twenty one

9K 242 7
                                    

Dan Bugh! Ia  mengayunkan kepalan tangannya pada perut Oji. Cowok itu kontan tersungkur memegangi perut. Di tengah kesakitannya Oji melihat Ari tepat di depannya. Tubuh cowok itu bergetar hebat.

Di saat yang sama Ridho memblok langkah Ari, mengingatkan cowok itu untuk menjaga jaraknya dengan Oji. Ia tidak ingin keduanya tenggelam terlalu dalam pada kehancuran ini.

"Santai dong lo!" Ridho penuh penekanan.

Sama dengan reaksi yang ia dapat di dalam kelas Ata tadi, perbuatan Ari disambut jeritan dari orang-orang sekitar. Ketegangan menyergap semua orang. Membuat ketakutan mereka semakin menjadi.

"Elo denger ya, kalo gue cuma mukul lo satu kali, itu berarti otak gue masih bisa berfungsi. Jangan paksa gue untuk  melakukan yang kedua kali!!" Ari berbalik lalu pergi. Tentu saja dengan semua mata yang tertuju padanya.

Ini semua sudah cukup menghancurkan ketiganya. Berada lebih lama belum tentu akan membuat keadaan lebih baik. Apalagi dengan emosi yang sangat mendominasi.

"Gue bilang juga apa Ji! Si Boss pasti.."

Oji mencengkram kemeja Ridho, mendorongnya ke tembok.  "DIEM LO!!"

Sama seperti wajah Ari, wajah Oji merah padam. Ridho tahu bahwa Oji mati-matian menahan agar emosi itu tidak menjalar ke dua tangannya. Selagi hanya logikanya yang belum terkontaminasi, ia memilih diam. Ia tahu hanya itu yang dibutuhkan saat ini.

Jeda yang diberikan Ridho ternyata cukup memberikan waktu bagi  logika Oji untuk kembali bekerja. Oji lalu melepaskan cekalan kedua tangannya. Menunduk malu dan pergi. Langkahnya yang cepat dan panjang-panjang  membuat kerumunan penonton terbagi menjadi dua bak laut merah yang terbelah karena tongkat Nabi Musa.

Di tempat yang sama saat Ari menuruni tangga, Tari ternyata menaiki tangga.  Tari kontan membeku saat menyaksikan cowok itu berjalan lima langkah di depannya. Seperti tersihir, ia hanya membiarkan cowok itu melewatinya.

"Kak Ari!" Teriak Fio.

Ari terhenti. Ia tak mampu menoleh. Bukan karena suara Fio, melainkan orang yang kini ada di sampingnya itu.

Hening. Selama beberapa detik mereka terdiam. Terlalu banyak hal di dalam pikiran Ari. Dan ia tak yakin bisa menahan dirinya untuk tidak menyakiti cewek itu. Seperti apa yang telah ia lakukan pada kedua sahabatnya.

"Maaf.."

Di balik semua kalimat-kalimat yang bersuara dalam hati dan otaknya, hanya satu kata itu yang berhasil keluar. Baginya satu kata itu sudah cukup mewakilkan banyak hal. Tentang dirinya yang penuh penyesalan. Bentuk permintaan dispensasi atas perbuatannya yang sudah kelewatan.

****

Aninda telah selesai memenuhi panggilan sidang di sebuah pengadilan agama. Wanita itu telah berada di lapangan parkir. Ia melirik jam tangan, sudah pukul 2 siang. Ia harus pergi ke garmen.

Di Jakarta, Lidia mempunyai sepupu yang memiliki usaha konveksi. Aninda senang bukan main saat ditawarkan untuk bergabung dalam usaha yang maju pesat itu. Itulah yang menjadi mata pencarian Aninda selama di Jakarta.

Tepat di pinggir halaman parkir, Mini Cooper berwarna hitam dari arah belakang berjalan pelan bersisian dengannya. Aninda menoleh saat jendela kaca dibuka.

"Nda, kamu mau kemana?" Tanya Fahri dari dalam mobil.

"Aku mau pulang" sahutnya singkat. Jelas dan padat.

"Hmm.. mau bareng sama aku?" Kata Fahri.

"Aku bisa sendiri kok. Aku enggak mau merepotkan kamu"

Jingga Untuk MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang