Aim for Aimee

By nellieneiyra

9.9K 933 397

"Karena terkadang orang ketiga itu bukan manusia, tapi perasaan kita sendiri." . . . . . . . . Gasta adalah g... More

1 - Gasta
2 - Aimee?
3 - Gasta, ternyata Aimee...
4 - Yang Telah Lama Hilang
5 - Sebuah Pengakuan
6 - Menemani Hati
7 - Sebuah Ketulusan
8 - Gasta Dimusuhi
9 - Keadilan untuk Gasta
10 - Gasta Diserang
11 - Aimee dan Kejutannya
12 - Tertuduh
13 - Terungkap
14 - Mengutuk Baskara
15 - ❤
16 - 💔
17 - Dia Bukan Gasta
18 - Tapi Dia Masih Aimee
19 - Diagnosa yang Mematahkan
20 - Definisi Kecewa
21 - Pertemuan yang Terulang
22 - Bertualangnya Aimee
23 - Memenangkan Ego
24 - Bicara pada Hati dengan Hati
25 - Agar Aimee Mengerti
26 - Kebenaran dari dan untuk Deon
27 - Deon Telah Memutuskan
28 - Sebuah Akhir yang Mengawali
29 - Baskara VS Feliz
30 - Baskara VS Gasta
31 - Aimee VS Gasta... Wait, What?
32 - Kedatangan Hati yang Lain
33 - Di Depan Mata Aimee
34 - Di Balik Sikap Aimee
35 - Ketika Mencoba Berubah
36 - Arti Sebuah Genggaman Tangan
37 - Malaikat Tak Pernah Dusta
38 - Mengalah Hingga Menang
39 - Dibalas dengan Luka
40 - Tergerusnya Kepercayaan
41 - Pentingnya Tahu Diri
42 - Tersuratkan
43 - Masih Ada(kah) Harapan
44 - Mee, Peduli Tidak?
45 - Refleksi Perasaan Gasta
46 - Melihatnya Rapuh
47 - Pertarungan dan Pertaruhan
48 - Tidak Ada Aimee di Sini
49 - Kali Ke-Entahlah
50 - Kelanjutan Kemarin
51 - Danes Kembali
52 - Airmata Terderas Gasta
53 - Masa Lalu yang Menguji
54 - Terus Terang, Terus Menerangkan
56 - Pengungkapan Penuh Derita
57 - Susah Dibunuh
58 - Berani Tega yang Tak Disadari
59 - Dikira Pengkhianat
60 - Semudah Membalik Telapak Tangan
61 - Rintangan Mustahil Tak Ada
62 - Hadiah Pertandingan
63 - Rapuh, Tumbang, dan Terinjak
64 - Tidak Tepat, Tapi Tidak Terlambat
65 - Aimee si Penggerak Hati
66 - Hati Papa yang Terketuk

55 - Dia atau Dia, Aku atau Mereka

105 6 3
By nellieneiyra

Halohalo
Keasyikan ngehalu, eh kebablasan jadi tiga rebu dua ratus kata. Hahahahaha

Ya maklum lah yaaa kenapa lama.
Enjoy gaes!

***

Cukup berwarna.

Begitulah hari-hari Gasta kini di kelas. Sejak senyuman Aimee kali itu, Aimee tak lagi sedingin biasanya. Meski tidak pernah mengobrol, setidaknya Aimee masih 'mau' diajak bicara oleh Gasta. Gastapun, tidak berekspektasi yang berlebihan pada Aimee. Aimee tidak bersikap dingin padanya saja sudah lebih dari cukup baginya. Meski tak dapat dipungkiri, hatinya masih untuk gadis itu.

Namun, mengetahui bahwa hati gadis itu tak lagi untuknya, dia bisa apa?

Perkembangan kesehatan Gasta juga cukup pesat. Livernya dalam kondisi yang baik. Gasta bahkan sudah mulai ikut basket lagi. Meski hanya sebentar-sebentar. Tangannya juga mulai memainkan stik-stik drumnya lagi, meski hanya di dalam kamarnya dan tanpa drum. Semua semakin membaik dan Gasta sangat bahagia akan hal itu.

