👣👣👣
Di pagi yang cerah, embun yang menggumpal di ujung daun jatuh ke tanah satu persatu. Awan hitam tidak lagi menyelimuti langit, terlihat sinar fajar malu-malu menampakkan diri. Di saat itu, Ruwi sudah duduk bersantai di sofa sambil menonton kartun Spongebob yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta.
Mila keluar dari kamar dengan penampilan berantakan khas orang baru bangun tidur. "Ruwi, lo gak siap-siap kerja?"
"Malas." Ruwi menjawabnya dengan mata yang tetap fokus ke televisi, tak peduli dengan ekspresi Mila yang tengah terkejut dengan jawabannya.
"Anjir, robot kayak lo bisa malas juga ternyata. Biasanya, kayak orang gila kerja nyari duit terus."
Ruwi memaksa tawanya keluar. "Gue tukar shift jadi malam, soalnya nanti jam sepuluh pagi ada latihan buat pensi makrab mahasiswa barubaru," ungkapnya.
"Ouch, begituwww..." Mila melebih-lebihkan nada bicaranya.
Usai ke dapur mengambil segelas air putih, Mila mendudukkan diri di samping Ruwi. "Kata Wina, semalam lo dianterin cowok sampai depan gerbang. Siapa?"
"Teman kerja gue. Semalam 'kan hujan, dan gue lupa gak bawa payung, jadi dia nawarin buat anterin gue."
"Uwu, so sweet, kayak film-film India. Hujan-hujanan, basah-basahan, nyanyi bareng sambil cilukba di tiang lampu. Uhuyyy..." Goda Mila.
"Apaan sih, norak deh."
"Cieee... salting~"
Ruwi melempar bantal yang ada dipangkuannya tepat ke wajah Mila, hingga membuat gadis itu kesakitan di bagian hidungnya. "Ya! Neo mitcheoseo! Hidung gue tambah pesek. Ah, eoteokhae!" Seru Mila seraya mengelus hidup peseknya.
"Aishhh. Ngomong apaan sih lo! Kek orang kumur-kumur."
Mila yang tadinya cemberut setelah dilempar bantal, seketika kembali menggoda Ruwi dengan cengirannya. "Siapa namanya? Wina bilang kalau cowok itu ganteng dan pake pdh berlogo fakultas Teknik, barangkali gue kenal." Katanya sambil mengambil posisi duduk di samping Ruwi.
"Vano."
"Oh, Vano." Jeda satu detik, mata Mila terbelalak. "What! Vano?!"
Ruwi refleks menjauhkan kepala beberapa senti saat Mila berteriak kencang. "Biasa aja syoknya, kuah lo muncrat ke muka gue." Ucap Ruwi sembari mengelap pipinya.
"Ma--maksud lo, Revano anak Teknik Kimia?!"
"Lo kenal sama dia?"
"Siapa sih yang gak kenal Revano. Dia tuh masuk daftar cowok most wanted di fakultas Teknik." Mila terlihat bersemangat. "Seriusan dia teman kerja lo?!"
Ruwi mengangguk. "Dia jadi barista di kafe Vun."
"Kok bisa Vano kerja di sana?"
"Bisalah. Dia mengirim CV, wawancara, terus diterima kerja."
"Bukan itu. Maksud gue, ngapain dia kerja, dia 'kan anak orang kaya."
"Vano orang kaya?"
Ruwi terlihat berpikir. "Tapi dilihat sekilas, kayaknya Vano bukan dari keluarga kaya. Penampilan dia keliatan biasa aja."
"Jangan liat buku dari sampulnya. Ada kok orang kaya yang penampilannya b aja. Gak pake mobil mewah, barang-barang branded, intinya tuh orang kaya yang sesungguhnya gak pernah menunjukkan kekayaannya."
"Yaudahlah gak usah ngurusin hidup orang lain." Ruwi berniat menghentikan topik itu, namun sepertinya Mila masih enggan.
"Ada juga rumor yang beredar kalau bokapnya Vano adalah profesor di kampus kita."
"Masih rumor jangan langsung percaya, bisa aja itu hoax. Kalo beneran hoax, nanti lo bisa dikenai pasal 14 dan 15 KUHP karena menyebarkan informasi palsu."
"Widih, ada gunanya juga punya teman anak Hukum." Kata Mila seraya menepuk bahu Ruwi dengan keras.
Ruwi tersenyum kesakitan. "Gue juga bersyukur punya teman anak teknik kayak lo," ucapnya yang membuat Mila tersipu.
