My Cinderella (revisi)

By Dee_ane

254K 9.3K 1.5K

Setelah setahun didiagnosa gagal ginjal kronis dan ditinggal pacarnya, akhirnya Cinde Anindyaswari mulai mela... More

Prolog
1. Langkah Pertama
2. Tugas Pertama
3. Ke Semarang
4. Kesempatan Kedua
5. Ketahuan
6. Business Trip Plus Plus
7. Kenangan Lama
8. Celoteh Cinde
9. Rumor
10. Business Trip ke Yogya
11. Seseorang Dari Masa Lalu
12. Sisi Lain Brave
13. Dari Bibir Turun ke Hati
14. Move On
16. Masa Lalu Yang Terkuak

15. Terjebak

6.1K 452 107
By Dee_ane

Hai, Deers! Brave dan Cinde datang lagi. Cerita ini hampir sama plotnya dengan alur berbeda. Semoga kalian sukak. Jangan lupa tinggalin jejak cintanya.

💕💕💕

Jelas saja permintaan Mama itu ditolak mentah-mentah oleh Cinde. Mengajak bosnya untuk dikenalkan pada Mama sepertinya itu bukan ide yang baik. Bagaimana tidak? Mereka hanya berstatus sebagai karyawan dan atasan. Tak lebih! Dan sepertinya reaksi jantung Cinde terhadap ciuman kemarin siang juga terlalu berlebihan. Buktinya Brave berlaku seolah tak terjadi apapun.

Sial! Berkali-kali Cinde mengumpat dirinya karena jantung yang berdetak kencang kala duduk di samping Brave. Ia bahkan takut kalau debarannya bisa didengar sang bos.

"Mbak Cinde, sudah ada kabar barang akan dikirim dari Kintamani Ceramic?" tanya Brave di tengah meeting pagi itu.

Sontak Cinde terlonjak. Lidahnya kaku. Bola matanya mengedar ke kanan kiri, melihat semua peserta briefing yang menunggu jawabannya. "Ehm, sudah, Pak. Kemarin mereka mengirimkan e-mail dan mengatakan kalau barang akan dikirim dalam minggu ini," kata Cinde cepat dengan pandangan tak fokus. la sengaja tak membalas tatapan Brave karena bila Cinde mendapati wajah Brave yang sepaket dengan bibir merahnya, maka otaknya secara otomatis akan memutar peristiwa itu.

Brave tersenyum lebar. "Oh, ya, dokumen perjanjian kerja sama dengan kafe Mas Nara sudah disiapkan pihak legal sesuai hasil diskusi kita kapan lalu di Jogja. Kemarin saya sudah tinjau dan mengirimkan langsung ke Mas Nara. Barusan dia ngirim pesan kalau sudah setuju dengan poin-poin yang kita usulkan. Katanya, sore nanti dia mau ke Solo, jadi mau sekalian tanda tangan kontrak. Jadi, Mbak Cinde, tolong siapkan dokumen kontraknya ya?"

Sebenarnya Cinde ingin Brave menolak tawaran kerja sama dengan kafe Nara. Ia tidak ingin berhubungan dengan laki-laki yang telah melukai hatinya. Namun, sebagai karyawan biasa, mau tak mau Cinde hanya mengiyakan saja.

Embusan napas keras mengibarkan poni Cinde ketika briefing berakhir pada pukul sembilan. Setidaknya ia bisa menenangkan jantungnya karena tak perlu lagi duduk di sebelah Brave. Dengan tatapan kosong, karena otaknya dipenuhi pikiran tentang kejadian kemarin, pekerjaannya yang harus mengirim kontrak, dan tentang Nara yang setahun ini berhasil membangun usaha impiannya, Cinde membereskan barang -barangnya.

"Mbak Cinde, saya perhatikan dari tadi kamu sering ngelamun. Ada masalah?"

