[ NOVEL ] setelah dapat kerj...

By Aku-UMI

1.6M 131K 18.5K

sejak kecil, kita terbiasa diajari untuk berlomba. ngeyel siapa yang paling benar antara kakak-adik. hingga m... More

0. | hai, it's me: prologue!
1. | the man who wants to keep me down
2. | which one would you like to choose: ego or pride?
3. | a big fight always begins with a prologue
4. | you could break my heart in two. but when it heals, it beats for you
5. | it's time to get to know me first!
6. | the man I want to kill
7. | i know that he's an old-fashioned man
8. | i don't need nothing else but ... him.
9. | let's focus on communicating!
10. | a trick to keep your heart alive.
11. | do you have an immortal soul?
12. | it's not the pain, it's a tryout!
13. | it's a mood, it's a vibe, it's a look, it's a match!
14. | people come and go.
15. | a sweet healer
16. | a healer who needs some healing
17. | i've trained myself to be less stupid
18. | no more awkward conversations!
19.1 | things will be easier if you shout it out.
20. | do not be fooled by a man, fellas!
Njul Panjul!
numpang dolo ya, Njul.
numpang lagi ya, Njul!
OPEM PO SWEET-TALK & SMLA
woro-woro
PO LAPANDAN

19.2

31.9K 5.8K 666
By Aku-UMI

today's warning:
you'll be diasappointed with this part.








"Mbala suka kentang atau singkong?"

"Singkong."

"Soda atau alkohol?"

"Alkohol."

"Bercanda. Haha. Bisa dicekik mas Dhana aku nanti."

"Emang Mbayen nggak boleh minum alkohol?"

"Ya enggaklah. Emang Mbala boleh?"

"Enggak juga sih."

"Oke. Cokelat atau kacang?"

"Apa nih?"

"Biskuit. Aku yakin cerita kita nanti bakalan panjang dan membutuhkan ekstra tenaga. Westo, Mbak, sesekali nurut sama anak muda begini. Buruan, mau rasa apa?"

"Kacang."

"Udah ah. Ini aku yang traktir, Mbak, nggak apa ya jajanan Indomaret, hehe."

"Katanya McD aja nggak level?"

"Ya kan ini mau dikasih ke Mbala."

"Kurang ajar! Makasih lho!"

Pip!

Sambungan dimatikan.

Sejak pulang ke apartemen, aku langsung membereskan semua sudut ruangan. Bukannya apa-apa ya, permasalahannya yang mau datang ini bukan orang sembarangan. Berhubung dia sudah lama tergabung dalam keluarga uang, songongnya nular dan aku nggak mau nanti dia menghina kondisi tempat tinggalku.

Masa La harus dihina sama sesama kacung kan? Habis aku.

Merasa semua sudah dalam kendali, aman tenteram, akhirnya aku fokus ke kamar. Kuganti seprai dan selimut juga wewangian ruangan. Lampu ruangan kuubah ke lampu tumblr hasil berburuku di Shopee. Lalu terakhir, aku mengatur suhu ruangan menjadi 20 derajat celcius.

Sekarang, aku sudah berbaring santai, berselimut, tinggal menunggu mbayen dan.... ah itu dia bel berbunyi!

Senyumannya pun sekarang sudah ikut-ikutan menyebalkan. Atau, karena aku saja yang memang iri pada orang di sekitar mas Dhana yang selalu bermandikan harta.

"Waw. Wangine... kayak abis ada yang ngapelin."

Aku terkikik geli. "Ini kan aku lagi diapelin. Sama cewek cantik kebanggaan Bee."

"Hih, Mbala. Jangan gitu tho. I don't like it! Aku ki normal ya. Mbala boleh cuantik dan seksi, tapi seleraku tetep yang jago ke kebun. Yang seterong. Yang guagah macam mas Dhana."

Aku ngakak. "Doyan juga sama mas Dhana?"

"Memangnya Mbala nggak doyan?"

"Ng...." Aku sama mas Dhana? Eh.... "Kita kan malam ini mau bahas dia! Pokoknya Mbayen nggak boleh bohong ya. Apa pun ya. Kalau nggak aku block lho dari WhatsAppa biar nggak dapat hiburan dengan liatin story-ku."

"Wah, parah. Sopo ae yang udah Mbala block?"

"Buanyaklah. Bosmu salah satunya. Tapi kalau dia bukan blok sih, cuma kumasukin daftar yang nggak bisa liat story-ku."

"Whatssss?! Mas Dhana mbok block, Mbak?"