"Sekarang lo benerin antenanya deh," lanjut Ruwi seraya melirik layar TV yang sudah tidak jernih itu.
"Anjirrr... Gue tuh teknik sipil, Lo kira gue teknisi apa!"
👣👣👣
Seperti yang sudah diagendakan, pukul 10.00 Ruwi sudah tiba di Fakultas Hukum untuk mengikuti latihan drama musikal. Meskipun mendapat peran pembantu yang hanya tampil sekelebat, Ruwi tetap harus menghadiri latihan yang dijadwalkan setiap akhir pekan.
"Hai, kita satu kelas 'kan?" tanya Ruwi saat perjalanan menuju gedung fakultas Hukum. Ia merasa mengenali postur tubuh laki-laki yang berjalan tak jauh darinya.
Pria itu menengok kanan-kiri mencoba memastikan kalau dialah yang sedang diajak bicara. Sedetik kemudian, ia terkejut saat Ruwi tersenyum hangat ke arahnya.
"Iya, gak salah lagi, kita satu kelas. Oh iya, namaku Ruwi." Ruwi mengulurkan tangan, mengajak salaman.
"Chandra." Cowok itu memberitahu namanya sambil menjabat tangan Ruwi singkat.
"Chandra," ulang Ruwi disertai anggukan samar. "Kamu juga ambil peran buat inaugurasi?"
Cowok berkacamata itu dengan malu-malu menjawab. "Sebenarnya aku gak pengen ikut, tapi ketua angkatan kita memilih orang secara acak. Dan aku salah satu dari orang yang terpilih."
"Sama, aku juga gak pengen ikut tampil. Tapi Risti malah daftarin aku. Kamu kenal Risti 'kan? Dia juga sekelas dengan kita."
"Tau kok, kalian 'kan bareng terus."
Ruwi tersenyum. "Oh iya, kamu berperan jadi apa?"
"Pohon."
"Enaknya jadi pohon, daripada aku jadi penari latar. Padahal aku gak bisa nge-dance sama sekali."
Chandra mengangguk pelan. "Tapi jadi pohon harus berdiri 2 jam lebih."
"Gampang kalo itu. Saat kerja aku bahkan berdiri 3 jam nonstop." Ruwi tersenyum.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seseorang. "Hei! Lo back dancer 'kan?" Suara bass itu terdengar setelah orang itu tiba di hadapan Ruwi.
Laki-laki itu bernama Zaidan. Mahasiswa yang terkenal dengan julukan preman kampus karena penampilannya yang dingin dan garang.
Ruwi menelan salivanya susah payah. "Iya, aku back dancer," jawabnya lirih.
"Cepetan ke gedung teater. Back dancer udah mulai latihan koreografi."
Ruwi mengangguk, buru-buru ia memutus pandangannya karena tak tahan mendapat tatapan dingin dari preman kampus itu.
"Chandra aku ke aula dulu, ya." Ruwi berpamitan kepada Chandra sebelum akhirnya berlari kencang menuju gedung teater.
Chandra hendak menyusul saat melihat kepergian Ruwi. Namun, niatnya itu langsung dicegah Zaidan.
"Oi, culun. Lo bawa motor 'kan? Beliin gue kopi Starb*cks."
"Tapi... Aku disuruh latihan--"
Zaidan dengan cepat memotong ucapan Chandra yang lambat itu. "Lo cuma jadi pohon yang berdiri doang, gak perlu latihan juga udah bisa berdiri sejak umur 2 tahun 'kan?! Cepetan sana!"
Leher Chandra tiba-tiba banjir keringat. Bola matanya mengarah kesana sini, terlihat bingung. Ia terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi tak cukup berani mengungkapkannya.
"Lo gak usah takut. Nanti gue ganti duitnya. Dompet gue di ruang teater males ambilnya." Kata Zaid seolah tahu apa yang Chandra khawatirkan.
Chandra pun mengangguk pelan sebelum berbalik menuju parkiran.
👣👣👣
Setelah hampir 2 jam menjalani latihan pertama, sebagian mahasiswa baru jurusan Hukum itu mengambil waktu istirahat untuk menunaikan salat Dzuhur dan makan siang. Ruwi baru saja keluar dari mushola fakultas dan segera kembali ke gedung teater.
Ruwi langsung mendekati Chandra begitu melihat cowok itu duduk sendirian di pinggir panggung. "Hai, Chandra."
