J A G A

By arisainwonderland

1.9K 552 39

Sebuah artefak misterius mengubah kehidupan Rani dan membuatnya terlibat dalam Project Asura, proyek ilegal y... More

I - Purwa
II
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
XIX
XX
XXI
XXII
XXIII

III

126 23 0
By arisainwonderland

North Borneo [3°00'N 116°20'E]

Di sel lain tak jauh dari Subjek 61, seorang laki-laki duduk di tepi ranjang. Ia menghela napas, membuka lipatan sweater yang barusan ia ambil dari lemari kabinetnya. Sweater hitam dengan angka 88 di punggung, seperti semua pakaian yang ia punya.

Karena itulah dia, subjek nomor 88.

Laki-laki itu mengenakan sweater-nya, mengingat kejadian yang ia alami hari ini. Ia tak pernah menyangka, saat pintu arena itu terbuka dan para opsir mendorongnya masuk, ia akan berhadapan dengan seseorang yang sudah seperti saudaranya sendiri.

Mereka bertatap-tatapan selama beberapa saat, tidak yakin dengan apa yang harus mereka lakukan. Saat itu, speaker di empat penjuru arena berkeresak, dan terdengarlah suara dari sana.

"Tarung, start."

Subjek 88 tercekat. Mereka benar-benar diperintahkan untuk saling menyerang.

Di seberang arena, laki-laki berambut merah menggelengkan kepala dengan mata nanar. Ekspresinya sama dengan apa yang ada di wajah Subjek 88.

Tertatih, Subjek 88 mundur selangkah. Memanfaatkan kekuatannya yang bebas karena tak lagi mengenakan gelang besi, Subjek 88 melakukan teleport kembali ke sel nomor 88. Sel yang ia tempati.

Butuh waktu hingga para opsir menemukannya meringkuk di pojokan sel, gemetaran dari ujung kepala hingga ujung kaki. Opsir-opsir itu menghajarnya tanpa ampun, tetapi lebih baik begini daripada harus menyakiti saudaranya. Menyakiti sesama kaumnya.

Subjek 88 bergidik, teringat pada tubuh lunglai yang diseret dua opsir di depan jendelanya tadi. Tubuh penuh darah dan lebam. Apa yang telah orang-orang itu lakukan pada abangnya?

Maafkan aku, hyung, batin Subjek 88, menatap tangannya sendiri yang juga dihiasi noda kebiruan disana-sini. Aku tidak tahu apa yang bisa kita lakukan.

Pada saat yang sama, sebuah sensasi melingkupi. Seperti ledakan udara yang tak terlihat, tetapi dapat ia rasakan dengan jelas. Kedua tangan Subjek 88 jatuh, gelang besinya berdentang terbentur tepian tempat tidur.

Orang-orang itu bisa menahan kekuatannya, tetapi ia adalah bagian dari klan Tersembunyi. Bagaimanapun ia dikekang, ia tetaplah seorang Anantara. Tapal jarak normal bukanlah batas baginya. Ia dan entitas lain dari klan Tersembunyi bisa merasakan sesuatu tanpa batasan jarak.

Itulah yang ia rasakan saat ini. Sesuatu yang besar, sesuatu yang penting telah terjadi. Subjek 88 menutup mata, mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, memperjelas sensasi yang ia rasakan.

Dan ia tak bisa menahan senyuman. Seorang Pelindung telah hadir. Seorang Pelindung telah mengklaim kodratnya, dan sepertinya dia tahu siapa Pelindung itu. Ia hadir saat Pelindung ini dilahirkan, 27 tahun yang lalu. Meskipun saat itu Subjek 88 bersembunyi diantara dunia-dunia, tetapi ia dapat melihat dengan jelas kebahagiaan orang-orang disekitar bayi itu.

Dia ingat si bayi, dengan tanda lahir khas para Pelindung di bahu kanan, dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Diantara orang-orang itu, hanya satu yang menyadari kehadiran Subjek 88. Sang kakek, yang tanda lahirnya sama dengan si bayi. Orang yang selama hidup telah melindungi Subjek 88 beserta saudara-saudaranya.

Orang itu mengangkat kepala, matanya yang penuh wibawa kini dipenuhi air mata haru, memandang tepat ke Subjek 88. Dan bibirnya melengkungkan senyum.