Aku mengangguk.
Bisa bahaya kalau mas Dhana nmelihat semua kegalauan dan keenggakpentingan hidupku itu. Aku sudah mem-blacklist-nya sejak pertama aku tahu kalau dia menyimpan nomorku itu. Dan, anyway, aku belum pernah melinat story-nya lagi setelah yang pertama kali foto Bee. Entah dia memang nggak update atau mungkin aku juga sama, dimasukkan dalam daftar hitam.

"Lho ini apa?"

"Mbala lagi pengen cokelatnya Harvest kan?"

Ya Rabb.
Aku sudah seperti hidup bersama Doraemon. Apa yang kumau, semua langsung tersedia. Atau ini yang disebut surga dunia selain bercinta? Wah, cooooool!

"Mbayen kok uangnya buat poya-poya sih? Memangnya nggak kirim buat keluargamu? Punya saudara enggak? Atau mana nungkin lagi butuh. Jangan keseringan beli-beliin aku lho."

Pasalnya, ini bukan yang kali pertama. Sejak mbayen memutuskan sering reply story dan kami berbalas pesan juga curhat dadakan, dia juga kerap membelikanku sesuatu. Memang sepele. Misalnya, malam hari, tiba-tiba aku menemukan brownis ketan kukus di instagram dan karena jiwa nge-story sudah mendarah daging, aku langsung unggah.

Hebatnya, keesokan hari, mbayen menyodorkan kue itu di jam makan siang. Katanya, bukti pertemanan di antara kami.

Royal banget.

Aku harus membalasnya suatu saat nanti. Menghadiri pesta pernikahannya, contohnya.

Mbayen sudah siap dengan posisi terenaknya, di sofa, aku kemudian menyusul. Jadi, kami batal ngobrol cantik di dalam kamar. Karena ketika aku mengajaknya tadi, dia bilang pamali makan di atas kasur.

Baik.

Baiklah.

BAIKLAH.

"Mbala udah move on belum sih?"

"Ya ampun, Mbayen. Ini ibarat aku abis lahiran, aku beneran baru aja selesai masa nifas. Masa udah mau lahiran lagi?"

"Lagian kalau cowok berengsek gitu, aku sih buru-buru cari yang baru yang lebih segalanya." Mukanya serius banget. Dia menelengkan kepala, melirikku tanpa kedip, lalu balik lagi natap ke depan. "Badan yang lebih besar. Uang yang lebih banyak. Umur yang lebih tua. Pokoknya, semua-muanya dilebihin dari yang sebelumnya, Mbala."

Aku ngakak.

"Kok malah ketawa sih?"

"Jadi, maksudnya kalau yang sebelumnya berengsek macam domba itu, aku harus nyari yang lebih keparat nyerempet bajingan gitu?"

"Wadoh!" Dia terkikik sendiri. Menuangkan minuman ke dalam gelasnya entah sudah ke berapa kali. "Tapi nggak popolah, Mbak. Soal berengseknya seseorang, pasti nemu karmanya kok. Siapa tau kan kita ini sebagai karmanya dia, terus nanti dia nunduk sama kita?"

"Bucin ke kita gitu?"

"Nah iku! Bucin. Manteb tenan yo. Aku pengin banget ada yang bucinin, malah aku yang ngebucin."

"SAMA!"

Lalu, kamu terbahak barengan.

Mbayen menuangkan teh pucuk ke dalam gelasku, kami bersulang ala-ala ngobrol di club kayak di film-film. Suara kunyahan keripik singkong dan kentang dari mulut kami berdua berlomba mengisi ruangan.

Belum ada yang bersuara lagi.

"Terus," kunyahannya berhenti, dia mandang aku. "Kalau misalne, ada cowok kueren banget deketin Mbala sekarang-sekarang ini. Piye, Mbak?"

"Ng ... ganteng enggak?"

Dia mendengus, aku terkekeh geli.

"Nggak tau, Mbayen. Rasanya, aku lagi males gitu ngurusin cowok. Kayaknya aku mau menjomblo aja deh, sampe nanti ada yang datang nggak cuma menawarkan hubugan pacaran, tapi langsung ke jenjang pernikahan. Mantab jiwa nggak tuh omonganku."

Aku nggak berbohong.
Berakhirnya hubunganku dengan Hago memang nggak membuat love-lyfe-ku ikutan tamat. Umurku masih segini, kalau Tuhan masih mengizinkanku hidup seperti manusia pada umumnya, aku masih punya banyak waktu dan nggak mungkin selama itu aku hidup sendiri. Tapi, masalahnya, untuk mencari pasangan baru, aku benar-benar belum terpikir.

