Single Available

Von Puspa_Seruni

3K 186 88

Menjalani peran sebagai single diusia yang terbilang sudah sangat matang tentu tidak mudah. Meldi Rosa memili... Mehr

R E U N I
BUKAN CINDERELLA
P U J I AN
K E J U T A N
LUKA MEMBEKAS
STILL WAITING
CINTA PERTAMA
MASA LALU
JAKARTA, TUNGGU AKU
NICHOLAS GAEL
LGBT??
Cutbray dan Gadis Bola Pingpong
PADEPOKAN
N A Y A
KETEGUHAN NIAT
TAHU DIRI
R I N D U
V I O L E T
IMPIAN YANG TERTUNDA
L A M A R A N
TABUR BUNGA
RENDY ATAU SATRIO
BANDARA DAN SCARF MARUN

P R I N C E S S

156 9 0
Von Puspa_Seruni

"Yudex ngubungin kamu, Mel?," suara Shinta di telfon.

"Mm..kenapa emang? Belum tuh." Jawabku, berbohong.

"Oowh, kirain ngubungin. Setelah kamu pulang dari acara reuni, dia nanyain nomer telfonmu. Aku pikir kisah kalian bakal berlanjut." Shinta tertawa kecil dari seberang.

"Oh iya, Yudex ngubungin aku trus ngajak ketemuan. Dan aku membalas pesannya dengan sigap, lalu dia ngilang." Jawabku, tapi dalam hati saja. Meski pada Shinta, sahabatku sejak SMA, tentu aku masih gengsi mengaku bahwa kejombloan telah membuat keagresifanku meningkat pesat.

Aku mendengus kesal.

"Ya udah ya. Bye." Shinta menutup telfonnya.

***

"Kak, ada tamu." Merry, adikku mengetuk pintu kamar.

"Hah? Siapa? Panggil ibu aja." Rasa malas membuatku enggan beranjak dari tempat tidur.

"Ibu ke rumah bu RT. Lagian ini tamu buat kakak." Merry melongokkan kepalanya ke dalam kamar.

"Siapa?," aku meletakkan kaleng rengginang yang sedari tadi menemani membaca buku.

Gadis berusia 17 tahun itu mengidikkan kedua bahunya. "Tumben punya teman ganteng." Merry mengecilkan volume suaranya.

"Siapa?," Penasaran, kuhampiri Merry yang masih berdiri di ambang pintu.

"Entah, sepertinya belum pernah datang kesini. Nunggu diteras tuh."

Aku mengernyitkan dahi. Yudi kah? Kan dulu waktu Yudi sering datang ke rumah, Merry masih umur 2 tahun. Pasti dia lupa wajah Yudi.

"Udah buruan gih, ganti daster kedombrangannya. Yang rapihan dikit, ada pangeran tampan bertamu." Merry mengedipkan sebelah matanya.

Aku menggaruk kepala meski tak gatal. Waduh, pangeran tampan. Tidak mungkin teman kantorku. Karena jomblowan dikantor tidak ada  yang ganteng. Jangan-jangan benar ni si Yudi. Senyumku mengembang seketika. Darahku mengalir lebih deras.

Benar kata Merry, kalau aku keluar pakai daster begini si Yudi pasti mengira aku jomblo beranak empat. Dasteran, rambut dicepol, muka awut-awutan. Persis emak-emak yang sudah kelelahan seharian ngurus rumah dan balita.

Biarlah sang pangeran tampan menunggu tuan putri barang beberapa jenak. Aku tersipu malu.

Segera kubergegas ke kamar mandi. Meski sekedar cuci muka, karena mau mandi kok ya masih malas. 😁

Kusisir rambut dengan rapi. Dikuncir ekor kuda, memperlihatkan leher yang jenjang. 😅 Lebih tepatnya, menonjolkan lemak-lemak dilipatan leher sih. Byuh.. 😓

Blouse warna peach melengkapi penampilanku. Sekedar tahu ya, blouse ini biasanya kupakai untuk acara semi resmi. Ke acara kantor misalnya. Warnanya cantik, modelnya juga up to date.

Kusapukan blush on, supaya wajah ini bersemu merah. Eyeliner membingkai mata bulatku dengan sempurna. Goresan lipstik nude membuat penampilanku lebih segar.

