[DSS 4] Diary Syabil

By dianafebi_

221K 20.6K 1.7K

Kisah kehidupan rumah tangga Syabil Ainun Mardhiyyah menjadi istri dari seorang pria yang nyaris sempurna. Ti... More

1. Surga Tampak Lebih Dekat
3. Jangan khawatir, Hati ini Milikmu
4. Canggung Romantis
5. Setangkai Mawar Merah
6. Melepas Rajutan Persahabatan
7. Bukan Salah Hati
8. Angkara Hati
SEGERA TERBIT

2. Cemburu

26.9K 3.1K 183
By dianafebi_

"Jangan dengarkan omongan orang, kita hidup itu untuk diri kita sendiri, bukan untuk menjadi objek penilaian orang lain."

🌺🌺🌺

"Hahaha!" Aku tertawa terbahak-bahak saat melihat adegan sinetron di televisi. Dari tadi tak ada habisnya aku menyemburkan tawa karena melihat adegan sinetron tersebut.

Adegan tersebut sangat menggelikan. Bagaimana tidak, si tokoh jahat mematikan saluran infus dan si tokoh baik yang jadi pasien itu langsung kejang-kejang lalu meninggal. Geli sekaligus miris, ini benar-benar pembodohan publik.

Orang awam akan berpikir bahwa infus yang macet akan menyebabkan kematian pasien, padahal itu sama sekali tidak benar. Infus yang berupa cairan itu untuk menyalurkan obat yang diberikan langsung ke pembuluh darah, jika dilihat tadi di sinetron infus yang dipakai adalah cairan RL atau disebut Ringer Laktat dalam bahasa awam adalah cairan elektrolit.

Sama sekali tidak ada hubungannya dengan jantung. Kenapa tiba-tiba monitor vitalnya menujukkan garis lurus dan bunyi tut yang panjang?

"Ehem!"

Suara deheman Mas Adam menghentikan tawaku, aku yang semula sandaran di sofa itu langsung berdiri tegak menoleh ke arahnya.

"Jangan ketawa terlalu keras, nggak baik," tegurnya.

"Habisnya sinetron ini ngawur, masa infus di-stop pasien langsung meninggal? Kan, lucu, Mas."

Mas Adam berjalan mendekat kemudian duduk di samping kananku, harum aroma tubuhnya yang baru mandi itu merasuk ke rongga hidung membuatku langsung bergelayut padanya.

"Nggak lucu, yang ada itu miris. Daripada ketawa harusnya didoain semoga sutradara dan penulis skenarionya dapat hidayah buat memperbaiki adegan di sinetronnya."

Yah, si killer ini kalo di rumah berubah menjadi malaikat. Omongannya adem, sorot matanya teduh, bicaranya kalem. Tidak seperti di kampus, dia seperti orang lain. Perkataannya sering nyakitin meski hal tersebut menyangkut sesuatu yang positif. Tapi aku tetep nggak suka, aku suka dia yang seperti ini.

"Dibilangin malah ngeliatin, iya saya tahu saya ganteng."

"Cih, pede bener," cibirku tidak tahan dengan kepercayaandirinya yang overload. Tapi, memang dia ganteng, sih.

"Gimana proposal penelitiannya?"

"Jangan tanya deh!" Aku melepas tanganku dari lengannya, mengempaskan setengah badan di sanggahan sofa.

"Udah semester lima loh, Sayang. Bentar lagi kamu sibuk di lapangan. Nanti nggak sempet nyusun keburu tenggat, emangnya mau mengajukan proposalnya tahun depan?"

Aku melirik Mas Adam dengan kerucutan bibir sepanjang lima centi, "Ya nggaklah, Mas." Aku bangkit dari sandaran, "Masalahnya sepuluh judul penelitianku ditolak sama Bu Endah. Aku kan jadi males, manalagi punya suami yang punya gelar doktoral nggak mau bantu lagi," ucapku dengan bumbu sindiran.

Mas Adam terkekeh, "Bukannya nggak mau bantu, saya cuma...—,"

"Iya, iya, cuma mau gelarku nanti hasil jerih payahku sendiri, kan?" Potongku bisa menebak apa yang akan dikatakan Mas Adam, "Tapi, Mas...." Tanganku kembali menggelayut di lengannya, bernada merengek aku mengadu, "Bu Endah itu kayaknya sengaja deh nolak judulku mulu, mungkin dia masih nggak menerima kenyataan kalau aku istrinya Mas Adam."

"His! Ngomong apa, sih?"

"Dibilangin kok, katanya temen-temen Bu Endah itu suka sama Mas Adam sejak Mas Adam pindah ke kampus. Makanya, dia sensi mulu sama aku."

Mas Adam meraih punggung tanganku yang menggelayut di lengan kirinya, sejenak dia mengusap lembut tanganku. "Nggak boleh suudzon sama orang, nggak baik. Bu Endah orangnya baik, kok. Coba kamu lebih usaha lagi dapetin hatinya Bu Endah, insyaallah Bu Endah pasti mau bantu kamu."

"Iiih, dibilangin nggak percaya. Belain Bu Endah aja sana terus." Aku merajuk, melepas tangannya kemudian bangkit dan berjalan kearah lantai dua, tepatnya ke kamar. Dengan perasaan dongkol yang tidak keruan.

Sekitar setengah jam kemudian, aku mendengar pintu kamar di buka. Aku menghapus air mata di pipi lalu memejamkan mata pura-pura tidur. Kebiasaan Mas Adam kalau aku merajuk dia akan mendiamkan aku untuk beberapa waktu, tidak langsung menghampiri dan mencoba membujukku untuk tidak merajuk.

Aku tipekal yang tidak suka punya masalah dibiarkan berlarut-larut terlalu lama. Kami berbeda dalam menangani masalah, itu yang kadang membuat kita alot untuk berdamai meski sebenarnya berawal dari masalah sepele.

Aku memang mengenal Mas Adam dalam kurun waktu yang singkat, hingga akhirnya aku memutuskan menerima pinangannya karena takdir Allah. Kepribadiannya yang rapi, disiplin, kerja keras, bahkan kebiasaanya yang tak suka kopi, yang alergi seafood, yang sangat menyukai pantai dan kebiasanya yang lupa memakai dasi semua kupelajari ketika aku sudah menjadi istrinya.

Namun, satu hal yang belum aku pelajari darinya adalah tentang masa lalunya. Aku tidak tahu bagaimana dia dulu, meskipun aku sah menjadi istrinya aku tak berani untuk menanyakan. Karena aku tahu mungkin masa lalunya menjadi miliknya yang tak mestinya aku ungkit. Dan yang harus kupahami adalah masa depan Mas Adam adalah kehidupannya saat ini, yakni kehidupan keluarga kecil kami.

Bagaimanapun juga, kenapa sih tabiatnya laki-laki itu kadar kepekaannya itu sedikit? Dan kenapa juga tabiatnya wanita itu terlalu perasa?

Aku menenggelamkan wajah di bawah bantal saat mendengar Mas Adam naik ke tempat tidur.

"Jangan kayak anak kecil,"tegurnya.

"Iya memang aku masih kayak anak kecil, nyesel, kan, udah nikahin anak kecil?" Usiaku dengannya memang terpaut tujuh tahun.

Mas Adam terdengar tertawa kecil sembari menelusupkaan tangan kirinya di pinggangku. Kemudian dia mendekap, hidungnya tepat di belakang telingaku.

"Saya sama sekali tidak pernah menyesal menikahimu, malah saya merasa beruntung. Saya juga tidak pernah penasaran, jika bukan denganmu, dengan siapa. Karena saya sudah merasa sangat bersyukur menikah denganmu."

Meski tadi dadaku terkuasai egoism dan rasa kesal, mendadak mendengar kalimatnya, dadaku berdegub kencang. Mas Adam memang bukan tipekal laki-laki yang suka bicara romantis, namun sekali bicara mengenai hati, aku tidak bisa berkata apa-apa, selain reaksi jantungku yang menggedor-gedor dada.

"Saya memahami kekuranganmu, saya memahami seutuhnya tentang kamu. Dan saya tidak pernah mempermasalahkan itu karena bagi saya kekurangan yang ada pada dirimu adalah keistimewaan yang harus saya syukuri. Manusia tidak ada yang sempurna," lanjutnya, deru napasnya terasa sekali menelusup permukaan daun telingaku.

"Tapi Mas Adam terlalu sempurna buatku. Bukan hanya Bu Endah yang terlihat sensi, tapi beberapa mahasiswi juga memandangku seolah aku nggak pantas jadi istri Mas Adam."

"Kalo sayanya milih kamu, ya, mereka bisa apa? Mereka nggak punya hak mencampuri urusan rumah tangga kita. Sudahlah jangan dengerin omongan orang, kita itu hidup untuk hidup kita sendiri bukan untuk menjadi objek penilaian orang lain."

Merasa luluh, perlahan aku memutar tubuh dan menatap senyuman Mas Adam. Pria ini sungguh, kenapa tampak begitu sempurna? Allah memahat wajahnya begitu rupawan. Aku semakin minder menjadi istrinya.

"Ana Uhibbuka Fillah, Mas,"lirihku sembari merangkulnya.

"Ana Uhibbuki Fillah, Sayang."