Lain Gasta, lain pula Feliz.

Kedatangan Baskara secara tiba-tiba beberapa waktu yang lalu bukan berarti tiada artinya bagi Feliz. Justru malah menjadi titik balik perasaan Feliz yang dia sendiri kira sudah mati.
Kebaikan dan perhatian Baskara ditanggapinya dengan biasa saja, namun bukan berarti tanpa makna. Diam-diam ada harapan yang terselip di sana. Baskara pun demikian. Perhatiannya yang hidup kembali setelah lama sekali mati, membuatnya merasa bahwa dia dapat menggenggam Feliz sekali lagi.

Sayang sekali, Gasta tidak senang akan hal itu. Harapan Gasta untuk Feliz hanya satu: Raymond, yang mana diam-diam juga merasa diberi harapan oleh Feliz.

Raymond yang masih menelponinya hampir tiap dua malam sekali.
Raymond yang masih mengontaki Gasta dan turut mengawasi perkembangan kesehatan Gasta.
Raymond yang kini, dengan baik mengabarinya seakan Feliz adalah seseorang yang 'berarti' baginya.

Dan sayangnya, Feliz sadar akan hal itu.

Namun Baskara seakan mengacaukan semuanya, dan anehnya Feliz seakan tidak keberatan.

Di hari yang sama, Feliz berkomunikasi dengan Raymond dan Baskara, dengan intensitas yang sama, dan dengan perasaan yang tidak dibebani rasa bersalah. Gasta tahu itu. Saat Feliz mengontak Raymond, hati Gasta bahagia. Namun saat Feliz mengontak Baskara, hati Gasta kesal bukan main.

Gasta seakan mendapat tugas 'tidak langsung' dari kakaknya, yaitu 'tutup mulut'. Menjaga rahasia, agar tidak cerita pada Raymond bahwa Baskara hadir kembali dalam hidup Feliz. Gasta tahu betul, Raymond bukan siapa-siapanya Feliz. Begitu juga dengan Baskara. Jadi seharusnya tidak ada hak bagi Raymond maupun Baskara untuk mengatur-atur kehidupan Feliz. Demikianlah Gasta menyusun pemikiran itu di kepalanya.

Gasta tidak ingin Raymond tahu bahwa Baskara hadir kembali, karena dia tidak ingin Raymond pergi dari Feliz. Gasta terlanjur 'sayang' pada Raymond. Gasta tahu, Feliz pernah punya perasaan yang sangat besar pada Raymond, yang mungkin hingga sekarang. Raymond terlalu berharga untuk dihapus dari kehidupan Feliz, baik bagi dirinya maupun bagi kakaknya.

"Kak Raymond tar malem ke rumah ya?" tanya Gasta di telepon. Gasta menelepon Raymond. Sementara, tak jauh dari situ, Feliz juga sedang ngobrol dengan Baskara di telepon.
"Iya, Gas. Kenapa?"
"Mabar dong hehehe."
"Pastiiii. Gimana keadaan kamu?"
"Baik Kak, alhamdulillah. Kata dokter kondisiku lagi oke. Kinerja organ optimal. Sehat wal afiat lah pokoknya." jawab Gasta dengan semangat. "Ga sabar nunggu nanti malem, Kak."
Tawa Raymond terdengar di seberang.
"Tenang. Nanti Kakak dateng jam delapan. Kamu belajar dulu, biar ntar bisa mabar."
"Siap bosku."
"Dah Gasta."
"Yoiiii."

Gasta senyum-senyum. Rasanya seperti kakak cowok sendiri. Tanpa ada sungkan atau sebagainya.

