[DSS 4] Diary Syabil

By dianafebi_

221K 20.6K 1.7K

Kisah kehidupan rumah tangga Syabil Ainun Mardhiyyah menjadi istri dari seorang pria yang nyaris sempurna. Ti... More

1. Surga Tampak Lebih Dekat
2. Cemburu
4. Canggung Romantis
5. Setangkai Mawar Merah
6. Melepas Rajutan Persahabatan
7. Bukan Salah Hati
8. Angkara Hati
SEGERA TERBIT

3. Jangan khawatir, Hati ini Milikmu

25K 2.8K 237
By dianafebi_

"Hindari prasangka buruk, sesungguhnya hal itu akan membuat hatimu tercekik, harimu suram dan hubunganmu berantakan."

•••

Apa yang paling aku takutkan menjadi seorang istri dari pria yang nyaris sempurna? Yakni sebuah kecemburuan. Sebenarnya aku tak ingin menjadi egois, tetapi hati kecilku selalu menolak untuk menerima bahwa priaku tak hanya aku yang ingin memiliki seutuhnya, bukan hanya aku satu-satunya wanita yang menginginkannya.

Aku pernah baca sebuah novel tentang seorang wanita yang mau membagi suaminya demi hanya karena dia tidak ingin suaminya kesepian karena tak kunjung memiliki keturunan. Setiap kata yang kubaca seperti menohok hatiku yang paling dalam. Dia yang dicinta, dia yang diperjuangkan dalam diam, bahkan dia yang teramat disayang harus direlakan untuk wanita lain. Bagaimana bisa sosok Naira dalam novel Dear Allah sekuat dan setegar itu saat dirinya mengatakan ikhlas di madu agar suaminya bahagia?

Aku tidak habis pikir, apakah masih ada sosok seperti itu di akhir zaman ini? Ketika di zaman sekarang seorang istri malah mempertontonkan kemelud rumah tangganya di khalayak umum, karena ingin memperlihatkan suaminya direbut wanita lain. Istilah surga dari suami seakan jauh darinya. Namun, dari tokoh Naira aku memahami bahwa surga itu begitu dekat, sedekat kalimat ikhlas dan taat.

Jika misal aku ditanya, apakah aku mampu rela membagi suami untuk wanita lain? Mungkin jawabannya jelas tidak. Karena bagaimanapun wanita adalah pencemburu ulung. Seikhlas-ikhlasnya wanita mau dimadu, masih ada setitik rasa cemburu kala melihat orang yang dicintainya bersama dengan wanita lain.

Contohnya Ibunda Sarah Radhiallahuanhu, beliau memang mengikhlaskan Nabi Ibrahim untuk menikahi budaknya, agar ajaran Rahmatan Lil alamin bisa bersambung melalui keturunan langsung dari Nabi Ibrahim. Namun, lamban laun Ibunda Sarah merasa cemburu dan kecemburuan itu beliau utarakan langsung kepada Nabi Ibrahim, hingga akhirnya Nabi Ibrahim memutuskan membawa pergi Ibunda Hajar beserta Ismail kecil ke Makkah.

Bahkan Ali bin Abi Thalib berkata, "Wanita mampu menyembunyikan rasa cinta selama 40 tahun, namun wanita tidak mampu memendam rasa cemburu walau sedetik."

Aku telah menemukan imam terbaik bahkan yang nyaris sempurna. Memiliki wajah tampan, mapan dan beriman. Namun, apa yang dimiliki oleh imamku semakin membuatku takut, takut jika suatu saat nanti aku harus berbagi itu semua dengan wanita lain.

"Bil, Are you okay?"

Aku yang semula melihat hamparan bunga teratai di atas kolam kampus itu mendongak setelah mendengar suara Salsa. Aku mencetak senyum berusaha menutupi kemelud hatiku yang sebenarnya.