Cinde terkesiap dan tersadar saat mendengar suara berat itu menyapanya. Brave masih ada di sampingnya … di ruang meeting itu. Padahal ia mengira sang bos sudah meninggalkan ruangan bersama para direksi. "Bapak kok masih di sini?" Cinde mengerjap, tapi kemudian ia pura-pura menyibukkan diri lagi membereskan kertas yang sebenarnya sudah ia tumpuk karena tak berani membalas tatapan Brave yang intems.

"Ada apa? Apa badanmu nggak nyaman?"

Jantung Cinde berdetak semakin kencang mendengar pertanyaan bernada cemas. Seharusnya tak ada intonasi lembut yang membuai hati gersangnya. Bukannya Brave Ganendra terkenal dengan seorang bos yang galak? Kenapa jadi halus begini?

"Sa-saya … nggak papa. A-ada yang bisa saya bantu?" Keringat tipis mulai merembes karena kegugupannya. Cinde sekarang persis seperti gadis remaja yang sedang berhadapan dengan gebetannya.

Melihat cara duduk Cinde yang tak tenang, tangan Brave terulur untuk mengecek dahi yang terlihat basah. "Kamu sa—"

Namun, secara refleks, Cinde menangkis. "Saya nggak pa-pa, Pak."

Brave menarik tangannya. Wajahnya yang lembut seketika berubah gusar. "Oh, ya, tolong booking-kan resto Orient. Saya mau ngajak Mas Nara makan malam. Biar penandatanganannya di sana sekalian.

"Jadi penanda tanganannya bukan di kantor?"

"Iya.

Ada kelegaan di sorot mata Cinde. Setidaknya ia tidak perlu berjumpa dengan Nara. Laki-laki itu selalu membuat hidupnya berubah 180 derajat dalam hitungan detik yang selalu membuat hidup Cinde jungkir balik. Sekarang ataupun dulu. Di saat Cinde sudah mulai akan move on, seolah Nara menghantui untuk menjegal niatnya. "Sebenarnya, Pak, bukankah penandatangannya bisa secara digital? Tidak perlu beliaunya datang ke Solo."

"Sebenarnya bisa begitu. Tapi sebuah kerja sama harus dipupuk dari kedekatan hingga kita bisa mempertahankan kepercayaan klien. Relasi itu yang harus kita jaga," ucap Brave tenang. "Jadi, siapkan semua, mulai dari tempat dan menu, serta dokumennya untuk nanti jam 7. Kamu ikut juga, ya?"

"Kenapa saya, Pak? Ada direksi lainnya." Nada protes Cinde kembali mendominasi. Tadinya, ia pikir bisa terbebas dari Nara.

"Sekalian saya mau traktir sebagai balas budi sayur sop kemarin." Brave lalu bangkit, meninggalkan Cinde yang melongo sendiri.

***

Sepertinya selain Cinde dan Brave, tak ada orang yang tahu rencana dinner bersama klien malam ini. Karena Brave mengajak makan malam ke resto Orient yang terkenal dengan menu masakan oriental, maka Cinde pun mematut diri dengan balutan dress batik selutut. Dandanan tipis ia sapukan ke wajah untuk menutup raut pucat agar terlihat segar.

Kecurigaan Mama kembali menggelegak karena melihat Cinde yang mandi lebih awal dan tak segera bergabung di ruang keluarga untuk bercakap santai di sore hari. Rasa ingin tahunya pun semakin besar melihat putrinya sudah rapi saat keluar kamar. "Mau ke mana, Dek?" tanya Mama dengan alis mengerut.

"Dinner kantor, Ma."

Papa yang dari tadi menekuri hp, sibuk membaca berita, seketika mendongak. Kacamatanya melorot ke ujung hidung. "Ke mana?"

"Ke Orient."

Saat Cinde akan menyalami Papa untuk berpamitan, pria paruh baya itu justru bangkit. "Ayo, Papa antar."

"Kok diantar?" Nada Cinde meninggi. Dia tidak ingin Papa tahu ia akan bertemu Nara.

"Iya, Dek. Udah malam. Nanti pulangnya, biar Mas Chandra yang jemput," imbuh Mama setuju dengan suaminya.

