fourteen

10.9K 285 5
                                    

Ari terbangun saat menjelang pagi. Ia terperanjat. Tubuhnya banjir keringat. Sepi dan lengang membuatnya begitu asing. Sama halnya dengan mimpi yang baru saja usai di dalam tidurnya. Mimpi yang selalu berulang di pertengahan bulan desember.

Nafas Ari tersengal. Ia berjalan menuju dapur. Ia menyambar air putih pertama yang dilihatnya di dalam kulkas. Dengan cepat Ari meneguk air itu masuk ke dalam kerongkongan dan berharap air itu juga menghayutkan segala kerisauannya.

Ari berlari ke kamar. Mencari-cari sebuah benda yang sebelum tidur ia lempar begitu saja di atas kasur:ponsel. Langsung ia menekan tombol kontak saat ia menemukan benda itu di bawah bantal. Lagu radioactive sebagai nada tunggu terdengar setelah mendial nomor Ata.

Dan Ata baru menjawabnya saat dering ke delapan "Ya.. Haloo" suara Ata terdengar berat. "Siapa ini?" Melihat siapa yang menelponnya di tengah malam buta seperti ini mungkin adalah hal terakhir yang akan dilakukannya. Diangkat aja udah untung!

"Ta. Ini gue, Ari"

"Kenapa?"

"Ng.. gue.. gue.." Ari tergagap bahkan untuk memulai semuanya. Entah pada siapa atau apa yang harus diungkapkannya, Ari merasa kebingungan. "Mama mana Ta?"

Ata menyatukan alis. Lalu ia berdeham. "Denger ya Ri, bahkan sejak umur 3 tahun gue selalu tidur sendiri. Beda sama lo! Terlalu aneh kalo lo tanya kayak gitu. Yang gue tau Mama selalu tidur kamar, kalo elo enggak keberatan lo boleh dateng sekarang dan ketuk kamarnya sendiri!"

Ata menekan tombol merah. Masih kesal karena telepon Ari, ia melempar ponselnya begitu saja di atas kasur. Lalu ia tatap jam dinding sambil berdecak. Sekarang baru jam 2, dia pasti kesulitan untuk tidur lagi.

Di kamar lain, Ari menghela nafas. Ia tahu tak seharusnya menelpon Ata di jam-jam seperti ini. Namun, ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia mungkin bisa menahan kerisauannya bertahun-tahun belakangan tapi tidak untuk kali ini. Mimpi itu telah berulang bahkan tiga kali di minggu ini.

Ari memijat pelan dahinya. Kepalanya pening. Tak lama ponselnya bergetar dengan layar yang menunjukan nama yang bahkan di luar dugannya: Ata.

"Kenapa tiba-tiba lo nyariin Mama?" Tanya Ata langsung.

"Gue.. gue.." Ari terdiam. Sulit sekali rasanya mengungkapkan mimpi yang bahkan tak ia mengerti. "Gue enggak.."

"Elo enggak ngerti gimana cara buat jelasinnya?" Tebak Ata.

Ragu, Ari mengakuinya. "Iya. Gue enggak tau ini namanya apa. Gue enggak tau mesti mulai dari mana. Setiap tahun gue selalu mimpiin hal yang sama. Dari mulai yang awalnya indah sampe yang aneh-aneh. Dan yang buat gue sekhawatir ini justru bagian akhirnya, karena lagi-lagi gue selalu liat Mama"

Di seberang, Ata terdiam. Cowok itu mematung. Ia tahu seperti apa kerisauan Ari. Karena ia pun juga merasakannya. Tentang kekhawatiran yang tak terjelaskan. Tentang perasaan cemas yang terus bersembunyi dibaliknya. Dan tentang sekuat apa pertahanannya untuk bersikap seolah baik-baik saja.

"Gue enggak tau mesti cerita ke siapa. Gue juga enggak tau kenapa gue telepon lo. Apa.. apa menurut lo Mama baik-baik aja? Gue ngerasa akan ada sesuatu.. sesuatu yang.. entahlah.." suara Ari mengecil dan akhirnya hilang sama sekali.

"Makanya sebelum tidur jangan lupa minum susu!" Tandas Ata. "Atau jangan lupa cuci kaki terus sikat gigi"

Ari menyatukan alis, kesal. Jawaban yang ia dengar ternyata sangat jauh dari yang ia harapkan.

Di sebrang Ata terkekeh. "Elo cuma terlalu capek aja. Jangan dipikirin Ri" jawabnya sebelum Ari benar-benar datang ke rumahnya dan melemparnya dengan sandal. "Gue.. gue enggak pernah mimpi apa-apa. Kalopun gue mimpi bangun-bangun pasti gue udah lupa"

Jingga Untuk MatahariWhere stories live. Discover now