Maksudnya, aku selalu nggak pernah paham bagaimana definisi move on. Orang-orang mengindetifikasinya adalah dengan naksir ke cowok baru, PDKT, kemudian jadian. Lalu, kalau misalnya belum dapat, tetapi sudah mengikhlaskan yang sebelumnya, apakah itu belum bisa disebut move on?

Entahlah.

Aku pusing.

Ngomong soal cowok dan pacar---eh tunggu dulu, aku kan mengundang mbayen ke sini bukan untuk membahas masalah hatiku, tetapi ini soal omongan si anak uang!

"Mbayen!"

Dia terbatuk-batuk.

"Eh maaf, Mbayen. Ya ampun, aku nggak liat kalau lagi minum. Duh, sayang banget teh pucuknya muncrat gitu."

Dia masih terbatuk pelan, membersit area mulutnya dengan tisu. "Mbala balas dendam ya? Karena waktu itu aku kagetin di ruangan bapak?"

"Enggak! Nggak level! Aku nggak main sama balas dendam. Sama Hago yang sakitnya sampe ke ubun-ubun aja aku nggak berusaha bunuh kok, apalagi Mbayen yang baik begini." Aku nyengir. "Sumpah, Karma itu sekarang kayak rentenir, lagi keliling nyamperin yang bersangkutan."

Kurang ajar!
Aku serius, menggebu-gebu, dia malah ngakak parah.

"Udah jangan melipir! Jangan karena batuk terus aku kasihan sama Mbayen dan lupain topik penting kita kali ini."

"Okay, I am serious, too," katanya. Bergaul sama Bee, kemampuannya dalam bahaga Inggris lumayan juga. "Ayo, tanya aku, Mbala. Tapi, di ending nanti, you have to answer, toooo. Because I have so many many pertanyaan. Understand?"

Aku memutar bola mata.

Aku yang punya business, dia malah ikutan bikin daftar pertanyaan. Memangnya, apa sih yang dia mau tahu di dunia ini dan kenapa harus aku yang menjawab?

Sudahlah.

"Bee tadi bisikin aku." Dahunya berkerut. Lalu dia mendelik berlebihan. "Mbayen plis deh. Aktingmu ngeselin. Masa ekspresi syoknya kelamaaan. Lagian aku juga belum ceritain apa. Serius ah." Dia berdeham berkali-kali, kemudian mengangguk. "Kata Bee, dia punya a big secret."

"Apa itu?"

Aku berdecak. "Ah ya Tuhan. Tadi udah lancar banget Inggrismu. Rahasia. Dia bilang dia punya rahasia besar. Katanya, Pandan, ng ... maksudku, mas Dhana pacar-pacar aku. Bisa Mbayen jelasin?"

"Wadoh. Kenapa nggak tanya aja sama mas Dhana?"

"He?!" Aku langsung bersila, mengubah posisi jadi berhadapan dengannya. "Kira-kira aja dong, Mbayen! Aku bukan sampeyan yang berani banget sama bosmu itu. Aku takut! Boro-biro nanyain hal itu, buat bilang kalau aku takut sama dia aja nggak berani."

Dia memandangku penuh cemoohan. Kurang ajar! "Okay. Bee bilang mas Dhana pacar-pacar Mbala?"

Aku mengangguk. "Terus katanya, yang nyuruh dia buat bilang ke aku itu Mbayen! Karena Mbayen bilang kalau dia tetep jaga rahasia itu, nanti dia bakalan jadi rakyat jelata kayak aku. Aku maafin yang terakhir, sekarang jawab yang pertama!"

"Mbala kalau mau nikah, tipe suaminya kayak gimana? Kan kadang pacar sama tipe suami tuh beda ya?"

"Ya mau yang sempurnalah! Astaga, Mbayen jangan pancing aku marah ya."

Dia nyengir. "Okay-okay. Tapi aku tanya dulu---"

"Mbayen!"

"Satu aja sumpah!"

"Oke. Tapi abis itu nggak ada alasan lagi!"

Dia mengangguk yakin.
Ini bakalan panjang kalau aku nggak segera mengiyakan. Enggak apa deh, yang penting semua urusan omongan Bee ini cepat selesai.

"Mbala kalau memang mau punya pasangan baru, kriterianya kayak gimana?"

"Aduh, aku nggak tahu, Mbayen. Mungkin aku bakalan cari anaknya pak ustadz kali ya, biar ada jaminan nggak berengsek."

"Yang lain nggak mau?"

"Cowok kan sama aja."