•••

"Kamu yakin mau meneliti ini?"

Bu Endah memegang kertas bertuliskan judul penelitianku. Setelah membaca judul tersebut, dia memandangku dengan satu alis terangkat ke atas seolah tidak percaya dengan judul penelitian yang kusodorkan padanya.

Aku mengangguk dengan sopan.

"Cari lagi!" katanya sembari mengembalikan kertas tersebut kepadaku.

Astaghfirullahaladzim, rasanya pengin nangis. Dari sepuluh mahasiswa bimbingannya, cuma aku yang masih stagnan di judul. Yang lain sudah menyusun bab 1 bahkan sudah ada yang sampai bab 3.

"Cari judul itu yang berbobot gitu loh, judul, kok, kayak gitu? Nggak diajarin apa sama suamimu yang doktoral itu? Minta diajarin sana! Nggak malu apa yang lain udah nyusun isi penelitian, kamu masih aja bingung di judul."

"Iya, Bu, saya akan mencari judul yang lain. Tapi maaf, soal suami saya, Mas Adam,— maksud saya Pak Adam bukannya tidak mau membantu hanya saja beliau mau saya usaha sendiri."

Bu Endah tidak menjawab, dia malah meraih bab 1 milik temanku. "Next!"

"Terima kasih, Bu, bimbingannya. Saya permisi, Assalamualaikum."

"Walikumussalam," jawabnya tanpa menoleh ke arahku.

Aku bangkit dari kursi dan mempersilakan teman yang lain untuk bergantian bimbingan, sedangkan aku langsung keluar dari ruangan Bu Endah. Tentunya dengan perasaan campur aduk, ingin nangis, marah, sedih, semuanya.

Aku memutuskan untuk ke gazebo fakultas, mungkin aku bisa berpas-pasan dengan Mas Adam di depan ruangannya, setidaknya obat saat ini adalah melihat senyum Mas Adam.

"Syabiilll!!!"

Di anak tangga terakhir aku mendengar namaku dipanggil, lantas aku menoleh ke sumber suara. Melihat rambutnya yang sedikit pirang itu, senyumanku merekah.

Dia Salsa, sahabatku, aku sudah pernah bilang, kan?

"Ngapain kamu ke sini?"

"Nyari Rendy. Kamu liat Rendy, nggak?"

"Rendy? Ngapain nyari Rendy ke sini? Ke gedung sebelah dong harusnya."

"Ya kali aja tuh kutu kupret lagi nemuin kamu."

Kami berjalan kearah gazebo, "Nggak, aku baru aja selesai bimbingan. Mungkin dia lagi ada kelas kali, Sal."

"Nggak ada, udah selesai setengah jam yang lalu. Aku hapal tau jadwalnya,"kata Salsa sambil mengutak-atik ponselnya.

Lain Rendy, lain pula Salsa. Dua sahabatku ini berbeda kepribadian, mungkin bisa dikatakan bertolak belakang. Rendy yang cuek, Salsa yang aktif. Rendy yang irit bicara, Salsa yang selalu ada saja yang dibicarakan. Sebenarnya aku tahu jika diantara mereka ada sesuatu, tapi aku pura-pura tidak tahu, membiarkan mereka menemukan jalan mereka yang terbaik.

Salsa memang gadis yang menyenangkan, dia baik hati dan suka berempati. Sayangnya, hidayah untuk menutup aurat belum menghampirinya. Kadang aku berusaha mengingatkan tapi itu kan hidup dan haknya, aku hanya bisa berdoa semoga suatu saat nanti Allah memberinya hidayah.

"Lah, itu dia kutu kupret!" ujarnya tiba-tiba, aku mengikuti arah pandangnya yakni ke arah gazebo.

Benar, Rendy ada di situ. Salsa berlari duluan ke gazebo, sedangkan aku berjalan santai sembari bertanya-tanya, anak sendratari ngapain ke fakultas keperawatan?

"Munyuk! Gue cariin kemana-mana juga, tahunya di sini." Salsa duduk tepat di sebelah Rendy, sedangkan aku berseberangan dengan mereka.

"Ngapain cariin gue?"

"Besok gue ada pentas drama Opera, anterin ya!"

"Ogah ah, gue besok ada latihan band sama anak-anak."

"Gue jadi pemeran wanita utama, tahu."

"Bodo amat."

"Suer deh, lo jahat banget sama gue, Ren. Syabil aja ikut, masa lo nggak, sih?"

Mendengar namaku disebut, kontan Rendy dan Salsa mengarahkan pandangan mereka kepadaku. Aku pun merasa terkejut dengan ucapan Salsa, padahal sebelumnya dia tidak pernah membicarakan soal drama opera.