"Kak Raymond kesini jam delapan." beritahu Gasta pada Feliz. Feliz menanggapinya dengan acungan jempol, karena masih mengobrol dengan Baskara di telepon. Gasta jelas melengos. Kesal dengan kakaknya. Lama sekali dia teleponan dengan Baskara. Mana senyum-senyum sendiri lagi

Seusai Feliz menelepon, Gasta memburunya.
"Kakak parah sih asli. Ngobrolin apa aja sih ama Baskara?"
"Banyak. Kenapa emang?"
"Kakak nggak bilang ke Baskara kalo Kakak deket ama Raymond?"
"Apa urusannya sih?"
Gasta garuk-garuk kepala. "Ck. Ah Kak Feliz ah."
"Lagian kamu. Segala mantau hubungan Kakak. Biar apa sih?"
"Jawab dulu yang tadi." Gasta berkilah.
"Penting banget ya buat kamu?"
"Kakaaaak!" tegur Gasta.
"Ya tau lah. Tapi kamu liat kan, dia ngga masalah. Dia masih tetep maju kayanya. Masih mau ngedeket buktinya. Gigih ga sih dia?"
"Itu artinya dia ga beres, Kak." sanggah Gasta.
"Udah ah. Kakak males kalo bahas ginian ama kamu. Bikin gedeg tau ngga." Feliz meninggalkan Gasta ke kamarnya.

Gasta, yang disikapi seperti itu oleh kakaknya, jelas jauh lebih kesal.

***

Feliz sedang bersantai. Sekarang masih pukul tujuh lebih lima. Dia duduk di sofa ruang tamu, dengan tangan memainkan ponsel dan televisi menyala di depannya hanya sebagai penambah keramaian saja. Jam-jam santuy begini memang paling nikmat dihabiskan dengan scrolling twitter atau Instagram.

Sedangkan Gasta masih belajar di kamar. Lihat kan, betapa patuhnya dia pada Raymond. Disuruh belajar saja langsung menurut. Sebentar-sebentar dia melihat jam, berharap jam sudah menunjukkan pukul delapan yang mana berarti Raymond akan datang.

Feliz dikejutkan oleh suara ketukan di ruang tamu. Dadanya bergemuruh ketika dia sudah membayangkan Raymond berdiri di balik pintu yang hendak dibukanya itu.

Cklek!
"Hai, Fel."
"Baskara?"

Dunia seakan berhenti berputar.

"Kok kesini gak bilang-bilang?" tanya Feliz kikuk.
"Surprise. Sengaja. Boleh masuk?" pinta Baskara.

Coba ada Gasta di situ, pasti dia sudah teriak, "Lancang banget minta masuk!"

Feliz mengiyakan. Keduanya duduk di sofa, dengan gejolak hati yang tak tergambarkan. Gejolak risau di hati Feliz, dan gejolak grogi di hati Baskara.

"Bentar ya. Aku ke Gasta dulu. Ngecek dia lagi belajar apa engga." pamit Feliz.
"Santai, Fel." timpal Baskara, tak menaruh curiga.

Feliz kalang kabut. Pukul delapan memang masih lama, tapi Raymond pasti datang. Kampret memang Baskara, rutuknya diam-diam meski hatinya juga sebenarnya senang bukan kepalang. Tiba-tiba ide muncul di kepalanya.

"Gas." panggil Feliz ketika kepalanya melongok ke dalam kamar Gasta.
"Hm?" sahut Gasta tanpa menoleh. Kepalanya fokus menghadap buku catatannya.
"Kakak boleh masuk?"
"Masuk aja." Gasta malas berbasa-basi saking fokusnya.

"Ada Baskara di bawah." Feliz langsung to the point.
Gasta meletakkan pulpennya. "What?"
"Iya. Baskara."
"Ngapain, coba?" nada tanya Gasta terdengar kesal.
"Tau. Main doang. Surprise bilangnya." dengus Feliz.
"Tapi kenapa mesti hari ini sih? Kan nanti ada Kak Raymond." gerutu Gasta turut kesal.
"Nah itu dia. Kakak minta tolong dong Gas, boleh ga?"

Gasta menghela napas panjang, sudah bisa menerka masalah ini larinya kemana.

"Apa?" tanya Gasta. Rautnya sudah menunjukkan rasa malas.
"Chat Raymond. Bilang Kak Feliz keluar. Ada perlu mendadak."
"Kenapa ngga Kakak sendiri sih yg chat?"
Feliz terdiam.
"Biar keliatannya natural gitu."
"Natural darimananya sih?" Gasta benar-benar kesal. "Sini. Mana hape Kakak?" Gasta menengadahkan tangan kanannya di depan muka Feliz.

