Langit & Bintang [END]

By zhaviskafj12

13.5K 889 121

"Kita yang berbeda." untuk yang pertama kalinya, dia menyukai perempuan yang bisa membuat hatinya terpikat. d... More

prolog
chapter 1 : pradikta
chapter 2 : kala
chapter 3 : mulai dekat
chapter 4 : mulai ada rasa
chapter 5 : menyatakan perasaan
chapter 6 : saling mengenal
chapter 7 : keraguan
chapter 8 : menyesal
chapter 9 : baikkan
chapter 10 : seharian dengannya
chapter 11 : kerkel
chapter 12 : ruang Uks
chapter 13 : kenyataan yang pahit
chapter 15 : berusaha bangkit
chapter 16 : jalan berdua
chapter 17 : Fikri kenapa?
chapter 18 : salah menaruh harapan
chapter 19 : khawatir tentang sahabatnya
chapter 20 : kabar baik atau buruk?
chapter 21 : kado untuk Dikta
chapter 22 : haruskah berpisah?
chapter 23 : berada di titik paling rapuh
chapter 24 : harus menerima ketidakrelaan ini
chapter 25 : semesta kembali mempertemukan kita
epilog
ekstra chapter (1)
ekstra chapter (2)
ekstra chapter (3)

chapter 14 : aku menjauh

380 24 2
By zhaviskafj12

Sudah seminggu belakangan ini Dikta tidak melihat keberadaan Kala. Kalau pun ketemu itu juga tidak sengaja. Dan sikapnya itu yang membuat Dikta tidak mengerti. Ini pasti ada masalah yang pastinya Dikta tidak tahu.

"Kala," Riri menyenggol lengan Kala yang sedang sibuk membaca buku komik. "Kenapa?"

Riri memberi kode dengan berupa pandangan yang membuat Kala tidak mengerti. "Lo kenapa sih? Gak usah kode-kode deh."

"Ada Dikta didepan kelas," Kala terkejut.

Untuk apa Dikta menemui dirinya dikelas?

"Mungkin dia lagi perlu sama yang lain, bukan sama gue juga,"

Riri menghela nafas sabar. Riri tahu masalah yang Kala alami saat ini. "Mana mungkin dia mau ketemu sama yang lain kalau bukan lo, lo itu kan pacarnya ya jelas mau ketemu sama lo... kasihan tuh dia udah mau nyamperin kekelas," dalam hati Riri sangat berharap kalau Kala mau diajak kompromi. Untuk kali ini, semoga sahabatnya itu bisa memberikan kesempatan pada hubungannya.

Kala bungkam.

Bahkan ia masih sempatnya melanjutkan membaca komiknya yang sempat tertunda karena ulah Riri. Tanpa berniat untuk mau menemui Dikta yang sudah berada didepan kelasnya.

"Masuk aja Dikta," teriak Riri. Kala yang mendengarnya hanya memberikan tatapan tajam kearah Riri.

Kemudian Dikta melangkah masuk kedalam kelas Kala. Langkahnya berhenti tepat didepan Kala. Jantungnya terus berdegub begitu kencang. Sedangkan Riri sudah berada diluar kelas, seakan paham kalau mereka butuh waktu.

"Kamu lagi sibuk banget, ya?" Tanya Dikta dengan sangat hati-hati.

Kala masih fokus pada komiknya yang berhasil menutupi wajahnya dengan buku. "Kala," Dikta masih mencoba untuk mengajak ngobrol Kala.

Dikta menutup buku komik Kala kemudian tangannya memegang dagu Kala agar bisa menatap matanya. "Apa?" Jawab Kala dengan ketus.

"Akhir-akhir ini sikap kamu mulai berubah. Kamu sering menjauh dariku. Kamu lagi ada masalah? Kalau pun ada kamu bisa cerita sama aku, siapa tahu aku bisa bantu." Pandangannya mulai melemah karena ia berhasil jujur terhadap kekasihnya. Dikta bertanya seperti itu karena memang ia peduli.

"Gak ada," tatapan Kala berpaling. Sungguh, Kala takut kalau ternyata yang ia ucapkan ternyata hanya kebohongan. Maka semakin sulit untuk menerima kenyataan kalau sebenarnya Kala memang tidak pantas untuk Dikta.

"Aku tahu kalau kamu lagi gak mau jujur sama aku. Aku ada salah sama kamu yang membuatmu terluka?"

Sama sekali gak ada. Batin Kala.

Kala hanya berani menjawab didalam hati saja. "Bukan gitu, Dik."

"Temenin aku makan, yuk!" Ajak Dikta.

Ingin rasanya Kala menjawab iya, tapi ia tidak bisa seperti dulu, keadaannya sudah berubah.

"Gak,"

Dahi Dikta mengerut. "Gak apa dulu nih?"

"Gak aja pokoknya,"

"Gak mau? Gak ada waktu? Atau gak bisa nolak?" Kala terkekeh. Pertahanan dinding yang ia buat untuk tidak terlalu dekat, sekejap bangunan itu runtuh kembali.

"Gak semuanya pokoknya. Gue sibuk!" Tukas Kala.

"Sayangnya aku gak terima penolakan," Dikta menggenggam tangan Kala menuju kantin. Masa bodoh kekasihnya itu memberi tatapan tajam kearahnya. Jarang-jarang ia bisa bertemu kekasihnya yang sedang berusaha untuk menjauhi dirinya.

******

Sesampainya dikantin, Dikta menyuruh Kala untuk duduk dan menunggunya kembali setelah memesan makanan. 

"Gak laper?" Tanya Dikta yang sedang menikmati semangkuk bakso.

Kala mengedarkan pandangannya. Tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Dikta.

"Kalau gitu aku pesenin aja, ya?" Dikta beranjak dari tempat duduknya, tapi tangan Kala mencegah kepergian Dikta. "Gak usah, Dik."

"Kalau gitu aku pesanin minum aja, mau?" Kala menggeleng. "Kalau gak mau makan, gak mau minum, kamu maunya apa?"

Mau menjauh dari kamu. Batin Kala.

"Aku mau balik lagi kekelas," Kala sudah beranjak dari tempat duduknya. Buru-buru Dikta mencegahnya.

Dikta menggeleng. "Jangan! temenin aku makan dulu, ya?" Ucapnya dengan memohon.

Kala melihat jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. Sekarang sudah lewat waktu makan siang. Pantas saja Dikta mengajak dirinya untuk kekantin.

"Kamu lanjut aja makannya, aku mau balik lagi kekelas," Dikta tetap menggeleng. "Gak mau. Yaudah kalau itu mau kamu... ayo aku anterin kamu kekelas." Dikta menyingkirkan semangkuk yang berisi bakso tersebut.

Kala yang melihatnya langsung melotot. Bagaimana bisa ia melihat makanan dihadapannya itu terbuang dengan sia-sia. "Jangan buang-buang makanan, gak baik,"

Dikta sudah bisa menebaknya kalau Kala tidak akan pernah setuju dengan ucapan yang baru saja ia katakan. Secuek-cueknya Kala, pasti akan ada rasa keyakinan yang Dikta miliki. "Aku tahu kalau kamu gak akan pernah setuju sama ucapanku yang tadi," diakhir perkataannya Dikta hanya tersenyum menanggapinya.

"Kenapa harus sama aku sih?" Tanya Kala yang sambil menempelkan dagunya ke meja kantin.

Dikta yang sedang menyunyah bakso, buru-buru untuk menelannya agar bisa menjawab pertanyaan yang baru saja di ajukkan oleh Kala. "Apa aku harus mengulang perkataan aku lagi? Tanpa aku jawab harusnya kamu udah paham,"

Kala masih mencari cara agar bisa menjauh dari Dikta. Setidaknya dari cara yang ia lakukan saat ini termasuk kedalam salah satu rencananya untuk menjauh dari Dikta.

"Kamu kenapa sih diam aja?lagi sakit?" Tanya Dikta yang sudah penasaran. Ia heran dengan sikap Kala semenjak kekasihnya pulang dari rumahnya saat menjenguk Dikta yang sedang sakit.

Sebagai jawabannya Kala hanya menggeleng. "Nggak,"

"Kamu benar nih gak mau makan?enak tahu baksonya mang adi," Dikta masih membujuk Kala agar mode ngambeknya hilang. Memang sulit untuk mengembalikan mood nya itu.

"Kenapa waktu istirahat kamu gak makan?" Akhirnya Kala bertanya sedemikian rupa yang membuat Dikta senang bukan main.

"Tadi emang gak laper, tapi sekarang udah laper."

Jari-jari Kala mengetuk-ngetuk pelan meja kantin agar bisa menghilangkan rasa gugup yang luar biasa ini. "Gak usah grogi gitu,"

"Siapa yang grogi? Kamu jangan kepedean deh. Buruan makannya, aku mau balik lagi kekelas,"

Dikta berhenti mengunyah, "kamu kenapa sih? Gak kayak biasanya," selidik Dikta.

Kala berusaha untuk sabar. Kalau ia tersulut emosi bisa berantakan rencana untuk menjauhi Dikta secara perlahan. Misi yang paling menentukan hidup Kala untuk kedepannya. "Oh iya aku udah lama gak lihat kamu main biola di cafe, lagi libur, ya?"

Tuh kan! Seharusnya Kala memang tidak perlu menuruti permintaan Dikta yang meminta untuk menemani makan diwaktu yang sudah telat istirahat. Ia sudah bisa menebak kalau akhirnya Kala harus menjawab pertanyaan tersebut. Setengah mati Kala berusaha untuk menyembunyikannya.

"Aku udah berhenti bekerja, Dik."

Dikta tersedak, buru-buru Kala memberikan minuman soda yang baru saja Dikta beli saat memesan bakso tadi. "Kenapa berhenti? Gajinya kurang, ya?"

"Sama sekali gak kurang... malah itu bisa dibilang lebih dari cukup. Cuma aku mau berhenti bekerja aja."

"Kenapa kamu berhenti bekerja di cafe papiku, Kal?"

Haruskah ia jujur mengenai ucapan maminya sewaktu ia menjenguk Dikta sakit?

"Aku gak bisa kasih tahu alasannya, Dik. Memang sebaiknya pertanyaan itu gak kamu tanyakan saat ini, akan ada saatnya pertanyaan itu akan kujawab diwaktu yang tepat."

"Tapi kamu tetap main biola, kan?"

"Musik itu udah seperti temanku, Dik. Alunan terbaik yang bisa aku sampaikan disaat keadaan hatiku sekarang, mencoba untuk berbicara lewat alunan yang terus kumainkan. Mengerti atau tidaknya itu tergantung sama pendengar." Kala menengok kearah kanan dan kiri, kantin masih ada beberapa murid. Mungkin ada sebagian yang kelasnya jam kosong dan sebagian juga ada murid yang kabur diwaktu jam pelajaran sedang berlangsung.

"Teman-teman kamu pada kemana?"

"Diruang musik, habis ini aku mau kesana. Kamu mau ikut?"

Rasanya ingin menjawab iya, buru-buru rasa penasaran itu disingkirkan. "Nggak mau, disana juga ngapain palingan juga lihat kalian main musik,"

"Ya gak papalah... kamu bisa lihatin aku kalau bosen. Ya, gak?" Ucap Dikta yang sambil menaik-turunkan alisnya berniat untuk menggoda Kala.

"Itu ucapan udah basi banget, Dik. Kamu lagi mencoba untuk menghiburku.. hm?" Kala yang melipat tangannya dimeja kantin sambil memasang muka yang sedang cemberut.

"Susah banget buat menghibur kamu,"

"Yaudah kalau gitu kamu menyerah aja, gimana?"

"Menyerah gimana maksudmu?"

"Maksudku... gimana kalau kita udahan aja sama hubungan ini?"

Menurut pemikiran Dikta, Ucapan itu tidaknya seharusnya terlontar begitu saja tanpa alasan yang tepat.

Bagaimana dengan pemikiran Kala?
Memang seharusnya ucapan itu terpaksa terlontar agar hubungan ini cepat berakhir. Ia tidak bisa apa-apa, yang ia punya hanya cinta. Tapi bagi keluarga Dikta kekayaan yang lebih dari segalanya, bahkan cintanya tidak bisa disamakan dengan apa yang sekarang Dikta punya.

Haruskah ia mengalah, dan mengikuti kemauan dari maminya Dikta? Kala bingung harus melakukan apa.

******

Tolong hargai dengan cara memberikan vote dan comment sebanyak-banyaknya kalau mau cepat up ^_^

Happy reading♡

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 58.2K 26
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.8M 323K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
3.2M 159K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
1.4M 127K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...