"Kamu ikut, Bil?" tanya Rendy.

Aku melirik Salsa, dengan pandangannya Salsa memohon untuk aku menjawab iya. Bahkan dia sempat menginjak sepatuku.

"Hm? Itu—, anu—" Aku kebingungan menjawabnya.

"Kamu jadi ikut kan, Bil?" desak Salsa sambil menindasku dengan injakan kakinya.

Sedangkan Rendy terus menatapku dengan intens, dia menunggu jawabanku. Kalau aku jawab iya, aku kan belum izin sama Mas Adam. Kalau aku jawab nggak, Salsa pasti bakalan ngambek 7 hari 7 malem.

"In—insyaallah, masih—itu, nunggu izin dari Mas Adam. Hehehe..." alibiku.

Rendy mengerutkan keningnya, sepertinya dia tau kalo aku berbohong.

"Kalo Syabil ikut, gue ikut. Gue cuman nggak mau kayak orang goblok di sana liat Opera sendirian."

"Ya udah, sekarang ke ruangan Pak Adam sana gih, minta jawaban. Aku sama Rendy nunggu di sini ya!" kata Salsa mendesakku.

"Eh?"

"Kalau bisa Pak Adam juga ikut, ya?!" Subhanallah banget nih anak, maksanya nggak nanggung-nanggung.

Aku mengangguk sambil tersenyum samar seraya berdiri dari kursi gazebo, "Ya udah aku ke ruangannya dulu ya."

"Siap! Kita tunggu di sini, cepet ya!" kata Salsa sambil tersenyum lebar dan melambai-lambaikan tangannya.

Aku berjalan balik kearah tangga, menuju ruangan Mas Adam. Aku nggak yakin diberi izin, apalagi besok hari minggu. Biasanya kalo hari Minggu, Mas Adam mengajakku ke rumah mama atau ke rumah Umi. Setidaknya aku membantu Salsa, kalo pun tidak diizinkan ya sudahlah semoga Salsa ngerti.

Baru saja menangiki anak tangga pertama, aku sudah melihat Mas Adam berjalan dari anak tangga lantai dua. Seolah tau banget kalo istrinya ingin bertemu. Aku pun dengan semangat menanjakkan kakiku di anak tangga berikutnya, namun terhenti seketika saat melihat dengan siapa Mas Adam turun.

Bu Endah.

Dosen pembimbingku, yang beberapa saat yang lalu terlihat judes kepadaku. Sekarang terlihat kalem saat bicara dengan Mas Adam. Aku tidak memungkiri jika ada perasaan cemburu yang merakit di hati. Dosen itu seperti bermuka dua, kenapa malah jadi ngerasa benci?

Mereka terlihat asyik mengobrol, dadaku terasa panas. Tapi aku sadar ini area kampus, sesuai awal perjanjian nikah dengan rektor, bahwa jika di kampus aku dan Mas Adam hanya sebatas mahasiswa dan dosen, tidak boleh membawa urusan rumah tangga ke area kampus. Jika itu terjadi, Mas Adam akan dimutasi ke kampus lain.

"Astaghfirullahaladzim!" Kaki Bu Endah tiba-tiba tergelincir dan kontan Mas Adam menahan tubuh Bu Endah agar tidak jatuh. Mereka bersentuhan!

"Bu Endah nggak apa-apa?"

Bu Endah terlihat malu-malu, "Nggak apa-apa, makasih ya, Pak."

"Iya, lain kali hati-hati," kata Mas Adam sembari melepas tangannya dari bahu Bu Endah.

Tanpa sadar air mataku menetes melihat adegan itu, sungguh perasaan wanita mana yang tahan melihat suaminya bersentuhan dengan wanita lain meski hal itu bermaksud membantu. Namun, wanita itu Bu Endah, aku seolah tidak terima karena Bu Endah memang menyukai suamiku.

Mas Adam menghentikan langkahnya saat bola matanya menatap keberadaanku di dasar tangga. Aku langsung memutar langkah dan berlari sambil menangis.

Beginilah risikonya, jika suamimu adalah idaman banyak wanita lain. Bisakah aku bertahan untuk waktu yang lama?

Allah, aku bersyukur memilikinya. Namun, maafkan hamba yang terlalu pencemburu ini.

•••

Continue Reading

You'll Also Like

473K 1.5K 12
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. πŸ”žπŸ”ž Alden Maheswara. Seorang siswa...
5.7M 302K 57
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
1.4M 92.9K 43
β€’ Obsession series β€’ [ SELAMAT MEMBACA ] Romeo akan menghalalkan segala cara demi mendapati Evelyn, termasuk memanfaatkan kemiskinan dan keluguan gad...
4.9M 182K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...