SHIT HAPPENS [RE-PUBLISH]

By DesyMiladiana

775K 12.1K 189

~ Keira Tan ~ Benjamin Orlando, begitu katanya setahun yang lalu. Ben adalah sahabat terbaik dari Calista, s... More

BAB 1 - When it Start
BAB 2 -- Unexpected Night
BAB 3
BAB 4
BAB 5 - Kenzo
BAB 6
BAB 7
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
EPILOG

BAB 8

5.5K 581 6
By DesyMiladiana

KEIRA

Aku memperhatikan sekeliling apartemen malam ini. Sudah tiga hari berlalu sejak kembalinya Ben ke Berlin, tapi entah kenapa aku tiba-tiba merasakan bahwa aku mulai merindukan sosok pria itu. Padahal baru saja sejam yang lalu dia menghubungi kami. Walaupun dia lebih banyak mengobrol dengan Ken, tapi setidaknya aku bisa mendengar suara beratnya serta suara tawanya itu sudah lebih dari cukup bagiku.

Josh, aku mendesah pelan ketika mengingat sahabatku itu. Sepertinya dia benar-benar marah kepadaku. Bukan Josh namanya, jika tidak menghubungiku lebih dari sehari apalagi ketika dia berada di Perancis. Sejujurnya aku tidak berniat memarahinya ketika insiden yang terjadi tiga hari yang lalu. Omelan itu hanya tiba-tiba saja keluar, tidak tahunya efeknya akan seperti ini.

Ting tong!

Terdengar suara bel apartemenku berbunyi. Aku melirik jam dinding sekilas, hampir pukul sepuluh malam dan orang gila mana yang bertamu semalam ini? Lagipula, aku tidak punya banyak teman yang bisa mendatangiku kapanpun mereka mau. Tidak teman kampus, bahkan teman di butik.

Apa mungkin pegawai apartemen atau semacamnya? Tapi untuk apa mereka mendatangiku semalam ini? Segera saja aku menutup sketch book serta menaruh pensil yang sejak tadi kugunakan, kemudian bangkit untuk pintu.

"Sia—" Seketika aku terdiam saat menemukan sebuah tangan terulur dengan se-bouqet mawar merah.

"Je suis désolé." Aku menengadah mendengar suara yang sangat aku kenal.

Josh berdiri di hadapanku. Wajahnya menatapku dengan tatapan menyesal. Aku tahu Josh, dia pasti tidak menyukai pertengkaran konyol ini. Tanpa banyak berkomentar aku meraih mawar tersebut, kemudian mencium baunya sembari menutup mataku rapat-rapat. Harum.

"Sorry for everything, Kei."

Aku menengadah kembali sembari menatap sepasang mata gelap sipitnya. Dia benar-benar tulus dan kesungguh-sungguhan. Kepalaku langsung mengangguk pelan. "Aku juga minta maaf padamu. Kita melakukan hal konyol dengan bertengkar hanya gara-gara masalah seperti itu."

Perlahan Aku mundur beberapa langkah untuk memberi jalan Josh memasuki apartemen. Pria itu langsung masuk, terlihat sangat nyaman berada di sini. Maklum saja, dia hampir setiap hari datang saat berada di Paris. Entah hanya mengantar kami berbelanja atau bermain dengan Kenzo.

Josh melangkah melewati ruang tamu, berbelok menuju daput. Tidak seperti biasanya yang langsung duduk begitu saja di ruang tamu, melepaskan mantel cokelatnya sembarangan di sofa, lalu berlalu memasuki kamar Kenzo. Hari ini dia dengan baik hatinya mengambil sendiri minuman di kulkas.

"Duduklah di sofa bed, Kei," perintahnya.

"Kau tidak seperti biasanya."

Seringai muncul di wajahnya, tanpa repot-repot membalas ucapanku. Walaupun enggan, aku tetap menuruti perintahnya menuju ke sofa bed dan mengambil kembali bergumul bersama sketch book ku. Waktunya kerja kembali.

Sembari menunggu Josh dan ketidak jelasannya, aku kembali menyibukkan diri. Tanganku dengan terampil mulai menggambar beberapa desain wedding gown yang klien inginkan. Tanpa sadar aku mendesah pelan ketika menyadari, kapan aku akan mengenakan sebuah wedding gown untuk pernikahanku sendiri? Rasanya sedih setiap kali melihat begitu banyak desain wedding gown yang kurancang untuk orang lain, tapi tidak ada satu pun desain itu untuk pernikahanku sendiri.

