thirty

8.5K 245 9
                                    

Ari lupa bagaimana ia bisa tiba di kamarnya. Sejenak ia menatap seluruh tubuhnya, pakaian yang ia kenakan masih sama seperti yang terakhir ia ingat. Berbeda dengan yang biasanya, kali ini ia terbangun sendirian. Entah dimana Ata atau Bi Asih. Biasanya kedua orang itu yang selalu ada di depan matanya di saat-saat seperti ini.

Ari duduk termangu di balkoni. Bersimpuh begitu saja di lantai kayu. Matanya terpejam merasakan angin sore yang berhembus di sekitarnya. Masih antara kaget dan tidak percaya, Ari mencoba meyakinkan dirinya.

Suara gaduh yang ada di lantai bawah mengusik keberadaan Ari. Cowok itu bangkit dan mencari sumber suara. Di balik pintu ruang keluarga, Ari mengintip hati-hati. Ternyata ada Bi Asih sedang membersihkan figura berisi foto Ari dan Papanya.

Baru ingin Ari menyapanya, apa yang dilakukan Bi Asih membuat kata-kata Ari menggantung di tenggorokan. Wanita itu mengusap foto Ari sambil terisak. Ia menangis.

"Sing sabar yo Mas. Kalo kasih kita dikasih cobaan, itu artine Gusti Allah sayang sama kita"

Tanpa sadar kedua mata Ari ikut berair. Dadanya seakan terasa nyeri lalu diremasnya kemeja pada bagian itu. Matanya memejam dan langsung merapat di daun pintu. Ia lalu berjalan keluar tanpa memberi tahu Bi Asih. Tidak memberitahu keberadaannya mungkin adalah yang terbaik saat ini. Lagipula ada seseorang yang harus ia temui: Tari.

Ari merogoh saku celananya. Ia bahkan lupa dimana terakhir ia meletakan benda itu. Saat di garasi rumahpun ia tak melihat keduanya. Mobil atau motor beserta kuncinya entah berada dimana. Kemudian ia tepuk keningnya pelan. Everest itu masih berada di restoran sunda sedangkan motornya harus masuk bengkel.

Kepala Ari menengadah. Langit begitu cerah. Semilir angin menambah kesejukan. Entah jam berapa dan hari apa ini. Siang terasa lebih panjang dari biasanya. Karena cuaca sangat bersahabat ia memutuskan untuk berjalan kaki.

Ari telah ada di depan rumah Tari. Lagi-lagi ia bersembunyi dibalik semak-semak. Atas apa yang dilakukannya hampir tiga minggu, mengabaikan dan tidak memberi kabar pada cewek itu, ia butuh persiapan untuk mulai menjelaskan. Oleh karena itu ia atur semua kata-kata. Ia tak peduli seperti apa reaksi cewek itu nanti. Ari bahkan telah memikirkan hal yang paling buruk sekaligus.

Setelah mantap, ia keluar dari balik semak-semak. Baru satu langkah, ia tercekat. Motor besarnya ada di depan rumah Tari. Kaget, Ari terpaku. Ia langsung bersembunyi kembali saat handle pintu rumah Tari bergerak. Lalu keluarlah kedua orang itu dari dalam rumah. Mereka adalah Tari dan satu orang yang sudah bisa Ari duga: Ata.

Wajah Tari tampak sembab. Sisa-sisa air mata tampak menghiasi wajahnya. Dari balik semak tempat Ari  bersembunyi ia bisa melihat Ata memegang kedua pundak Tari dan menyampaikan sesuatu. Tari kini malah menutup wajahnya kedua tangan untuk menyembunyikan tangisnya.

Ata tentu tak bisa diam begitu saja. Ia mendekap Tari dan membawanya kembali masuk ke dalam rumah. Ata tak ingin orang-orang melihatnya dalam kondisi seperti ini.