"Aku tadi liat kamu lari sambil nangis." Salsa duduk di sebelah kananku, sama-sama memeluk lutut seperti yang aku lakukan sedari tadi, "Aku pengin ngejar kamu, tapi nggak dibolehin sama Rendy. I know you not okay, I know you, Syabil. Can you tell me? Whats going on?" lanjutnya.

Aku tidak mungkin, kan, menceritakan insiden tadi? Sama saja aku membuka aib suamiku sendiri. Demi Allah, hal itu sangat dicela. Namun, bagaimana aku harus memberitau Salsa bahwa memang benar hatiku sedang tidak baik?

"Apa ini tentang Pak Adam?"tebak Salsa karena aku tak kunjung buka suara.

Aku kembali tak bisa menjawab, mataku berkelana memperhatikan ikan-ikan koi berenang di bawah bunga teratai yang mahkotanya sedang kuncup. Mungkin dengan diam, Salsa akan paham bahwa apa yang dia tebak adalah hal yang benar.

"Alright, its okay kamu nggak bisa cerita. Aku paham sahabatku ini memang istri sholehah, kok," katanya sambil menyenggol lengan kananku yang kubalas dengan senyuman. "Tapi ya, Bil, ada masalah yang memang harus diceritakan untuk bisa menemukan jalan keluar. Setiap orang yang mendapat masalah itu perlu dukungan. Diam memang pilihan, tapi terkadang itu bukan pilihan terbaik. Ada juga setelah mengeluarkan segala uneg-uneg, perasaan jadi lebih plong, daripada di simpen terus yang ada bikin hati makin nyesek."

"Kuserahkan jalan keluarnya kepada Allah, Sal. Aku udah mengeluarkan uneg-unegku kepada-Nya, pemilik semesta. Alhamdulillah, sekarang aku ngerasa lebih baik kok. Dan, ... terima kasih atas perhatianmu. Aku tahu kamu sahabatku yang baik."

Salsa merangkul pundakku sembari memeluk, "If you need me, just tell me, okay?" Dan kubalas dengan anggukan kepala.

"Oh ya, aku ada ide." Salsa melepas pelukannya, "karena kamu nggak mau cerita dan aku tahu kamu sedang butuh hiburan, jadi mau nggak ikut aku latihan drama? Di sana asyik, kok, rame. Gimana?"

Aku tidak langsung menjawab, masih mempertimbangkan.

"Ayolah, aku ajak Rendy juga kok, di sana kamu pasti ngerasa terhibur, aku jamin deh."

"Tapi, aku belum izin sama Mas Adam."

"Helooow, tempatnya masih di area kampus. Please deh, yuk!"

Benar juga sih, aku pun mengangguk memberi jawaban kepada Salsa. Lagian, mikirin judul penelitian yang ditolak mulu, aku butuh refreshing mencari inspirasi buat judul baru.

"Yes! Gitu dong ah dari tadi, "Salsa berdiri, "Ren, dia mau yuk!" Aku mengikuti arah pandang Salsa yang ternyata sedari tadi berdiri Rendy di bawah pohon tak jauh dari kolam.

Aku menyusul Salsa berdiri, kemudian kami berjalan bersama mendekati Rendy. Rendy dengan topi baseball nya itu bersandar di pohon dengan dua tangannya yang di masukkan ke kantong celana. Setibanya aku dan Salsa di depan Rendy, dia menyodoriku dua permen lollipop.

"Makasih." Aku memang butuh sesuatu yang manis-manis, Rendy selalu tau itu. Akhirnya kami berjalan bersama ke arah gedung aula, tempat Salsa akan berlatih drama.

Mereka sahabatku, aku bisa saja cerita segala hal kerisauan tentang pernikahanku. Namun, di samping aku tak ingin menceritakan hal pribadi, aku juga tak ingin menjadi beban bagi mereka. Karena aku tahu, bukan hanya aku yang sedang punya masalah. Dan mungkin, masalah mereka jauh lebih berat dari masalahku.

Hanya Allah-lah satu-satunya tempat curhatku, tempat mengaduku, tempat segala curahan yang terkadang tak mungkin tak mampu kuucap melalui lisan dan hanya bisa terwakili oleh air mata.

•••

Ternyata benar apa kata Salsa, aula begitu ramai. Kupikir latihan drama itu hanya sebatas bertukar dialog dan latihan adegan biasa. Tapi, lebih dari itu. Di sana propertinya begitu lengkap, layaknya drama sungguhan. Kalau dilihat dari properti yang digunakan, aku bisa menebak mereka mengangkat drama kolosal, tentang kerajaan-kerajaan. Dan saat Salsa muncul, dugaanku benar, dia memakai kain selendang sebagai aksesorisnya.

Aku dan Rendy duduk di kursi lipat bersama dengan mahasiswa lain yang ikut menonton latihan drama. Awalnya aku menikmati suasana yang tercipta, namun lamban laun perasaan terdalamku tak bisa dibohongi. Kelibatan bayangan Mas Adam menyentuh bahu Bu Endah dan memberi tatapan perhatian membuat hatiku mencelos, rasanya aku tidak bisa menahan bulir-bulir air mata meski sudah kucoba.

Di tengah keramaian ini, aku merasa sepi.

"Ingat nggak, Bil, dulu kamu suka sama sinema kolosal Angling Dharma? Yang kalo berantem cuma pake satu tangan?" cetus Rendy tiba-tiba, aku buru-buru mengusap air mata yang sempat mengalir kemudian menoleh kearahnya.

"Kamu masih ingat ya? Hahaha, iya."

"Masihlah, kamu sampai menulis cerita pendek tentang Angling Dharma. Dulu, Angling Dharma versimu gimana, Bil?"

Aku memutar bola mata untuk mengingat, iya memang benar aku pernah membuat cerpen untuk tugas sekolah, saat yang lain membuat cerpen tentang dongeng fabel, aku malah membuat cerpen tentang Angling Dharma, "Lupa lupa ingat sih, tapi yang jelas aneh, Angling Dharma meninggal karena jatuh dari burung garudanya. Hahaha, absurd."

Rendy menyemburkan tawa, entah apa yang terjadi tapi menurutku Rendy sedang mencoba menghiburku.

"Kamu nggak mau lanjutin gitu?"

"Apannya? Cerpen Angling Dharma?"

Rendy terkekeh, "Bukaaan, maksudku ngelanjutin hobi menulismu. Kalo aku lihat nih ya, dari kecil kamu udah punya bakat. Coba lebih diasah, mungkin suatu saat nanti kamu jadi penulis novel terkenal."

"Sebenarnya mau sih, tiap kali baca novel imajinasiku liar gitu. Kepengin buat tapi nggak tau cara mulainya." Aku nyengir, karena jujur menulis apa yang terlintas dibenak itu tidak mudah, butuh belajar yang mungkin memakan waktu yang tidak sebentar.

"Mulai aja dulu, pertama bikin konsepnya. Kerangkanya, terus alurnya, perkara diksi sih kamu bisa belajar dari novel-novel yang pernah kamu baca. Menurut teori, orang yang terbiasa membaca otomatis mereka itu menyimpan banyak kata-kata baru di otaknya."

Aku pernah mencoba tapi serius itu tidak mudah. Bagaimana cara merangkai kata untuk bisa jadi kalimat yang bagus, pernah aku mencoba membuat tapi saat kubaca ulang, jadi aneh. Nggak bisa nge-klik gitu.

"Semua butuh proses, aku yakin kamu ragu tentang itu. Penulis terkenal pun juga punya masa-masa gagal, punya masa-masa up and down, lalu kenapa mereka bisa jadi sukses? Karena mereka menghargai proses. Gagal, bangkit lagi, gagal lagi, bangkit lagi. Ya emang nggak mudah, namanya juga mimpi kan untuk mewujudkan nggak bisa secara instan."

