Setelah sekian lama hehehe
Untung cuma ide yg buntu, bukan usus.
Dikit sih ini, tapi bikin greget wqwq
Enjoy, gaes!
***
Tiba-tiba Aimee terbayang wajah Gasta siang tadi.
Bulir airmata Gasta yang jatuh, raut kecewa Gasta, semua tentang Gasta siang itu. Dia kembali merutuki dirinya, kenapa dia selalu beringas dan tidak mengontrol emosi saat Gasta ada di dekatnya.
Gasta yang bolos pelajaran tambahan karena dirinya. Gasta yang airmatanya harus mengalir juga karena dirinya. Aimee kalut dalam perasaan bersalah.
Bukan kali pertama atau kedua, tapi sudah kali ke-entahlah. Aimee selalu begitu. Selalu menyesal di akhir. Selalu menangis sendiri.
Drrrk. Drrrk. Getar ponselnya menghentikan tangisnya kali itu. Aimee mengusap airmatanya, memastikan bahwa suaranya tidak seperti habis menangis. Dilihatnya di layar, nama Danes muncul.
Aimee menelan ludah. Sungguh hal yang tidak disangka-sangka.
"Halo?"
"Lo bilang apa ke Gasta?"
"Hah?" pekik Aimee tidak mengerti. Dia tidak merasa bilang aneh-aneh pada Gasta yang menyangkut Danes siang itu.
"Mee? Lo denger kan?" suara Danes terdengar kasar.
"Lo ngomong apa sih?" Aimee sungguh tidak mengerti.
"Gak usah pura-pura bego! Jawab aja ga pake lama!" bentak Danes dari seberang.
Aimee tercekat. "Bangsat. Gue beneran ga ngerti, Dan. Dia bilang apa ke lo?"
"Dia tiba-tiba ngechat nanyain gue kenapa ama lo. Kenapa? Lo lapor ke dia? Ngadu ke dia kalo lo udah ngga ama gue lagi? Bangga gitu? Biar diajak balikan ama Gasta gitu? Biar Gasta jatuh lagi ke lo, gitu?" serang Danes kasar.
Aimee runtuh, lahir dan batin.
"Bangsat lo Dan. Tuduh aja gue terus, tuduh! Drama banget sih lo! Terus mau lo apa, hah?" Aimee berlindung di balik kata-kata kasarnya.
"Eh, apa perlu gue beliin lo spion, buat ngaca? Lebih drama mana gue ama lo?" balas Danes tak mau kalah.
"Lo bilang gue ngadu ke dia kalo gue udah ngga ama lo lagi? Emang selama ini gue ama lo? Lo kenapa naif banget sih Dan? Lo pikir, gue bener-bener suka ama lo?" jurus pukulan telak Aimee keluar. Dia meniru Gasta.
Giliran Danes yang terdiam. Tak ada suara.
"Napa lo diem? Ngerasa beneran naif?" Aimee terus menyerang.
"Liat aja lo besok di sekolah. Brengsek."
Tut. Telepon terputus. Danes mematikan telepon setelah menyumpahi Aimee.
"Apaan sih setaaaan!" Aimee melempar ponselnya ke kasur. Kembali pada tangisannya, yang kini karena dua hal: Gasta dan Danes.
***
"Gas? Kok?" Feliz tercengang mendapati Gasta yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya, muncul dari tangga atas.
"Apa?"
"Kan kemaren perjanjiannya ngga sekolah dulu."
"Berubah pikiran." tukas Gasta sembari memasang jaketnya. "Sarapan apa nih?" Gasta melongok ke arah dapur, mengalihkan pembicaraan.
"Hei." Feliz mendekat, meletakkan punggung tangannya di dahi Gasta. "Masih panas. Lepas seragamnya."
"I'm okay, Kak..." sanggah Gasta. Feliz menggeleng. "No. You're not."
"Ya udah. Aku naik angkot aja ke sekolah kalo Kakak gak mau nganterin." dengus Gasta, melesat ke meja makan.
Feliz akhirnya mengalah. "Fine. Ya udah kalo kamu mau sekolah."
Gasta tersenyum dalam hati. Lemah sekali kakakku ini, begitu pikirnya. Tapi dia tetap memasang wajah datar.
Di meja makan, mereka berdua mulai sarapan. Roti isi dan orange juice.