Ajaibnya, Feliz menurut saja. Saking kalutnya.
Gasta mulai mengetikkan sesuatu di ponsel kakaknya, sambil ngedumel.
"Kalo aku yang chat, malah keliatan boongnya. Mending Kakak sendiri. Jangan bawa-bawa aku." omel Gasta. "Nih. Centang satu." Gasta mengembalikan ponsel kakaknya.

Feliz mengecek chat Gasta yang dia kirimkan pada Raymond.

"Ray, maaf ya malam ini jangan ke rumah dulu."
"Aku ada keperluan mendadak di luar."
"Maaf ya Ray."

Kaki Feliz masih gemetar, namun dadanya sedikit terasa lega. Senyum terurai di bibirnya, lalu diacak-acaknya rambut adiknya.

Tanpa ucapan terima kasih, Feliz meninggalkan Gasta yang kini kembali berkutat pada catatannya.

***

Setengah delapan lebih sedikit. Feliz sudah lupa dengan kegugupan yang terjadi ketika Baskara datang tiba-tiba tadi. Sekarang dia sudah seru sekali berbincang dan bercanda dengan Baskara di ruang tamu. Sesekali dipukulnya Baskara ketika dia melucu, sama seperti beberapa bulan lalu saat mereka masih 'dekat'.

Gasta turun dari kamarnya. Melirik ke arah ruang tamu, lalu melengos ketika dia mengetahui bahwa Baskara masih di situ. Kini dia di dapur, mengambil segelas air lalu minum di situ. Hatinya masih dongkol tak karuan melihat kakaknya dekat lagi dengan pria yang pernah menamparnya itu.

Gasta beranjak dari dapur untuk kembali ke kamarnya. Saat dia melewati ruang tengah, kembali pintu diketuk.

"Tunggu sebentar." sahut Feliz. Dia lalu berdiri untuk membuka pintu.

Cklek. Pintu terbuka.
Dan sungguh tak disangka,
Raymond berdiri di sana. Dengan tangan menggenggam ponsel.

"Fel?"
"Hh-hai... kok? Lebih awal datengnya?"

Feliz membeku bagai dilempar ke kutub utara. Begitu juga Gasta, terpaku melihat kedatangan Raymond yang lebih cepat.

Raymond melongok ke arah belakang Feliz, lalu mengusap-usap layar ponselnya. "Kamu ngga jadi keluar? Apa udah balik? Kamu bilang kamu keluar. Ini baru aku baca, baru nyalain data." tanyanya bingung.
"Mmhm... Itu... Kamu katanya kesini jam delapan? Kok jam segini udah datang?" Feliz tak dapat lagi menyembunyikan kegugupannya.
Sekali lagi Raymond melongok ke dalam, dan tak disangka, Baskara muncul dari belakang Feliz.

"Siapa Fel?" tanyanya santai.

Mata Raymond menyipit, sementara mata Feliz membelalak lebar.

"Ini..." Feliz tergagap.
"Gue Baskara." Baskara mengulurkan tangan. Mata Raymond semakin menyipit.
"Baskara yang temen ngajar Feliz?" Raymond memastikan.
"Kamu ngenalin aku ke dia?" Baskara beralih pada Feliz. Feliz terdiam, mau mati. Gasta terperangah dari kejauhan.

Raymond mengurai senyum tipis; hanya satu ujung bibirnya saja yang terangkat. "Oh. Paham gue. Sorry ya udah ganggu." ujarnya, lalu berbalik meninggalkan mereka. Feliz hanya bisa diam.

"Dia siapa, Fel?" tanya Baskara bodoh.
Bagaimana Baskara bisa lupa?

"Kak Raymond!" teriak Gasta tiba-tiba. Berlari secepat kilat, menyeruak diantara mereka berdua untuk mengejar Raymond.

Kini mata Baskara yang menyipit.
"Raymond? Raymond yang kamu bilang kamu..."
"Aku bisa jelasin, Bas."
Dan drama pun dimulai.

"Kak Raymond! Tunggu!" Gasta berlari menyusul Raymond. Namun Raymond tak menggubris Gasta.

