Takdir Dua Hati | END ✓

By Nina_noona

1.2M 59.5K 875

⛔Nggak perlu baca cerita ini kalau menurutmu cuma buang-buang waktu⛔ SINOPSIS: "Allah, sebenarnya skenario ap... More

Prolog
1 [Panggilan dari Ayah]
2 [Tangisan Mama Renata]
3 [Tentang Fahmi]
4 [Sahabat Nami]
5 [Sebab]
6 [Siapa Fahmi?]
7 [Ternyata Fahmi]
8 [Pernikahan]
9 [Hari Ketujuh]
10 [Satu Hari yang Melelahkan Hati]
11 [Pria Bersweeter Coklat]
12 [De javu]
13 [Sebuah Permintaan]
14 [Bingkai Lama]
15 [Balkon]
16 [Rahasia dari Angga]
18 [Dahulu]
19 [Pertemuan]
20 [Tamu tak Terduga]
21 [Cerita dari Mita]
22 [Mencoba]
23 [Belanja Bulanan]
24 [Bakso Pinggir Jalan]
25 [The First...]
26 [Percakapan Malam Itu]
27 [Sementara Pergi]
28 [Pertama Merindu]
29 [Malam Panjang]
30 [Acara Keluarga]
31 [Memori yang Hilang]
32 [Pengakuan]
33 [Heboh?]
34 [Menjadi Ragu]
35 [Hamil]
36 [Menyelimuti Lara]
37 [Perasaan Bersalah Fahmi]
38 [Kembali tak Tersentuh]
39 [Rahasia Hati]
40 [Ego dalam Diri]
41 [Puncak Kekecewaan]
42 [Perkara Masalalu]
43 [Ingin Sendiri]
44 [Mencari]
45 [Mengemis Rindu]
46 [Bersabar]
47 [Usaha Raelisha]
48 [Lembar Usang dalam Kenangan]
49 [Lembar Usang dalam Kenangan 2]
50 [Cacat yang tak Nampak]
51 [Takdir Dua Hati]-END-
Epilog
PROMOSI CERITA BARU :))
Extra Part

17 [David Yantoro]

17.8K 924 5
By Nina_noona

Nami pulang dengan pikiran yang ruwet. Helaan napas panjangnya menemani kemanapun gadis itu pergi. Ia melangkah keluar dari lift, berjalan menyusuri lorong gedung apartemen tersebut dengan tak bersemangat. Awan masih mendung siang itu, entah kapan hujan akan turun, yang ada malah angin berhembus kencang menembus kulit. Nami merapatkan sweeternya, bergidik saat merasakan hawa dingin menyentuh kulitnya.

Baru hendak berbelok menuju apartemennya berada, langkah Nami terhenti ketika melihat siluet seorang pria yang berdiri tepat di depan pintu rumahnya. Nami urung melangkah, ia membawa tubuh mungilnya bersembunyi di balik dinding. Matanya memicing, menatap tajam pada pria dengan jaket navy itu yang kini sibuk mengetuk pintu.

Jantung Nami berdebar hebat, wajahnya terkejut dengan matanya membulat sempurna. Nami menutup mulutnya dengan kedua tangan, saat menyadari siapa yang tengah berdiri di depan pintu rumahnya itu.

David? Buat apa dia ke sini?!

Pria jangkung kurus itu terus saja mengetuk pintu. Nami hanya diam di tempatnya, tidak ada niatan untuk keluar dari sana. Dia tidak mau berurusan dengan David saat ini. Dia sudah telanjur kecewa pada pria yang dulu pernah mendiami hatinya begitu dalam.

Astagfirullah..

Nami beristigfar. Mencoba menetralkan kembali emosinya yang tiba-tiba meluap. Nami kembali mengintip dari balik dinding, David masih di sana namun wajahnya terlihat kecewa, pria itu berhenti mengetuk pintu.
Terlihat pria itu menghela napas lelah, menunduk dengan wajah nampak frustrasi. Ia mengacak rambutnya dengan kesal, lalu menatap pintu yang tertutup rapat itu lamat-lamat.

"Namira, kalau kamu di dalam dan mendengar ini, aku cuma mau bilang kalau aku harus menjelaskan semuanya. Apapun itu. Supaya nggak ada lagi kesalahpahaman antara aku dan kamu, Namira. Jadi aku berharap, kamu mau memberi aku kesempatan kali ini saja."

Hening, tidak ada sahutan setelah beberapa menit berlalu.

Nami masih diam, menutup matanya seraya menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Rasa sesak merundungnya,  membuat paru-paru Nami seakan lupa caranya bekerja.

Ia ingat dengan pasti siapa pria itu.
Empat tahun hidup dengan ketidak tahuan benar-benar membuatnya hampir hancur.
Sekarang, ketika pria itu datang kembali, bukan Nami tak ingin menggali jawaban atas pertanyaan yang selama ini menggelayuti benaknya. Hanya saja, ia sudah telanjur lelah dan akhirnya memilih menyerah.
Berjuang sendirian itu menyakitkan. Ketika teman yang nyatanya ada, tiba-tiba memilih pergi dan hanya meninggalkan luka. Kembalipun untuk apa? Bila pada akhirnya mereka sudah tak lagi memiliki tujuan yang sama.

Ibarat apel segar lalu digigit ujungnya, usai puas merasakan manis kemudian ditinggal begitu saja. Apel segar yang dulu nampak indah, kini sudah mati membusuk termakan waktu.
Sama seperti hatinya. Ketika pria itu puas membuatnya jatuh hati, merasakan manis dari indahnya perasaan semu yang Nami berikan untuknya, ia pergi tanpa diduga. Mungkin dulu hatinya seakan hidup hanya untuk pria itu.  Namun saat ini, hatinya sudah benar-benar mati. Dan yang tersisa hanyalah penyesalan dan rasa sakit yang terus menggelayuti diri.

Allah, ampuni hamba..

Setetes yang bening mengalir dari pelupuk mata. Dengan cepat gadis itu mengusapnya. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya, dan kembali menatap pada pria yang berdiri di depan pintu rumahnya itu.

Merasa tidak akan mendapat sambutan, David menunduk pasrah. Ia menghela napas lelah, menatap daun pintu dengan pandangan sulit diartikan. Pria itu akhirnya mundur, lalu berbalik dan melangkah pergi.

Nami segera keluar dari tempat persembunyiannya, berbaur dengan beberapa orang yang berlalu lalang di sana, tanpa disadari oleh David yang berjalan berlawanan dengan dirinya.

🍂🍂🍂


"Assalamualaikum, Ca?"

"Waalaikumsalam, Nam. Iya kenapa?"

"Lo ada ngasih alamat gue yang sekarang sama David nggak?"

"Hah? Nggak tuh. Kenapa emang?"

Nami menghela napas, berbaring ke kiri menatap jendela balkon. "Tadi David ke sini. Tapi nggak gue ladenin."

"WHAT! KOK BISA??"

"Nggak tau. Makanya gue tanya lo nggak ngasih alamat gue sama dia 'kan?"

"Ya nggak lah. Tau darimana tuh bocah sampe nyamperin lo ke sana segala? Lagian mau dia apasih? Ngilang tiba-tiba, muncul tiba-tiba juga. Dia jin ya?"

"Nggak tau deh, males banget kalau udah liat dia tuh.."

Tesa diam, beberapa menit tak menyahut. Nami ikut terdiam. Perasaannya masih campur aduk, hatinya masih merasa 'kaget' akan kehadiran pria itu setelah sekian lama menghilang tanpa kabar.

Terdengar suara tarikan napas di sebrang sana, "Nam.." Tesa memanggil, menarik Nami kembali pada kenyataan.

"Hm?"