Feliz mengamati raut Gasta yang pucat. Dia makan dengan malas, dengan wajah yang mendadak terlihat lesu.
"Gas? Are you okay?" Feliz menggenggam jemari adiknya.
Deg. Dingin sekali, sementara tadi dahinya cukup panas. Gasta hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.
"Lepas seragamnya, Gasta. Istirahat dulu di rumah." pinta Feliz dengan nada rendah.
"I'm fine." jawabnya. Mengunyah roti isinya dengan lambat.
Mereka berdua terdiam hingga Feliz sudah menghabiskan setangkup roti isi dan segelas orange juicenya, sementara roti Gasta belum ada setengah yang sudah dimakan.
"Okay that's it. No school for today." tegur Feliz, lalu berdiri.
"I'm fine, okay? Kakak kenapa sih?" seru Gasta dengan nada marah.
Feliz hanya bisa membisu, sementara Gasta menatapnya dengan tatapan tidak suka.
"Gasta ambil tas dulu." Gasta menggeser kursinya, membiarkan roti isinya tersisa separuh dan bahkan tidak menyentuh orange juicenya. Dia berjalan meninggalkan ruang makan yang juga dapur itu, sebelum tiba-tiba...
Bruk!
Gasta jatuh tersungkur di lantai.
***
Ketika membuka mata, Gasta disambut dengan denyutan kepalanya yang nyeri dan tatapan khawatir Feliz yang duduk di sampingnya.
Gasta mengharapkan kalimat pertama yang diucapkan Feliz adalah "Gas? Kamu ngga apa kan?"
Seperti di film-film.
Namun yang didengarnya malah "Gini nih, orang sekomplek loh yang ngangkat kamu kesini."
Gasta memaksa untuk tersenyum. Feliz masih menatapnya dengan khawatir namun raut sebalnya juga ada. "Maaf." ujar Gasta lirih.
Heran dengan Feliz yang sudah berganti pakaian, Gasta bertanya. "Kakak ngga ke sekolah?"
Feliz mengerling, menatap Gasta dengan alis bertaut. "Kamu serius nanya gitu?"
"Iya lah. Gasta nggak papa, Kak. Kakak masuk aja."
"Heh." Feliz menyentuh hidung Gasta. "Ngga usah sok setrong. Kakak tiup juga ambruk kamu." tukasnya, lalu menyentil hidung adiknya.
Gasta mencebik kesal.
***
Sementara itu di sekolah, Aimee duduk sendiri di ujung kelas. Ketidakhadiran Gasta hari ini jelas membuatnya berpikir bahwa ada sangkut pautnya dengan kejadian kemarin. Dia berpikir Gasta marah, lalu enggan pergi ke sekolah karena malas melihat mukanya. Padahal tidak sepenuhnya begitu.
Danes, siang itu semakin dingin pada Aimee. Tatapan jahatnya tersorot pada Aimee seperti ketika awal-awal permusuhannya dengan Gasta. Tapi dia tidak sedikitpun mengajak Aimee bicara, apalagi mendebatnya seperti di telepon kemarin.
"Lo tau ngga Gasta kenapa ngga masuk?" tanya Aimee pada Valdi. Valdi memicingkan mata. "Apa urusannya ama lo?" Ya, Valdi ini kadang-kadang agak rese.
"Nanya doang ngga boleh emangnya?" sergah Aimee. Dia mencebik dengan bola mata mengarah ke atas. "Zhar, Gasta ngga masuk kenapa ya?" Kini dia berpaling pada Azhar. "Tau deh. Biasa. Sakit kali. Kaya ngga tau Gasta aja." timpal Azhar sekenanya.
Aimee melipat tangan di bangku. Pusing. Heran dengan hatinya yang tiba-tiba panik setelah mendengar ucapan Azhar. Perasaan kemarin Gasta sehat-sehat aja. Masa iya sekarang sakit gara-gara gue bentak kemarin? pikiran Aimee mulai berlebihan.
"Tanya Miss Feliz!" cetusnya, meraih ponselnya. Lagian Miss Feliz kan mana ngerti kalo kemarin gue abis gituin Gasta, optimisnya.
Whatsapp Aimee terbuka. Dicarinya kontak Feliz, lalu diketiknya dengan perasaan penuh gemuruh di dada,
"Miss, Gasta kenapa kok ngga masuk?"