Cermin menampakkan bayangan seorang perempuan yang cukup menarik. 😁 Ah tiba-tiba tingkat kepedeanku meningkat beberapa persen.

Pangeran tampan, i'm coming. Bisikku di depan cermin.

Aku melangkah perlahan menuju teras rumah, tempat sang pangeran tampan menunggu princessnya.

Suara Merry berbincang akrab terdengar sayup melewati daun telingaku. Sesekali mereka tertawa. Aku terhenti saat hendak melangkah ke ruang tamu. Mengatur debar jantung yang tak karuan ritmenya.

Jarak beberapa meter saja terasa jauh. Kaki ini gemetar melangkah. Dari balik kaca aku memperhatikan bayangan seorang laki-laki yang sedang berbincang dengan Merry.

Sepertinya bukan Yudi. 😤 Gusti Allah nun Agung. Aku telah berpanjang angan-angan. Duh rasanya ini sudah kali ketiga aku patah hati tersebab terlalu membayangkan hal-hal indah tentang lelaki itu.

Lalu tiba-tiba, aku ingin berbalik arah. Berganti daster kesayangan, yang sudah robek bagian lengan namun tak pernah membuatku patah hati begini.

"Kak, bukannya keluar kok malah mo masuk lagi. Tamunya sudah 30 menit lo nungguin." Merry menarik lenganku.

Matanya berbinar menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jarang-jarang ia mendapati kakak perempuannya berpenampilan begini rupa.

"Mo kemana?," adikku itu bertanya dengan menaham tawa. Aku melepaskan cengkraman tangannya pada lenganku.

"Eh, malah manyun. Hayuk ditemui tamunya. Katanya dia kurir."

"Whats?," aku melongo menatapnya.

Ya Tuhan, jangan biarkan aku jomblo lebih lama lagi. Kedatangan kurir aja dandannya sampai 30 menit. 😩😩

Merry berlalu sambil mengulum senyum diwajahnya yang manis. Wajah manis yang sempat kumiliki juga dulu, saat seragam abu-abu melekat menjadi seragam kebanggaan.

Blouse peach serta dandanan lengkap dengan eyeliner, blush on dan lipstik terasa sangat mewah jika hanya menyambut kurir yang datang. Ingin rasanya berlari ke kamar mengganti pakaian dan menghapus segala jejak make up diwajah.

Kulangkahkan kaki menuju teras dengan malas, tempat lelaki itu menunggu lebih dari setengah jam.

"Ada yang bisa saya bantu, saya Meldi." Sapaku kepada lelaki itu. Ia mendongak, raut wajahnya terlihat sangat terkejut.

"Eh, iya. Saya Dendi. Saya ingin menyampaikan ini." Nampak sekali Dendi kesulitan menyembunyikan rasa terkejutnya.

Ia menyerahkan sebuah kartu berwarna biru berhias bunga lily berwarna putih.

"Hai Mel, sebagai permintaan maafku maukah kamu menemuiku. Dendi akan mengantarmu menuju tempat pertemuan kita. Yudi."

Mataku mengerjap, kuulangi lagi menelisik setiap huruf dan kata yang tertulis disana. Tulisan tangan yang rapi dan nampak ditulis dengan hati-hati.

"Ayo, Kak. Bisa kita berangkat sekarang?," Dendi menyadarkanku dari lamunan.

"Eh, sekarang ya." Aku gugup. Lelaki yang kutaksir berusia 25 tahunan itu mengangguk pelan.

"Aku ambil tas dulu ya." Hatiku tentu melonjak girang, " Yes, gak sia-sia kok aku dandan cantik. Yudi mengajakku kencan."

Aku berlalu menuju kamar. Meraih tas kecil berwarna hitam. Dompet, handphone dan tak ketinggalan seperangkat make up yang sekiranya dibutuhkan kujejalkan kedalamnya.

"Yuk." Ajakku setelah muncul kembali didepan Dendi. Lelaki itu tersenyum. Berdiri dan melangkah menuju mobilnya yang terparkir diluar.

Sepanjang perjalanan, tak banyak yang bisa dibicarakan. Aku jadi heran sendiri, bagaimana bisa aku begitu saja percaya bahwa itu benar surat dari Yudi. Dan siapa Dendi kok bisa-bisanya ia menjadi kurir mengantar surat itu ke rumahku.