Subjek 88 mengerjapkan mata, benaknya kembali ke masa kini. Ia melirik jam dinding yang berdetak tanpa angka, tidak sabar menunggu waktu makan malam dan mengumumkan hal ini pada saudara-saudaranya.

Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Subjek 88 dapat kembali merasakan secercah harapan di hatinya.

Jakarta [6°12'S 106°49'E]

Seminggu sejak kejadian tersengat batu tablet itu, tidurku tidak bisa tenang. Pekerjaanku memang menjadi lebih mudah, tapi malam hariku dipenuhi oleh mimpi-mimpi aneh. Mimpi-mimpi yang hanya berisi kilasan-kilasan tak beraturan. Sesekali, aku bisa melihat beberapa objek dengan jelas—kadang bola mata sehitam batu onyx yang cemerlang, atau tangan dengan jari-jari yang dialiri darah di kali lain.

Selain objek-objek, lebih sering aku melihat kelebat-kelebat warna yang kaya, seperti saat kau duduk di kereta dan memandang keluar jendela. Aku tidak bisa mengerti makna dari kelebatan itu, tetapi aku juga tidak bisa melupakannya.

Siang hari, aku mengerjakan laporan tanpa kenal lelah. Membandingkan aksara di tablet Kediri dengan aksara lain yang Jena kumpulkan dari seluruh dunia. Ditambah dengan informasi-informasi tambahan dari institusi lain yang memiliki artefak pohon di dalam hexagon. Beberapa dari mereka menyebutnya the Mystery Tree of Life.

Tetapi, sejak munculnya kemampuan anehku ini, aku juga bisa membaca aksara-aksara lain yang ada di artefak-artefak itu, meskipun gaya goresannya berbeda. Sesuai dengan dugaanku sebelumnya, aksara-aksara itu memiliki bentuk dasar yang sama.

Aku mengetik tanpa henti, menyelesaikan kalimat-kalimat terakhir dari bab kesimpulan. Sedikit lagi, aku bisa menyerahkan laporan ini pada Pak Zam. Di sebelahku, Jena juga membuka laptop, membantuku mengerjakan bagian lampiran dan daftar pustaka yang luar biasa panjangnya.

Ketika akhirnya laporan itu mulai dicetak printer kantor, barulah aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Mataku serasa membayang saking lamanya memelototi layar. Aku dan Jena baru saja menyelesaikan pekerjaan yang biasanya butuh bertahun-tahun dalam waktu tujuh hari.

"Jadi, ini alphabet, atau sillabary?" tanya Jena sambil meneguk kopi, mengecek lembar demi lembar laporan yang keluar dari printer.

"Alphabet. Aku bahkan sudah membuat tabel terjemahannya, tapi nggak ku masukkan di laporan," jawabku sambil menutup mata.

"Lah, kenapa nggak?" Jena bertanya lagi.

"Terlalu mencurigakan. Untuk hipotesa saja aku sudah gagap-gagap menulisnya. Untung artefak yang dari Mesir itu lumayan membantu, bisa dijadikan sumber."

"Benar juga sih."

Aku membuka mata, menemukan Jena yang manggut-manggut di depan gelas kopinya. Gadis itu tersenyum padaku.

"Kamu istirahat Ran,biar nanti aku suruh AsPenDa—Asisten Peneliti Muda—terimut di LPN Arkeologi yang ngejilid ini semua," ujar Jena menenangkan.

Keningku malah berkerut. "AsPenDa terimut?"

"Iya, si Cipto," Jena terkekeh.

Mau tak mau, aku ikut tertawa bersamanya.

Beberapa hari kemudian.

Pekerjaanku kembali ke rutinitasnya yang biasa. Tablet batu Kediri sudah dimasukkan ke dalam kotak dan disimpan di inventori LPN. Seperti kata Mr. Rayan Ali dari Near Eastern Archaeological Museum, ini bukan tipe temuan yang bisa dipublikasikan ke khalayak ramai, mainstream audience. Terlalu banyak misteri yang menyelimutinya, dan terlalu banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan logika. Terlalu aneh jika dibandingkan dengan sejarah-sejarah yang telah ada selama ini. Seolah artefak-artefak itu berasal dari dunia yang berbeda.

Hari ini, Pak Zam menghempaskan seonggok berkas di atas mejaku. Laporan-laporan dari hasil penelitian sebelumnya yang harus kutinjau ulang. Sepertinya itu adalah hukuman atas keterlambatanku tadi pagi, tapi aku juga tidak terlalu keberatan.