Hati Raymond porak poranda. Dusta Feliz-lah penyebabnya.

Keluar, katanya?
Ada perlu mendadak, katanya?

"Kak Raymond!" panggil Gasta sekali lagi. Hap! Tangannya berhasil meraih tangan Raymond. Diguncangnya tangan Raymond agar Raymond berhenti melangkah.
"Kak! Dengerin aku dulu, Kak!" Gasta berniat menjelaskan. Tarikan tangannya cukup kuat, membuat Raymond berbalik padanya.

"Ada apa? Aku ngga mau ganggu Feliz." ujar Raymond sarkas. Gasta menggeleng. "Dengerin aku dulu. Kak Feliz ngga kaya gitu. Kak Raymond harus tetep datang."

"Harusnya aku gak perlu datang kalo ternyata aku harus ngeliat dia ama Baskara-Baskara yang dia bilang udah ngga ada di hidupnya itu, Gas." tukasnya panjang. Gasta terengah-engah di depannya karena mengejar terlalu keras.

"Kak... Hhhh... Ini gak seperti yang Kak Raymond bayangin... Dia dateng tiba-tiba, Kak... Bajingan itu dateng tanpa bilang ke Kak Feliz... Baru juga mau diusir... Kak Raymond jangan pergi..." Gasta terus menahan Raymond agar tidak pergi.

"Tapi Feliz boong, Gas. Aku gak suka kalo ada yang boong. Dia bilang dia keluar. Ternyata? Hahaha. Coba kamu bayangin di posisi aku. Apa yang kamu rasain?" serang Raymond.

"Aku pasti sakit ati, Kak. Aku tau, Kak Raymond pasti sakit ati juga. Tapi plis, Kak Raymond jangan pergi. Katanya mabar. Ayo, Kak." Gasta tetap menahan tangan Raymond kuat-kuat.

"Buat apa, Gas? Feliz udah berbuat begini ke aku. Kamu liat sendiri kan, dia segugup itu?"
"Iya, aku tau Kakak salah. Tapi, ini ngga kaya yang Kak Raymond kira. Percaya deh, ama aku Kak. Kak Raymond percaya kan ama aku?" Gasta memasang suara semelas mungkin.

Raymond terdiam sejenak. "Ck." decaknya, lalu melengos pergi. Gasta jelas kacau balau. Ditariknya lagi tangan Raymond, yang - tak disangka-sangka - tiba-tiba menyentakkan tangan Gasta sambil membentak, "lepasin!"

Gasta terkesiap. Bisa sekasar itu Raymond padanya. Tapi diturunkannya harga dirinya, dengan kembali meraih tangan Raymond, memohon untuk tetap tinggal.
"Kak, jangan pergi. Ayo mabar. Di sini aja. Jangan pergi!"

Sret! Raymond mendorong kedua pundak Gasta hingga Gasta terjerembab di tanah.
"Kamu kenapa sih? Kamu kenapa manja banget? Kamu gak punya otak ya? Di saat seperti ini kamu masih aja... apa kamu bilang tadi? Mabar? Udah sinting kamu Gas!" Raymond menoyor dahi Gasta.

Airmata Gasta tak dapat dibendung lagi. Gasta menangis ketakutan beberapa detik, sebelum akhirnya dia memegangi perutnya.

"Uhk!" Gasta terbatuk ke arah samping. Dia memalingkan wajahnya dari Raymond.

Raymond yang melihat Gasta tidak langsung bangkit, tentu terpancing untuk menarik tangannya. Dan tentu terkejutlah Raymond saat mendapati mulut Gasta berlumuran darah.

"Gas?" panggil Raymond takut-takut.
Gasta menunduk dalam duduk. Di tengah remang dan luasnya halaman Gasta di malam hari, Raymond bisa melihat kucuran-kucuran darah yang menetes dari mulut Gasta. Mata Raymond membulat, punggungnya pun menegang. Kini dia yang mengguncang-guncang Gasta, yang tiba-tiba ambruk di tangannya, dengan mulut berlumuran darah.