"Ma! Aku itu bukan anak kecil!" Kali ini Cinde tidak bisa menyembunyikan gusarnya. Dari kecil sampai usianya sudah seperempat abad, Papa selalu menjadi satpamnya. Ditambah Chandra yang tingkahnya juga seperti bodyguard yang siap menghantam siapapun yang hendak mendekati Cinde. "Ini urusan kantor kok! Masa aku diantar jemput kaya anak kecil!"

"Tetep aja! Papamu khawatir sama kesehatanmu. Sejak kerja, kamu seperti jadi budak korporat. Dinas luar, business trip beberapa hari, trus ini malah kerja di luar jam dinas!" Mama terus saja mengomel.

Cinde menatap Papa yang irit bicara itu. Laki-laki yang di mata Cinde masih sama gagah walau kerut mulai menghiasi wajah itu, tanpa banyak kata berjalan ke arah gantungan kunci dinding dan mengambilnya. Mau tak mau, Cinde pun mengalah, mengingat jam dinding ruang keluarga sudah berdentang enam kali.

Dalam perjalanan menuju ke resto oriental itu, Cinde hanya memberengut. Sikapnya persis seperti anak TK yang tak dituruti keinginannya. Tak ada lisan terucap dari bibir yang selalu berceloteh riang di depan Papa Mama. Dia hanya kesal dengan semua yang terjadi hari ini—ciuman kemarin, Brave yang seolah menganggap biasa, perusahaan yang akan bekerjasama dengan kafe Nara, serta dinner dengan Nara malam ini. Ia luapkan semua kejengkelannya itu pada Papa.

Dehaman berat menggaung di seluruh kabin mobil. Papa yang awalnya bersenandung ringan mengikuti alunan musik MLTR kesukaannya, kemudian membuka suara. "Dek, ada masalah di kantor? Papa perhatikan, sejak kemarin kamu rada nggak fokus. Kalau memang berat, sebaiknya dilepas. Nggak baik menggenggam terlalu erat. Yang ada kita akan kelelahan sendiri. Papa nggak pengin putri sayangnya Papa sakit."

Rahang Cinde mengetat. Papa memang paling tahu apa yang Cinde rasakan walau tak diungkapkan. Beruntungnya Mama punya suami sebaik Papa yang walau diomelin tetep diam, bahkan berusaha membuat lelucon untuk menggapai hati istrinya. Seandainya ada laki-laki sebaik Papa untuknya, pasti Cinde sangat senang. Tapi, seketikanya dia menggeleng, mengempaskan angan yang ketinggian. Ia sudah tak seperti dulu. Cerita romantis sepertinya hanya ada di drama Korea. Tidak akan terjadi untuknya.

"Nggak, Pa. Masalah di kerjaan kan udah biasa. Di mana-mana pasti ada," alibi Cinde.

"Lalu, sore tadi kenapa wajahmu kusut banget pas pulang?" cecar Papa.

Cinde meneguk ludah kasar. Haruskah ia bercerita kalau bosnya tidak sengaja menciumnya dan Cinde merasa kesal karena pagi tadi atasannya itu bersikap biasa?

"Nggak sih. Mau mens mungkin." Cinde memberikan cengiran. Tapi ia tak bohong karena memang dia hampir mendapatkan siklus bulanannya.

Papa hanya bisa mendengkus pelan. "Dek, Papa tahu kamu mungkin menganggap kami berlebihan. Tapi, Mama, Papa, Mas Chandra, nggak pengin kamu sakit."

"Pa …" Cinde menatap sendu sang papa. "Aku baik-baik aja. Papa nggak usah khawatir. Oke?"

Senyuman lebar akhirnya terbingkai di wajah berkumis tipis. Lelaki paruh baya itu mengacak rambut Cinde yang berpotongan bob pendek. Setelah itu, tak ada percakapan berarti hingga akhirnya mobil berhenti di depan resto.

Seperti biasa, Brave sudah ada di sana. Padahal Cinde merasa tidak terlambat datangbkarena ia tiba lima menit sebelum pukul tujuh malam. Dengan tergesa, Cinde menghampiri sang boss dan menyapanya ramah.