Baru saja aku membaca separuh, Pak Zam sudah menyerbu Ruang Epigrafi lagi.

"Rani!!!" seru Pak Zaman keras, tidak biasanya.

Refleks, aku bangkit berdiri dengan sigap. "Iya, saya!"

"Bos Besar mau ketemu kamu!" seru Pak Zaman lagi, kali ini dengan senyuman lebar di wajah, "sepertinya kamu akan dapat tawaran kerja!"

"Apa?" Aku menganga. "Bos Besar? Tawaran kerja?"

Aku menoleh pada Jena, dan ia tampak sama kagetnya. Lalu pandanganku kembali melompat pada Pak Zaman yang masih kegirangan.

"Laporan kamu kemarin itu! Bos Besar tertarik, dan dia bilang ada tawaran kerja untuk penelitian dengan swasta. Semacam penelitian kerjasama. Gak tau lah saya, lebih baik kamu tanyakan detailnya sendiri," Pak Zam menjelaskan, "ini kesempatan besar, Rani. Kamu kan tau ini jarang-jarang sekali."

Aku menelan ludah.

"Kenapa kamu malah diam begitu? Kamu mau jadi arca apa gimana? Sudah, ayo ikut saya, kita ketemu Bos Besar dulu. Mikirinnya nanti saja," desak Pak Zam. Saat aku melangkah ke pintu, ia berseru lagi, "hei, benerin dulu itu mukamu. Jangan ketemu Bos Besar lecek begitu. Malu-maluin saya ntar."

Aku memutar bola mata jengkel.

Bos Besar—maksudku, Bapak Mahesa Kanaka, Kepala Lembaga Penelitian Nasional Yang Terhormat, menyambut aku dan Pak Zam dengan senyuman lebar. Jas dan kemejanya licin tanpa lipatan segaris pun, cufflink dan gigi sama-sama berkilauan. Aku menunduk menatap bajuku yang seadanya dan lecek disana-sini, korban keganasan KRL. Untung tadi aku masih sempat pakai makeup tipis-tipis. Kalau tidak, Pak Mahesa pasti mengira Pak Zam menemukanku di pinggir jalan.

Setelah basa-basi sedikit, Pak Mahesa langsung ke inti pembicaraannya denganku.

"Saya sudah baca laporan perihal tablet batu Kediri itu, dan saya suka analisa kamu, Anggraini," kata Pak Mahesa dengan senyuman yang dari tadi tidak luntur.

"Terima kasih, Bo—eh, Pak." Hampir saja aku keceplosan memanggilnya dengan sebutan Bos Besar. Gara-gara Pak Zam, sih.

"Kebetulan, saya kenal institusi swasta yang juga tertarik dengan artefak itu," lanjut Pak Mahesa, "kemarin saya mengirimkan laporan kamu ke sana, dan mereka impressed. Mereka ingin menarik kamu sebagai peneliti temporer di sana."

Pak Mahesa mengambil map yang tergeletak di atas meja dan mengeluarkan kertas-kertas yang ia sodorkan padaku. Aku meraihnya, membaca informasi tentang institusi yang Pak Mahesa sebut-sebut.

"Mereka ini sebenarnya bagian Research and Development dari perusahaan tambang. Saya yakin kamu kenal perusahaannya, dan perusahaan ini memang memiliki minat tersendiri pada konservasi arkeologi."

Aku melirik nama perusahaan tambang itu. PT. Ravana Dasa. Glek. Ini mah seluruh Indonesia juga tahu. Pemiliknya adalah salah satu golongan crazy rich—kaya raya tak terbayangkan.

"Pekerjaan yang mereka tawarkan mudah saja. Kamu akan tergabung dalam suatu project. Tidak perlu menggali-gali, mereka sudah punya tim ekskavasi sendiri. Inventori mereka juga sudah banyak, tapi mereka butuh epigraf yang lebih expert—kamu," tutur Pak Mahesa, "mereka mengajukan kontrak selama satu bulan sebagai awal. Kalau kamu belum menyelesaikan translasi dari inventoris mereka sesuai waktu yang dibutuhkan, mereka akan memperpanjang kontrak. Ini kontrak eksklusif, Anggraini. Setelah selesai dengan project mereka, kamu bisa kembali bekerja disini seperti biasanya, bahkan mungkin kamu bisa naik jabatan menjadi Ahli Peneliti Muda."