"So, kau tidak ingin menceritakan sesuatu kepadaku. Anything?" Tiba-tiba sebuah suara menyadarkanku dari lamunan.

Josh sudah berdiri di sampingku sembari memegang dua buah cangkir yang kutebak berisi dua kopi panas, karena aroma kopi yang khas cokelat menguar ke seluruh indra penciumanku.

"Kei," panggil Josh sekali lagi saat aku hanya menatap kosong cangkir yang dia pegang.

Sebelum dia kembali memanggil namaku, buru-buru Aku meraih salah satu cangkir yang dia sodorkan. Menyesap kopi tersebut, merasakan bagaimana sebuah minuman yang begitu pahit tapi memiliki cita rasa sempurna. Jujur, kopi buatan Josh bukanlah favoritku. Pria ini selalu menyukai tambahan cremer ataupun gula cair di dalamnya, menyebabkan rasa pahitnya seolah tidak lagi terasa. Harusnya rasa pahit yang membuat kopi ini semakin memikat. Kopi selalu memiliki kisah tersendiri untukku, seperti bagaimana kehidupan yang sebenarnya itu. Di setiap tetes rasa pahitnya, ada rasa nikmat yang bisa kita sesap. Sebagai tanda terima kasihku untuk Josh, aku menyesapnya sedikit.

"Thanks," balasku sembari meletakkan gelas tersebut di salah satu nakas yang tertelak tidak jauh dari tempatku. "Ini aneh. Tidak biasanya, Josh?" Aku kembali bertanya kepadanya.

Josh menatapku sembari menaikkan sebelah alisnya. "Maksudnya?"

"Kau bukan orang yang tiba-tiba saja membuatkanku minuman, Josh. Kau orang yang suka memerintah."

"Oh, ayolah. Ini hanya sebagai tanda permintaan maafku. Bukannya berbaik hati dengan seorang wanita cantik itu diperbolehkan?" Dia kembali menyeringai sembari menyesap kopinya.

Sedikit kesal, tanganku meraih cushion untuk kulempar kepadanya. Tapi, tangan Josh lebih sigap dengan menangkap cushion tersebut sebelum mengenai wajah tampannya. "Dasar tukang rayu!"

"Jadi, kau tidak ingin menceritakan sesuatu kepada kakakmu ini?" Dia mengulangi pertanyaannya kepadaku.

"Cerita apa?" Aku bertanya dengan nada malas. Sebenarnya aku tahu ke mana arah pembicaraan ini. Tapi menurutku ini privasiku dan aku tidak ingin membagi rahasia ini kepada siapapun termasuk Josh. Walaupun, semua orang tahu bagaimana aku menganggap Josh.

"Semua orang tahu bahwa kau begitu judes dan anti terhadap laki-laki, tapi bisa begitu saja berpacaran dengan pria yang bahkan baru kau kenal selama dua hari, Kei. Bukankah itu aneh?"

"Aku sudah mengenalnya lama, Josh. Lima tahun." Aku membentuk angka lima di tangan.

"Tapi tetap tidak mungkin. Kalian baru berjumpa, lalu mendadak menjadi sepasang kekasih, tapi yang paling mengejutkan adalah Kenzo dengan mudahnya memanggilnya Daddy."

"Everyting was possible, Josh." Aku menggerutu pelan, sungguh aku tidak ingin membahas ini sekarang.

Aku lelah fisik dan batin. Deadline pekerjaan yang tanpa henti. Kerinduaan akan sosok Ben yang berada jauh di Berlin. Lalu sekarang aku juga harus dikejar pertanyaan kepo Josh.

"Tapi untuk kasusmu tetap aneh sekali." Dia masih ngotot dengan argumennya.

Rasanya malas jika terus meladeni Josh yang keras kepala dan selalu ingin tahu apapun yang urusanku. Aku menaikkan kedua bahuku, malas memberinya komentar lebih lanjut. Lebih baik aku melanjutkan pekerjaanku yang tertunda karena kedatangan Josh.

"Apa dia ayah kandung Kenzo, Kei?"

Seketika kegiatanku terhenti, pandanganku kembali tertuju padanya. Kali ini aku benar-benar kesal. "Is not your business, Josh. Aku tidak akan menceritakan apapun tentang siapa ayah kandung Kenzo dan tentang hubunganku bersama pria itu."

Dia mengerjabkan kedua matanya beberapa kali, jelas terkejut dengan reaksiku kepadanya. "What?"

