"Siapa sih yang di sukain Oriel?" Pertanyaan barusan selalu berdengung di pikiran Ariel, bahkan setelah dia sudah memasuki kontrakan milik Indrani, secara Safira sedang pergi keluar kota, sehingga dia harus tinggal di kontrakan Indrani.
Gimana nggak? Selama di rumah pasutri geje, Ariel selalu di kepoin tentang abangnya yang memang pendiam banget kalau masalah kehidupan pribadi.
Bukannya nggak mau ghibah, tapi Oriel kakaknya sendiri and dia tuh beruntung Oriel mau membuka mulut padanya. Jadi apa berani dia membuka curahan hati milik kakaknya ke muka umum?
"Duduk dulu aja Ariel, aku ke kamar mandi dulu bentar." Ucap Indrani.
Ariel melihat isi rumah yang di kontrak oleh Indrani. Sepi. Minim hiasan. Hanya ada televisi dan kulkas, tanpa ada meja makan. Ruang tamu ada sofa kecil, tapi thats it. Cocok benernya buat rumah tangga baru. Berbeda dengan rumah pasutri geje yang sudah lengkap sekali.
"Ariel."
Kaget di panggil, Ariel hanya bisa mengelus dada sedetik sebelum menjawab panggilan itu. "ya mba?"
"Mau minum apa?"
"Nggak usah mba, ngga haus. Ntar ambil sendiri aja boleh?"
"Oh, iya ya. Boleh banget."
Ariel hanya terdiam sebentar, lalu tersenyum. "Apa sih mba? Apa yang mau ditanyain? Mukanya kayaknya penasaran banget." Tanya Ariel jahil. Pada dasarnya memang sekarang muka Indrani tampak ingin mengutarakan sesuatu, tapi tanpak tersendat.
"Nggak kok, haha." Lalu Indrani duduk di samping Ariel, menyalakan televisi.
"Kalau ngga ditanya, aku nggak akan jawab loh." Goda Ariel lagi. "Aku tahu pasti penasaran tentang mas Oriel kan?"
Ariel bisa melihat Indrani menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak kok. Aku nggak penasaran tentang mas Oriel--eh Oriel."
Ariel kemudian hanya mengangguk, lalu menatap televisi. Siaran channel Net.TV yang kebetulan memutar 86.
"Aku nggak penasaran tentang Oriel,--" suara Indrani terdengar. "--tapi tentang kamu."
Menarik pikir Ariel. "Emang tentang aku kenapa mba?"
"Ngapain ke Malang? Bukannya di madiun? Kalian orang madiun kan?"
Ariel mengangguk. "Aku mau menemani mas Oriel sampai koasnya selesai. Lalu kami akan pindah, sesuai dimana mas Oriel mau" Kata Ariel. "Bahkan keluar negeri"
"Ha?"
"Jadi dokter hewan itu bukan perkara mudah kan mbak. Hampir sama sama dokter manusia. Habis selesai koas di klinik, nanti mas El langsung ikut ujian dokter, terus ujian lagi biar bisa buka klinik, atau mungkin daftar jadi PNS atau bisa juga jadi dosen, jadi harus ambil s2 dan s3 di luar."
"O--oh."
"Bentar lagi mas El selesai Koas, jadi aku nemenin sampai mas El ujian."
Hening.
"B--bukannya dia masih lama? Magang?"
Ariel menggeleng. "Mas El nggak ada magang mba. Dokter manusia sama dokter hewan beda. Jadi kalau dokter Hewab tuh selesai Koas, ujian dokter, jadinya udah dokter hewan."
"K--kenapa nggak bekerja disini aja selamanya?"
"Gajinya mbak." Kata Ariel. "Mas El itu--aku harusnya nggak cerita ini, tapi buat mbak aku ceritain deh. Mas El itu udah nggak di anggap anak sama ibu sama ayah. Soalnya milih jadi dokter hewan. Menurut ibu sama ayah, dokter hewan itu nggak ada apa-apanya dibanding dokter manusia. Jadi mas El mau buktiin ke ibu sama Ayah, kalau gajinya banyak dan bisa sukses, biarpun jadi dokter hewan."