Rendy benar, sudah lama aku tidak mendengar kalimat panjang berisi motivasi darinya. Terakhir dulu ketika aku gagal masuk kedokteran, Rendy memberiku motivasi bahwa kesuksesan itu bukan berarti kamu punya gelar, punya pangkat dan jabatan, tapi lebih kepada kamu bisa bermanfaat bagi banyak orang. Dan jalannya bukan cuma jadi dokter tapi banyak alternatif lain. Karena hal itu lah, aku mendaftar menjadi mahasiswa keperawatan.

"Aku punya temen, dia penulis novel. Cewek. Kalo kamu punya niat buat kembali nulis lagi, aku mau kenalin dia ke kamu. Kamu bisa belajar banyak dari dia."

"Serius, Ren?" Nada bicaraku terdengar antusias.

Rendy mengangkat dua alisnya secara singkat secara bersamaan dengan sebaris senyum kecil.

"Mau, mau, kenalin dong!"

"Oke, entar aku kabari lagi, ya."

"Siap, Ndan!" kataku sembari mengangkat tangan kanan, hormat.

Entah kenapa, aku merasa lebih baik dari sebelumnya. Benar apa yang pernah aku baca dalam sebuah buku, bahwasanya sahabat adalah obat paling mujarab saat hati dikecewakan oleh cinta. Aku beruntung punya Rendy dan Salsa dalam hidupku. Alhamdulillah, tak pernah berhenti bersyukur kepada Allah yang memberiku nikmat punya sahabat baik seperti mereka.

Setelah Salsa selesai latihan drama, kami memutuskan makan di warteg dekat kampus. Tidak ada kesedihan lagi, yang ada hanya tawa, aku senang, aku bahagia bersama dengan mereka. Setelah acara makan, aku dan Salsa pergi ke kost-an Salsa, sedangkan Rendy pamit latihan band.

Kost-an Salsa si mahasiswa Sastra ini terlihat aneh saat mataku tidak menemukan satu pun karya-karya maestro penulis legendaris. Biasanya sih, anak sastra itu setidaknya punya satu atau dua novel dari penulis sekelas Buya Hamka atau Pramoedya Ananta Toer. Yang aku temukan malah jejeran DVD Drama yang menumpuk di meja belajarnya.

Sambil menunggu Salsa membuat minuman, aku menjelajah meja belajarnya. Dia memang pecinta film banget, ada beberapa naskah drama di rak bukunya. Aku memungut satu, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh. Sebuah foto.

"Bil!" Salsa buru-buru meletakkan minuman di meja kemudian merebut foto yang hendak kuambil.

"Nggak usah ditutupin deh, aku tahu itu siapa."

Salsa mendengus kesal, dia menyimpan foto itu di lorong lacinya. "Jangan bilang sama dia,"katanya dengan ekspresi wajah malu.

Aku mengerutkan kening sebentar kemudian terkekeh, "Iya, iya, aku paham." Aku berdiri menghampirinya. "Mau cerita sesuatu?"

Salsa menatapku ragu, tak lama dia mengembuskan napas panjang sembari berjalan ke arah kasur dan membanting tubuhnya di sana.

"Salah ya, Bil, kalo misal sahabat suka sama sahabatnya sendiri? Atau salah ya sahabat nikah sama sahabatnya sendiri?"

"Nggak ada yang salah, Sal. Fitrahnya semua manusia merasakan cinta. Hanya saja kadang ada hati yang tidak siap untuk memulai."

Aku menyusulnya merebahkan tubuh di kasur, kami berdua kompak menatap langit-langit kamar.

"Sejak kapan?"

"Udah lama."

"Dia tahu perasaanmu sebenarnya?"

"Pernah ngode, tapi dia nggak peka. Kadang aku lelah, Bil, dengan perasaan ini. Kenapa juga aku harus jatuh cinta sama sahabat sendiri ? Dia care dikit aja, aku baper, padahal dia biasa aja."

