My Cinderella (revisi)

By Dee_ane

254K 9.3K 1.5K

Setelah setahun didiagnosa gagal ginjal kronis dan ditinggal pacarnya, akhirnya Cinde Anindyaswari mulai mela... More

Prolog
1. Langkah Pertama
2. Tugas Pertama
4. Kesempatan Kedua
5. Ketahuan
6. Business Trip Plus Plus
7. Kenangan Lama
8. Celoteh Cinde
9. Rumor
10. Business Trip ke Yogya
11. Seseorang Dari Masa Lalu
12. Sisi Lain Brave
13. Dari Bibir Turun ke Hati
14. Move On
15. Terjebak
16. Masa Lalu Yang Terkuak

3. Ke Semarang

8.3K 669 126
By Dee_ane

Begitu melihat Brave masuk dan duduk manis di kabin depan mobil, Cinde buru-buru masuk melalui pintu kanan. Dia berpikir mobil bosnya adalah mobil matic. Namun, saat melihat tiga pedal di bawah, dia hanya bisa menelan ludah. Walau bisa mengemudikan mobil bertransmisi manual, tapi Cinde sudah setahun tidak pernah mengendalikan mobil berkopling.

Dengan tangan yang bergetar dan jantung berdetak kencang, Cinde memasukkan kunci ke lubang. Matanya melirik ke arah Brave yang sedang menekuri layar i-padnya, seolah tidak memedulikan keberadaannya. 

“Kita berangkat, ya, Pak. Bapak berdoa saja semoga kita sampai di tempat dengan selamat.” 

Brave sempat menoleh ke arah sekretarisnya, tapi kembali lagi terpaku pada tulisan di gawainya. 

Cinde mendengkus karena benar-benar dianggap sopir oleh bosnya. Sebenarnya dia ingin memprotes karena ini bukan bagian dari job description seorang sekretaris. Namun, lidahnya menahan getaran rasa tak nyaman. Dia memilih fokus memperhatikan tiang penyangga parkiran khusus CEO saat memundurkan mobil agar tidak menggesek mobil berbodi besar itu.

Selama perjalanan, mata Brave tidak lepas dari gadget-nya. Sesekali Cinde melirik dari ekor matanya, bos muda yang duduk di kursi depan itu sedang sibuk dengan dunianya. Kadang bibir lelaki itu bergerak-gerak tidak jelas seperti sedang memperhitungkan sesuatu dan alis lebatnya mengerut hingga guratan di pangkal hidung tercetak jelas.

"Apa lihat-lihat?" 

Cinde terkesiap saat suara Brave tiba-tiba memecah sunyi. Dia tak menyangka ternyata Brave menyadari bahwa dirinya memperhatikan sang bos.

"Saya punya mata, Pak. Kalau mau ambil kiri, saya pasti lihat spion kiri," jawab Cinde berkelit.

Brave mendengkus, selanjutnya dia kembali menekuri i-padnya.

Pukul 11.45, Cinde akhirnya memarkir mobil SUV hitam di sebuah kantor PT. Es Manis Laris yang memproduksi segala jenis contong es krim. Bukannya menunggu Cinde, Brave langsung mendorong pintu dan keluar dari mobil untuk masuk lebih dulu ke dalam kantor. 

Sementara itu, Cinde yang masih duduk manis di jok mobil, melihat lagi angka di jam tangannya.

"Kurang seperempat jam lagi," kata Cinde pada dirinya saat dia turun dari mobil untuk mengambil tas di kabin kedua.

***

Di sisi lain, Brave sudah masuk ke dalam kantor perusahaan. Di dalam, dia disambut laki-laki yang kira-kiranya usianya sama dengan Brave. Namun, penampilan CEO perusahaan keluarga pembuat contong es krim, terlihat lebih tua dengan perut buncit dan rambut yang sudah menipis.

"Beginilah kantor kami. Kecil tapi jangan diragukan kualitas produknya," kata Burhan sambil terkekeh. 

Brave hanya mengangguk dan mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kantor itu. Setiap ruangan ditata dengan konsep minimalis dan terlihat nyaman.

"Mari kita ke atas, ruang meeting ada di sana." Burhan merangkul Brave dan menuntunnya ke lantai atas. Walau tak nyaman tapi Brave berusaha bertahan. Kalau saja vendor contong es krim yang bekerja sama dengannya tidak gulung tikar, Brave pasti tidak sudi dengan skinship berlebihan seperti ini.