"Berarti mau ninggalin sini?"
Ariel mengangguk. "Awalnya aku kesini itu buat meyakinkan mas El kalau kita nggak perlu pindah. Di samping rumah mba Indrani ini kan kosong juga toh mba? Jadi bisa ngontrak si situ. Terus bisa kerja bla bla bla, cuman mas El nggak mau. Diotaknya tetep harus sukses, biar ayah sama ibu nggak kecewa lagi."
"Kalau Ariel, mau kerja apa?"
Ariel hanya tertawa. "Aku freelancer. Arsitek, yang merangkap anak design interior. Nggak mesti kerja di kantor, tapi punya kantor di surabaya."
"Surabaya?"
"Ya, aku disini sementara aja. Nggak pindah ke sini."
"Kalau emang mau pindah, pindah ke mana?"
Ariel bergumam "mmm...mungkin Pasuruan, supaya mas El bisa kerja di taman safari, atau Surabaya ikut aku, supaya bisa kerja di KBS atau kebun binatang surabaya atau di sini, ikut pns masuk dinas peternakan."
"Disini aja nggak bisa?"
Mendengar kata itu Ariel lalu tersenyum lebar. "Hehehee, naksir masku ya? Hehehehe."
"N--nggak kok. Cu--cuman nanya aja."
"Mba, kalau seneng masku mbok maju duluan. Soalnya masku anaknya minta di tabok gitu, nggak peka. Emansipasi mbak."
"A--apaan. Nggak suka kok."
"Oh, ya udah, tapi jangan nyesel kalau masku pergi nanti ya. Jangan nyesel."
"Masa aku yang harus maju duluan? Dicerita di samping udah aku duluan, masa aku lagi yang duluan?"
"Ha? Apaan?"
"Nggak."
Ariel lalu hanya menyenderkan dirinya di tembok. "Ya udah, ntar aku coba ya. Tapi, seneng masku kan?"
"N--ng--hah.. iya. Aku seneng masmu."
"Oke, aku coba buat dia putus ama pacarnya, buat jadi sama mbak."
"Loh, kok gitu?"
"Bukan pelakor kok, tenang aja."
"Tapi--"
"Percaya ama aku."
***
Drama penembakan Adimas ke Adelia, yang jelas-jelas di saksikan Milena dan Dipta itu sebenarnya belum selesai. Alasan kenapa Dipta dan Milena tidak memberi tahu ruang chat apakah Adimas di terima atau tidak itu karena setelah di tembak Adimas, Adelia hanya bilang "apa sih mas" lalu keluar dari ruang karoke, lalu diikuti Adimas.
Jadi Milena dan Dipta ini sebenarnya penasaran, tapi tidak bisa terlalu kepo. Bahkan saat mereka pulang tadi pandangan mata mereka itu tertuju ke rumah Adelia dan Kos-kosan Adimas.
Personal Chat
Milena
Ih, mas aja yang tanya
Dipta
Kamu kan perempuan
Milena
Tapi aku nggak begitu deket
Coba ada lulu huhu
Dipta
Ya udah bilang ke Lulu aja.
Nanti biar lulu yang tanya
Milena
Lulu itu pemegang rahasia handal
Nggak bisa gitu
Dipta
Aku tapi takut kalau dua orang itu nggak jadian
Ah! Benar juga
Kamu bisa memulai pembicaraan di grup pasutri geje itu
Milena
Nah
Iya
Tapi nanti ketahuan dong kalau kita nggak tahu
Dipta
Harusnya jangan bohong ya tadi.
***
Oriel yang baru pulang terkejut saat melihat Dimas berjongkok di depan kamarnya
"Ngapain Sinyo?" Kata Oriel yang membuat Adimas bangun dari jongkoknya.