Sementara itu, argumen Feliz dan Baskara mulai mereda. Baskara mudah saja percaya dengan ucapan Feliz soal Raymond yang 'bukan siapa-siapanya'. Feliz dan Baskara mungkin sudah lupa bahwa di luar masih ada Raymond dan Gasta jika Raymond tidak berteriak keras,
"Feeeeeel! Gasta Feeeeel!"

***

Gasta relaps. Semua itu karena Raymond.

Perilaku kasarnya tak disangka bisa membuat kondisi Gasta sejatuh itu. Gasta terpukul secara batin bahkan hingga berdampak ke fisiknya. Bukan dorongan kuat Raymond pada pundaknya-lah yang membuat Gasta kambuh, namun dorongan pada batinnya.

Beruntung ada Baskara di sana dengan mobilnya yang dengan sigap mengantar Feliz dan  Gasta ke rumah sakit. Hebatnya, Raymond ikut mengantar. Tentu, setelah menjadi penyebab semua ini, lalu dia lari begitu saja? Please, rasa sayangnya pada Gasta tentu belum sepenuhnya sirna. Raymond mengikuti mobil Baskara dengan motornya.

Masuk IGD dalam keadaan dan situasi yang amat genting membawa Raymond pada masa lalunya. Saat Deon juga kambuh. Luka batin itu akan selalu kembali menganga jika ada hal yang berhubungan dengan adiknya yang telah tiada. Raymond banyak bengong di situ sedangkan Feliz dan Baskara tenggelam dalam huru-hara kelimpungan karena keadaan Gasta yang mengkhawatirkan.

Gasta masih belum bangun, meski dokter dan suster sudah melakukan tindakan. Feliz, Raymond, dan Baskara menunggu di luar dengan kecanggungan yang mengungkung mereka. Feliz tak henti-hentinya menangkupkan wajah di tangannya, sementara Baskara mengusap-usap pundaknya. Raymond hanya termenung seperti orang yang tidak mengenal mereka.

Tak lama kemudian, dokter mengabari bahwa kondisi Gasta sudah stabil meski masih belum sadar. Lagi-lagi, pembuluh darah di esofagusnya pecah sehingga menimbulkan pendarahan. Gasta sudah dipindahkan ke kamar inap.

Tak disangka, setelah si dokter berlalu, Baskara berdiri dan berpamitan.

"Aku balik dulu ya Fel. Semoga Gasta ngga apa-apa." tuturnya lembut. Feliz hanya mengangguk samar. Baskara mendekati Raymond.
"Balik dulu ya. Titip Feliz." ujarnya singkat. Raymond membalasnya dengan acungan jempol. "Hati-hati." lanjutnya.

Raymond mendekati Feliz.
"Fel... Aku..."
Feliz mengusap airmatanya.
"Gasta kamu apain?" tanyanya lirih.
Raymond menunduk dalam.
"Berhari-hari dia fine-fine aja sampe kamu dateng malam ini. Kenapa dia? Aku udah lama ngga liat Gasta kaya gitu. Aku panik, Ray. Takut." bisik Feliz diiringi linangan airmatanya. Raymond mengusap-usap pundak Feliz.

"Aku stay malam ini. Aku janji. Tapi aku butuh waktu buat ngomong ama Gasta. Jangan ketemuin aku ama Gasta dulu. Takutnya dia makin parah." pinta Raymond.
"Dia kamu apain sih? Kamu ngga inget kamu pernah punya adik cowo juga?" marah Feliz, tetap dengan nada rendah.
"Aku juga ngga nyangka akibatnya bakal kaya gini, Fel. Aku ngga tau kalo Gasta serapuh itu."
"Rapuh kamu bilang? Kamu harus tau ya, Gasta itu strong! Terlalu kuat! Berarti kalo dia seperti ini, itu kamunya yang udah bertindak keterlaluan."

Pikiran Raymond kalut. Diacak-acaknya rambutnya dengan satu tangan.
"Fine. Kamu marah, oke. Aku minta maaf. Tapi kalo jelasin semuanya sekarang, semuanya bakal kacau, Fel. Kasih aku waktu. Aku janji aku pasti jelasin. Mungkin aku udah keterlaluan sampe Gasta akhirnya kaya gini. Sekali lagi aku minta maaf tapi plis, kasih aku waktu buat aku, dan kamu, nenangin diri. Oke?" tutur Raymond panjang lebar.