Ari kini berdiri tegak di balik sebuah pohon. Walau Ata saudara kembarnya sendiri namun tetap saja ia merasa iri melihatnya Tari. Tapi tunggu, harusnya ia tidak boleh merasa iri karena dialah penyebab dari air mata itu. Iri telah berganti menjadi sakit.

****

"Tar, Ari kecelakaan"

Kalimat Ata menciptakan gaung yang tak bisa menghilang dari kepala Tari. Ia justru makin mengeras dari waktu ke waktu. Membuat kelimbungan itu merajai otak dan hatinya.

Dua puluh menit yang lalu ia tiba di kamarnya. Duduk begitu saja di balik pintu dengan semua property yang masih lengkap menempel di baju seragamnya. Tubuhnya berada disini sedangkan pikirannya berada jauh dari sini.

Tari telah sampai pada dimana hatinya tak bisa bertahan lebih jauh lagi. Ia makin rapuh hari demi hari. Kabar ini seperti pukulan pamungkas yang berhasil membuatnya tak bisa lagi tegak berdiri. Ia melambaikan  tangan tanda ia telah menyerah.

Mendengar salah satu kabar dari cowok itu ia layaknya telah menemukan separuh hatinya yang hilang. Tapi tragisnya justru ada bagian lain yang kini beranjak pergi. Meninggalkan sakit yang mampu meremukkan jantungnya.

Air mata itu turun dan menciptakan sungai kecil di kedua pipi Tari. Pelan, Tari menyentuh dadanya. Rasanya nyeri dan sesak sekali. Nyeri saat mengetahui ia bukanlah orang yang ada di samping cowok itu pada masa kritikal seperti ini. Sesak saat ia menyadari tak ada jawaban apapun yang mampu membungkam pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi otaknya.

Boneka night furry dalam film How to Train Your Dragon tergeletak di atas kasur. Benda itu begitu usang karena selalu menjadi hal pertama yang ia cari saat cairan bening itu mulai menggenang di pelupuk mata. Ragu, ia sentuh boneka pemberian Ari itu lalu berkata dalam hati. Toothless, I am sorry for the tears.

Tari menghembuskan nafas. Setelah apa yang ia lalui, ia tak tahu mana yang lebih sakit, melihat cowok itu bersama yang lain atau mendapati cowok itu terbujur tak sadarkan diri di ruang ICU. Yang pasti keduanya cukup membuatnya menjadi serapuh kaca.

Tok! Tok! Tok! Ada seseorang di luar kamar Tari yang mengetuk pintu. Sebetulnya Tari enggan sekali bertemu siapapun saat ini -apalagi dengan bengkak di kedua matanya sekarang. Demi Tuhan, dengan segala kepura-puraan-untuk-bersikap-seolah-semuanya-baik-baik saja-nya selama ini, yang ingin ia lakukan hanyalah menangis seharian, atau minimal bertemu temannya  yang paling setia sedunia: Fio.

Tari berdiri membuka pintu kamar lalu. Lewat celah kecil yang ia buka, ia mengintip ke luar. Dan ternyata Tuhan mengabulkan doanya dengan begitu cepat.

Wajah Fio terlihat khawatir. "Tar, lo kenapa? Ata bilang lebih baik gue nginep di rumah lo hari ini. Elo.."

Mendadak mengeluarkan suara adalah hal yang sulit bagi Fio karena Tari langsung menerjang ke depan lehernya dan memeluk Fio. Kini pertanyaan itu tak lagi berguna karena setelah air mata itu keluar, Fio baru akan mendapat jawabannya. Karena melihat tangisan Tari yang seperti ini, apa yang keluar dari mulut cewek itu pasti bukan lagi kalimat utuh, melainkan potongan kata-kata penuh isak yang ia yakin tak ada satu orang pun yang mengerti apa yang dikatakannya.

Fio menggiring Tari masuk ke dalam kamar dan membiarkan cewek itu menangis sepuasnya.

Jingga Untuk MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang