang kusut. "Kenapa sih asal marah aja, kenapa nggak ngomong, nanya, baik-baik gitu." katanya sambil terisak.

Ardan mengangguk, sambil mengelus rambut Jennie. "Iya, iya. Udah, udah."

"Ardan. Tapi, gue pengen peluk dia, gue kangen. Kangen banget sama dia."

Ardan menghembuskan nafasnya. "Tapi, lo udah diusir sama dia. Gimana bisa lo mau peluk dia?"

Jennie diam lagi, menunduk dan menangis.

"Lo tidur disini aja dulu, di kamar gue, sementara gue di sofa. Lo aman disini. Besok gue anter kerumah orangtua lo. Mau?"

Jennie menggeleng. "Papa sama Mama di Palangkaraya, belum pulang."

"Emm, yaudah itu urusan besok. Tidur dulu aja, itu anak lo nanti kenapa-napa kalo lo sakit atau terlalu stress."

Jennie mengangguk, lalu berdiri. "Makasih ya Ardan. Lo baik sama gue."

"Iya, gue disini buat lo. Lo nggak sendirian, lo sama gue. Oke?"

Jennie mengangguk. "Gue ke kamar dulu ya, yang pintu hitam kan?"

Ardan mengangguk. "Iya, good night. Lo kuat, lo pasti bisa lewatin ini semua."
Jennie mengangguk dan berjalan, serta menutup pintu.

Ardan menatap punggung Jennie. "Laki lo, goblok banget Jen." katanya menggeleng jengah.

*****

Jennie berdiri di balkon kamar Ardan, melihat kota Jakarta dari atas sini. Air matanya turun lagi, Jennie tidak bersusah payah, mengusapnya, dia membiarkan air mata itu turun.

"Murahan! Lo nggak ada bedanya sama Fannesa."

Kata-kata Reygan itu tepat, menghunus hatinya, membuat sesak di dadanya tidak tertahankan. Apa Jennie terlihat serendah itu? Apa Reygan tidak berusaha, mempercayainya?
Kenapa harus disamakan dengan Fannesa?

Jennie berjalan masuk ke kamar, dan tidur disana, menatap langit-langit kamar Ardan yang didekorasi maskulin.

Jennie bahkan tidak sempat membawa ponselnya, Reygan mengusirnya dengan cara yang tidak manusiawi, menyeretnya keluar dengan paksa, bahkan Ardan laki-laki itu sempat dipukuli lagi oleh Reygan.

Jennie mengelus perutnya, "Kalau memang Papa nggak mau mengakui kamu, biar Mama yang rawat kamu."

Ardan menaiki tangga dengan tergesa, dan celingak-celinguk ke arah kamarnya, tadi saat dia ingin rehat sejenak, setelah menonton bola, di jam empat pagi seperti ini, Jennie terdengar muntah.

"Jen? Lo kenapa?" katanya begitu menemukan Jennie dengan lemas, duduk di kamar mandi, memejamkan matanya.

Jennie menatap Ardan. "Gue lemes banget Ar--" kata-katanya terhenti, dengan suara muntahan, membuat Ardan terulur memijat tengkuknya.

"Masih mau muntah nggak?"

Jennie menggeleng, lalu berjalan keluar kamar mandi dituntun oleh Ardan dan duduk di ranjang. "Lo ke ganggu ya Ar?"

"Enggak kok, gue udah bangun. Cuman, kaget aja gitu, takut lo kenapa-napa."

Ardan terlihat memberikan baju kaos polo hitam, dan celana boxer miliknya. "Nanti beli baju aja ya, sementara pake punya gue. Masalah ...daleman, pake itu dulu ya?"

Jennie terkejut. "Hah? Eh, Emm ... Iya."

"Pake aja, mandi pake air hangat. Ohiya, gue mau ke supermaket, beli susu sama bahan makanan buat sarapan. Ya, ini masih jam lima sih, cuman biar lo nggak laper."

Jennie tersenyum. "Nanti ke pasar aja, gue mandi dulu. Lo tunggu luar ya."

"Gue tunggu dibawah, nanti kalo udah keluar aja."

Jennie bercermin, matanya sembab, rambutnya kusut dan baju polo hitam Ardan terlihat besar dibadannya, dan boxer ini juga, membuat penampilannya terlihat lucu.

Jennie keluar kamar, melihat Ardan tengah memasak mie goreng instan. "Gue laper sumpah, mie mau nggak?"

"Boleh. Lo bisa masak Ar?"

Ardan mengangguk. "Bisa, dulu sering bantuin nyokap masak." katanya sambil meniriskan mie.

"Nyokap bokap lo kemana?"
Entah kenapa Jennie jadi tertarik mengenal sosok temannya lebih dalam, karena Ardan tidak pernah sedikitpun membuka ranah pribadinya.

"Nyokap dokter kerja di Bandung. Kalo bokap pengusaha, di Jakarta."

Jennie mengangguk. "Lo kaya di novel-novel gitu bukan sih, yang kabur dari rumah."

"Elah, nggak lah. Gue sewa apartemen,buat main sama temen-temen, disini juga buat nginep si Jaya kadang-kadang. Bokap gue, baik kok, ini lagi ke Bandung, paling kangen-kangenan sama Nyokap."

Jennie tersenyum melihat Ardan tertawa, dan menyajikan mie goreng dengan telor ceplok diatasnya. "Kalo sama Nyokap lo deket?"

"Banget. Dulu gue suka homesick, terus bolak-balik Bandung, sampe diledekin bokap gue. Usil emang."

Jennie terkekeh. "Lo anak tunggal?"

"Iyap, ini bokap gue lagi di Bandung, kangen-kangenan sama nyokap jangan sampe aja kebablasan, terus malah nganak."

Jennie tertawa. "Enaklah punya adek."

"Ya lo kira-kira aja, jaraknya sama gue hampir dua puluh dua tahun. Harusnya, gue yang nganak."

Jennie tertawa lagi, sampai-sampai tidak menyadari Ardan menatapnya tanpa kedip. Seolah terhipnotis.

"Gue seneng lo udah ketawa lagi."

Jennie langsung tersenyum tipis. "Makan lagi Ar. Nanti nggak enak."

Ardan mengangguk sambil menyendokkan mie goreng kedalam mulutnya. "Eh, nanti ke supermaket aja, jam delapan udah buka deh. Kalo pasar jauh."

"Boleh."

Ardan menatap Jennie. "Jadi, lo nggak mau ketemu keluarga lo, dan ceritain semuanya?"

"Belum tau. Gue bukan tipikal orang yang terbuka sama keluarga, agak menutup diri sebenernya."

Ardan mengernyitkan dahinya. "Serius? Jadi, ini masalah serius. Suami lo bawa-bawa cerai, lo harus cerita sama keluarga."

"Ya lihat nanti aja. Lo keberatan ya, gue disini lama-lama gitu misalnya."

Ardan reflek menggeleng. "Baperan. Ya, enggaklah. Gue cuman mau masalah lo kelar, terus lo fokus rawat bayi lo."

"Iya nanti deh."

*****

Tama terdiam menatap Fannesa, yang datang ke rumah sakit, untuk menjenguknya. "Lo ngapain?"

"Bener kamu ngelakuin itu ke Jennie?"

Tama terdiam. Membisu, kejadian beberapa jam lalu kembali merasuk kedalam pikirannya.

"Tam, aku lagi nanya. Bener?"

Laki-laki itu mengangguk perlahan. "Urusan lo apa?"

"Aku datang kesini, jenguk kamu, sekalian mau ngomong ke kamu. Aku berhenti buat suka sama Reygan."

Tama berdecih. "Lo ngomong hal yang sama dulu. Tapi, apa? Lo tetep kegatelan kan sama Reygan?"

Fannesa terdiam. "Kali ini aku serius." tidak ada raut bercanda, ataupun ragu di wajah perempuan itu.

"Terus gue harus apa?"

Fannesa menggenggam tangan Tama. "Kasih aku kesempatan, buat bikin kamu jatuh hati sama aku lagi."

Tama melepaskan genggaman itu. "Bikin gue jatuh hati, terus ninggalin gue? Gitu maksud lo?"