"Rendy itu memang cuek, dia tipe cowok tsundere gitu. Dingin-dingin perhatian. Tapi aku yakin kalo sebenarnya dia peka, hanya saja mungkin dia masih belum yakin sama perasaannya sendiri. Ya, memang persahabatan lawan jenis itu risiko jatuh cintanya besar, apalagi kalian bersama udah dari kecil."

Aku kembali mendengar Salsa mengembuskan napas panjang. Sulit memang jika berada di posisi Salsa yang mencintai sahabatnya sendiri. Memang terkadang persahabatan retak hanya karena sebuah perasaan. Karena pada dasarnya hadirnya cinta tidak bisa ditolak oleh hati. Menurutku lebih baik mereka mencintai diam-diam agar persahaban tetap terjaga, jikalau jodoh itu sudah Allah yang ngatur.

"Terus aku musti gimana, Bil?"

"Sebagai perempuan hanya ada dua cara saat hatinya memendam cinta, pertama cara Sayidatina Khadijah yang mengungkapkan perasaan melalui perantara atau cara Sayidatina Fatimah yang menyimpan cinta diam-diam sampai waktu sakral pernikahan. Kamu bisa milih antara dua cara itu."

Salsa menoleh ke arahku, otomatis aku juga membalas tatapannya. Dia memang tidak mengeluarkan sepatah kata pun, namun kiranya aku paham dia memilih cara yang mana.

•••

"Assalamualaikum?"

Sekitar ba'da magrib, aku baru pulang. Setelah mendiskusikan sesuatu yang panjang dengan Salsa, aku ketiduran dan bangun-bangun sudah adzan Magrib. Banyak pesan yang masuk ke ponsel, panggilan tak terjawab juga memenuhi notifikasi.

Aku masuk ke rumah dengan dada berdebar, selain karena masih kepikiran soal insiden di kampus tadi siang. Juga, masalah pesan dari Mas Adam yang tidak aku balas.

"Walaikumussalam," jawaban salam terdengar dari balik pintu kamar.

Aku memutar arah, tidak jadi langsung ke kamar. Tapi melipir ke dapur. Sebenarnya aku juga bingung, ngapain juga menghindar? Kan, juga salah Mas Adam. Coba kalo nggak gara-gara insiden itu, aku nggak mungkin terlambat pulang gini.

Aku mengambil gelas, kemudian menuang air putih. Setidaknya, aku membasahi kerongkonganku yang kering dulu sebelum aksi demo diamku.

"Dari mana?"

"Uhuk!" Saking terkejutnya, aku sampai kesedak. Air minumku tercecer di lantai, sambil batuk-batuk, aku meletakkan gelas di meja.

Aku melihat Mas Adam mengambil tissu, kemudian disodorkan tissu itu kearahku. Mengesampingkan gengsi, aku meraih tissu itu untuk membersihkan sisa air di mulut.

"Kost-an Salsa," jawabku seraya membuang tissu ke tong sampah, kemudian berjalan menghindar lagi dari Mas Adam.

Aksi menghindari dihentikan saat tangan besarnya mencengkeram lengan kiriku, otomatis aku berbalik arah lagi dan menghadapnya. Aku melihat sorot teduh Mas Adam berubah menjadi tajam, alis tebalnya bertaut nyaris menjadi satu. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Sedikit merasa takut.

"Kamu marah sama saya?"

Aku menelan air saliva sejenak, kemudian menggeleng, cuek. Kontradiksi dengan raut wajahku yang mungkin kentara banget kalo aku sedang merajuk.

"Aku capek, mau mandi." Aku melepas cengkeram tangan Mas Adam, namun Mas Adam kembali mengeratkan tangannya.

"Soal Bu Endah?"

"Ngomong apa sih, Mas? Aku baik-baik aja kok, aku itu tadi ketiduran di kost-an Salsa. Nggak tahu kalo Mas Adam telpon. Napa malah nyasar ke Bu Endah?" ucapku dengan mengalihkan pandangan menghindari kontak mata dengan Mas Adam.

Mas Adam tidak merespon, tetapi tetap tangannya mencengkeram tanganku. Karena penasaran, aku meliriknya sebentar dan terkejut karena dia hanya diam menatapku secara intens.