"Aku adik sepupu Yudi, Kak." Suara Dendi seolah menjawab keraguanku.

"Owh, Yudi dimana?," tanyaku.

"Nanti Kak Meldi akan tahu. Oh ya, Kak Meldi teman sekolah Yudi ya?," Dendi mencoba mencairkan suasana.

Aku mengangguk, "Iya, teman SMA."

Perbincangan terhenti, ada sebuah telfon masuk ke gawai Dendi. Ia nampak mengobrol dengan si penelfon.

Kualihkan pandangan pada jejeran cemara udang yang banyak terdapat didaerah kami. Kotaku merupakan kota berpantai, hampir seluruh kecamatannya memiliki pantai yang memanjang sepanjang jalan raya.

Mobil berbelok arah, melalui jalan makadam berbatu. Memasuki deretan cemara udang dan pohon waru yang cukup rimbun. Sebuah cottage tertata rapi dihadapan. Pemandangan yang disajikan sungguh memanjakan penglihatan.

Air laut yang berkilauan tersiram cahaya matahari. Liuk daun pohon kelapa serta semilir angin pantai membelai kulit. Dendi menghentikan mobil tepat didepan sebuah resto yang ada ditengah-tengah area. Kolam renang dan taman bunga disisi-sisinya membuat suasana nampak asri.

"Silahkan turun, Kak. Yudi sudah menunggu di resto lantai dua." Dendi membukakan pintu untukku. Aku tersipu, berasa seperti princess.

Dendi menghantarkan aku sampai ditangga menuju lantai dua. Seorang pramusaji menyambut kami dengan ramah.

"Tamu Pak Yudi." Dendi berkata kepada pramusaji itu. Papan nama kecil bertulis Ilham tersemat di dada sebelah kiri.

Ilham mengangguk, gerakan tanganya memberi sebuah isyarat. Seorang pramusaji wanita datang menghampiri dengan sebuah buket mawar merah.

"Untuk Bu Meldi. Pak Yudi sudah menunggu diatas. Mari Bu kami antar." Ilham menyerahkan buket itu padaku.

Dadaku berdebar menerima bunga cantik itu. Ya Tuhan, ini bukan mimpikan. Kok aku berasa seperti di film-film ya. Wajahku memerah karena malu. Semoga ini bukan hayalanku saja, bisikku dalam hati.

Suara Dendi mengembalikanku pada kenyataan. Ah benar, ini nyata bukan hayalan. Lelaki itu berpamitan. Sekarang ada Ilham yang akan memanduku menuju Yudi yang sudah menunggu.

Kakiku bergetar melangkah perlahan. Menapak tiap anak tangga yang terasa banyak. Keringat dingin mulai membasahi kedua tanganku. Angin laut yang membelai terasa sangat dingin.

Ilham membawaku pada sebuah tempat diujung ruangan. Yudi berdiri menyambut kedatangan kami. Lelaki itu tersenyum kepadaku. Membungkukkan badan sebagai ucapan selamat datang.

Dadaku semakin bergemuruh. Entah seperti apa warna wajahku kini. Aku merasa pipi ini semakin memanas. Yudi mempersilahkanku duduk. Ilham menarik kursi agar aku bisa duduk dengan mudah.

Ah, aku benar-benar dilambungkan oleh perlakuan Yudi ini. Tahan Meldi tahan, jangan terlalu terbang agar kalau jatuh tidak terlalu sakit.

"Bagaimana perjalanannya? Apa Dendi bersikap sopan?," Yudi membuka pembicaraan. Ilham sudah meninggalkan kami berdua.

Aku mengangguk.

"Kamu suka dengan buket bunganya?," Yudi bertanya lagi.

Aku mengangguk. Suka banget, teriakku dalam hati. Rasanya sekian lama hidup didunia ini, baru kali ini ada yang ngasih buket bunga sebagus ini. Aku tersenyum.

"Syukurlah. Semua yang kulakukan ini sebagai permintaan maaf atas sikapku waktu itu diacara reuni. Maaf ya." Lelaki itu menatapku.

Aku tersenyum. Minta maaf aja pakai acara begini rupa. Wah, bagaimana kalau dia kencan ya. Pikiranku mulai berhayal. Pasti Yudi lelaki romantis. Kenapa aku tidak menyadari ini sedari dulu? Atau dia baru romantis setelah bekerja ya? Hhhmmm.