Feliz berdiri. "Aku mau ke Gasta." ujarnya. "Terserah kalo kamu mau pulang gapapa. Makasih udah nganterin."
"No, Fel. Aku ga akan pulang. Aku bakal stay di sini. Sampe besok. Sampe aku siap ngejelasin semua. Oke?"
"Terserah." jawab Feliz datar, lalu melenggang pergi.

Raymond semakin kacau, tapi dia tau, Feliz bertingkah seperti ini karena panik sedang melandanya. Dia dulu pernah, bahkan sering berada di posisi ini, mengingat kondisi Gasta sekarang tidak jauh beda dari kondisi Deon dulu.

***

Gasta sudah berganti pakaian rumah sakit ketika Feliz mendapatinya terbaring. Gasta tertidur lelap. Wajahnya tidak tampak kesakitan. Perlahan, dielusnya rambut adik satu-satunya itu.

"Maafin Kakak ya Gas." tangis Feliz terurai.

Feliz tentu merasa bersalah. Jika bukan karenanya, tentu Gasta saat ini mungkin masih asyik berkutat dengan catatan sekolahnya di kamar. Dia masih penasaran dengan kejadian apa yang menimpa adiknya, yang dilakukan oleh Raymond malam itu.

Tiba-tiba Gasta menggeliat. Feliz mendekat, berharap adiknya bangun. Diusap-usapnya kening Gasta yang terasa hangat.

Gasta membuka mata. Tatapannya lemah pada Feliz, hingga Feliz harus memaksakan senyumannya. "Hai. Gimana?" Feliz mendekatkan wajahnya ke wajah Gasta.

"Kak..." panggil Gasta lirih.
"Iya sayang?"
"Gasta capek, Kak..."

Kembali, airmata Feliz mengalir dari sudut matanya. Dia kembali mengelus kepala adiknya.

"Kan sekarang Gasta lagi istirahat."
"Bukan..." suara Gasta serak. "Gasta capek gini terus... Gasta cuma bisa nyusahin Kakak..." isaknya lirih, mulai menangis.

"Gasta bosen keluar masuk rumah sakit terus. Gasta pingin kayak temen-temen Kak. Yang idupnya normal. Kalo kaya gini Gasta pingin nyerah aja..." tangan Gasta menggenggam pergelangan tangan Feliz.

Feliz tak dapat berkata-kata lagi. Dibiarkannya airmatanya luruh begitu saja, namun senyumnya tetap dipaksakan terkembang di bibirnya. Terus menerus dia membelai kepala adiknya yang kali itu dirasanya benar-benar seputus asa itu.

Ini pertama kalinya Gasta terlihat patah semangat dengan sirosisnya. Dan hal ini benar-benar menghancurkan hati Feliz.

"Gasta." panggil Feliz kemudian. "Kalo Gasta nyerah, buat apa Kakak hidup? Gasta mau ngeliat Kakak ngga punya semangat hidup? Gasta itu satu-satunya motivasi buat Kakak terus semangat jalanin hidup, buat terus berjuang. Kalo Gasta nyerah, apalagi yang bisa jadi alasan buat Kakak berjuang?"

Gasta bungkam seribu bahasa.

"Selama Kakak bilang 'semangat, Gasta pasti bisa' itu karena Kakak tau kalo Gasta emang bisa. Maka dari itu, Gasta harus terus semangat. Bangkit. Kita berjuang sama-sama. Kita bikin Mama ama Papa bangga ama kita. Gasta ga akan biarin Kakak berjuang sendirian kan?"

Gasta menatap Feliz lemas, lalu menggeleng.

"Gasta sayang ama Kakak?" tanya Feliz sekali lagi.
Anggukan kepala Gasta nampak samar.
"Iya apa?" Feliz mempertegas.
"Gasta sayang ama Kakak." jawab Gasta. "Kakak juga satu-satunya motivasi Gasta buat bertahan."

Mereka akhirnya tenggelam dalam pelukan cukup lama. Tak lupa, tangis haru juga mengiringi mereka.

