Jingga Untuk Matahari

By thisisR

508K 12.5K 762

This is the Fanfict of the Jingga series by Esti Kinasih. More

Jingga Untuk Matahari
two
three
four
five
six
seven
eight
nine
ten
eleven
twelve
thirteen
fourteen
fiveteen
sixteen
seventeen
eighteen
nineteen
twenty
twenty one
twenty two
twenty three
twenty four
twenty five
twenty six
twenty seven
twenty eight
twenty nine
thirty
thirty one
thirty two
thirty three
thirty four
thirty five
thirty seven
thirty eight
thirty nine
fourty
fouty one

thirty six

10K 275 17
By thisisR

Operasi pada kepala Ari berhasil. Ia telah berada di ruang perawatan dan masih dalam pengawasan dokter. Jika hasil observasi menunjukan hal yang positif ia diperbolehkan pulang dalam seminggu ke depan.

Ata adalah orang yang yang ada di depannya saat ia membuka mata. Pertama kalinya dalam keadaan ini, Ari tersenyum.

"Ngapain lo senyum-senyum?" Tanya Ata cuek. Padahal melihat cowok itu membuka mata adalah hal yang paling ia inginkan saat ini.

"Aduh.. duh.. duh.." erang Ari.

"Eh kenapa? Apa yang sakit?" Ata Panik. "Gue panggil dokter ya. Dok.. dok.." Ata beranjak berniat untuk keluar ruangan.

"Nggak. Tangan gue nyeri banget kalo gue senyum" Ari lalu terdiam dan mengigit bibir. "Mama sama Papa kemana?"

"Di ruangan dokter. Bahas tentang kondisi lo" Ata duduk di sofa sebelah tempat tidur Ari lalu mengeluarkan ponsel. "Gimana rasanya tiga kali operasi? Plus koma lima hari?"

"Arrggghhh.. unexplainable. Gue sampe nggak tau harus ngerasain sakit pada bagian mana dulu"

Ata tertawa, adiknya ini telah kembali seperti semula tak lama ia mengangguk pelan. Ialu ia tatap adiknya itu lekat-lekat seperti meminta satu ketegasan. "Udah selesai kan? Semuanya?"

Ari mengalihkan wajahnya pada Ata pelan-pelan. Sedikit gerakan saja pada tubuhnya berdampak sakit yang luar biasa. Cowok itu mengangkat kedua alisnya tanda bertanya.

"Gue tanya, apa urusan lo sama Angga udah selesai?" Tanyanya gamblang. Seperti perkiraan Ata Ari terdiam. "Ini semua bukan ulah dia kan?"

"Ta, yang pasti kecelakaan ini nggak ada hubungannya sama dia"

"Tari tanya siapa yang bawa elo kesini. Gue nggak bilang itu Angga. Apapun yang terjadi itu cuma antara elo dan Angga, gue rasa Tari nggak perlu ikut campur takutnya terjadi hal-hal yang nggak seharusnya. Apalagi kemarin elo masih koma, gue nggak mau keadaan tambah runyam"

"Iya Ta. Lo bener. Tari itu urusan gue dan gue janji akan menjelaskan semuanya saat waktunya sudah tepat"

"Good!" Ata mengatur nafas. Ia tahu ia harus melakukan persiapan untuk mengatakan hal ini. "Dan tentang mama-papa, dari mana elo tau kalo.."

"Jadi bener mereka nggak pernah bilang ke elo? Ya Tuhan!" Seru ari sambil memejamkan mata, pasrah. "Pantesan gue selalu mimpi aneh dan endingnya gue selalu liat Mama. Ternyata itu bener-bener pertanda. Dan elo tau gue tau dari mana? Dari.. " kalimat Ari terhenti. Ia tak yakin bisa menjelaskannya. Ia bahkan masih tak percaya apa yang ia lakukan lima hari ini.

"Dari mana Ri?"

"Dari.. dari tadi" Ari tersenyum jahil.

"Malah bercanda" Ata memutar kedua bola matanya.

"Ta, kalo gue jelasin juga elo nggak bakal percaya. Belum juga dua puluh empat jam gue sadar. Kasih gue waktu santai-santailah" Ari tersenyum jahil.

"Haduuhhh. Elo bisa berkilah kayak gini berarti elo udah balik normal Ri!" Cela Ata. Dan Ata pun sebetulnya juga mengalami mimpi aneh yang selalu berulang sembilan tahun ini, namun cowok itu enggan membahasnya.

Di saat yang sama kedua orang tua mereka tiba dari ruangan dokter. Mereka menghambur ke sisi kanan dan kiri Ari. Keduanya tampak lega karena Ari telah membuka mata.

"Kamu udah sadar sayang" kata Aninda."Apa yang sakit?"

"Udah Ma, Pa" Ari berusaha tersenyum sambil melirik ke wajah kedua orang tuanya. "Nggak ada yang sakit Ma. Ari kan kuat" Ari berusaha tersenyum. Tapi kemudian ia mengerang pelan karena gerakan senyum pada bibirnya membuat tangannya begitu nyeri.

"Papa lega sekali" ucap Fahri. "Enggak ada yang Papa inginkan selain melihat kamu sadar Ri"

Selagi mereka sibuk dengan Ari, Ata mengambil sebotol besar air dan empat gelas plastik. Di aturnya dua buah bangku kecil pada sisi kanan Ari. Ia sendiri duduk di ujung tempat tidur Ari.

"Iya, kamu masih dalam pengawasan. Jika keadaan kamu membaik kamu diperbolehkan pulang minggu depan" kata Fahri.

"Papa duduk di sebelah sini ya Pa" pinta Ata. Tanpa curiga Fahri duduk di kursi yang telah ia sediakan. "Mama juga" Dan Aninda melakukan hal yang Ata pinta.

"Pa, Ma, sembilan tahun ini sudah cukup lama kita berpisah. Aku rasa itu sudah cukup memberikan kalian waktu untuk melakukan persiapan. Persiapan untuk kejujuran tentang aku, tentang Ari, tentang Ibu kandung kami"

Aninda tercekat. Fahri mematung. Mereka tahu akan tiba hari ini. Hari dimana mereka harus mengungkapkan apa yang selama ini bersembunyi. Mereka saling tatap, seperti mempunyai pemikiran yang sama. Lalu Aninda mengangguk pelan diikuti dengan Fahri.

"Kami sudah siap Pa, Ma. Kami siap mendengar semuanya" kata Ari.

****

Tari terbangun di tengah siang bolong. Suara dangdut keliling yang 'konser' tepat di depan rumahnya membuat pekak kedua telinga. Salah satu di antaranya mengeluarkan topi dan mulai berkunjung dari rumah ke rumah. Dengan mata setengah terbuka, ia memberikan selembar uang saat salah satu dari mereka menghampiri rumahnya.

Konser dangdut portable itu ganti lagu kedua. Suara serak dan bas vokalis cowok menggantikan sang  wanita yang kini berada di depan warung makan. Ia berteduh dari sinar matahari yang panas menyengat, duduk sambil menyeruput teh dingin di tangan. Embun-embun yang ada di permukaan gelas membuat ke tiga personel lainnya nggak konsen!

Air liur mereka bertambah drastis setiap kali wanita itu menyesap teh dinginnya. Kerongkongan mereka keringgg kerontangg. Tak mengherankan menjelang reff ke dua mereka langsung memutuskan bergabung di warung makan. Suasana yang tadinya ingar bingar mendadak hening seketika.

Namun ternyata konser itu tak benar-benar menghilang bagi Tari. Setelah gerobak dangdut itu pergi, ia baru menyadari siapa yang berdiri di baliknya. Berdiri di atas motor dengan kedua mata yang tertuju pada rumahnya. Ia telah mendapatkan konsernya sendiri dalam bentuk hentakkan di jantungnya. Benda itu seakan ingin meledak saat ia melihat seseorang itu turun dari motor dan berjalan mendekati rumahnya: Angga.

Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Jarak Angga dengan gerbang rumahnya hanya tinggal beberapa langkah. Dalam waktu yang sesingkat itu hatinya tak henti bertanya. Tentang apakah ia harus menerima cowok ini di rumahnya. Tentang apakah cowok ini akan menyelamatkannya dari putaran badai atau malah sebaliknya. Dan yang paling terpenting lagi tentang apakah perasaan itu masih ada untuknya atau tidak.

Tentu saja, bahkan Tari belum sempat memikirkan jawabannya Angga telah tiba di depan gerbang. Ia menghampirinya.

"Hai Tar" Angga tersenyum menunjukan giginya yang bersih.

"Ha, hai Ngga" jawab Tari kaku.

"Boleh gue masuk?"

"Iya, boleh"

Angga duduk di bangku rotan warna putih pucat di teras rumah Tari. Cuaca sangat panas, es teh yang dihidangkan Tari serasa minuman paling jempolan sedunia.

"Wih, haus banget kayaknya"

Angga telah memindahkan setengah isi gelas ke dalam perutnya. "Iya Tar, es teh buatan lo enak banget. Udah gitu dari tadi tenggorokan gue emang kering kerontang" Angga meringis.

"Lo ada apa kesini?" Tanya Tari.

"Gue tuh nggak sengaja lewat. Cuaca panas banget, lagi. Jadi sekalian numpang minum deh"

"Ohhh jadi cuma mau minum es teh doang?" Tari manggut-manggut. "Elo kalo mau es teh, tuh ada di warteg depan"

"Tadi gue udah kesana Tar. Tapi kok rasanya nggak semanis buatan lo. Padahal gulanya udah dua kilo Tar"

Tari menahan tawa sebetulnya. Angga selalu bisa membuatnya begitu nyaman. "Eh, elo minum es di rumah gue juga bayar, enak aja gratis!"

"Hah? Bayar? Ck! Elo tinggal sebut aja Taarrrr! Nggak usah sungkan! Tapi gue minta segelas lagi ya!" Jawab Angga hendak mengeluarkan dompet dari dalam tasnya.

Melihat wajah Angga yang jauh dari gurauan, senyum yang tadi ada di wajah Tari menghilang seketika. "Jadi, elo kesini beneran cuma pingin minum es teh doang?"

"Ya iyalah! Menurut lo apa lagi?"

Tari menunduk lalu menatap Angga dingin. Sorot matanya berubah drastis. Tak lama ia beranjak hendak masuk kembali ke dalam rumah dan membuatkan Angga segelas es teh lagi. "Ya udah. Tunggu"jawabnya seperlunya.

Angga berubah panik menyadari perubahan sikap Tari. Ia meraih tangan cewek itu saat Tari hendak pergi. "Hei Tar. I am kidding. Jangan marah"

Tari menunduk. "Gue cuma nggak nyangka aja Ngga!" Tari makin menghindari wajahnya dari tatapan Angga. "Gue nggak nyangka kalo elo.. kalo elo ketipu juga!" Kali ini ganti Tari yang tertawa menang. Dilihatnya wajah Angga yang tadi sempat panik itu, kini juga tertawa. Mungkin dia nggak nyangka kalo bakal dikerjain juga! "Muka lo kalo lagi panik warnanya ungu tau, nggak!"

"Seneng banget lo ya, liat gue panik!" Tak lama Angga ikut tertawa. Tangannya terangkat lalu mengacak-ngacak rambut Tari. Sudah lama ia tidak melakukan ini. Kedua matanya menatap wajah Tari sampai cewek itu benar-benar  berhenti tertawa. "Tapi, kalo muka panik gue bisa buat lo ketawa, mungkin gue akan rela elo bikin panik tiap hari Tar"

"Apaan sih lo! Nggak lucu banget"

"Hmmm..." Kata Angga sambil tersenyum dan kedua alis terangkat. "Yang penting kan elo ketawa"

Tari mengangguk. Kali ini ia tak ingin mengingkarinya. Dua bulan ini tawa adalah barang langka baginya. Ia bahkan tak membayangkan ternyata hal konyol seperti ini mampu menghasilkan senyum dan tawa.

Angga menatapnya begitu dalam. Tari sesekali mengalihkan pandangannya kepada apapun di sekitar mereka. "Apa kabar Tar?"

"Berusaha untuk selalu baik"

Untuk apa berbohong? Batin Tari. Angga tahu badai telah memporak-porandakan kehidupannya. Angga tahu bahwa dulu, pernah hampir ada istilah 'kita' di antara mereka. Dan Angga tahu kepada siapa hatinya itu dulu bermuara.

"Gue seneng lo jujur"

Tatapan Angga yang dalam seperti menjadi satu pertanda bahwa cowok ini ingin melanjutkan kembali apa yang terjadi di antara mereka. Ia ingin membawa Tari mengingat apa yang telah jauh tertinggal. Di antara mereka, sebuah perasaan yang kandas tanpa sempat berbunga.

"Eh elo bayar dulu dong es teh bikinan gue! Seperti yang gue bilang, ini nggak gratis!" Tari sok galak. Sebetulnya ia hanya ingin Angga untuk tidak membahas hal yang hanya akan membuatnya bimbang. Membuatnya makin tenggelam dalam ketidak pastian.

Angga pura-pura berpikir. "Aduh, lupa banget gue!" Serunya.

"Kenape lo? Baru inget bawa dompet tapi nggak bawa duit?" Tantang Tari.

Angga lalu meringis. "Baru inget, gue baru dirampok sama sepupu-sepupu gue, gue bayar pake ini nggak apa-apa kan Tar?" Angga mengeluarkan suatu benda dari dalam tasnya.

Tari terpana. Wangi sebuket bunga lily warna merah menyeruak di hidung cewek itu. Entah apa yang harus ia katakan.

"Lo tau Tar? Harusnya gue lakukan ini sejak dulu"

Oh No! Hal yang Tari takutkan sepanjang hari akhirnya terjadi. Angga mulai membahas hal-hal yang sudah ia kubur jauh-jauh. Tidak! Tidak! Tari tahu ia belum siap untuk ini. Tidak untuk detik ini.