Fannesa menggeleng. "Enggak sama sekali. Bukan itu maksud aku, bukan."

"Kita bisa perbaiki hubungan kita yang dulu baik-baik aja. Kita bisa Tam. Perbaiki semuanya, asal kita mau."

Tama terdiam.

"Kamu kaya gitu ke Jennie, kamu nggak mikir keadaan dia? Psikis dia? Keadaan dia sekarang?"
Fannesa melihat raut penyesalan di wajah laki-laki itu.

"Bukan kaya gini, cara mencintai seseorang, tapi biarkan dia bahagia. Walaupun, bukan sama kamu. Kaya aku, memutuskan untuk melepaskan Reygan. Jujur, sulit memang. Tapi, kita pasti bisa."

Tama menatap Fannesa, tanpa ekspresi.

"Kamu kasih aku kesempatan buat buktiin ke kamu kan? Kita bisa saling belajar mencintai. Seperti dulu. Ya kan?"

Tama menunduk. "Gue nggak tau."

"Aku yang bakal buktiin. Tapi, kamu harus buka hati kamu. Buat aku, dan lupain Jennie."

Tama menggangguk.

"Sekarang, aku tanya alasan kamu kaya gitu ke Jennie apa?" Fannesa menggenggam tangan Tama erat.

Tama menghembuskan nafasnya. "Gue sayang banget sama dia, gue pikir dengan cara itu, dia bakal hamil anak gue, dan kita menikah."

Fannesa terdiam. "Lo jahat banget kalo gitu. Terus, lo lihat dia seneng atau nggak dengan cara lo?"

Tama menggeleng.

"Jangan gitu, kasihan dia. Lo pikirin nggak dampaknya buat Jennie apalagi kalo Reygan tau?"

Tama masih diam.

"Itu bukan cinta, itu obsesi."

Tama mendongak, ketika Fannesa melepaskan tangannya dan pergi dari ruangannya.

*****

Ardan menyajikan makanan dan segelas susu didepan Jennie yang sedari tadi melamun, bahkan perempuan itu tidak menyadari kehadirannya, yang sudah duduk didepannya sejak sepuluh menit lalu.

"Hei. Bengong nanti kesambet."

Jennie tersenyum tipis, lalu melihat makanan dan susu didepannya, tadi memang Ardan melarangnya untuk ikut ke supermarket karena Jennie masih dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Gue nggak mau ini. Maunya capcay."

Ardan mendelik. "Hah? Ini gue udah masak, astaga. Yaudah, go food capcay gih."

"Nggak usah deh, ngrepotin. Gue makan ini aja, enak kayaknya."

Ardan  tersenyum. "Gini ya rasanya menghadapi bumil. Nggak papa, pesen aja."

Jennie menggeleng. "Ini enak kok."

Keduanya makan, sebenernya Ardan sendiri tidak keberatan jika perempuan ini di apartemennya, tapi masalahnya adalah masalah ini pelik, dia ikut menjadi penyebab masalah ini, dan dia akan bantu Jennie untuk menyelesaikan masalah ini.

"Lo memang mau disini? Temen lo, yang sering sama lo, gue suruh kesini ya?"

Jennie terdiam, tampak berpikir. "Boleh, biar kita nggak berdua aja disini, nanti banyak yang salah sangka."

"Cih, suami lo aja udah nuduh kita yang enggak-enggak." katanya santai.

Jennie diam lagi, menghembuskan nafasnya, mengingat Reygan membuat dadanya sesak dan sakit hati secara bersamaan.

"Temen lo, nama instagramnya siapa?"

Jennie mengernyitkan dahinya. "Buat?"

"Gue nggak ada nomernya, pake direct message instagram aja kali ya. Lo juga nggak bawa handphone kan?"

Jennie mengangguk. "Sini gue yang ketik."

Ardan menatap perempuan ini, lalu berdiri membereskan piring-piring mereka.

Jennie yang melihat itu, lantas meletakkan ponsel milik Ardan setelah mengirim pesan untuk Vella ataupun Satria untuk datang. Lalu, kakinya melangkah membantu Ardan mencuci piring.