"Kamu cemburu?"

Aku tidak menjawab pertanyaannya, namun aku sadar, rasanya hatiku sudah tidak terkontrol untuk tetap tenang dan menahan air mata yang siap tumpah.

"Apa yang kamu cemburukan dari dia? Sudah saya bilang, kan, tidak ada wanita di hati saya kecuali kamu."

"Aku nggak cemburu sama Bu Endah, aku cuma kesel Mas Adam seolah nggak ngejaga perasaanku, Mas Adam udah tahu hubunganku dengan Bu Endah kayak gimana. Iya, aku tahu profesionalisme kerja, tapi Mas Adam harusnya ingat ada hati yang harus Mas Adam jaga."

"Kejadian tadi cuma refleks, Syabil. Saya hanya sigap."

"Iya, iya, akunya aja yang egois. Akunya aja yang terlalu cinta sama Mas Adam sampai-sampai nggak mau liat Mas Adam dekat sama wanita lain, apalagi sampai bersentuhan kayak tadi, meski itu pun nggak sengaja. Maaf, harusnya aku yang minta maaf karena bersikap egois dan kekanak-kanakan. Tapi, senggaknya... hiks... Mas Adam memahami perasaanku yang baperan." Tangisku pecah, uneg-unegku tersampaikan.

Aku melihat Mas Adam tersenyum, kemudian perlahan dia menarik tanganku untuk jatuh dalam pelukannya. "Kamu boleh kok, cemburu. Karena saya tahu, wanita tidak bisa menahan rasa cemburu walau sedetik. Tapi ingat, pencemburu ulung di semesta ini hanyalah Allah semata. Jadi, cemburulah sewajarnya," tutur Mas Adam.

"Maaf ya karena saya tidak bisa lebih menjaga sikap saya, saya tidak bisa menjaga perasaanmu. Saya minta maaf," lanjutnya.

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku menangis tersedu di dada bidangnya.

"Terima kasih sudah mencintaiku sebegitu dalam, maaf karena saya belum bisa menepati janji untuk tidak membuatmu menangis."

"Aku... aku...hanya takut ... hiks... kehilangan Mas Adam,"ucapku ditengah tangis.

"Saya hanya titipan Allah, begitu pula kamu juga titipan Allah. Tapi, untuk perkara hati, kamu tidak usah khawatir, hati saya ini milik kamu,"katanya sembari mengangakat wajahku untuk menatapnya, perlahan dia menghapus air mata di pipi kemudian mengecup lembut keningku.

Aku sadar aku egois, aku merasa bersalah karena membuatnya merasa terkengkang. Aku hanya terlalu cinta, apakah salah jika sikapku ini adalah refleksi dari rasa takutku kehilangannya?

"Aku janji aku tidak akan cemburu lagi. Karena aku paham, rasa cemburu ini tidak ada bandingannya dengan kecemburuan-Nya Allah kepada hamba-Nya. Maaf, karena aku tidak bisa menahannya."

Sorot mata Mas Adam kembali teduh, dia tersenyum sembari mengangguk. "Jangan khawatir ya, hati saya ini milikmu. Insyaallah sampai nanti jadi milikmu, sampai maut sendiri yang memisahkan."

Aku mengangguk kemudian menghambur memeluknya. Dia pun membalas memelukku dengan erat. Hari ini aku belajar tentang sebuah prasangka. Patutnya memang aku tidak perlu bersikap lebay seperti tadi siang, berprasangka buruk terhadap suamiku sendiri.

Allah, maafkan hamba yang belum bisa menjadi istri yang baik untuknya.

***

Oh ya, visual Pak Adam dibenakku adalah Nicholas Saputra 🤣
Kalo kalian?

Jazzakumullah ya Khair

Continue Reading

You'll Also Like

506K 53.2K 46
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
1.7M 81.6K 54
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1M 4.3K 15
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
533K 36.1K 32
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...