[DSS 4] Diary Syabil

By dianafebi_

221K 20.6K 1.7K

Kisah kehidupan rumah tangga Syabil Ainun Mardhiyyah menjadi istri dari seorang pria yang nyaris sempurna. Ti... More

1. Surga Tampak Lebih Dekat
2. Cemburu
3. Jangan khawatir, Hati ini Milikmu
4. Canggung Romantis
5. Setangkai Mawar Merah
7. Bukan Salah Hati
8. Angkara Hati
SEGERA TERBIT

6. Melepas Rajutan Persahabatan

31.3K 2.9K 527
By dianafebi_

"Aku bingung, kenapa ada orang lebih memilih menikmati patah hatinya daripada berdamai dengan rasa itu dan bangkit dengan rasa yang baru."

***

To: Salsa

Sal, tadi penampilanmu kereen. Sampai sekarang aku masih terkagum-kagum, kalo ada drama opera lagi, jangan lupa undang aku ya!

Sepulang dari opera, aku pergi ke rumah umi. Karena khawatir dengan keadaan Salsa, aku mencoba mengiriminya pesan positif. Aku harap dia baik-baik saja. Sebagai sesama perempuan, aku paham perasaannya hancur. Sudah menyampingkan harga diri dan mengumpulkan segala keberanian untuk menyatakan perasaanya pada Rendy, yang dia terima malah sebuah penolakkan. Dan, yang lebih menyakitkan lagi, orang yang dia suka malah menyukai sahabatnya sendiri.

Meski tidak pernah mengalaminya, aku paham bagaimana sakitnya perasaan itu.

Dulu, Salsa bukanlah gadis yang modis. Dia tergolong gadis yang tomboy, wajahnya coklat manis dengan rambut pendek di atas bahu. Jika kebanyakan gadis berusia 13 tahun sedang sibuk mengenal make up, Salsa malah sibuk berlarian di padang luas belakang kompleks bersama para anak laki-laki mengejar layangan atau panas—panasan bermain balapan sepeda di lapangan. Saat itu aku khawatir dia akan menjadi pribadi yang jauh dari kata feminin.

Sampai akhirnya kehadiran Rendy mengubah segalanya. Tetangga baruku itu menjadi motivator tak langsung mengubah Salsa si gadis tomboy berubah menjadi gadis yang modis. Ya, Rendy adalah cinta pertamanya. Setelah aku mengenalkan Rendy pada Salsa, seminggu kemudian Salsa mendatangiku malam-malam memintaku untuk mengajarinya merawat diri. Sebenarnya aku juga bukan gadis yang suka dengan segala hal tentang make up, hanya saja aku tahu untuk merawat diri agar terlihat bersih, tidak kucel.

Pertama yang ajarkan kepada Salsa adalah mencuci muka dengan sabun khusus muka, keramas tiga hari sekali, memakai sunblock jika keluar rumah, menyisir rambut dengan rapi, mengoles wajah dengan bedak tabur dan membumbui lipbalm pada bibir, lalu yang paling penting adalah berpakaian selayaknya perempuan. Saat itu aku menawarinya untuk memakai hijab, dia bilang tidak mau karena gerah. Aku paham dan aku tidak memaksa. Jadi aku memberinya saran untuk memakai rok-rok panjang.

Tidak kusangka, keahliannya merias diri melebihiku. Dalam kurun waktu dua bulan, aku tidak melihat sisi ketomboyannya lagi, dia benar-benar menjelma menjadi gadis yang cantik, seantero sekolah mulai membicarakannya, banyak siswa laki-laki yang mengiriminya surat dan cokelat, pokoknya saat itu Salsa menjadi idola baru di sekolah. Meskipun sudah berubah dan memiliki sisi tenar sendiri, yang diharapkan Salsa hanya satu, Rendy melihatnya bukan sekadar teman biasa, tapi lebih.

Sebelum aku memergoki dia menyimpan foto Rendy tempo hari, aku sudah mengetahui perasaan istimewa Salsa pada Rendy sejak dulu, sejak di bangku SMP.