"Udah?"

Jennie mengangguk. "Udah, sini gue bilas."

Ardan menatap Jennie, lekat lalu beralih ke perut perempuan itu, rasanya walaupun sedang berbadan dua, Ardan tetap menyayangi perempuan ini.

*****

Vella dan Satria datang, duduk dan celingak-celinguk ke arah apartemen Ardan, dan menyimak dengan baik penjelasan Ardan." Emang Reygan anjing! Gue kan udah bilang, nggak usah balikan sama dia."

Jennie menunduk, melihat wajah Satria yang marah, sementara Vella mengelus perutnya yang membesar. "Gue nyesel, kasih dia kesempatan."

"Jen, lo udah kapok sekarang? Disakiti sama laki-laki yang sama? Pake acara nampar lo, bilang Lo murahan. Mau apa sih Reygan itu!"

Ardan menatap Satria, kemarahan laki-laki itu, seperti kakak laki-laki yang adiknya disakiti oleh laki-laki.

Satria menatap Jennie serius. "Lo juga, kenapa nggak bilang selama ini, lo korban pelecehan kakaknya si Kris? Udah seberapa hebat, lo nyembunyiin ini? Merasa hebat lo?"

Jennie menangis, mengusap air matanya. "Gue nggak bisa ngomong karena, buat inget sama kejadian itu, gue ketakutan Sat."

Satria menatap Vella, saat Vella menyuruhnya untuk duduk, menenangkan diri. "Nggak usah marah lagi, Jennie kasihan. Duduk dulu. Baik-baik."

Ardan meletakkan gelas di meja. "Ini salah gue juga, seharusnya gue nggak meluk Jennie hari itu, pasti Reygan nggak salah paham."

Satria dan Vella berpandangan. "Tapi, seharusnya Reygan juga nggak langsung marah kaya gitu, apalagi sampe ngusir dan bilang cerai. Dia emang nggak punya mulut buat tanya?"

Ardan mengangguk. "Jennie baru aja mau jelasin, tentang kehamilan dia, tentang pelecehan itu. Tapi, langsung ditampar sama Reygan, langsung diusir. Menurut gue, Reygan yang udah terlalu emosi."

Vella duduk di samping Jennie dengan susah, karena perutnya yang membesar. "Udah, jangan nangis lagi Jen. Nggak usah nangis buat orang kaya Reygan."

Jennie langsung memeluk Vella erat, menangis meraung-raung disana, meremas baju terusan Vella sampai kusut.

Satria dan Ardan langsung mengalihkan pandangannya, rasanya iba melihat Jennie serapuh ini. Terlebih, Satria yang berulangkali mengumpat melihat kesedihan sahabat yang juga sudah dia anggap seperti adiknya.

Vella mengelus punggung Jennie. "Kasihan itu, anak lo. Udah jangan nangis. Kita kerumah gue, atau kerumah Kak Anya?"

Jennie menatap Vella. "Kak Anya. Gue mau Kak Anya."

Satria berdiri diikuti Ardan. "Makasih bro, udah nolongin temen gue, walaupun bajingan itu sempet memperkosa sahabat gue Jennie, tapi lo udah nolong. Gue lega, Jennie dijaga sama lo. Selanjutnya, biar gue sama keluarga yang urus."

Ardan mengangguk. "Gue terlambat, dia udah keburu disentuh sama laki-laki bajingan itu. Gue minta maaf."

"Mungkin kasus ini bakal dibawa ke ranah hukum, biar jera buat Tama."

Ardan mengangguk, membenarkan perkataan Satria. "Oke."

Jennie menatap Ardan, lalu memeluknya erat. Tanpa bantuan Ardan, pasti dia sudah hancur sekarang, Ardan memang terlambat, tapi laki-laki itu menemaninya, menjaganya sebisanya, membuat Jennie merasa aman dan nyaman. "Makasih Ardan."

Ardan mengelus rambut Jennie. "Iya, main-main kesini lagi ya, gue selalu ada buat lo. Nanti, kapan-kapan gue main kerumah lo. Kalo udah punya handphone, hubungi gue ya?"

Jennie mengangguk dalam pelukan Ardan.