"Gue pikir, lebih baik lo ngomong deh sama David. Daripada kayak gini 'kan? Masalah kalian nggak akan ada ujungnya kalau lo ngehindarin dia mulu. Yah.. gue tau lo masih sakit hati sama sikap David dulu, tapi apa lo nggak mau tau apa alasan dia buat kayak gitu? Denger dia yang nekat nyamperin lo sampe ke rumah laki lo ajah gue udah ngerasa kalau dia emang nggak bener-bener sebrengsek yang kita bayangin selama ini."

Rintik hujan mulai turun. Nami menatap jendela dengan pandangan yang sulit diartikan. Gadis itu menghela napas, benaknya teringat kembali akan kejadian lima tahun lalu. Awal mula setan memperdayanya, membuatnua terbuai akan sebuah perasaan semu dan tidak sadar telah jatuh dalam lubang penuh nestapa.

🍂🍂🍂


David Yantoro. Bukan sosok pria populer atau pintar segala hal ataupun tampan luar biasa. Dia pria biasa dengan segala hal 'biasa' yang ada pada dirinya.
Nami mengenal pria berambut coklat itu saat mengikuti pertemuan kelompok gemar menggambar lima tahun lalu. Awalnya hanya untuk belajar teknik menggambar lebih luas dari orang lain, juga mendengar cerita mereka bisa sampai sukses di bidang tersebut.

Bukan, David bukan anggota dari kelompok gemar menggambar. Ia seorang pemilik caffe tempat perkumpulan Nami diadakan. Saat itu, kebetulan David sedang ada kunjungan rutin ke sana, ikut melayani pembeli bersama para pelayan lainnya.

Awalnya, tidak ada hal menarik dari David selain keramahannya pada pengunjung. Senyuman selalu menghiasi wajahnya.
Nami tidak pernah sekalipun menyangka akan dekat dengan pria ramah itu, semua serba tiba-tiba.

Saat itu, kegiatan sudah selesai ketika adzan ashar berkumandang. Nami sedang berhalangan, jadi tidak ikut pergi ke masjid bersama teman-teman yang lain. Erni, teman barunya juga sedang kedatangan tamu merah, memilih duduk bersama Nami di meja caffe tempat mereka berkumpul sebelumnya.

Mereka berbincang bersama, saling berbagi cerita. Sampai Erni dijemput oleh Kakak perempuannya, lalu akhirnya pulang meninggalkan Nami sendiri.

Awan mendung kala itu, Nami tak sadar dan terlalu sibuk dengan buku sketsanya. Mempraktekan ilmu yang ia dapat hari itu dari teman-teman barunya.
Kopinya sudah habis, hanya tersisa cangkir kosong yang tergeletak di atas meja.

"Gambar kamu bagus."

Suara itu menyentak Nami dari keasikkannya mencoret-coret kertas. Sontak Nami mengangkat wajah, matanya mendapati pria berambut coklat itu berdiri di depan mejanya, seraya memamerkan senyum khas miliknya.

Dingin yang tadi tak ia rasakan, tiba-tiba saja terasa menusuk kulit. Nami beralih mengedarkan pandangan ke arah jendela, nampak hujan yang mulai deras di luar sana. Gadis dengan pasminah abu itu meringis, saat merasakan dingin yang mulai menyiksanya.
Tangannya beralih memeluk tubuh, mengusap-usap bahunya berusaha menghalau dingin saat itu.

Melihat pelanggannya yang terlihat gelisah, pria berambut coklat itu bertanya. "Kamu kenapa? Dingin ya?"

Nami melirik sekilah pria itu, ia mengangguk kecil seraya mengusap ujung hidungnya.

"Tunggu," pria berambut coklat berujar. Dan tiba-tiba ia berlari kecil ke arah tangga, pergi ke lantai dua. Entah untuk apa.

Nami menatap kepergian pria itu dengan tatapan bingung. Ada apa dengannya?
Benaknya terus bertanya-tanya, sampai siluet pria berambut coklat muncul kembali di balik tangga setelah beberapa menit kemudian, membawa sebuah jaket yang tersampir di bahunya, dan secangkir kopi di tangannya.

