SHIT HAPPENS [RE-PUBLISH]

By DesyMiladiana

775K 12.1K 189

~ Keira Tan ~ Benjamin Orlando, begitu katanya setahun yang lalu. Ben adalah sahabat terbaik dari Calista, s... More

BAB 1 - When it Start
BAB 2 -- Unexpected Night
BAB 3
BAB 4
BAB 5 - Kenzo
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
EPILOG

BAB 20

6.2K 488 3
By DesyMiladiana

BEN

"Merci, Nino!" teriak Keira seraya keluar dari sebuah kafe kecil yang akhir-akhir ini menjadi langganan kami.

Perut Keira sudah terlihat membuncit dengan kehamilannya yang memasuki empat bulan. Wajahnya terlihat semakin cantik, membuatku tidak pernah bosan hanya untuk menatapnya dalam diam. "Ada yang salah dengan wajahku, Ben?" tanyanya setiap kali dia memergokiku menatapnya.

"Kau semakin cantik, baby." Setiap kali itu pula jawaban yang aku berikan padanya.

Kami berjalan menyusuri jalanan kota paris siang ini. Hari ini kebetulan kami sengaja menitipkan Kenzo kepada Reino, lalu menyuruhnya untuk mengajak Kenzo berjalan-jalan mengelilingi luar kota paris. Alasannya karena hari ini kami ingin berkencan berdua saja sebelum pernikahan kami yang akan diselenggarakan minggu depan.

"Sebenarnya ini cukup kejam menyuruh Reino mengurus Kenzo sendirian."

"Sayang, Reino akan baik-baik saja. Kenzo juga. Nikmati saja kencan kita." Aku mengedipkan sebelah mataku.

"Keira, Ben, kalian ada di sini?" sebuah suara yang sangat amat aku kenal berhasil membuatku dan Keira terpaku di tempat.

Aku tidak tahu ekspresi apa yang Keira tunjukkan ketika melihat sosok wanita itu berdiri tidak jauh di hadapan kami. Tapi yang jelas aku benar-benar tidak bisa berkutik, wajahku kaku melihatnya kembali setelah bertahun-tahun berlalu. Wajahnya masih terlihat begitu cantik, tubuh mungilnya kini sudah berisi karena kehamilan tuanya. Senyuman cantik yang terukir di wajahnya benar-benar masih berhasil memesonaku. Kenapa dia ada di sini?

*****

Di sinilah aku berakhir sejam kemudian, sekitaran kompleks menara Eiffel berdua saja bersama Calista di sampingku. Aku benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran Keira. Tiba-tiba saja dia menolak keras ajakanku untuk berjalan bertiga bersama Calista. Dia mengatakan banyak sekali alasan yang memintaku untuk berdua saja dengan Calista, apa dia gila? Jelas-jelas aku menemukan sorot ketakutan yang terlihat jelas di kedua matanya.

Dari cerita yang Calista katakan, kedatangannya ke Paris seminggu sebelum pernikahanku karena dia dan suaminya ingin melakukan babymoon. Sayangnya, Calista kesal dengan Mateo yang ternyata masih lebih menyibukkan diri dengan pekerjaannya daripada mengurusi Calista. Kemudian terjadilah acara kabur-kaburan dari hotel sendirian dalam keadaan hamil besar. Beruntungnya, Calista menemukanku dan juga Keira di tengah pelariannya.

Hanya saja hatiku tetap tidak tenang ketika Keira mendadak pergi tadi. Dia berhasil membuatku mengkhatirkannya, karena bagaimanapun Keira juga sedang hamil muda. Apalagi dia tidak mengatakan secara gamblang ke mana perginya dia bertemu kliennya tadi.

"Aku tidak menyangka kalian akan berakhir seperti ini," ungkap Calista yang berhasil memecahkan keheningan yang kami buat.

"Aku juga, Angel."

"Saat mengetahui Keira hamil Kenzo, aku benar-benar marah karena kau tidak mencari Keira dan malah kabur ke Jerman. Tapi, Kei menenangkanku. Dia mengatakan bahwa kau orang baik, bahkan kau sudah menawarkan pernikahan padanya hanya saja Kei sendiri yang memilih untuk menolakmu. Jadi, sebagai sahabat yang baik, aku hanya bisa berdoa agar kalian menemukan takdir yang terbaik."

"Bukankah Keira selalu seperti itu?" Mataku mulai menerawang jauh pada jalanan di hadapanku. "Dia lebih suka menyelesaikan masalahnya sendiri. Padahal sekarang aku adalah penopangnya yang selalu siap untuknya."

"Kau benar-benar mencintainya, Ben?" Calista tiba-tiba berhenti membuatku turut berhenti juga. Kepalaku menoleh, mendapati Calista tengah menatapku dengan sebuah senyuman yang tersunging di wajahnya.

"I love her. No, I really really love her. For me, she is my home, a place to back home. Tanpa Keira, aku mungkin masih berada di Jerman dan setia memikirkanmu, Angel."

Calista terkekeh pelan. "Aku benar-benar senang mendengarnya."

Kami melanjutkan perjalanan menelurusi sekitaran kompleks Eiffel sore ini. Kemudian, dia melanjutkan obrolannya. "Maaf ya, Ben. Karena keegoisanku, aku membuatmu hancur. Keputusanku untuk menikah malah membuatmu semakin terpuruk. Jadi, saat itu Aku hanya bisa mendoakan kebahagiaanmu untuk segera dipertemukan dengan wanita yang akan kau cintai dan akan mencintaimu setulus hati. Kau tau, meskipun aku begitu kesal pada sikap suamiku, aku sangat amat mencintainya. Seperti itulah cinta, Ben, kau tidak akan pernah bisa berhenti mencintainya walaupun dia membuatmu sangat kesal. Ternyata, Tuhan telah mengabulkan doaku, kau dan Keira akhirnya bersatu."

"Terima kasih, Angel. Aku juga bahagia melihatmu bahagia seperti ini."

"Tapi, aku benar-benar bersyukur karena pada akhirnya Keira berhasil mendapatkan pria yang begitu dia cintai. I'm happy for you guys."

Tepat ketika kami sudah hampir mencapai bawah menara Eiffel, tiba-tiba saja aku membeku di tempatku. Bagaimana bisa aku melihat pemandangan sialan ini di tempat seperti ini. Hatiku mencelos melihatnya. Tanpa sadar kakiku sudah setengah berlari menuju ke arah mereka, tanpa memedulikan Calista yang kebingungan seraya memanggil namaku berulang kali. Shit! Apa yang pria ini inginkan?

*****

KEIRA

Perasaanku benar-benar kacau sekarang. Pertemuan kembali dengan Calista, sahabatku, memang sangat membahagiakan bagiku. Lima tahun tidak bertemu dengannya dan hanya bisa berkomunikasi melalui telepon atau terkadang skype tidak akan pernah cukup untuk mengurai kerinduanku terhadapnya. Tapi, keberadaan Ben dan juga Calista di tempat bersamaan membuat perasaan takutku kembali muncul.

Pikiran buruk berhasil menguasi seluruh isi kepalaku. Bagaimana jika setelah ini Ben menyadari bahwa dia masih mencintai Calista, bukan aku? Lalu, Ben akan meninggalkanku. Bodohnya, aku malah mengatakan memiliki janji bertemu dengan klien, lalu meninggalkan mereka berdua begitu saja. Padahal aku berbohong. Hingga kakiku berjalan dengan sendirinya menuju ke bawah menara Eiffel, tempat pertama kali aku dan Ben bertemu malam itu.

Sore ini kawasan Eiffel tetap ramai dikunjungi para wisatawan, tapi tidak seramai saat malam menjelang karena suasana romantis yang tercipta. Sebuah bangku kosong berada tidak jauh dari tempatku berdiri, berhasil membawaku duduk di sana seorang diri. Kenangan-kenangan tentang kejadian dari lima tahun yang lalu hingga saat ini terus berputar di kepalaku.

Bukankah waktu benar-benar hebat? Ben bisa membuat wanita sepertiku jatuh cinta, padahal aku tahu saat itu Ben sangat mencintai Calista. Waktu juga membuatku mengandung serta memiliki Kenzo sebagai anak kami, pria kecil yang nampak seperti miniatur Ben. Tapi yang terhebat adalah waktu ternyata berhasil mengubah perasaan Ben. Dia jatuh cinta padaku, kami saling mencintai dan sebentar lagi akan segera menikah. Tanpa sadar Aku mendesah pelan sembari menatap kedua kakiku.

"Kenapa wanita cantik duduk sendirian di sini?" Sebuah suara sontak membuatku kepalaku terangkat.

Josh berdiri di depanku dengan baju santainya. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celananya. Senyum lembut khasnya tersungging manis di wajahnya yang selalu berhasil mengundang senyumku juga. "Josh."

"Hi. Ternyata jalan-jalan terakhirku di Eiffel membuat kita kembali bertemu. How's life, Kei?" Dia bergerak pelan untuk menundukkan dirinya di sampingku, tidak terlalu dekat tapi juga tidak terlalu jauh.

"Kurasa cukup baik. Kau sendiri?"

Dia meringis pelan. "Sama sekali tidak baik. Buruk. Saat menyadari aku harus menjauh dari wanita yang kucintai itu adalah yang paling menyiksaku. Kau sedang bertengkar dengan Ben?"

"Maafkan aku, Josh." Aku menoleh pada Josh. Pria itu masih menyunggingkan senyum. Kepalanya menggeleng pelan, memaklumi keputusan sepihakku.

"Tidak masalah. Bukankah waktu akan menyembuhnya luka, Kei?" Josh mengedipkan sebelah matanya. "Apakah Ben menyakitimu?"

Aku segera menggeleng tegas.

"Jadi, kenapa kau berada di sini sendirian dengan ekspresi menyedihkan?"

"Aku hanya ... sedang ketakutan. Bagaimana jika Ben tidak jadi memilihku, lalu memutuskan pergi setelah cinta masa lalunya datang kembali?"

"Keira ... dengarkan aku." Kami saling bertatapan, wajahnya menunjukkan ekspresi seriusnya. "Ben mencintaimu, sangat mencintaimu."

"Kau tidak tau, Josh. Wanita masa lalunya datang. Dia sahabat kami, wanita yang sangat dicintai Ben. Lalu, sekarang aku dengan bodohnya membiarkan Ben pergi berdua dengan sahabatnya itu."

"Percayalah padaku, Kei. Aku ini pria. Aku bisa melihat bagaimana cara Ben menatapmu." Josh meraih puncak kepalaku dengan tangan besarnya untuk diacak-acaknya dengan gemas. "Sifatmu yang selalu berfikiran buruk harusnya kau buang. Jangan selalu berfikir macam-macam, Keira."

"Sedang apa kau di sini bersama tunanganku?" Sebuah suara membuat kami berdua menoleh bersamaan.

Kedua tangan Ben terlipat di depan dada. Matanya menggelap, jelas sekali bahwa dia sedang marah. Sepertinya ini tidak baik. "Sepertinya apa yang aku katakan benar, Kei." Josh mengedipkan matanya, lalu beranjak dari duduknya. "Semoga pernikahan kalian lancar. See you later, Keira."

Josh berjalan meninggalkan kami berdua tanpa memedulikan Ben yang masih menatap punggung Josh dengan amarah. Kini, Ben balik menatapku, membuatku memilih untuk membuang muka. Aku benar-benar tidak sanggup melihatnya saat ini.

Tiba-tiba aku merasakan seseorang menarikku ke dalam dekapannya. Aroma wangi parfum khasnya tercium di hidungku, bahkan jika aku menutup mata sekalipun, aku tau bahwa Ben lah yang tengah mendekapku begitu erat. Bukan hanya aroma tubuhnya yang terasa sangat familiar, tapi juga perasaan ketika dia mendekapku seperti ini. Aku merasa aman serta nyaman, perasaan yang tidak pernah kutemukan selain pada diri Ben.

"Kenapa kau tadi pergi?" bisiknya.

"Aku tidak ingin mengganggumu dengan Calista."

"Keira katakan yang sebenarnya. Jangan bohongi dirimu lagi. Kalau kau tidak suka aku bersama Calista, bilang saja."

"Sudah aku katakan yang sebenarnya Ben, aku tidak ingin mengganggumu bersama Calista." Oh, tidak suaraku mulai bergetar.

Ben menguraikan pelukannya, kemudian membawa wajahku untuk menghadapnya. Kedua mata kami bertemu. "Kau tidak akan pernah menggangu, Kei. Katakan yang sebenarnya ada di hatimu, baby?"

Pertanyaan Ben anehnya berhasil meruntuhkan pertahananku untuk tidak menangis. Perlahan Aku mulai terisak. Ben dengan cepat langsung membawaku kembali ke dalam dekapannya. "Aku hanya ketakutan bahwa akhirnya kau masih mencintai Calista, lalu kau memilih untuk meninggalkanku."

"Astaga, Keira! Aku mencintaimu dan hanya mencintaimu saat ini. Jangan pernah ragu dengan perasaanku, Kei. Calista hanya masa lalu dan bagian dari diriku yang tidak bisa aku hapus begitu saja. Kalau kau masih tidak percaya padaku, kita bisa majukan pernikahan kita sekarang."

Aku menggeleng keras. Caranya yang mampu menjelaskan perasaanya padaku dengan sabar berhasil menghangat hatiku. Tapi tetap saja, aku tidak bisa berhenti terisak. "Tidak perlu, Ben. Seminggu tidak terlalu lama. Maafkan aku yang terlalu berfikiran buru. Aku juga mencintaimu, Benjamin. Terima kasih ... terima kasih sudah membalas cintaku."

Ben mengendurkan pelukannya, kemudian kembali menatapku. "Terima kasih juga sudah mencintaiku begitu tulus, baby."

Senyumku terukir sempurna sekarang. Perlahan kepala Ben bergerak mendekatiku untuk sekedar membungkam bibirku dengan bibirnya. Kami berciuman cukup lama setelahnya, hingga aku baru menyadari sesuatu yang janggal terjadi. Buru-buru Aku menghentikan ciuman kami, membuat Ben menatapku bingung.

"Di mana Calista? Astaga Ben, Calista sedang hamil besar," teriakku tanpa sadar.

Wajah Ben yang sempat kebingungan mendadak berubah horor. Buru-buru diraihnya ponsel dari saku celananya untuk segera menghubungi seseorang entah siapa. "Calista tidak mengangkat teleponnya."

"Coba telpon suaminya," usulku yang seketika disambut desahan panjang Ben. Aku sangat maklum, mereka berdua memang tidak pernah akur hingga sekarang. Tapi itu harus segera mereka ubah, bagaimanapun sekarang Ben sudah tidak lagi memiliki perasaan apapun pada Calista, bukan? Tanpa menunggu Ben yang masih terlihat ragu, tanganku dengan cepat merebut ponsel Ben untuk menghubungi Mateo.

"Ben, beraninya kau! Sialan! Kau itu tahu bahwa istriku sedang hamil tua, tapi kau malah pergi meninggalkannya sendirian! Untung saja aku mengikuti kalian, kalau terjadi apa-apa pada istriku tadi aku akan membunuhmu!" sebuah teriakan menggantikan dering ketiga panggilan kami. Aku berdehem pelan sembari membayangkan betapa menyeramkan wajah suami Calista ketika sedang marah besar.