Ardan menatap mobil Satria yang sudah melaju, meninggalkan Ardan sendiri, yang memegangi dadanya, rasanya sakit sekali melihat orang yang kita sayang, seperti itu. Tapi, Ardan sudah membantu sebisanya.

*****

Anya dan Eric tercengang, mendengar penjelasan Satria dan Vella, lalu menatap Jennie yang menunduk dari tadi.

Anya mendekati adiknya, lalu memeluknya erat. "Nangis, Kakak disini buat kamu. Nangis nggak papa."

Jennie menangis lagi, dari kecil saat Jennie dimarahi oleh Papa atau Mama, Anya selalu membantu, membelanya, dan memeluknya seperti sekarang.

"Reygan Kak.. Reygan jahat."

Anya mengangguk. "Iya dia jahat, dia nggak seharusnya kaya gitu ke kamu."
Jennie menangis sesenggukan di pelukan Anya, tidak terhitung lagi berapa kali Jennie menangis hebat dari kemarin.

Eric membetulkan letak kacamatanya. "Kamu istirahat dulu ya Jen, di kamar atas aja, biar masalah ini Kakak sama Satria yang handle. Kamu istirahat, kasihan anak kamu juga."

Anya membantu adiknya, ke kamar diikuti Vella dibelakangnya, Anya membuka pintu kamar dan mendudukan Jennie diranjang.

"Ini minum dulu Jen."

Jennie mengangguk, lalu memegang gelas berisi air putih, lalu dimana diikuti Vella dan Anya yang duduk disamping kanan-kirinya. Anya, mengelus rambut Jennie. "Udah periksa ke dokter, kondisi janin kamu setelah kejadian itu?"

Jennie menggeleng lemah.

"Nanti kita periksa ya, takut kenapa-napa."

Vella memandang Jennie, astaga sahabat macam apa dia, sampai Jennie mengalami kejadian seperti ini, tapi dia tidak tau. "Gue minta maaf, gue nggak ada waktu lo susah."

Jennie menatap Vella. "Lo nggak salah kok, kan memang Lo udah cuti. Lagian, lo nggak mungkin kan, jagain gue full gitu."

Jennie menegak air putih, dengan tatapan kosong sambil mengelus perutnya.

"Jadi, lo beneran cerai sama Reygan?

Jennie terdiam, air matanya turun. Lalu mengangguk pelan. "Gue mau cerai. Gue juga capek, gue salah terus dimata Reygan. Gue rasa ini akhirnya."

Anya dan Vella berpandangan. Lalu, Vella berdeham. "Tidur dulu ya, istirahat."

Jennie berbaring, memeluk guling lalu memejamkan matanya, mengistirahatkan raganya yang telah lelah.

****
Jangan lupa vote dan comment.

Terimakasih sudah membaca cerita ini.

See u next chapter ❤️
****

Mau lanjut kapan lagi?

Wherever u are, stay safe gais, baca cerita ini aja, nggak usah keluar rumah dulu. Ehehehe.

Best regards,

Niq❤️

*****

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

Angelissa Par Hai You

Roman d'amour

273K 15.5K 33
[TERSEDIA DI DREAME] Cerita ini pernah saya posting pada tahun 2015, lalu saya selfpublish. Sekarang, cerita ini saya repost di wattpad. Selamat mem...
2.6M 97.3K 64
[ #16 in teenlit 09/05/18 ] [ #240 in teenfiction 06/08/18 ] [ #1 In enemy 24/03/19] (beberapa part ada yang di private. silahkan follow terlebih...
14.8M 561K 55
"Pernikahan ini terjadi karena aku hamil." -Bella Elyana ** Bella Elyana, gadis belia yang masih duduk di bangku SMA dan merupakan anak tunggal dari...
MADOS [TERBIT] Par aiaaiiaaaiii

Roman pour Adolescents

2.2M 128K 30
MADOS >>[ Ma Dosen ]<< belum direvisi "Loh?! Pak Aldi?!" "Aulia?" "Bapak ngapain di sini?!" "Saya nunggu orang. Dia adik dari sahabat Saya." "Saya...