"Kamu ingat tidak Mel, waktu dulu pernah ku ajak ke pantai. Pantai kampung yang jauh dari indah. Malah bau ikan." Ia tersenyum mengingat salah satu kejadian lucu waktu itu.

Waktu itu, sore sepulang les disekolah. Yudi mengajakku ke sebuah pantai yang berjarak kurang lebih 10 Km dari sekolah. Mungkin maksudnya, hendak mengajak menikmati senja dari bibir pantai. Namun apa daya, pantai yang kami datangi hanya pantai kampung tempat nelayan mendaratkan hasil tangkapannya.

Bau amis ikan, suara riuh nelayan membuat acara menikmati senjanya tak seindah yang dibayangkan. Tentu saja itu membuatku cemberut. Dan disitu pula, untuk entah kali keberapa aku menolak ucapan cinta Yudi.

"Pantai ini juga untuk menebus kisah lalu itu, Mel. Dulu aku masih anak bawang, hanya bisa ngajakin kamu ke pantai kampung yang gratisan. Semoga pantai kali ini jauh lebih menyenangkan ya."

Aku tersenyum.

Ilham kembali bersama dua orang pramusaji lainnya. Meletakkan beberapa makanan dimeja.

"Banyak sekali." Aku tak bisa menahan diri untuk berkomentar melihat banyaknya menu yang dihidangkan.

"Kan sudah kubilang, ini penebusan atas sikap tak menyenangkanku waktu reuni kita kemarin. Gara-gara becandaanku, kamu tidak jadi makan dan pulangkan. Sekarang kamu bisa makan sepuasnya disini." Yudi tersenyum lebar.

Ya Tuhan, masak iya aku harus makan semua ini. Meski air liur tak henti menetes sedari tadi, namun rasa malu tentu akan membuat nafsu makanku menurun didepan Yudi.

"Gak papa, Mel. Didepanku kamu gak perlu malu dan gengsi. Kita kan sudah saling mengenal sejak dulu." Yudi menepuk punggung tanganku yang ada diatas meja.

Dadaku kembali bergemuruh. Sentuhan ringan darinya membuat aliran darahku menderas.

Seorang pemain biola menghampiri kami.Mengangguk pada kami dan mulai menyanyikan sebuah lagu.

"Kamu masih ingat lagu ini?," tanyanya sambil menyerahkan piring kehadapanku. Aku berpikir sejenak, mencoba mencari-cari ingatan tentang lagu yang sedang dimainkan.

"The Corrs, what can i do to make you love me." Yudi menyela cepat saat melihatku masih berpikir dan nampak kesulitan menemukan ingatan itu.

"Ini lagu yang sering aku kirimkan untukmu dulu di radio. Kamu ingat, dulu jaman kitakan tidak ada media sosial. Ekspresinya disalurkan lewat radio." Lelaki itu tersenyum.

Mataku mengerjap senang. Aku tertawa. Ya Tuhan, dia masih ingat ya semua hal tentang kami dulu. Apakah kali ini dia juga akan menyatakan cintanya kepadaku dipantai ini, seperti saat dulu dipantai kampung bau ikan itu? Tapi bukankah dia akan menikah tahun depan dengan pacarnya yang di Jerman?

"Aku masih punya banyak kejutan untuk kamu, Mel." Yudi kembali membuatku terkejut.

Aku tersenyum. Duh gusti, semoga setelah ini aku tak patah hati.

***
Bersambung...

Duh, ada yang hari-harinya kayak roller coster nih.. Hati-hati lo Mel, ntar patah hati lagi.. 😅😁

Jangan lupa vote dan komennya ya..

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

Balance Shee(i)t Von Raa

Aktuelle Literatur

56.7K 4.6K 40
Padahal kan ingin Mosha itu agar mereka dijauhkan bukan malah didekatkan. -·-·-· Mosha, mahasiswi jurusan akuntansi ingin kehidupan kuliahnya seperti...
790K 29.2K 33
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
Neighbour Von ItchyPussy

Aktuelle Literatur

279K 1.8K 4
Akurnya pas urusan Kontol sama Memek doang..
1.5M 80.1K 35
Ketika mafia yang dingin dan kejam bertemu dengan seorang pria yang memiliki sifat bodoh, apa yang terjadi? "I'm not afraid to die even if I have to...