"Malam, Pak. Maaf terlambat " Cinde duduk di bangku sebelah kanan Brave.

Brave melirik jarum di jam tangannya. "Masih lima menit lagi."

Selanjutmya suasana hening. Lidah Cinde tiba-tiba kaku. Ia bingung hendak mencari bahan pembicaraan. Padahal biasanya Cinde akan bercakap renyah dengan Brave.

"Tumben diem?"

Alis Cinde mengernyit. Ia merutuki tenggorokannya yang tercekat dan tak bisa menggetarkan pita suaranya. Tapi, bagaimana juga Cinde bisa bercakap bebas kalau kata-kata di otaknya seketika hilang. Bahkan untuk menjawab pertanyaan Brave saja, Cinde tak menemukan kata yang pas.

"Sariawan?"

Cinde hanya mengangguk, lalu memalingkan wajahnya yang merona. Saat ini Cinde mirip remaja yang tiba-tiba salah tingkah di depan gebetannya.

"Apa karena mau datang bulan? Katanya selain jerawatan, bisa juga sariawan "

Mata Cinde membeliak, tak percaya Brave melanjutkan obrolan mereka yang entah kenapa berujung menjadi absurd. "Ih, Bapak ini kok nebaknya ke situ?"

"Habis pacar saya dulu sering sariawan kalau mau mens."

Sontak, hati Cinde tercubit saat Brave menyebut pacarnya. Gadis itu hanya bisa tersenyum simpul, dan dalam hati menertawakan kebodohannya. Untuk apa semalam kemarin ia sampai tidak bisa tidur memikirkan Brave? Jelas sekali, ciuman itu bukan hal penting bagi Brave.

"Bapak sayang banget ya sama pacar Bapak."

Brave mendengkus pelan, mengurai tarikan bibir tipis. "Ya … begitulah."

Rahang Cinde mengerat, walau ia berusaha menarik bibirnya lebih lebar. Rasanya otot pipi gadis itu terasa kaku, enggan menerbitkan senyum. Ia kembali membuang muka untuk menyembunyikan perasaan canggung.

"Sori, telat!"

Suara Nara yang terdengar kemudian, semakin memperburuk suasana hati Cinde. Detik ini, rasanya Cinde ingin lari menjauh dari dua laki-laki yang sedang berjabat tangan itu. Berada di antara mereka membuat Cinde tak nyaman. Brave dengan sikap yang biasa seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka dan Nara yang suka senyum-senyum sendiri seolah lupa bahwa pria itu pernah meninggalkannya saat ia terpuruk.

Namun, sepertinya hanya Cinde yang kebakaran jenggot sendiri. Dua pria itu justru terlihat bercakap santai, seperti dua sahabat yang sangat akrab. Sementara itu, Cinde hanya banyak diam tapi tak mendengarkan pembicaraan renyah mereka.

"Selamat bergabung di d'kopi, Mas Nara." Brave menjabat tangan Nara sekali lagi begitu perjanjian kerja sama sudah ditanda tangani.

Bola mata Cinde bergulir ke kanan kiri, bergantian menatap Brave ke Nara, kembali lagi ke Brave. Ia tak menyangka hidupnya akan bersinggungan lagi dengan Nara yang telah menorehkan luka di hati. Dalam benaknya Cinde berharap agar Brave tak mengetahui hubungan pahitnya dengan lelaki berwajah Arab itu.

**** CINDE****BRAVE****
💕Dee_ane💕

Kalian lebih suka tipe cowok klimis kek oppa Korea atau cowok2 brewokan ala2 Arab? Kalau aku lagi suka cowok2 yang brewokan nih.


Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 175K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...
1M 13.7K 34
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1M 46.5K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
145K 18K 21
Sebastian lebih mencintai rumus-rumus Fisika dan penelitian sainsnya dibandingkan wajah cantik yang berkeliaran di sekelilingnya. Dengan wajah tampan...