"Enggak juga. Cari yang lebih tua lho, Mbala. Pengalamanku selama di Jakarta, anak kuliahan aja masih kayak anak kecil ih. Mendingan sekalian nyari yang di atas 35 deh. Pasti nggak main-main lagi."

Aku memandangi mbayen.
Ternyata, kita memang nggak pernah bisa mendeskripsikan seseorang hanya dari apa yang kita lihat ya. Mbayen yang kelihatannya cuma hidup di sekitar Bee, ternyata punya banyak pengalaman.

Omongannya memang nggak sepenuhnya benar. Maksudku, banyak kok anak kuliahan yang punya pikiran dewasa. Aku mengenal beberapa, dulu. Tapi, nggak sedikit juga memang yang masih suka main-main, menikmati hidup dengan menghamburkan uang dan waktu.

Dan, mungkin, kalau lelaki di atas 35 tahun, mereka sudah menghabiskan waktu banyak buat bermain. Makanya, kebanyakan serius. Cuma, masalahnya, mengingat umurku yang sebegini kecilnya, gimana kalau nanti dia lebih parah dari Hago? Memanipulatif, mengontrol dan menguasai.

Ah, pusing.

"Mbala, kok malah melamun."

"Pacarnya Mbayen di Jawa sana memangnya bedanya berapa tahun sama Mbayen?"

"Sembilan tahun."

"Lumayan juga ya."

"Iya. Aku sih nggak pernah masalah. Mau beda sebelas, dua belas, atau bahkan dua puluh pun ada kok."

Aku mengibaskan tangan. "Udah deh. Nanti aku pikirin lagi. Kalau aku udah nemu final, kita bahas. Sekarang jawab dulu, apa maksud omongan Bee? Kenapa pacar-pacar? Aku bukan anak kecil, yang nggak tahu artinya pacar-pacar. So, Mbayen, it's your turn. Jelasin ke aku."

"Oke, sebetulnya, aku kurang tahu pasti karena mas Dhana---" Ponselnya berdering, mbayen melupakan kelanjutannya ceritanya. "Mampus, Mbala! Mas Dhana nelepon!"

"Ya Allah jantungku!" Dia panik, aku jauh lebih tremor. Ya Tuhan, kenapa jalannya tak pernah mulus. Kenapa hal yang berhubungan dengan mas Dhana selalu menegangkan, menajutkan dan mendebarkan sih! "Mbayen gimana dong. Gimana kalau jangan diangkat aja?"

"Bisa habis aku dilindes pake mobilnya dia."

"Atau Mbayen kirim SMS atau WhatsApp atau apa gitu. Bilang kalau Mbayen lagi di kamar mandi, mencret kek, suruh tunggu satu jam---"

"Mbala!"

"Ya?"

"Jangan panik jangan bimbang." Dia menarik napas, aku mengikutinya. Hembuskan, kuikuti lagi. Dia seperti pemandu senam hamil aja. "Semuanya bisa diatasi. Sek sek sek, aku tak mikir dulu."

"Aku takut!" Ini benar-benar jauh lebih menantang ketimbang naik rolercoaster doang. "Gimana kalau mas Dhana---tunggu dulu, Mbayen bilang enggak kalau mau ke sini?"

"Hah? Ya---ya enggaklah. Gila apa aku. Tadi aku bilangnya mau ke rumah saudara."

Bagus.

Lalu, apa yang harus kami lakukan sekarang? Mas Dhana pasti curiga kalau mbayen pergi selama ini. Atau, jangan-jangan Bee terbangun dari tidur dan mencari mbayen?

Ya Rabb.
Aku menelan ludah.

Kuperhatikan mbayen sedang mengetik sesuatu. Tolong beri dia ilham sebanyak mungkin, Tuhan, buat mas Dhana memercayai apa pun jenis white lies yang akan diberikan cewek ini. Kami masih ingin hidup.

Kami sama-sama belum menikah.

"Mampus dia video call!"

"HE?!" Aku berdiri di sofa. Loncat ke bawah dan berjalan ke sana-sini. "Habis. Habis. Aduh, Mbayen, aku mau pingsan. Napasku udah mau putus."

Jantungku.

Jantungku, ya Tuhan, apa kabar?

SIAGA!

"Nggak ada pilihan lain, aku tetap harus angkat ini, Mbala."

"JANGAN! Ini kan apartemen dia, kalau nanti di ngeh Mbayen ada di sini gimana?"

"Enggak apalah. Biar jadi urusanku."

"Kalau mbayen dimarahin?"

"Sudah biasa."

Kali ini, aku ketawa juga. "Yakin?"

