thirty six

10K 275 17
                                    

Operasi pada kepala Ari berhasil. Ia telah berada di ruang perawatan dan masih dalam pengawasan dokter. Jika hasil observasi menunjukan hal yang positif ia diperbolehkan pulang dalam seminggu ke depan.

Ata adalah orang yang yang ada di depannya saat ia membuka mata. Pertama kalinya dalam keadaan ini, Ari tersenyum.

"Ngapain lo senyum-senyum?" Tanya Ata cuek. Padahal melihat cowok itu membuka mata adalah hal yang paling ia inginkan saat ini.

"Aduh.. duh.. duh.." erang Ari.

"Eh kenapa? Apa yang sakit?" Ata Panik. "Gue panggil dokter ya. Dok.. dok.." Ata beranjak berniat untuk keluar ruangan.

"Nggak. Tangan gue nyeri banget kalo gue senyum" Ari lalu terdiam dan mengigit bibir. "Mama sama Papa kemana?"

"Di ruangan dokter. Bahas tentang kondisi lo" Ata duduk di sofa sebelah tempat tidur Ari lalu mengeluarkan ponsel. "Gimana rasanya tiga kali operasi? Plus koma lima hari?"

"Arrggghhh.. unexplainable. Gue sampe nggak tau harus ngerasain sakit pada bagian mana dulu"

Ata tertawa, adiknya ini telah kembali seperti semula tak lama ia mengangguk pelan. Ialu ia tatap adiknya itu lekat-lekat seperti meminta satu ketegasan. "Udah selesai kan? Semuanya?"

Ari mengalihkan wajahnya pada Ata pelan-pelan. Sedikit gerakan saja pada tubuhnya berdampak sakit yang luar biasa. Cowok itu mengangkat kedua alisnya tanda bertanya.

"Gue tanya, apa urusan lo sama Angga udah selesai?" Tanyanya gamblang. Seperti perkiraan Ata Ari terdiam. "Ini semua bukan ulah dia kan?"

"Ta, yang pasti kecelakaan ini nggak ada hubungannya sama dia"

"Tari tanya siapa yang bawa elo kesini. Gue nggak bilang itu Angga. Apapun yang terjadi itu cuma antara elo dan Angga, gue rasa Tari nggak perlu ikut campur takutnya terjadi hal-hal yang nggak seharusnya. Apalagi kemarin elo masih koma, gue nggak mau keadaan tambah runyam"

"Iya Ta. Lo bener. Tari itu urusan gue dan gue janji akan menjelaskan semuanya saat waktunya sudah tepat"

"Good!" Ata mengatur nafas. Ia tahu ia harus melakukan persiapan untuk mengatakan hal ini. "Dan tentang mama-papa, dari mana elo tau kalo.."

"Jadi bener mereka nggak pernah bilang ke elo? Ya Tuhan!" Seru ari sambil memejamkan mata, pasrah. "Pantesan gue selalu mimpi aneh dan endingnya gue selalu liat Mama. Ternyata itu bener-bener pertanda. Dan elo tau gue tau dari mana? Dari.. " kalimat Ari terhenti. Ia tak yakin bisa menjelaskannya. Ia bahkan masih tak percaya apa yang ia lakukan lima hari ini.

"Dari mana Ri?"

"Dari.. dari tadi" Ari tersenyum jahil.

"Malah bercanda" Ata memutar kedua bola matanya.

"Ta, kalo gue jelasin juga elo nggak bakal percaya. Belum juga dua puluh empat jam gue sadar. Kasih gue waktu santai-santailah" Ari tersenyum jahil.

"Haduuhhh. Elo bisa berkilah kayak gini berarti elo udah balik normal Ri!" Cela Ata. Dan Ata pun sebetulnya juga mengalami mimpi aneh yang selalu berulang sembilan tahun ini, namun cowok itu enggan membahasnya.

Di saat yang sama kedua orang tua mereka tiba dari ruangan dokter. Mereka menghambur ke sisi kanan dan kiri Ari. Keduanya tampak lega karena Ari telah membuka mata.

"Kamu udah sadar sayang" kata Aninda."Apa yang sakit?"

"Udah Ma, Pa" Ari berusaha tersenyum sambil melirik ke wajah kedua orang tuanya. "Nggak ada yang sakit Ma. Ari kan kuat" Ari berusaha tersenyum. Tapi kemudian ia mengerang pelan karena gerakan senyum pada bibirnya membuat tangannya begitu nyeri.

Jingga Untuk MatahariWhere stories live. Discover now