"Kalau kau sudah tidak ada keperluan lagi, silahkan pergi. Aku lelah dan ingin tidur."

Tanpa basa-basi lagi, Aku langsung membereskan pekerjaanku. Dia masih duduk terpaku di tempatnya, bahkan ketika aku sudah memasuki pintu kaca menuju ke kamarku. I'm Sorry, Josh. Aku hanya ingin ini menjadi rahasia untuk diriku sendiri.

******

Rasanya waktu berjalan sangat lambat akhir-akhir ini. Sudah hampir dua bulan sejak pertemuan kami kembali dan sudah hampir sebulan Ben tidak berkunjung ke Paris untuk sekedar menemui Kenzo ataupun menghabiskan weekend-nya bersama dengan kami. Bukankah Ben sudah berjanji untuk minimal sekali dalam sebulan datang berkunjung.

Aku merindukannya, sangat merindukannya. Bahkan, air mataku sudah nyaris meleleh setiap kali melihat wallpaper ponselku sendiri. Hanya foto kami bertiga yang diambil ketika Ben datang berkunjung sebulan yang lalu. Dia menghabiskan waktunya bersama kami selama beberapa hari. Saat itu adalah saat di mana aku merasakan bahwa aku menemukan keluarga kecilku.

Ingatan hari itu berputar di kepala. Siang itu tiba-tiba seseorang membunyikan bel apartemen. Sedikit tergesa, aku berlari dari dapur untuk membuka pintu. Aku tidak bohong, bahwa aku terkejut menemukan Ben berdiri di depan pintu dengan sebuah koper besar di tangannya. Dia menyeringai kepadaku sembari melebarkan pintu.

Kemudian, Ben menginap di apartemen kami. Menghabiskan weekend-nya hanya di apartemen. Rasanya lengkap ketika melihat dua pria yang paling aku cintai dalam hidupku tengah bercanda dan saling berbagi kasih sayang. Bahkan, karena kedua priaku tidak ingin berpisah, kami bertiga terpaksa tidur seranjang dengan Kenzo di antara kami.

Malam itu ketika kami bertiga tidur seranjang. Saat itu aku saja yang masih terjaga, sedangkan dua orang priaku sudah terlelap pulas. Wajah Ben menghadap ke arahku, tangannya yang tadi berada di tubuh Kenzo tanpa dia sadari sudah meraih tubuhku juga ke dalam pelukannya. Aku mengamati wajahnya yang sama, tidak berubah bahkan setelah lima tahun berlalu. Hanya sedikit terlihat lebih dewasa dari sebelumnya. Efek yang pria itu berikan padaku tidak pernah berubah hingga sekarang. Bahkan di dalam keheningan malam, melihatnya terlelap, jantungku masih berdetak dengan gilanya.

Tiba-tiba aku merasakan seseorang bergerak di atas tempat tidurku, membuat lamunanku akan Ben sebulan yang lalu tiba-tiba saja sirna. Aku menoleh, mendapati Kenzo menaiki tempat tidur. Dia mengenakan baju tidur lengan pendek berwarna biru dongker bergambar bebek di mana-mana, serta celana panjang yang senada dengan baju tidurnya.

Dia mencoba meraih tubuhku. Segera saja aku meraih tubuh mungilnya ke dalam pelukanku, dan langsung menghujaninya dengan kecupan. Dia nampak murung, satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalan mengusap kepalanya sayang. "Ada yang mengganggu pikiranmu, Ken?"

Kenzo mengangguk pelan sembari memainkan rambutku. "I miss Daddy."

"Tadi kan Kenzo sudah telpon-telponan sama Daddy."

"Tapi tetap saja, Kenzo tidak bisa bermain dengan Daddy via telpon. Kenzo ingin Daddy di sini main sama Kenzo. Bercanda sama Kenzo."

"Hei." Aku menatap kedua matanya, "Kenzo sabar ya, sweetheart. Daddy masih belum bisa menetap. Ingat Daddy bilang sama Kenzo harus sabar?"

"Iya, Mom. Tapi...," tiba-tiba dia terisak pelan, lalu menyembunyikan wajahnya di lekuk leherku. "Kenzo rindu Daddy."

Aku mengusap punggungnya sayang. Kenzo tidak sendiri merindukan Ben, karena aku juga sama merindukan kehadiran pria itu di sini. Satu-satunya hal yang kuharapkan saat ini adalah dia cepat tinggal. Tanpa bisa kucegah air mataku ikut meleleh ketika menyadari bahwa kami berdua sudah benar-benar tidak bisa melepaskan Ben dari hidup kami.

"Mommy juga merindukan Daddy," bisikku yang sama terisaknya dengan anakku. Ben, pulanglah dan tetap tinggal. Kami merindukanmu. Aku mencintaimu, Ben.

******

Sebulan berlalu sejak malam aku dan Kenzo menangisi Ben berdua di kamar. Jangan tanya bagaimana hari-hariku selama sebulan terakhir, rasanya jauh lebih berat dari pada saat aku meninggalkan Ben beberapa tahun silam. Ben masih intens menelpon kami, sesekali kami juga video call. Tapi tetap saja, aku rindu bertemu langsung dan hal itu tidak bisa mengobati keinginanku untuk melihatnya secara nyata.

Tiba-tiba aku merasa janggal, sudah hampir sebulan ini dia tidak datang mengunjungi kami. Baiklah, dia selalu menepati janji untuk berkunjung kami setiap bulannya. Tapi ini sudah hampir sebulan dia tidak melakukan kunjungan. Lalu, parahnya adalah kemarin dia tidak menghubungi kami sama sekali. Bukankah dia sudah berjanji minimal sehari sekali menelpon? Kenzo marah-marah karena hal itu. Masalahnya aku sudah mencoba menghubungi Ben, tapi tidak diangkat.

Ben, desahku pelan karena tiba-tiba pikiran buruk mengenai janjinya muncul begitu saja. Jika dia benar-benar mengingkarinya, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Perlahan aku menarik troli belanjaku bersama Kenzo di dalamnya. Saat ini kami tengah berada di sebuah supermarket untuk berbelanja kebutuhan bulanan kami.

Seketika aku terdiam saat menemukan sepasang suami istri yang nampak mesra satu sama lain yang berdiri tidak jauh dari kami. Sang suami memeluk pinggang istrinya erat, sementara satu tangannya yang bebas dia gunakan untuk mendorong troli mereka. Lalu, anak perempuan mereka duduk di dalam troli sembari berceloteh yang terkadang celotehan sang anak mengundang tawa kedua orangtuanya.

Refleks aku memutar troliku ke arah lain agar tidak melihat pemandangan itu. Aku melirik Kenzo, kepalanya dia putar ke belakang untuk melihat keluarga kecil tadi. Astaga Ken, kau pasti menginginkan keluarga seperti itu ya? Maafkan Mommy ya, Kenzo. Andai saja keegoisanku bisa aku tekan sedikit, pasti saat ini Kenzo akan bahagia dan tidak mengirikan keluarga kecil tersebut. Tapi Mommy melakukan ini semua juga untuk Kenzo kok, agar jika suatu saat nanti apa yang Mommy khawatirkan terjadi, hanya Mommy yang sakit, jangan sampai Kenzo juga ikutan sakit. Tanpa sadar tanganku mulai mengusap pelan puncak kepalanya sayang.

"Es krim?" tawarku. Aku mendorong troli menuju ke bagian es krim.

Kenzo sudah kembali fokus kepadaku, dia menatap penuh minat ke arah es krim yang berjejer. Aku menghela nafas lega, setidaknya dia sudah terlihat baik-baik saja. "Strawberry, Mom," jawabnya bersemangat.

Aku terkekeh melihat tingkahnya yang begitu ceria, walaupun aku tahu dia berusaha untuk terlihat seperti itu. Tanganku sekali lagi mengusap pelan puncak kepalanya, lalu mengambil seember besar es krim strawberry kesukaannya sekaligus seember besar es krim rasa green tea kesukaanku.

Setelah menaruh dua ember es krim, aku mengambil kembali daftar belanjaan dan mulai mengeceknya. Sepertinya semua sudah lengkap. Segera aku mendorong troli menuju ke kasir untuk membayar seluruh belanjaanku. Selama perjalanan, aku dan Kenzo terus menerus bercanda untuk membuatnya melupakan tentang keluarga kecil tadi.

Lima belas menit mengantri, akhirnya kami selesai juga dengan dua buah grocery bag. Untung saja, meskipun Kenzo masih berusia tiga tahun, tapi dia mengerti bahwa aku adalah orang tua tunggal baginya. Dia juga mengerti bahwa terkadang ada saatnya dia harus melakukan sesuatu sendiri, contohnya saja di saat aku kesusahan membawa dua buah grocery bag besar ini sendirian Kenzo tidak merengek meminta digendong dan lebih memilih berjalan beriringan denganku.