Sekarang aku benar-benar menganga. Ahli Peneliti Muda? Kalau aku bekerja seperti biasa di LPN, aku baru bisa naik ke jabatan itu sekitar 3 sampai 4 tahun lagi. Tapi dengan ini, aku bisa naik jabatan dalam satu atau dua bulan?

Luar biasa.

Pak Mahesa pasti melihat ketertarikanku, karena senyumnya semakin lebar. "Kontraknya ada di lembaran paling belakang. Kamu bisa baca-baca dulu..."

Cepat-cepat aku membuka lembaran belakang. Secara otomatis, mataku memindai tulisan 'Rupiah' yang diikuti angka-angka. Dan aku kehabisan kata. Dengan gaji sebesar itu, aku bisa mencicil tiga rumah sekaligus.

"...Atau tanda tangan sekarang juga tidak apa-apa."

"Luar biasa, luar biasa." Pak Zam berkali-kali menggelengkan kepala, kagum. "PT. Ravana Dasa! Saya memang pernah dengar kalau mereka beberapa kali mendanai ekskavasi beberapa situs di Indonesia."

"Keren tenaaan Mbak Rani!" Cipto mengacungkan jempol. Jena mengangguk.

Matahari sudah lama terbenam, lampu-lampu sudah dimatikan. Aku, Pak Zam, Cipto, dan Jena baru saja selesai meninjau ulang laporan-laporan, dan kini kami berjalan bersama-sama menuju gerbang utama kompleks LPN.

Farrel, adik sepupuku, sudah berkali-kali menelepon, menginformasikan bahwa ia sudah menunggu di depan gerbang dari setengah jam yang lalu. Ia memang bertugas menjemput kalau aku sedang lembur seperti ini, sebagai ganti mobil yang ia pakai sekarang.

Sejak Farrel masuk kuliah dua tahun lalu, anak itu butuh kendaraan untuk praktek lapangan kesana-kemari. Jadi, aku meminjamkannya si Macan—mobil Panther Grand Royale keluaran tahun 2000 kesayanganku—dengan syarat ia harus rela mengantar-jemputku kalau dibutuhkan. Hari ini adalah salah satunya, karena aku malas naik kereta malam-malam, sendirian pula.

"Saya jadi kepingin belajar epigrafi, siapa tau saya direkrut PT. Ravana Dasa kayak Mbak Rani," celoteh Cipto lagi.

"Enak aja," Jena mencibir, "nanti Ruang Epigrafi jadi makin rusuh kalau ada kamu."

"Lagipula, kalau mau jadi epigraf kamu harus pinter, Cip," sela Pak Zam dengan senyuman usil, "coba saya kasih pertanyaan, kalau kamu bisa jawab, boleh lah kamu jadi Epigraf."

"Pertanyaan opo toh, Pak'e?"

Aku dan Jena saling lirik, sudah tahu apa yang akan ditanya Pak Zam.

"Kenapa Bos Besar dipanggil Bos Besar?"

Tuh kan. Aku mengatupkan bibir, berusaha untuk tidak tertawa. Ini bercandaan bapak-bapak yang paling disukai Pak Zam. Masalahnya, butuh waktu yang cukup lama untuk memproses dimana humor dari jokes itu.

Terbukti dari wajah Cipto yang kebingungan. "Ya karena beliau Ketua LPN?"

Jena berdecak, menggoyangkan jari telunjuknya. "Jawabannya, karena dia Mahesa."

"Hah?" Cipto semakin bingung.

"Bos," aku menambahkan clue, "Bos javanicus."

Barulah Cipto tertawa terbahak-bahak. Pak Zam nyengir, puas dengan jokes-nya sendiri. Nama Bos Besar adalah Mahesa, yang dalam bahasa Sansekerta/Jawa Kuno berarti kerbau. Tapi menurut Pak Zam, Pak Mahesa lebih mirip banteng daripada kerbau karena "jalannya sradak-sruduk". Sementara bos javanicus adalah nama latin dari banteng, dengan genus Bos. Jadi Pak Zaman mengartikan Bos Besar sebagai banteng besar.

Ribet kan? Itulah humor Pak Zam.

Tanpa disadari, kami sudah sampai di gerbang depan LPN. Aku melihat mobil hitam diparkir dekat trotoar, menyadari itu adalah si Macan dengan Farrel di dalamnya. Berbalik, aku pamit pada rekan-rekan dengan senyum lebar. Saat itu, aku masih belum menyadari apa yang akan terjadi padaku dan si Macan beberapa bulan yang akan datang.