Ia berjalan mendekati meja Nami. Tersenyum ramah saat sampai di hadapan gadis itu. Pria itu meletakkan cangkir kopinya di depan Nami, kemudian berjalan memutari meja, lalu berdiri di belakang gadis itu. 

Nami memperhatikan setiap gerik pria itu dengan penuh tanda tanya. Apa yang sedang dilakukan pria itu?

Sampai sebuah benda hangat jatuh di atas pundaknya, menyelimuti punggungnya, menyelamatkannya dari rasa dingin yang hampir membuatnya beku.

Nami menjengit, menoleh ke belakang, menatap tajam pada pria berambut coklat itu.
"Ini apa ya?" Nami bertanya. Mengedikkan dagunya pada jaket hitam yang tersampir di atas bahunya.

Pria itu kembali memamerkan senyumnya, "Pakai ini, supaya nggak dingin. Ada kopi juga, kamu bisa hangatkan tangan kamu pakai itu." Katanya.

Tanpa permisi, pria itu memilih pergi.
Meninggalkan Nami sendiri di mejanya, dengan benak yang dipenuhi dengan tanya.

🍂🍂🍂


Usai hujan berhenti, Nami hendak mengembalikan jaket tersebut pada pria itu. Ia berjalan menuju meja kasir, jendak bertanya mengenai pria berambut coklat tadi. Hari sudah sore kala itu, sisa huja masih menetes di atas genting dan dedaunan di luar sana.

"Permisi," Nami memanggil salah satu pegawai di sana.
Seorang remaja berumur sekitar delapan belas tahunan menoleh sejenak, menghentikan kegiatannya menghitung stok bahan saat itu.

"Ya? Ada yang bisa saya bantu Kak?" Katanya.

Nami mengeratkan genggamannya pada jaket hitam itu, "Tadi ada laki-laki pakai kemeja biru tua, terus rambutnya coklat, dan tinggi. Kira-kira kamu kenal nggak? Dia dimana ya? Bisa tolong panggilkan?"

Remaja berambut cepol itu manggut-manggut. "Oh, Mas David? Dia pemilik caffe ini Kak. Tapi Mas David baru saja pulang tadi, ada perlu apa ya Kak?"

Nami menghela napas, menatap jaket hitam itu dengan perasaan bingung. "Anu.. i, ini tadi dia pinjemin jaket ke saya."

"Oh! Tadi Mas David bilang kalau ada yang datang ngembaliin jaket, suruh datang lagi ajah besok ke sini. Nanti Mas David ambil jaketnya langsung."

Kening Nami berkerut, "Datang lagi? Nggak bisa saya titip ajah ke kamu?"

Gadis berambut cepol itu menggeleng, "Nggak Kak, kata Mas Davidnya gitu. Yasudah ya Kak, saya mau lanjut kerja lagi." Ia tersenyum kecil, kemudian mulai melanjutkan kembali pekerjaannya.

Nami mendengus, pria aneh itu!
Dengan malas, Nami akhirnya pergi dari sana, sambil menenteng jaket hitam itu sampai ke rumahnya.

29 Juni 2019

Continue Reading

You'll Also Like

856K 35.9K 58
#6 SPIRITUAL [02 AGUSTUS 2018] #4 SPIRITUAL [04 AGUSTUS 2018] #3 SPIRITUAL [18 AGUSTUS 2018] Baca saja ya kawan :))
569K 24.5K 42
Nggk bisa bikin deskripsi yg kepo langsung aja baca atau tambahkan ke perpustakaan kalian,happy Reading guyss,Enjoyyy!!!
843K 77.2K 30
Menikah dengan seseorang yang pernah kamu cintai dalam diam saat hatimu sedang dirundung kecewa? Bukankah itu indah? Begitulah harapan Keisya saat me...
518K 44.2K 50
Avasa sangat membenci kehidupannya, gadis itu memutuskan keluar dari rumah dan memulai kehidupannya sendiri. Dia ingin membuktikan pada sang papa bah...