***
"Ngga beres ni anak!" cibir Feliz, sambil menyerahkan ponselnya pada Gasta. Wajah Gasta berubah masam. "Ngga usah dibales!" cetusnya.
"Lama-lama Kakak ngga paham ama bocah satu ini. Dia kenapa sih? Kurang perhatian? Dulu kamu bilang ortunya pernah bermasalah. Sekarang gimana?" nyinyir Feliz panjang lebar. "Auk dah." sesingkat itu Gasta menimpali.
"Dia lagaknya care ama kamu tapi prilakunya ke kamu kaya gitu. Gue gampar juga nih lama-lama!"
Mendengar itu, tawa Gasta lepas.
"Ayo, aku ikutan." sahutnya.
"Kayanya Kakak perlu ngomong ama dia deh. Hih. Kok jadi Kakak sih yang kesel ama dia!" Feliz berkacak pinggang. "Ya udah, besok gih ajak dia ngobrol." tukas Gasta.
***
Gasta, keesokan harinya kembali masuk sekolah, dengan hati yang was-was. Sebenarnya hatinya was-was oleh Aimee, Danes, dan manusia lain yang berpotensi mengancamnya. Namun ketika teringat kejadian kemarin - ya, kejadian pingsan di pagi hari alias kondisi tubuhnya yang sedang tidak jelas - Gasta merasa ada yang lebih perlu diwas-wasi daripada sekadar Aimee atau Danes.
Datang cukup pagi, membuatnya menjadi siswa ketiga yang datang paling awal. Sementara, siswa keempatnya adalah Danes. Kedua siswa yang datang sebelum Gasta - Fitri dan Mefi - seakan tidak peduli dengan mereka berdua.
Mata Gasta beradu dengan mata Danes yang kali itu datang setelahnya. Gasta tidak ada perasaan apa-apa, sebelum tiba-tiba Danes menghampirinya dengan alisnya yang menyatu.
"Ngapain kemaren bahas-bahas Aimee?"
Bukan nada bicara Danes saat terakhir kali dia bicara pada Gasta.
Ya, ini Danes yang dulu. Danes yang menyimpan dendam padanya. Danes yang barusan keluar dari rumah sakit karena insiden tikus.
"Gue yang harusnya tanya ke elo. Apa yang Aimee bilang ke lo tentang gue?" Gasta balik bertanya dengan nada santai.
"Lo mau pamer, kalo Aimee masih sayang ama lo?"
Jdarrrrrr. Apa-apaan ini? Masih sayang? Gasta tak mengerti.
"Apaan sih Dan?" Gasta benar-benar tak dapat mengeluarkan kalimat lain saking tidak pahamnya.
"Mau jeles-jelesin gue, lo?" Danes mulai menunjuk dada Gasta, "Lo bilang lo udah ga ada rasa ama dia kan?" lanjutnya.
Gasta semakin bingung.
"Dan, gue bener-bener ga ngerti maksud lo. Aimee kaya git..."
"Denger ya." ancam Danes lirih.
Tangannya mencengkeram kerah Gasta. Gasta melihat sekitar. Tidak ada yang peduli dengan mereka. Menolehpun tidak.
"Gue udah percaya ama elo tapi lo sendiri yang ngerusak kepercayaan gue. Lo bilang lo udah ga ada perasaan apa-apa ama Aimee tapi apa? Kayanya emang lo tertakdir brengsek Gas." Danes merepet masih dengan suara lirih.
Gasta tersenyum kecut. Kelas jadi begitu dingin. Gasta jadi bingung siapa yang drama. Aimee kah, atau Danes kah, yang pasti bukan dirinya. Tapi dia tetap setel kalem. Tidak mau dia mengalami insiden-insiden yang sudah-sudah itu lagi; ya, keluar-masuk ruang BK dengan Danes sebagai penyebabnya.
Gasta baru buka mulut. "Kalo gitu lo jelasin ke gue, Dan. Apa yang Ai...."
"Ga ada yang perlu dijelasin, setaaaaan!" amarah Danes menguar. Kontan semua yang ada di situ menoleh. Dan tanpa disangka, Aimee baru saja masuk kelas.
"Danes! Brengsek lo!" teriaknya. Dan sebuah tamparan melesat menuju pipi Danes.
Plak!