"Udah. Jangan nangis. Kakak juga gak nangis deh. Nih nih." Feliz mengusap airmatanya, lalu menyeka airmata adiknya. "Besok Gasta pasti udah boleh pulang." Feliz hendak beranjak dari ranjang.

"Kak Raymond gimana?" tanya Gasta tiba-tiba. Jelas, Feliz tercekat.
"Kakak jangan marah ama Kak Raymond ya. Kasian Kak Raymond, Kak. Kakak udah bikin dia kecewa."
Feliz menatap adiknya tak percaya.
"Aku udah mau jelasin ke dia, tapi belum sempet."

Feliz menggeleng samar, seakan tak percaya. Gasta masih memihak Raymond?

"Jujur sama Kakak." Feliz membelai rambut Gasta. "Raymond berbuat apa sampe bikin kamu kolaps kaya kemarin?"

Gasta mengkerut di ranjangnya. Terdiam, seperti biasa karena kebingungan.

"Dia pasti emosi, Kak. Liat Baskara di sana. Seakan-akan Kakak boongin dia banget."
"Kamu diapain ama dia, Gasta?" potong Feliz.
"Didorong. Dikatain. Aku ngga nyangka dia bisa sekasar itu, Kak. Tapi Kakak jangan marahin dia. Dia gitu pasti karena emosi. Aku bisa ngerti." Gasta masih membela Raymond.

"Dikatain? Dikatain apa? Brengsek juga dia! Liat aja abis ini, bakal..."
"Kak, ga bahas itu dulu boleh? Plis. Gasta ngga mau semua ini jadi tambah runyam." pinta Gasta.

Airmata Feliz luruh.

Gasta, yang telah disakiti bahkan sampai harus menginap lagi di rumah sakit yang dibencinya, benar-benar terlalu lembut hatinya. Feliz tidak paham kenapa hati adiknya bisa semulia itu. Bahkan dia bilang bahwa Raymond tidak sepenuhnya salah. Kelembutan hati Gasta yang terlalu nyata atau hati Raymond yang terlalu berhasil merebut hati Gasta?

"Yang penting sekarang... aku mau Kak Raymond gak salah paham. Aku mau Kakak jelasin soal Baskara ke dia. Jangan ungkit soal dia yang nyakiti aku. Aku yakin, Kak Raymond sebenarnya ngga bermaksud gitu. Dia cuma emosi. Dia lagi kacau. Ada aku di depannya. Makanya imbasnya ke aku."

Kalimat Gasta terdengar dewasa sekali. Feliz merasa tertampar setelahnya.

Raymond di luar. Baskara memilih pulang. Sesuatu menggelitik hati Feliz.

"Kak Raymond dimana, Kak?"
"Ada. Di luar. Nungguin."
Mata Gasta berbinar. "Beneran, Kak? Baskara?"
"Baskara pulang."
"Tuh, kan!" seru Gasta. Wajahnya berubah sumringah.

"Panggil Kak Raymond sekarang, Kak. Kita selesein semuanya ini sama-sama."

Continue Reading

You'll Also Like

24.6K 589 83
Continuation of Modesto story who happens to intercourse with friends,mature,classmates,strangers and even family...
95.2K 3.6K 20
فيصل بحده وعصبيه نطق: ان ماخذيتك وربيتك ماكون ولد محمد الوجد ببرود وعناد : ان مارفضتك ماكون بنت تركي !
96K 1.3K 48
𝐈𝐭𝐬 𝐭𝐡𝐞 𝐟𝐢𝐫𝐬𝐭 𝐝𝐚𝐲 𝐛𝐚𝐜𝐤 𝐭𝐨 𝐬𝐜𝐡𝐨𝐨𝐥 , 𝐀𝐚𝐥𝐢𝐲𝐚𝐡 𝐢𝐬 𝐧𝐨𝐰 𝐢𝐧 𝟏𝟎𝐭𝐡 𝐠𝐫𝐚𝐝𝐞, 𝐰𝐡𝐢𝐥𝐞 𝐬𝐡𝐞𝐬 𝐭𝐡𝐞𝐫𝐞 𝐬𝐡...