Dan kini.... Perasaannya pasti ambyar. Usahanya sia-sia.

Pada intinya memang jika kita mengubah diri karena seseorang, kita hanya melakukan hal sia-sia, namun jika kita mengubah diri karena Allah, insyaallah semua akan diberikan kepada kita, termasuk pun orang yang diam-diam kita suka.

From : Salsa

Ok.

Aku mengembuskan napas panjang, sepertinya dia marah kepadaku. Biasanya dia tidak secuek ini membalas pesanku.

To : Salsa

Besok kita belanja bareng yuk! Aku mau kasih kejutan buat Mas Adam nih. Mau ya? Kita berdua aja hehe

Sepuluh menit, dua puluh menit, dia belum membalas pesanku padahal sudah centang biru sejak dua menit setelah pesan terkirim. Aku jadi merasa bersalah, aku benar-benar tidak mau melepas rajutan persahabatan yang sudah kita rajut bertahun-tahun hanya karena sebuah perasaan. Rasanya aku pengin nangis, rasanya aku pengin cerita ke Mas Adam, tapi aku nggak mau jika nantinya Mas Adam salah paham sama Rendy.

Aku benar-benar berada di posisi yang tidak mengenakan. Napas saja rasanya berat, dada seolah penuh.

From: Salsa

Sori, nggak bisa, aku ada latihan drama.

Astaghfirullah, rasanya aku benar-benar pengin nangis, Salsa mungkin sengaja menghindariku. Aku meletakkan ponsel setelah membalas pesannya, aku membanting diri di tempat tidur, menatap langit-langit sembari menarik napas panjang dan mengembuskan pelan.

Pikiranku semerawut, aku benar-benar takut persahabatan kita berakhir.

"Hey?"

Aku bangkit dari posisi tidurku saat Mas Adam masuk kamar. "Iya, Mas?"

"Umi nunggu di bawah, makan malamnya udah siap katanya."

"Oke." Aku beranjak dari tempat tidur, menyusul Mas Adam di pintu dan kami berjalan bersama menuju ruang makan.

Seberat apapun masalah yang aku hadapi, orang-orang terdekatku yang menyayangiku berhak melihat senyumku, sebisa mungkin aku menutupi masalah ini. Aku tidak mau membuat mereka khawatir.

***

"Tungguin, Mas!" Aku berlari sekuat tenaga mengejar Mas Adam. Dia sudah jauh di depan mendahuluiku. Pagi ini sehabis subuh kami lari pagi. Sudah menjadi rutinitas kami menyempatkan lari pagi di jalanan kompleks jika aku dan Mas Adam punya jadwal kuliah siang.

Napasku sudah ngos-ngosan mengikuti langkah lari Mas Adam yang lumayan cepat. Kakiku pegel, pengen berhenti. Tapi, sayangnya kami sedang adu berlari, siapa yang ketinggalan masakin sarapan buat hari ini. Aku pengen gitu sekali-kali dimasakin Mas Adam, tapi apalah daya, aku kalah jauh.

"Mas, kakiku pegel. Aku nyerah deh..." teriakku, tapi dia tidak menggubris. Orang itu kalau udah iya ya iya, kalo nggak ya nggak, kalo udah lomba ya harus menang, nggak peduli apa yang menghambatnya.

Jalanan masih sepi, bahkan sinar mentari baru mengintip setengahnya. Udaranya lumayan dingin, sebab itu aku merangkap kaos panjangku dengan jaket jumper milik Mas Adam. Mas Adam sendiri hanya memakai kaos oblong berwarna hitam dan bertraining putih. Tidak hanya kami yang lari pagi, tapi ada beberapa orang kompleks yang sedang melakukan aktivitas yang sama dengan kami.

"Aw!" lututku terjatuh ke aspal, aku merintih kesakitan. Ternyata dia masih peduli sama istrinya, dia berlari ke arahku.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan wajah khawatir sembari mendekatiku. Tidak lama kemudian dia jongkok, dan momen inilah kesempatanku untuk mengalahkannya. Setelah dia benar-benar jongkok, aku segera bangkit dan berlari.

"Yang ketinggalan, masak sarapan!" teriakku sambil berlari kencang. Aku sempat menoleh ke arah Mas Adam, dia tersenyum malu karena baru saja tercurangi. Dia bangkit dan berlari kembali.

"Bwek!" aku berlari mundur menghadap ke arahnya, sambil menjulurkan lidah mengejeknya.

Mas Adam hanya tersenyum sembari menatapku. Mahasiswa yang berani ngerjain dosen killernya, siapa lagi kalo bukan aku? Haha, aku tertawa puas dalam hati. Tiba-tiba...

GUBRAK!

Karena berlari mundur, aku nggak tahu kalo ada lubang di depan, alhasil kakiku terkilir dan bokongku mendarat keras ke aspal. Spontan aku teriak kesakitan, sumpah, rasanya kakiku kayak patah.

Tebak apa reaksi Mas Adam? Dia hanya berjalan melewatiku sambil tersenyum miring.

Aku merengek sambil menahan kesakitan dengan sesekali meringis karena tak tahan. "Mas Adam! Aku jatuh beneran! Kakiku sakit!" teriakku. Tapi, dia tetap berlari meninggalkanku.

"Mas Adam!! Jahat!!" teriakku lagi. Tapi, tetap saja dia tidak menggubris. Memang benar apa kata Ayah, kepercayaan itu seperti kaca. Sekali retak, meskipun sudah diperbaiki tak akan sama lagi. Sekali kita ketahuan bohong, kita akan sulit untuk dipercaya lagi.

Terpaksa aku berusaha bangkit sendiri, beberapa kali bokongku menghantam aspal karena kakiku yang tidak kuat menahan tumpuan. Mulutku mendumel, suami macam apa yang meninggalkan istrinya kesakitan di jalan demi sebuah sarapan? Meskipun aku menang, memang sudah kewajibanku untuk melayaninya, kan.

"Makanya jangan suka drama." Suara bass itu muncul berbarengan dengan satu sentilan di dahiku, "mana yang sakit?"

Aku menyembik sambil menatapnya kesal, "Kaki yang kanan..." tunjukku.

Mas Adam melepas sepatu dan membuka kaos kakiku, "Ck." Dia berdecak, "keseleo ini. Kebanyakan gaya sih," omelnya.

Bibirku semakin menyembik, kan pengen nangis rasanya, udah jatuh diomeli lagi. "Sakit..." rengekku manja.

"Di mana-mana keseleo ya sakit, nggak usah bilang pun saya udah tahu," jawabnya.

Astaghfirullahaladziim.... suami macam apa dia? Nggak ada dimanja-manjanya sedikit pun. Bilang, 'Sayang, pasti sakit ya?' udah ngurangin rasa sakit kok. Ini malah terus diomelin.

Akhirnya, pulangnya Mas Adam menggendongku. Aku memeluk lehernya dari belakang sembari membawa dua sepatuku. Kami berjalan menyusuri jalan pulang dengan sesekali mengobrol.

"Mas, tetangga baru di samping rumah kita itu loh keliatan judes, ya?"

"Ngajakin suami ghibah?" cibirnya.

Aku langsung mengerucutkan bibir, kesal. Tapi, ada benarnya juga sih.

"Terus aja ghibah, enak rasanya makan daging saudaranya sendiri?"lanjutnya.

"Iya, iya, maaf. Habisnya tetangga masa gitu?"

"Hm, diterusin, kan, ghibahnya," tegurnya yang otomatis membungkam mulutku secara tidak langsung. Aku menjatuhkan dagu di pundaknya, menatap bulir-bulir keringat mengalir di pipinya. Demi Allah, kalo melihat wajahnya, jantungku berdebar. Pria setampan ini adalah suamiku.

Meskipun bicaranya kadang pedas, tapi entah kenapa sehari saja tidak mendengar suaranya, rindu seakan menghimpit dada. Pernah sekali karena dia jadi dosen tamu di kampus lain, seharian dia tidak menghubungiku. Aku seperti kepiting kepanasan karena khawatir kepadanya. Ternyata ponselnya lowbat dan lupa membawa charger dan powerbank. Sepulangnya dia kerumah, setelah melihatnya baik-baik saja aku menangis karena takut ada apa-apa. Sejak itu Mas Adam membeli tiga powerbank sekaligus dan tidak pernah lupa untuk membawanya. Lucu, meskipun secara langsung aku jarang dimanja sama dia, tapi diam-diam dia selalu perhatian.