Chandra sedikit terkejut dengan kehadiran Ruwi. "Ha-hai juga."
Ruwi duduk di sebelahnya "Kamu liat Risti gak?"
"Dia lagi ngobrol sama pelatih di ruang belakang. Dia baru aja ditunjuk jadi pemeran utama atas saran dosen dari fakultas seni."
"Kok bisa?"
"Dosen itu menilai kalo akting Risti sangat bagus dan cocok dengan karakter utama, dibanding pemain sebelumnya yang masih kaku."
"Oh." Ruwi manggut-manggut. "Terus yang jadi pemeran utama cowok siapa?"
"Zaidan."
"Zaidan? Maksud lo si preman itu?" Chandra mengangguk.
"Siapa yang lo maksud preman?!" Suara bass itu lagi.
Ruwi sudah bisa menebaknya kalau itu suara Zaidan. Ia menutup matanya dalam-dalam saat tahu Zaidan menguping pembicaraannya.
"Nama lo Ruwi 'kan?" tanya Zaidan dengan nada sedikit lunak.
Ruwi sedikit terkejut dengan perubahan itu, karena sebelumnya suara Zaidan sangat tegas dan terkesan marah.
Ruwi mengangguk pelan. "Iya."
"Ini." Kata Zaidan seraya menyodorkan sebuket bunga ke arah Ruwi.
Ruwi, Chandra, dan beberapa orang yang melihatnya langsung terkejut. Seorang Zaidan yang dingin, angkuh, dan berpenampilan seperti preman dengan jaket dan celana jeans sobek-sobek itu, ternyata seorang cowok yang cukup romantis. Mereka tak percaya bahwa ia melakukan hal itu.
"Dari jasa antar kilat. Security minta tolong ke gue buat ngasih ini ke orang yang namanya Ruwi." Jelasnya sebelum ada kesalahpahaman.
Ruwi hanya menatap buket itu tanpa ada niatan untuk mengambilnya.
"Cepetan ambil, tangan gue pegal nih!" seru Zaidan.
Risti yang baru keluar dari ruang belakang langsung berjalan mendekat. "Ada apa?" Tanyanya pada Ruwi begitu sudah berdiri di sebelahnya.
"Oi, Kris. Ambil nih buket." Kata Zaidan seraya melempar buket itu kearah Risti. Beruntung, cewek itu dengan sigap menangkapnya.
"Udah jutaan kali gue bilang, jangan panggil gue Kris!" Kata Risti penuh penekanan.
Zaidan langsung berjalan menjauh tanpa mempedulikan sumpah serapah yang keluar dari mulut Risti. Beberapa orang yang tadinya memperhatikan kejadian itu langsung pura-pura tidak lihat saat Zaidan menatap mereka.
To Ruwi
"Ini buat lo, Ruwi." Kata Risti setelah membaca note yang terikat di buket itu. Ia menyerahkan buket itu, tapi Ruwi tidak mau menerimanya.
"Wait. Apa ini dari secret admirer lo?" Risti membisikkan pertanyaan itu di telinga Ruwi.
"Kemarin, orang itu juga mengirim bunga ke kafe Vun. Pengirimnya anonim," ungkap Ruwi dengan lemas.
"Bunga lagi?! Berarti ini yang ketiga?" Ruwi mengangguk. "Eih, gue kira yang dia kirim selanjutnya adalah boneka atau cincin, ternyata bunga lagi. Hadeh, apa dia gak tau barang yang disukai cewek selain bunga?" Komen Risti.
Drttt...
Ponsel yang berada dalam genggaman Ruwi tiba-tiba bergetar, menandakan ada sebuah pesan masuk. Firasat Ruwi yang tak enak langsung melihat notifikasi itu. Dan benar saja, nomor misterius itu mengirim pesan.
+62 811-xxxx-9111
Bunga itu masih kalah cantik jika bersanding denganmu.
"Huek." Risti berpura-pura ingin muntah saat mengintip isi pesan itu.
Chandra yang sedari tadi diam pun mengomentari. "Bunganya cantik." Katanya sambil menatap mereka berdua secara bergantian.
Risti memaksa seulas senyum sebelum mendekat ke telinga Ruwi dan membisikkan sesuatu. "Sejak kapan lo dekat sama tuh anak culun?"
Ruwi tersenyum sekilas menanggapi pertanyaan Risti. Kemudian, ekspresi kembali datar seraya menatap bunga Lily yang masih berada di tangan temannya itu.
.
.
.
.
.
Love,
Arama 🐾