"Mas...."
"Kenapa?"
"Nggak liat grup chat?"
"Nggak, paling ngomong aneh-aneh. Kenapa?"
"Ditolak adelia, aku."
"Ha? Tenane? (Yang benar?)"
"Iyo."
"Kok iso? Arek iku kan demen ambek kon." (Anak itu kan senang sama kamu)
"Ora eruh." (Nggak tahu)
"Wis takok gurung?" (Udah tanya belum) ucap Oriel sambil membuka pintu kamarnya.
"Durung. Aku terlalu shock, terus akhirnya oke-oke aja terus balik ke ruang karoke ambil tas terus duluan ke kampus." Kata Dimas sambil masuk ke kamar Oriel.
"Ya ampun, kasihan banget."
"Kok nggak bisa lancar ya mas,"
"He, ojo nangis nang kamarku. Metu metu." (Keluar keluar)
"Ora nangis aku, asem. Cuman kayak dia tuh kenapa sih kok susah banget."
"Ya dari awal gitu loh Mas, makanya jangan bohong kalau suka sama mbak Ayu. Ini nih akibatnya."
"Alah, mas juga bohong pacaran sama temennya mba Ayu. Mana ada pacaran. Wis takon aku."
Oriel menghela napas. "Biar pada nggak nosy sebenarnya."
"Terus ngebiarin orang yang suka sama mas El patah hati?"
"Sopo gelem ambek aku?"(siapa suka sama aku?)
"Akeh," (banyak)
Oriel tertawa. "Ya udah, kalau mau denger saran aku. Kamu ngobrol sama Adelia, face to face, terus akhirnya kalau emang dia beneran nggak suka sama kamu, jangan kamu paksa, tinggalin aja. Kalau dia suka sama kamu, tapi ada alasan lain, dipertahankan aja. Oke."
"Aku turu nang kene ya?" (Aku tidur di sini ya)
Oriel lalu tanpa babibu langsung memukul pundak Adimas. "Kamu patah hati terus mau beralih orientasi itu salah, Dimas."
"Asem, sopo sing ate alih orientasi? Aku jek normal, he. Cuman butuh kasih sayang ae mas." (Siapa yang mau alih orientasi?)
"Kepret. Emoh. Sana meluk guling."
"Cih. Awas lek mas El butuh kasih sayang, nggak tak kancani"
"Bodo amat, kan ada adikku di sini."
"Nah, ngomong-ngomong adek. Ngapain sih adiknya mas di sini? Udah punya kerja toh? Cuti?"
"Nggak tahu aku Dim, ate main paling. Udah sana. Aku mau mandi."
"Iyo wis lek gitu. Thanks yo mas."
"Hm.."
***
Pagi ini nampaknya beda sekali. Mungkin karena ada Sherina dan Tama di depan rumah Adelia, sedang duduk berdua di kursi sambil makan bubur ayam. Yang tentu saja terpisahkan meja ditengah-tengah.
"Kebayang nggak sih Sher, ntar kita menghabiskan hari tua begini juga? Makan bubur sama-sama, sarapan sama-sama. Aku serius loh nggak sabar."
Sherina tertawa. "Sama."
Tama mengangguk. "Ngomong - ngomong, aku bisa nih dapat kerja di Jakarta. Jadi kalau kamu mau cari kerja di Jakarta bisa juga."
"Tapi mas nggak papa?"
"Toh deket Bandung juga kan, yang penting kita bisa sama-sama. Tempat tinggal mungkin apartemen dulu, soalnya beli rumah di jakarta itu kayaknya udah nggak mungkin." Kata Tama.
Mendengar itu, Sherina menghela napas. "Di surabaya aja apa ya? Tapi jauh sih dari bandung.... Atau ntar aku daftar jadi pns aja mas, nggak papa. Kayaknya emang sulit buat aku untuk jadi orang besar."
