Setelah Mendung

By highpororo

62.8K 5.2K 256

Rheva bertemu dengan Rega ketika ia mulai menata kembali hatinya yang hancur karena dikhianati oleh tunangann... More

Prolog
Gadis Berkebaya Biru
Sebuah Kebetulan
Meet His Family
Pindah Rumah
Can I Call You Tonight?
Getting Closer
And Our Story Begin From Here
Being Rega's Girlfriend
First Date, But...
Menyimpan
I Love Her
Happiness
Bad Day
My Queen, Rheva Agatha Pratama
Be Gentle
Duel

Dugaan yang Menjadi Fakta

4.4K 367 12
By highpororo

"Eh, eh, kok ada Mas Rega—aduh bodohnya gue, Mas Rega kan praktik di rumah sakit ini." ucap Gisca pada dirinya sendiri saat melihat kakak iparnya sedang berjalan di lobby rumah sakit.

Dengan langkah terburu-buru, Gisca berlari mengejar Rega yang sedang berjalan menuju lift.

"Mas Rega!" panggil Gisca yang membuat Rega menoleh.

Rega menatap Gisca dengan kernyitan. "Loh, ngapain di rumah sakit?" tanyanya.

Gisca mengangkat paper bag yang ia bawa ke hadapan Rega. "Mau jenguk Rheva."

"Rheva sakit apa? Di rawat dari kapan?" tanya Rega bertubi-tubi yang membuat Gisca tersenyum usil.

"Ciee... Mas Rega kepo banget kayaknya sama Rheva. Suka ya?"

Rega tak menjawab pertanyaan Gisca, ia malah memencet tombol lift. Sementara Gisca masih penasaran dengan wajah datar Rega. Sebenarnya kakak iparnya ini naksir dengan sahabatnya atau tidak, sih?

"Mas, kok nggak jawab pertanyaan Gisca, sih?" ujarnya dengan gemas ketika mereka berada di dalam lift.

Rega menoleh pada Gisca. "Memang nggak mau jawab." sahutnya.

Melihat respon Rega, decakan dari Gisca terdengar. "Ck, susah banget tinggal jawab." gerutunya.

Ketika lift berhenti di lantai yang Rega tuju, laki-laki itu dengan santainya berjalan keluar dari lift tanpa menoleh lagi pada Gisca. Hal itu membuat Gisca memencet tombol lift untuk menahan pintu agar tidak tertutup lalu memanggil Rega.

"Mas Rega, nggak mau titip salam ke Rheva atau-nggak mau ikut Gisca dulu buat jenguk Rheva?" ucapnya.

Langkah Rega terhenti. Ia memutar tubuhnya, lalu kembali melangkah masuk ke dalam lift dengan wajah datarnya. Melihat tingkah kakak iparnya, Gisca menahan tawa gelinya sekuat mungkin. Masalahnya, selama ia mengenal Rega, laki-laki yang baru menjadi kakak iparnya dua minggu itu selalu terlihat dingin, flat, dan sedikit bicara. Bahkan Gisca tak pernah melihat Rega membawa atau mengenalkan seorang perempuan padanya. Namun ada yang berbeda dari sikap Rega ketika menghadiri resepsi pernikahannya dengan Leo yang Gisca dan Leo sadari.

Satu yang mereka tangkap yaitu tatapan Rega yang tak lepas dari Rheva malam itu.

Ketika keduanya sampai di lantai tempat kamar rawat Rheva berada, Rega tak henti-hentinya mendapat sapaan dari beberapa suster yang melihatnya. Gisca juga bisa mendengar suara bisik-bisik dari suster yang menyadari dirinya setelah menyapa Rega ketika keduanya berjalan beriringan menuju kamar Rheva.

"Terkenal juga ternyata ya, Mas Rega." celetuk Gisca.

Rega menghela napasnya kasar. "Biasa aja," sahutnya. "Nomor berapa kamarnya Rheva?" ia lalu bertanya.

"Kamar nomor 505." jawab Gisca lalu memimpin jalan di depan Rega.

Gisca membuka pintu kamar Rheva dan menyapa sahabatnya itu. Baru setelahnya, Rega ikut masuk ke dalam yang membuat Rheva cukup terkejut melihat keberadaan Rega.

"M—mas Rega?" sapa Rheva.

Rega tersenyum tipis. "Rhe," balasnya menyapa.

Sementara itu, Gisca melirik keduanya bergantian sebelum ia menjelaskan keberadaan Rega yang sedang bersama mereka sekarang.

Gisca berdeham pelan. "Mas Rega praktik di sini, Rhe. Kebetulan gue ketemu dia di lobby tadi. Terus dia nanya gue mau ngapain, ya, gue jawab aja mau jenguk elo. Eh, Mas Rega na-"

"Saya diajak Gisca buat jenguk kamu." potong Rega seraya melirik Gisca dengan datar.

Rheva hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. "Saya baru tahu kalau ternyata Mas Rega dokter dan praktik di rumah sakit ini." ucapnya.

"Kamu sakit apa?" tanya Rega, basa-basi yang lebih tepatnya ingin tahu keadaan Rheva.

"Oh, saya kena tipes, Mas." jawab Rheva.

"Udah berapa hari dirawat?" tanya Rega, lagi.

"Baru masuk semalam."

Rega berjalan menghampiri Rheva seraya menganggukan kepalanya lalu meletakkan punggung tangannya di kening gadis itu untuk mengecek suhu tubuh Rheva. "Demamnya udah turun kok ini." gumamnya.

Gisca hanya diam dan menonton keduanya yang sedang mengobrol namun lebih terlihat seperti sesi tanya jawab. Bahkan ia bisa melihat gerakan kaku Rega, ya, walaupun ketika mengecek suhu tubuh Rheva, laki-laki itu terlihat luwes.

Ini orang berdua kenapa nggak ada ekspresinya, sih? Datar-datar aja deh! Batin Gisca.

Berbeda dengan Rheva yang sebetulnya merasa canggung akan keberadaan Rega. Canggung bercampur dengan jantungnya yang berdebar tak karuan ketika punggung tangan Rega berada di keningnya.

Aduh jantung, kenapa nggak karuan gini sih detaknya? Batin Rheva.

"Nguuuuunggggg..." Gisca menirukan suara nyamuk. "Eh, denger suara nyamuk nggak sih kalian? Apa perasaan gue doang ya, di kamar sebagus ini denger suara nyamuk?" celetuknya.

Rega langsung menoleh ke arah Gisca. "Kayaknya kamu doang yang denger, Ca." ia menyahuti.

Sementara Rheva hanya menatap sahabatnya itu dengan tatapan tak habis pikirnya. Tak lama kemudian, ponsel Rega berbunyi yang membuat Rega langsung merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya. Sesaat, Rheva memperhatikan Rega yang sedikit memunggunginya ketika mengangkat telpon. Dan entah mengapa, Rega tampak lebih gagah dan tampan ketika laki-laki itu memakai jas dokter menurut Rheva.

Begitu Rega selesai dengan telponnya, Rheva kembali memalingkan pandangannya ke arah Gisca. "Lo udah makan, Ca?" tanyanya spontan.

Gisca mengernyit bingung. "Lah, gue kan udah bilang ke elo mau makan dulu sebelum jenguk lo tadi."

"Oh iya—"

"Sorry, saya potong obrolan kalian. Saya pamit dulu, ada jadwal visit sekarang." ucap Rega memotong ucapan Rheva.

"Oke Mas," sahut Gisca.

Senyuman Rega terlihat sebelum ia melangkah keluar dengan cepat dari kamar Rheva.

"Sumpah ya, Rhe, kakak ipar gue itu kenapa murah senyum ya, tiap ketemu lo?" tanya Rheva dengan heran setelah kepergian Rega.

Rheva menatap Gisca bingung. "Mana gue tahu! Tanya sendiri sama orangnya." jawabnya gemas.

Gisca memainkan rambutnya. "Lo memangnya nggak bisa lihat, cowok modelan kayak Mas Rega itu tipikal yang jarang banget senyum? Gue heran aja, itu orang sering banget senyum ke lo." ucapnya. "Feeling gue, kayaknya Mas Rega falling in love with you deh, Rhe."

Mata Rheva langsung melebar ketika mendengar ucapan sababatnya barusan. "Nggak mungkin!" bantahnya.

"Nggak ada yang nggak mungkin, Rheva." sahut Gisca dengan mantap. "Dua orang yang sama-sama batal menikah dan diselingkuhin sama pasangan masing-masing. Dua orang yang sama-sama disakitin. Kenapa kalian bisa sama gitu, ya,"

"Serius lo, Mas Rega pernah batal nikah dan diselingkuhin juga kayak gue?" tanya Rheva seraya menunjuk dirinya.

Gisca mengangguk. "Iya lah, masa gue bohong." jawabnya. "Tuh kan, lo berdua kayaknya sama-sama naksir nih. Jujur sama gue, Rhe, lo naksir—maksud gue suka kan sama Mas Rega?"

"Giscaaaa... jangan ngaco!" seru Rheva dengan nada gemasnya. "Gue nggak naksir dan Mas Rega nggak mungkin naksir gue. Dan gue yakin juga, di luar sana banyak perempuan yang lebih cantik dari gue yang naksir Mas Rega."

Sambil menatap Rheva, Gisca menggelengkan kepalanya seraya mengigit kukunya. "Ck, yaudah kalau menurut lo kayak gitu. Berarti dugaan gue aja yang salah." putusnya yang tak ingin melanjutkan perdebatan dengan Rheva.

Berbeda dengan Rheva yang hanya menghela napasnya kasar, namun di otaknya saat ini terngiang semua ucapan Gisca akan Rega.

Dua orang yang sama-sama gagal menikah dan diselingkuhi oleh pasangannya. Dua orang yang sama-sama disakiti juga. Apakah ini sebuah takdir atau hanya kebetulan saja? Batin Rheva.

***

From: Gisca

Rhe, sorry gue nggak jadi nemenin lo pulang dari rs hari ini. Ternyata hari ini gue ada jadwal pemotretan untuk film baru gue. Sorry ya bebbb, hati-hati nanti pulangnya. Kabarin gue kalau udah di rumah lo, okay?

Rheva terduduk ketika membaca pesan yang dikirimkan Gisca padanya. Hari ini, dokter sudah membolehkannya untuk pulang setelah empat hari lamanya ia dirawat. Kabar bahagia, karena akhirnya ia bisa bersantai di rumahnya walaupun masih harus beristirahat. Gisca memang sudah berjanji akan menemaninya pulang ketika Rheva memberi tahunya semalam, karena memang kedua orangtua Rheva sedang berada di Singapore, menjenguk adik pertama Rheva yang baru saja melahirkan di sana. Sementara adik Rheva yang paling kecil dan diutus untuk menemaninya, baru akan sampai di Jakarta sore nanti.

Mau tidak mau, Rheva membereskan barang-barang dan pulang ke rumahnya sendiri setelah ia menyelesaikan administrasi tadi. Rheva kemudian meletakkan ponselnya lalu mengikat rambut panjangnya dengan asal. Ia mulai membereskan barang serta beberapa roti dan kue yang dibawakan oleh teman-teman kantornya ketika menjenguknya beberapa hari lalu.

Tok tok tok

Gerakan tangan Rheva yang sedang memasukkan barang terhenti ketika ketukan di pintu kamarnya terdengar. Rheva kemudian memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang mengetuk pintunya, terlihat Rega yang memakai kemeja berwarna hitam dengan lengan yang sudah ia gulung serta celana berwarna senada, berdiri di depan kamarnya tanpa jas dokter yang sudah laki-laki itu lepas.

"Boleh masuk?" tanya Rega.

Rheva mengangguk kaku. "Masuk aja, Mas." jawabnya.

Rega melangkah masuk. "Saya dimintai tolong Gisca untuk menemani kamu pulang hari ini." jelasnya.

Sontak, Rheva terkejut dengan ucapan Rega barusan.

Benar-benar deh, Gisca. Kenapa nyuruh Mas Rega buat nemenin gue pulang, sih?! Lihat aja si Gisca ini, bisa-bisanya punya ide kayak gini.

"Hah? Gisca yang minta tolong Mas Rega buat temenin saya pulang hari ini?" Rheva memperjelas. "Saya bisa pulang sendiri kok, Mas." sambungnya menolak.

"Memangnya, kamu pulang naik apa nanti?" tanya Rega.

"Gampang, Mas. Saya bisa naik taksi kok." jawab Rheva.

Rega berdeham pelan. "Tapi kalau saya nggak mau nolak permintaan Gisca, gimana?"

Mata Rheva membelalak bingung. "Maksudnya Mas Rega, Mas nggak nolak kalau nemenin saya pulang?" ia mengulang.

Rega memasukan kedua tangannya ke saku celana. "Iya, lebih tepatnya saya antar kamu pulang. Kebetulan hari ini, jadwal praktik saya sudah selesai."

Aduh, mati gue. Berdua banget nih, gue sama Mas Rega? Ya Tuhan... sehat kan jantung hamba supaya nggak berdetak kekencengan karena berduaan sama Mas Rega. Batin Rheva degan merengek.

Mendengar ucapan Rega, membuat Rheva salah tingkah. Gadis itu malah menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Hmmm..." gumam Rheva. "Nggak ngerepotin Mas Rega memangnya?"

Senyuman di wajah Rega terlihat. "Nggak ngerepotin selama saya lagi nggak repot dan sibuk." jawabnya. "Ayo saya bantu beres-beres barangnya."

Mendadak, Rheva membatu di tempatnya berdiri saat melihat Rega yang ikut merapikan barangnya. Dengan cekatan, Rega memasukkan barang yang masih berceceran ke dalam totebag besar. Dan tak perlu waktu lama, sisa barang yang belum dibereskan sudah masuk ke dalam totebag tersebut.

"Sudah selesai semua." ucap Rega.

Rheva tersenyum tipis pada Rega. "Makasih, Mas." ucapnya.

Rega hanya mengangguk. "Kalau gitu, tugas saya sekarang adalah antar kamu pulang." ia tersenyum.

Ugh, kenapa senyum sih? Bikin pusing kepala dan jantung berdebar lebih kencang aja, nih. Keluh Rheva dalam hati.

Keduanya lalu berjalan bersisian keluar dari kamar setelah sebelumnya, Rega dan Rheva berdebat siapa yang akan membawakan tas milik Rheva. Rega bersikukuh untuk membawakannya sementara Rheva yang menolak agar ia saja yang membawa tasnya. Namun, alih-alih mendengar penolakan Rheva, Rega malah melangkah keluar tanpa mempedulikan Rheva yang membuat gadis itu mengekori langkahnya.

"Siang dok," sapa salah satu suster ketika mereka sedang menunggu lift.

Rega membalasnya. "Sore sus,"

Rheva cukup terkagum saat beberapa suster setelah di lift tadi banyak yang menyapa Rega. Ternyata, Rega seterkenal itu kah di rumah sakit ini? Membuat Rheva juga harus melempar senyum saat beberapa suster tersenyum padanya setelah menyapa Rega.

"Dok—ehm Mas Rega, maksudnya." panggil Rheva saat mereka sudah berada di mobil Rega.

"Ya?" sahut Rega seraya memakai seatbelt. "Kamu habis denger suster manggil saya ya, jadinya ikutan manggil 'dok' juga?" terdengar kekehan Rega.

"Ehm... iya," ucapnya.

Rega menoleh sesaat pada Rheva. "Kenapa Rhe?" tanyanya lalu mengemudikan mobilnya keluar dari parkiran.

"Gapapa, saya cuma nggak enak aja Mas Rega bawain tas saya. Mana banyak yang kenal Mas Rega tadi di rumah sakit." ucap Rheva dengan tidak enak.

Rega terkekeh. "Santai aja, Rhe. Masa iya saya tega biarin kamu bawa tas segede itu setelah di rawat." ucapnya. "Oh ya, rumah kamu dimana? Arahin aja ya,"

Rheva mengangguk, lalu memberi tahu alamat rumahnya. Sepanjang jalan keduanya hanya diam tak ada yang berbicara. Sesekali Rheva mengarahkan jalan pintas agar mereka tak terjebak macet. Namun sayangnya, jalan yang ia berikan ternyata macet di hari libur seperti ini.

Niat hati ingin sampai rumah lebih cepat agar tak merasa canggung dengan Rega, namun malah terjebak macet juga.

Melihat jalanan yang macet dan hanya bergerak sedikit sejak tadi, Rega menginjak rem mobilnya seraya menghela napasnya. "Rhe," panggil Rega.

Gadis itu yang sedang menatap jalanan dari jendela mobil, menoleh dan mendapati Rega sedang menatapnya. "Kenapa Mas?"

"Kalau saya ajak kamu makan siang dulu-gapapa? Macetnya lumayan. Kamu juga harus minum obat, kan?" ujar Rega.

"Eh, saya makan di rumah aja, Mas. Bibi pasti udah masak juga di rumah." tolak Rheva.

"Kalau kamu mau makan di rumah, itu artinya kamu melewatkan jam makan siang dan minum obat juga. Macetnya lumayan panjang dan hujan juga, Rhe. Saya bukannya maksa kamu untuk makan siang bareng saya, tapi saya cuma nggak mau tubuh kamu sakit lagi karena kamu baru sembuh, Rhe." ucap Rega.

Belum sempat Rheva membalas ucapan Rega, laki-laki itu sudah menyalakan lampu sein dan membelok kan stir mobilnya untuk putar balik. Diam-diam, Rheva tersenyum kecil saat mendengar ucapan Rega. Hingga setelahnya mobil Rega berhenti di parkiran salah satu restoran.

"Hujannya deras, Mas. Kita turunnya gimana?" tanya Rheva.

"Saya ada payung di bawah jok belakang, kok. Lumayan besar, cukup untuk berdua." jawab Rega seraya meraih payung tersebut. "Kamu tunggu dulu, nanti saya yang bukain pintu." sambungnya lalu turun dari mobil.

Tak lama kemudian, Rega membuka kan pintu untuknya. Rheva dengan cepat turun dari mobil dan berlindung di bawah payung yang Rega kenakan. Keduanya lalu berjalan beriringan, namun gerakan Rega yang merangkul pundak Rheva yang membuat tubuh mereka menempel agar Rheva tak terkena hujan, membuat gadis itu menatap wajah Rega seraya menyeimbangkan langkahnya dengan langkah laki-laki itu.

Alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung, mata yang sedit sipit, dan garis rahang Rega yang terlihat secara dekat membuat Rheva kagum sesaat.

Laki-laki setampan Rega, ternyata bisa juga disakiti dan dikhianati ketika banyak perempuan di luar sana yang mengaguminya. Termasuk Rheva yang entah sejak kapan mengagumi Rega. Rasanya, sudah lama ia tak pernah mengagumi laki-laki setelah ia merasakan sakitnya dikhianati.

Dan sepertinya, Rheva membenarkan dugaan Gisca jika ia menyukai Rega. Ah, sudah bukan dugaan lagi melainkan sudah menjadi fakta. Namun ada sesuatu yang masih mengganjal pada Rheva bahwa masih ada ketakutan di dalam dirinya. Ketakutan jika suatu saat ia kembali disakiti.

Continue Reading

You'll Also Like

6.3M 325K 59
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
2.2M 33.1K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
2.8M 299K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
312K 16.3K 26
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...