"Ini, Keira," balasku akhirnya.

"Oh, Keira. Maaf, aku mengira Ben. Ada apa?" suaranya berubah menjadi lebih lembut daripada sebelumnya.

"Calista ada bersamamu?"

"Iya. Kau ingin berbicara dengannya?"

"Tentu saja." Terjadi jeda cukup panjang dan sedikit percakapan kecil yang terdengar. Mereka nampak berbicara sembari sedikit tetawa pelan, membuatku benar-benar gemas pada mereka.

"Hi, Kei," sapa Calista pada akhirnya setelah hampir semenit menunggunya.

"Kau baik-baik saja, Calista?"

Bukannya kesal, Calista malah tergelak di ujung sana. "Tentu saja aku baik-baik saja."

"Maafkan aku. Kalau bukan karena aku, Ben tidak mungkin meninggalkanmu sendirian."

"Tidak, tidak. Aku malah bersyukur Ben meninggalkanku. Jika Ben tidak pergi tadi, mungkin Mateo akan terus bersembunyi."

"Syukurlah." Aku menghela nafas lega mendengarnya.

"Kei."

"Ya?"

"Ben sangat mencintaimu. Jadi, aku rasa jangan pernah meragukan perasaannya, Keira."

"Aku tahu, Cal." Tanganku dengan sendirinya meraih tangan Ben untuk kugenggam.

"That's good! Ingatkan, apa yang pernah aku katakan padamu dulu sekali? Dia sudah kembali padamu, Kei. He's all yours."

"I know."

"Great! See you on your wedding."

"See you." Calista segera memutuskan panggilannya.

Seseorang meremas pelan tanganku yang membuatku kembali fokus kepadanya sekarang. Ben menatapku penuh minat yang kubalas dengan senyuman lebarku. "Gendong," rengekku.

"Apa?" Ben nampak terkejut, namun tidak bisa menyembunyikan kegeliannya.

"Gendong, Benjamin! Gendong aku."

Ben hanya terbahak. Priaku itu bangkit dari duduknya dan tiba-tiba saja melingkarkan tangannya pada tubuhku, kemudian mengangkatnya ke dalam gendongannya. Aku sedikit memekin saking terkejutnya. Walaupun, aku sebenarnya lebih ingin digendong di punggungnya, tapi digendong di dalam dekapannya seperti ini tidak masalah.

Perlahan Aku melingkarkan tanganku di lehernya sembari memandang puas wajah tampan Ben dari bawah. Dia mulai berjalan pelan menuju ke parkiran mobil yang tidak terlalu jauh dari sini. Tiba-tiba saja aku mulai merindukan putra kecilku. Mungkinkah dia sudah berada di apartemen bersama Reino? Astaga, Aku merindukan keluarga kecilku.

*****

Tinggal Epilog :))

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 112K 48
Ini hanyalah sepenggal kisah tentang Iris Jingga yang kembali dipertemukan dengan sahabat seumur hidupnya. Kisah yang kembali mengulik luka lama just...
1M 88.7K 32
DIHAPUS ACAK UNTUK PENERBITAN Samuel Wicaksana, seorang pengacara dengan idealisme tak tergoyahkan. Mikaela Chandrakusumah, jurnalis seksi yang jago...
17.6K 1.5K 67
Please jangan salah lapak #bxb "Mau semaksa apapun aku ngakuin kalo kamu itu pacar aku, mereka lebih percaya kalo yang jadi pacar kamu itu si Haidar...
981K 96K 58
Don't Cross the Line, sebuah idiom sakti yang menuntun Hanni tetap bertahan pada posisinya. Seorang wanita dewasa yang sejak kecil sangat terlatih da...