Hyung... selamat ulang tahun.
Hapus.
Sudah kelima kalinya. Sungjae terus-menerus mengulang hal serupa; mengetik pesan berkalimat sama, dan berakhir dihapus. Rangkaian kata yang tersusun sejak menapakkan kaki di rumah sudah tidak berbekas dalam benak, tidak ada satu pun kata yang pas. Nomor Lee Minhyuk dengan ID 'Min Hyung' masih bertengger di bagian atas sebagai kontak yang akan dikirim pesan.
Andaikan semudah menghapus pesan itu juga, perasaan Sungjae menguap. Kalau saja ucapan 'selamat ulang tahun' cukup, lalu perasaannya tidak lagi mengganjal.
Tapi tidak bisa.
Ini hampir jam sepuluh, hari ulang tahun Minhyuk memang belum akan berakhir, hanya peluang Minhyuk menggunakan ponsel di hari tugasnya yang akan cepat berakhir. Sejenak Sungjae membayangkan, seumpama memiliki tongkat sihir yang bisa membawa dirinya ke negara beriklim tropis, Indonesia, mungkin Sungjae bisa terdiam lebih lama, setidaknya dua jam cukup untuk mengulur waktu.
"Mana ada tongkat semacam itu." Sungjae menyadari kegilaannya. Kehampaan di kamar besar yang melingkup, membuat gumaman terdengar jelas, seolah Sungjae berbicara keras.
Jika Sungjae berhasil mengirim pesan kepada Minhyuk, kemudian dapat balasan 'terima kasih', terus apa? Sungjae tidak tahu apa yang harus ditulis lagi. Lebih buruk kalau Sungjae benar-benar terlambat, dan Minhyuk membalas pesannya esok hari, pukul enam sore. Itu terlalu lama, perasaannya akan semakin membesar, sisi lain tidak bisa meledak dengan mudah.
Tujuh hari lalu, Sungjae tidak dapat menulis lebih banyak pesan kepada Eunkwang, apa hari ini juga demikian? Minggu lalu, meski terlambat membalas, Eunkwang menanggapi pesan Sungjae dengan penuh emotion tertawa ceria di akhir kalimat; 'Ouu Sungjae Yook, terima kasih banyak', lantas Sungjae menahan rasa ngilu dalam hati.
Dirinya mengirim pesan terlambat, jadi wajar Eunkwang yang sedang bertugas juga terlambat membalas. Sungjae tidak kesal karena 'keterlambatan', Sungjae justru kesal kepada diri sendiri yang tetap tidak bisa menuliskan hal lain setelahnya. Tidak bisa mengungkapkan apa yang diinginkan perasaan, itu lebih sesak dibanding putus cinta.
Jadi yang Sungjae harapkan, kali ini, Minhyuk menuliskan sesuatu selain terima kasih.
Enam menit lagi, Sungjae hanya memiliki waktu sempit itu, dan tidak ada yang dilakukan.
Menit yang berganti dari jam digital ponsel membuat Sungjae kalut, tangan yang memegang benda tipis itu basah, berkeringat.
"Oey, mengapa cemberut?"
Kalimat bernada keras yang Sungjae ingat terakhir kali sebelum Minhyuk pergi, memberi jarak antara mereka, dan Sungjae tidak dapat mendekati jarak itu semudah yang dibayangkan.
Maupun, kata-kata yang seharusnya terlupa seiring waktu berlalu. Tapi sayangnya, kesan dari kata sederhana itu terlalu menguatkan Sungjae di tengah kepenatan.
"Kau lelah, ya? Istirahat saja dulu, kita akan tampil belakangan, aku akan mengatakannya pada pengurus acara."
Bukan hanya fisik, melainkan perasaannya juga lelah. Di panggung yang megah, tetap harus tersenyum lebar, di bawah lampu-lampu yang panas, harus mengeluarkan seluruh energi. Ada seberat seribu ton besi yang mengimpit dada, namun hanya karena kalimat Minhyuk yang pengertian, kalimat Minhyuk yang tidak menekan, dirinya bisa kembali bangkit, bisa menari di atas panggung dengan sisa tenaga yang mulai menipis.
Kemudian Seo Eunkwang menimpali dengan kata hangat. "Kau sudah memberikan yang terbaik. Besok syuting terakhir, 'kan? Kami akan ke lokasi syutingmu."
Dua kakak tertua itu tidak pernah mengatakan kalau Sungjae banyak mengeluh, mereka paham bahwa Sungjae hanya manusia yang terkadang ingin keluar dari banyak tuntutan. Menyukai pekerjaan, bukan berarti tidak pernah jenuh.
Sungjae ingat, dirinya yang mengejek nama 'Lee Minhyuk' pasaran, banyak orang menggunakan nama itu, bahkan dari kalangan artis. Minhyuk menekuk wajahnya, merajuk, seraya melayangkan balasan atas perkataan Sungjae.
"Aku akan ganti nama."
Wajah menekuk menjadi bersinar ketika Sungjae menyahut.
"Dibanding Minhyuk-Minhyuk yang lain, Hyung adalah Minhyuk pertama dan terakhir yang diriku kenal seumur hidup. Tidak perlu ganti nama, soalnya aku suka Minhyuk Hyung yang bersamaku."
Tinggal sedikit lagi, jam di ponsel menampilkan angka 10:00 p.m. Ibu jarinya mulai mengetik pelan.
Selamat ulang tahun, Minhyuk Hyung.
Kirim.
Hanya itu, Sungjae benar tidak memiliki kata lain. Dia pasrah.
Sungjae menengkurapkan ponselnya di atas selimut tebal, tepat di sisi. Menutup wajah menggunakan kedua tangan, ada rasa panas memenuhi sepasang matanya yang terpejam rapat.
Merasa kegelisahannya kian menjadi, ponselnya bergetar saat Sungjae beralih. Menatap punggung si abu-abu itu sebentar, kemudian mengangkatnya sampai ke hadapan.
Terbaca pesan yang sudah dibuka.
Min Hyung: Terima kasih, Sungjae-ya.
Kecewa. Sungjae memang pasrah, namun dirinya harus menelan kepahitan, merutuk diri—lagi, yang tidak bisa mengetik banyak kata dari sekadar ucapan 'selamat ulang tahun'. Sungjae merasa jaraknya dan Minhyuk semakin jauh karena ini, sama seperti yang dirasakannya kepada Eunkwang.
Namun Sungjae baru mendapati pesan kedua yang tidak disangka.
Min Hyung: Kau orang terakhir yang mengirim pesan kepadaku. Apa karena kau maknae?
"Maafkan aku...." Sungjae mendesis lirih, terpejam lagi untuk beberapa detik. Rasa panas di mata menjadi-jadi, kemudian memburam kala pesan dari Minhyuk bertambah.
Min Hyung: Atau, karena kau merindukanku?
Setitik air mengenai layar ponsel. Mengetik cepat, Sungjae tidak peduli kalau tulisannya salah karena screen yang mulai berulah akibat air. Ini kesempatannya.
Sangat. Aku merindukanmu.
Kata itu yang membuat jari Sungjae kebas, lalu dengan mudah mengetik kata rindu setelah Minhyuk menyinggungnya lebih dulu. Luar biasa.
Maaf, aku tidak bisa mengunjungimu. Aku juga menyesal, karena tidak memiliki alasan untuk mengirimimu pesan selain di hari ulang tahunmu. Terkadang aku ingin mengetahui kabarmu, tapi lagi-lagi aku tidak tahu harus memulai dari mana. Hyung, cepat kembali, jangan lupa ajak Eunkwang hyung dan Changsub hyung.
Sungjae tahu, hal mustahil adalah kembalinya tiga kakak tertua secara bersamaan dalam satu waktu. Tapi Sungjae sudah terlanjur seperti ini, sudah terlanjur menuliskan apa yang ada dalam hati, walau itu pun belum cukup mengisi kembali kehampaan yang ada.
Min Hyung: Aku akan cepat kembali, lalu kita bisa bertemu lagi. Keadaanku baik di sini, makanya kau juga harus sehat-sehat di sana. Sungjae, apa pun yang sedang kau lakukan sekarang, aku mendukungmu.
Dan selalu begitu.
Eunkwang juga begitu.
Changsub, bahkan anggota Beat yang lain.
Enam anggota tertua sering mengatakan, kalau mereka bangga kepada Sungjae. Itu mengobati sebagian sisi rapuhnya, sebab Sungjae sering kehilangan rasa bangga pada diri sendiri. Sungjae memang berada di barisan paling akhir dalam anggota Beat, namun para kakak tidak pernah menjadi yang terakhir untuk menyemangati seorang Yook, tidak pernah membiarkan semangat Sungjae padam. Mereka selalu menjadi pengisi nomor satu, mengisi kekurangan Sungjae.
Min Hyung: Tidurlah, jangan banyak menangis. Di akhir pekan, aku akan menghubungimu lebih dulu.
Tubuh yang semula di atas ranjang meluruh. Sungjae menekuk lutut, dan menyembunyikan wajah di antaranya setelah menghempaskan si abu-abu dari genggaman tangan; jatuh tak berdaya di lantai dingin.
Bahkan Minhyuk tahu kalau Sungjae menangis.
Dari situ Sungjae paham, mereka sudah terlalu dalam mengenal satu sama lain, jadi hubungan itu tidak bisa dengan mudah merenggang, meski mereka berjauhan.
.
.
.
Selesai ~
Hai-haiii, hikss, aku udah nggak bisa berkata banyak, tapi selamat ulang tahun buat abang Huta, dan Bang Eka yang terlambat. Aku hanya bisa memberi mereka sebentuk doa yang terbaik.
Sampai jumpa dua hari kemudian Melodies!
Dua hari?
Eh?