"Sherin--"
"Aku baru sadar, kalau hidup itu kadang nggak semata-mata buat karir aja. Aku harus buat prioritas, siapa yang paling penting di hidup aku, dan salah satu jawabannya ya Mas Tama yang penting."
"Duh sher, kalau udah halal ku cium nih."
Sherina hanya tertawa. "Apaan sih."
"Di jakarta nggak papa, di surabaya nggak papa. Aku mau kok ngelewatin perbedaan sama kamu, yang penting kita jangan LDR Sher. Nggak kuat aku."
"Sama. Kalau halal, ku peluk nih."
"Apaan sih, berisik." Adelia tiba-tiba membuka pintu rumahnya, dan berkacak pinggang.
"Heh, katanya ditembak adimas kamu ya?" Tanya Tama. "Terima kan?"
"Nggak, kutolak."
"Loh, kenapa?" Tanya Sherina tak habis pikir.
"Anaknya playboy." Jawab Adelia singkat.
"Tapi kan kamu suka sama dia, Del. Gimana sih. Dia itu nggak playboy. Mukanya aja ganteng, jadi kalau dia deket sama perempuan keliatannya kayak Playboy. Nih, sama kayak mas Tama." Ujar Sherina menggebu-gebu.
"Sher, ini aku nggak tahu harus bahagia atau sedih. Kamu bilang aku ganteng, terus bilang playboy, aku bingung."
"Intinya, dia nggak playboy." Tambah Sherina sekali lagi.
"Udah jadi bubur, mau gimana lagi."
"Kasih roti tawar, Del. Aku liat di twitter tuh kasih Roti tawar di atas bubur bisa bikin balik jadi nasi lagi." Kata Tama.
"Ah, nggak tahu ah. Terus kalian jangan berisik. Apaan cium halal, peluk halal."
"Kebalik sih." Ujar Tama sambil tertawa. "Yang bener kalau Halal aku cium, kalau halal aku peluk."
"Bodo amat mas Tama. Udah jangan gombal depan rumah aku. Ini zona anti gombal."
Lalu Adelia menutup pintu rumahnya.
"Sensi dia." Kata Sherina. "Nggak punya pasangan yang romantis kayak aku."
"heh. Aku denger ya." Seru Adelia dari dalam rumah, dan membuat Tama dan Sherina terbahak.
***
"Lucu ya lihat Sherina sama Tama." Kata Aileen sambil berdiri. Kebetulan pintu rumah Aileen terbuka lebar, dan bisa melihat pemandangan depan rumah Adelia.
"Iya, tapi kamu kalau ntar pindah jadinya nggak bisa lihat mereka lagi."
"Aku pengen suasana baru aja,"
"Suasana baru gimana?"
"Nanti semua ninggalin kita, terus kita sendirian. Mending kita duluan kan Ran?"
Randi kemudian memeluk sang istri dari belakang. "Namanya hidup Len, nggak ada yang sempurna. Apa pindah rumah aja, tapi tetap di malang? Nggak usah sampai Jogja segala." Kata Randi seraya meletakkan kepalanya di bahu Aileen. "Lagipula aku dinas perhubungan malang loh, kalau ngurus pindahnya antara bisa dan tidak bisa gitu."
Aileen memegang tangan Randi yang melingkar di perutnya, "aku cuman sedih kita ditinggalin."
"Iya, aku tahu. Makanya kita puas-puasin aja sama mereka sekarang. Biar nanti ada kenangannya."
"Hm..."
"Tapi Len."
"Apa?"
"Kamu gendutan ya?"
Mendengar ucapan barusan, Aileen langsung mencubit tangan Randi yang melingkar pinggangnya "Ih, apa sih! Nyebelin."
"Loh, aku serius. Ini loh gedean."
"Ih, nyebelin."
"Tapi jangan diet. Aku suka yang enak dipeluk."
"Randi nyebelin!!"
***