"Banget." Dia agak menjauhkan ponselnya setelah memasang headset, bersandar di kepala sofa. "Halo, Pak? Saya udah disuruh pulang?"

Ya Karim.
Tenggorakanku kering sekali.

Apa yang dikatakan mas Dhana di sana? Kenapa ekspresi mbayen begitu bikin penasaran?

"Sudah kok, Mas Dhana. Sudah beres." Dia mengubah posisi, menghadapku. Membuat ponselnya dekat denganku. Lebay banget kadang-kadang. "Ini saya lagi menikmati waktu berdua sama temen saya. Mau ngobrol sama dia?"

Mataku melotot.
Mbayen malah tertawa, di saat aku sudah nyaris kehilangan nyawa. Dia benar-benar mengerjaiku malam ini! Aku kesal. Aku takut. Aku panik. Dia malah haha-hihi.

Nyebelin.

"Oh pulang sekarang? Tadi kan saya izinnya mau---oke, understand, Sir. Kalau Nona Bee sudah bertitah, saya bisa apa. Meluncur ke sana." Dia memasukkan ponsel bersama printilannya itu ke dalam tas. "Mbala, aku harus pulang ini."

"Yah. Kan ceritanya belum selesai. Gimana dong?"

"Mbala mau aku dicekik sama mas Dhana? Mau aku dipecat dan nggak bisa kasih Mbala makanan lagi?"

"Ya enggak juga. Tapi kan---"

"Aku janji. Segera kasih tahu Mbala rahasia besar yang dimaksud Bee. Janji."

"Beneran ya? Kemarin ada orang yang ingkar janji, matinya dilindas truk terus mayatnya ditendang mas Dhana sampai Afrika."

"Amit-amit jabang bayi! Mbala ih!"

Aku ngakak.
Akhirnya bisa bernapas lega juga setelah video mereka berakhir.

Sebelum berjalan mengantar mbayen ke pintu, aku menyempatkan diri meraih ponsel dan membalas pesan yang dikirim abang. Dia mengingatkan agar aku mempersiapkan naskah untuk episode ke enam. Jadi, sembari mereka mengedit episode ini, para pemain harus benar-besar menguasai yang berikutnya.

"Mbala. Makasih udah mau nampung aku tadi. Cerita kita jadi seru banget. Aku senang ternyata Mbala orangnya nggak sombong."

Aku memutar bola mata. Yang sombong kan dia. Bukannya aku.

"Aku pamit ya, Mbak."

"Udah pesen Go-Jek? Kalau mau, aku pesenin."

"Aduh, nggak main ah. Serem. Aku pesen Blue Bird aja."

Di saat aku berdecih, dia ngakak sambil mukul lenganku. Ini dia belum jadi bininya mas Dhana. Kebayang enggak sih kalau mereka menikah, mbayen bakal sesombong apa?

Raja Firau  lewat kayaknya.

"Btw, Mbala, sebetunya Harvest tadi sama brownis waktu itu bukan dari aku."

Ponselku berdenting. Aku membuka kunci layar dan menemukan pesan balasan abang. "Terus?" tanyaku, sambil tetap mengetik.

"Dari Bapak. Permisi."

"Bapak si---" Cewek satu itu! Orang belum selesai ngomong sudah main pergi aja!

Dari siapa katanya tadi?

Bapak?

Bapak yang mana?

Bapak uang atau mas Dhana atau Bapak Tuan?

Mataku seketika melotot saat menemukan pesan baru setelah balasan abang.

bee nngs mnt llipp lo.
wlpn mrh, tp ktny enk dn k lh gw iznn bee mkn itu.
bsk bwin. bpkny jg pnsrn rsany.










to be continued ....

kalau vote dari part 1 sampai part ini bisa 3k, kita ketemu lagi malam takbir, kukasih sebagai THR, kalau tyda, sampai temu setelah lebaran!
🌚🌚🌚

aku tau semua itu sulit, makanya kuberi tantangan itu
😈😈😈










salam👙,
Aisyahrani yang besok mo bikin nastarhhhh cetar.

Continue Reading

You'll Also Like

118K 9.3K 29
Cover by: Lana Media "Dengerin gue satu kali lagi." ucapnya memohon. Namun hasilnya nihil. Dia-yang diminta tetap tinggal lebih memilih pergi; mening...
55.2K 7.4K 35
Series ~ New Adult "Begitu banyak ragam manusia di dunia ini Gendis, mungkin bakal banyak hal yang mengagetkanmu kelak. Aku pernah seumuranmu, seumu...
173K 29.2K 22
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
300K 25.9K 77
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...