"Kei," tiba-tiba seseorang memanggil namaku.

Dari kejauhan, aku menemukan Josh berjalan menuju kami. "Josh!"

Pria itu mempercepat langkah dan meraih Kenzo ke dalam gendongannya. Dia menatapku sembari tersenyum lebar. "Bagaimana kalau kita bertukar? Aku akan membawa belanjaanmu dan kau bisa menggendong Kenzo?"

Aku mengangguk sebagai jawaban. Pria itu segera menurunkan Kenzo dari gendongannya untuk meraih belanjaanku. Setelahnya, Kami bertiga berjalan bersisian kembali menuju ke apartemenku yang terletak kurang lebih 200 meter dari supermarket.

"Sebenarnya aku berniat menemanimu berbelanja, tapi ternyata aku baru ingat dan kalian sudah keburu berangkat duluan," jelas Josh.

"Kalau kau memang ingin menemani kami, kau bisa menghubungiku semalam atau tadi pagi."

Josh mengangguk. Tanpa sadar kami sudah sampai di apartemen. Segera saja Kami memasuki lift apartemen yang kebetulan sepi. Padahal sudah jam sepuluh di hari minggu yang cerah, tidak seperti biasanya. Aku berjalan mendekati panel lift, lalu dengan riangnya Kenzo menekan tombol lantai 20 tempat unit kami berada.

Selama menunggu lift berhenti di lantai yang kami tuju, Josh terus melemparkan joke-joke andalannya kepadaku. Dia selalu berhasil mengundang tawa. Ngomong-ngomong Josh dan aku benar-benar sudah berbaikan, sejak insiden pengusirannya di apartemen beberapa bulan yang lalu. Josh tidak berani bertanya-tanya tentang Ben kepadaku. Mungkin, dia takut aku marah lagi dengannya.

Ting!

Lift terbuka sempurna di hadapanku. Sebuah lorong luas dengan bagian kiri adalah beberapa pintu berjajar, lalu di bagian kanan hanya jendela-jendela besar dengan pemandangan langsung kota Paris. Pintu unitku berada tepat di pintu kedua dari lift, yaitu unit ke 2002.

Kami terus mengobrol berdua, bahkan setelah kami keluar dari dalam lift. Kenzo juga ikut menimpali pembicaraan kami, membuat kami tertawa dengan kepolosan yang ia tunjukkan. Aku sampai tidak meperhatikan sekitarku dan terus fokus dengan pembicaraan kami bertiga.

"Kei," seketika aku membeku mendengar seseorang memanggilku. Aku tahu dengan jelas siapa yang memanggilku. Suara yang tidak akan pernah aku lupakan dan selalu aku hafal sejak pertama kali kami bertemu lima tahun yang lalu.

Kepalaku otomatis menoleh. Mataku menemukan sosoknya dirinya tengah berdiri di depan pintu unitku. Pria yang selalu membuat hidupku kembali berwarna sejak kehadirannya kembali. Pria yang tidak pernah berhenti aku rindukan dan juga pria yang tak pernah membuatku berhenti mencintainya.

Tubuhnya dia sandarkan di samping pintu dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Dia terlihat santai dengan kaos abu-abu polos serta celana jeans yang dia kenakan. Dia berjalan menuju kami sembari terus menatapku tepat di kedua mataku. Mata abu-abu yang selalu berhasil membuatku tersihir dan hanyut di dalamnya.

"Kau?" bisikku. Aku benar-benar tidak percaya sama sekali dengan apa yang aku temukan. Jika aku tidak mengerti setuasi, mungkin aku sudah menangis dan lari kepelukannya, namun aku tidak bisa melakukannya, aku terlalu terpaku saat ini.

"I'm home."

***

Surabaya, 10 Juli 2019

Continue Reading

You'll Also Like

1M 48.5K 37
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
2.4M 69.1K 38
Perfect Sunrise telah ditamatkan di Wattpad. "Aku hanya ingin menyicipi sedikit kebahagiaanmu karena bisa dekat dengan Aby, sedikit saja..." Hubu...
146K 11.3K 27
Janesh : People said, enak banget pacaran sama fans. Dia bakal setia dan jadikan kamu prioritasnya. Tapi kenapa pacarku sendiri lebih suka curhat sam...
358K 54.5K 39
Xaveer kira menikah dan bercerai adalah perkara mudah karena wanita yang ia nikahi bahkan bukan siapapun yang istimewa di hatinya. Namun ketika semua...