"Apa pun ekspresi orang terhadapmu, judeskah, jahatkah, tetap huznudzanlah. Karena kita tidak pernah tahu alasannya dia seperti itu, mungkin saja dia sedang dalam masalah," tuturnya.

Aku tersenyum, "Iya, insyaallah, Mas." Sembari mempererat pelukannya.

"Ngomong-ngomong, kamu semakin berat, ya?"

"Masa sih? Perasaan kemarin timbanganku 45 kg. Malah turun dua kilo."

"Kayaknya ini kebanyakan ghibah, jadinya berat."

"Iiih, Mas Adam.." dia tertawa puas menggodaku.

Jika bersama dengannya, masalah yang menggelayut dalam kepala seolah lenyap. Memang benar apa yang dikatakan sebuah hadits bahwa ketika kamu melihat dia (jodohmu) jiwamu akan merasa tenang. Aku berharap ini juga sebagai tanda dari Allah kalau Mas Adam adalah jodoh dunia akhiratku.

"Kamu kenapa?" pertanyaan Mas Adam membuyarkan lamunanku.

"Kenapa apanya?" tanyaku balik karena tidak paham dengan pertanyaannya yang tiba-tiba seperti itu.

"Kemarin di rumah umi kamu tidak seperti biasanya. Ada masalah?"

Aku terhenyak sebentar, ternyata di balik sikap cueknya yang terlihat tidak peka itu, Mas Adam bisa membaca apa yang aku pikirkan. Padahal kemarin sepulang dari opera, aku berusaha maksimal untuk menyembunyikan pikiranku tentang Rendy dan Salsa, tapi tetap saja ketahuan olehnya.

"Nggak ada sih, cuma lagi capek aja, Mas."

"Udah coba testpeck? Kali aja kamu lagi hamil."

Kontan aku menarik wajahku yang bersandar di bahunya, benar-benar nih dosen kalau tanya suka blak-blakan. "Nggak kok, nggak lagi hamil, kan minggu lalu baru selesai dapet. Emang Mas Adam pengin Syabil cepet hamil, ya?"

"Kalau sekarang, nggak sih, saya mau kamu wisuda dulu. Tapi, kalau Allah emang kasih sekarang ya Alhamdulillah."

Aku kembali meletakkan daguku di bahunya, tidak merespon perkataannya. Komitmen kita sebelum menikah memang punya anak kalau aku sudah wisuda dulu. Bukannya apa, hanya saja takut kita terutama aku tidak maksimal merawatnya, apalagi kalau hamil muda identik dengan morningsickness, ditambah lagi kepikiran tugas akhir, bisa-bisa akunya stress dan berdampak buruk pada janin yang aku kandung. Aku ingin maksimal merawatnya dari mulai awal mengandung sampai dia besar nanti, fokusku hanya untuk dia.

Tapi kalau memang Allah memberi amanah sekarang, pilihan satu-satunya adalah aku menunda wisuda, ujung-ujungnya malah stress karena kuliah tidak selesai-selesai, balik lagi takut berdampak buruk pada janin yang kukandung.

"Mas?"

"Hm?"

"Mas Adam pernah nggak punya sahabat yang suka sama temen Mas Adam, tapi temen Mas Adam malah sukanya ke Mas Adam?"

Bukannya menjawab, Mas Adam malah menghentikan langkahnya. Dia menurunkan aku dari gendong kemudian berbalik badan dan menatapku dalam-dalam. Jelas aku langsung mengerutkan kening, heran.

"Rendy suka sama kamu, ya?"

Kontan mataku terbeliak kaget, bagaimana dia tahu?

•••

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 10.9K 23
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
1.2M 56.7K 67
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
1.7M 24.3K 41
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
2.7M 287K 49
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...