North Borneo [3°00'N 116°20'E]

Dering bel mengagetkan Subjek 88. Ia melirik jam tanpa angka di dinding—sudah waktunya makan malam. Dalam satu hari, hanya ini kesempatan Subjek 88 untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya.

Pintu besi membuka perlahan. Tanpa membuang waktu, Subjek 88 melangkah keluar. Lorong lebar di depan sel sudah ramai oleh para 'tahanan' di tempat itu. Mereka orang-orang yang telah melindungi bumi bersamanya selama ratusan tahun. Saudaranya.

Kini, para pelindung bumi itu bagai binatang yang dirantai. Dunia mereka sekarang hanyalah sebatas sel, lorong lebar ini, dan area training.

Subjek 88 menoleh, mendapati seseorang sedang berdiri di dekatnya, menatap 'tahanan' lain yang sibuk bercengkrama. Senyum mengembang di bibir Subjek 88. "Hyung," ia menyapa.

Subjek 01 menoleh, mengangguk pada Subjek 88. "Aku melihat apa yang terjadi tadi. Apakah kau baik-baik saja?"

"Aku tidak apa-apa, Hyung. Hanya sedikit memar, tidak ada yang terlalu parah," jawab Subjek 88, sambil menunjukkan noda biru-ungu lebar di lengannya, "bagaimana kondisi Chan—"

Subjek 01 menggeleng cepat, mengedikkan kepala ke arah pintu ganda di ujung lorong. Subjek 88 menutup mulut, menyadari petugas-petugas yang membawa makan malam mulai memasuki lorong.

Satu orang petugas mengetikkan sesuatu di tablet pintarnya. Lantai di tengah lorong membuka, dan satu buah meja dengan sembilan bangku di sekelilingnya naik perlahan, hingga dasarnya sejajar dengan lantai.

Petugas-petugas yang lain meletakkan dua tumpuk tray alumunium di atas meja. Kemudian, mereka pun berbalik dan keluar, pintu ganda berdebam menutup secara otomatis.

Setelah memastikan para petugas sudah jauh, Subjek 88 dan teman-temannya menghampiri meja dengan tidak sabar. Subjek 04 dengan tangkas membagikan tray, dan yang lain menyambut tray makanan mereka masing-masing.

Tiba-tiba saja, Subjek 04 menghentikan aktivitasnya. Ia tampak menyadari sesuatu.

"Hei, tunggu sebentar." Subjek 04 celingukan. "Dimana Chanyeol?"

Serentak, mereka menoleh pada pintu sel 61. Pintu itu terbuka lebar, menampakkan Subjek 61, sang laki-laki api, masih tergeletak di lantai. Matanya terpejam, dan darah menetes pelan dari sudut bibirnya.

Notes
Alphabet : sebuah sistem tulisan yang terdiri dari huruf vokal dan huruf konsonan. Contohnya adalah yang kita gunakan sekarang, dimana kita bisa merangkai konsonan + vokal untuk membentuk suku kata. Misalnya b + a = ba.

Sillabary : atau aksara silabis, sistem tulisan yang setiap hurufnya melambangkan suku kata. Contohnya seperti katakana Jepang, di mana satu huruf カ melambangkan suku kata 'ka', huruf キ melambangkan suku kata 'ki'.

Hyung (형) : kakak laki-laki, diucapkan oleh laki-laki. Bahasa Korea. Nanti ada penjelasannya kenapa mereka di sini pakai nama dan panggilan Korea heheh

Anantara adalah nama lain dari Subjek 88, diambil dari bahasa Jawa Kuno yang artinya 'tidak berbatas'.

Ravana Dasa merupakan gabungan dari kata Rahwana (tokoh raja raksasa dalam ceritera Ramayana) dan dasa (sepuluh). Diambil dari nama lain Rahwana, yaitu Dasamuka (berwajah sepuluh).

Mahesa Kanaka juga diambil dari bahasa Jawa Kuno, yang artinya kerbau emas.

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 111K 39
Menjadi istri dari protagonis pria kedua? Bahkan memiliki anak dengannya? ________ Risa namanya, seorang gadis yang suka mengkhayal memasuki dunia N...
129K 12.1K 34
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...
3.6M 350K 94
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
1M 77.8K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...