"Lo tau apa yang paling gue takutkan dalam hidup gue?" Tanya Angga disambut oleh gelengan kepala Tari. "Menyesal. Dan atas apa yang terjadi di antara kita, gue merasa demikian Tar. And you know, that's killing me. All the time!"

"Nggak ada kata 'kita' Ngga. Saat itu cuma ada gue dan elo" Tari menolak halus.

Namun itu tidak melunturkan senyum dari wajah Angga. "Itulah kenapa ada saat ini Tar. Gue bersabar. Gue tau jalan itu nggak akan pernah hilang. Dia ada Tar, entah lo berusaha untuk mengingkarinya atau tidak. Dan gue tau kalo lo bisa merasakannya"

Aduhhh! Tari mengeluh dalam hati. Omongan lo bikin gue makin kalut tau nggak?

"Dan Ari, gue rasa dia.."

Tari merasa retakan hatinya mulai kembali berdarah saat  mendengar namanya. "Ngga, gue belum siap mendengar apapun tentang dia. Bisa nggak kalo elo.."

"Sori Tar. Mungkin elo merasa gue lancang, atau gue yang terlalu egois dengan semua ini. Tapi antara gue dan Ari, sama sekali nggak ada urusannya sama lo."

"Terus kenapa mesti sekarang? Elo kenal dia sejak SMP. Kalian selalu ketemu saat tawuran. Kalian punya chance untuk menyesaikan semuanya, bukan?"

Angga tersenyum tipis. "Karena elo adalah satu hal yang nggak gue bayangkan sebelumnya. Keberadaan lo yang maksa gue mengakhiri semuanya. Gue ingin elo jadi hari esok gue, untuk itu hari menyesaikan hari kemarin gue sama Ari karena gue nggak pingin dia merusak hari gue ke depannya"

Angga bisa membaca mendung yang ada di wajah Tari. Ia tahu ia harus menjelaskan apa gerangan yang membawanya ke hadapan cewek itu. Saat ini.

"Gue akan kuliah di Jogja. Kamis depan nyokap ngajak gue untuk survei lokasi dan urus keperluan gue disana. Tapi jujur gue masih belum yakin Tar. Maka dari itu, gue ingin elo jadi salah satu alasan buat gue untuk nggak meninggalkan Jakarta"

Tari mencoba menghindari kedua mata Angga. Dan cowok itu pun tidak menyerah. Ia terus menatap wajah Tari tak gentar dengan respon cewek itu.

"Gue tunggu jawaban lo Tar. Lo udah tau tentang kepergian gue, kali ini gue nggak mau nyesel lagi. Gue tau elo butuh waktu untuk berpikir dan gue nggak akan ganggu lo Tar"

Angga mengenggam pergelangan Tari. Cewek itu kembali terpana. Kali ini ia reflek menatap wajah Angga dan mendapati kedua mata cowok itu menatapnya sendu dengan kesungguhan di tiap kerlipnya.

"Are you oke Tar?"

"I am fine. The only thing that i need now is just time to think"

Angga tersenyum manis dan melepas genggamannya. Cewek itu seperti kekuatannya, berada di dekatnya seperti ini membuatnya merasa mampu dan yakin atas dirinya. "Take your time!"

Dan menurut gue, selama apapun waktu yang elo berikan nggak akan pernah cukup buat gue. Ingin sekali Tari menyuarakannya. Namun apa daya, ia hanya bergumam di dalam hati.

"Elo tau harus menghubungi gue kemana" kata Angga

Angga pamit untuk pulang. Tari menatap kepergiannya dari pintu gerbang sambil sesekali menatap lily merah yang ada di tangannya. Dari pantulan kaca spion Angga masih bisa melihat bayangan dibelakangnya. Tak lama cowok itu tersenyum, ia belum pernah merasa seringan ini.

Continue Reading

You'll Also Like

655K 41.4K 50
Mungkin cerita kita hanyalah salah satu dari banyaknya cerita tentang diam-diam menyayangi sahabat sendiri lebih dari seharusnya. Mungkin cerita kit...
114K 3.3K 35
(CERITA SUDAH LENGKAP) ketika sebuah pertemuan tak diharapkan melahirkan sebuah kisah dan tawaran kenangan indah yang tak bisa di tolak pun terjadi d...
23.9K 741 34
Perang mulut yang setiap harinya membuat lelah. Tapi aku menyukainya dan merasa bahagia.
2.2M 165K 70
[Sebagian part dihapus untuk kepentingan penerbitan] Highest rank: #2 in Humor (21.03.17) #2 in Humor (12.05.17) #2 in Humor (15.05.17) ...