Brave lalu dipersilakan masuk ke dalam ruangan di lantai atas yang terletak di sebelah kiri tangga. Dia menurut saja saat tuan rumah mengarahkannya duduk di tempat yang tersedia.

"Sendirian saja, Pak?" Brave baru sadar kalau selama ini Cinde tidak mengikutinya.

"Ah, saya bersama sekretaris saya tadi."

"Kita tunggu atau bagaimana?" tanya Burhan.

"Kita mulai saja langsung. Paling bentar lagi dia nyusul," ucap Brave sambil melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan tengah hari.

Namun, setelah setengah jam percakapan berlangsung, Cinde tak juga kelihatan batang hidungnya. Lelaki itu mulai bergerak gelisah sambil sesekali melirik ke arah pintu kaca. Dengan terpaksa, Brave melakukan pekerjaan sang sekretaris. Dia mencatat beberapa hasil perbincangannya saat itu agar tidak terlupa.

Walau wajah Brave masih bisa mengurai senyuman, tapi batinnya sedang merutuk Cinde. Bisa-bisanya anak baru yang datang langsung membuat masalah dengannya. Jelas salah besar, karena Brave tidak akan mentolerir kesalahan sekecil apapun. 

Dan kali ini, Brave tidak akan tawar menawar. Bila sampai pada hitungan kesepuluh Cinde tak muncul, dia akan memecat gadis itu di hari pertamanya bekerja. Bahkan, dia tidak akan mengizinkan Cinde untuk pulang ke Solo bersamanya.

Ketukan terdengar, menjeda percakapannya dengan Burhan. Derik daun pintu ruang pertemuan yang terbuka membuat orang-orang yang ada di situ menoleh. Dengan cengiran tanpa rasa bersalah, Cinde berkata, "Maaf. Saya sekretarisnya Pak Brave." Dan dia pun masuk, lalu menempatkan diri duduk di sebelah Brave yang masih berusaha mengatur suasana hatinya.

Walau Brave ingin menghardik gadis itu, tapi sebisa mungkin dia menahan lidahnya. Digigitnya kuat bibir bawah agar letupan kemarahan tak menyusup. Setidaknya, dia berusaha bersikap profesional dengan tidak menunjukkan wajah kusutnya.

"Sampai mana, Pak?" bisik Cinde tepat di belakang telinga Brave hingga membuat bulu kuduk lelaki itu berdiri.

Brave seketika menghindar ke kiri, sambil melirik tajam pada Cinde. Namun, karena tidak ingin menarik perhatian rekanannya, dia berdeham sambil mengepalkan tangan dengan gerakan meremas-remas, seolah ingin meremukkan remahan roti.

"Jangan pernah berbisik padaku! Mengerti?" desis Brave dengan tatapan sengit. 

Cinde hanya mengernyitkan alis. Sudut bibir Cinde yang terangkat semakin memantik kekesalan Brave. Dia merasa seperti dicibir oleh karyawannya. Detik itu juga dia berjanji, bila meeting sudah selesai, dia akan memberi pelajaran pada Cinde karena sudah berani bisik-bisik di telinganya. Seingat Brave, bahkan Tiara yang bekerja dengannya sejak awal perusahaan berdiri saja tidak pernah berani bicara tepat di samping telinganya. 

Namun, sepertinya batin Cinde telah mati, karena tidak menangkap respon tak nyamannya. Gadis itu tengah disibukkan menyalin catatan Brave.

"Jadi. Sebaiknya kita adakan diskusi lagi minggu depan. Kami akan mengundang perusahaan Bapak untuk melihat proses pembuatan contong es krim sesuai dengan gambaran yang Bapak inginkan," kata Bowo, direktur produksi di perusahaan itu. 

"Ok. Minggu depan kami datang lagi dengan tim yang lebih lengkap!" Brave menjabat tangan Bowo dan mengakhiri percakapan siang itu.

Setelah berpamitan, Brave masuk ke mobil, diikuti Cinde yang sudah memasukkan barang-barang ke jok belakang. Perjalanan pulang kali ini, Brave yang menyetir sendiri karena dia akan menurunkan Cinde di jalan.

Dengan tergesa, mobil keluar dari halaman perusahaan. Brave sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak meluapkan kemarahannya.

"Kamu dipecat!" kata Brave dingin.

Cinde melongo. Dia menelengkan kepala dan menyibakkan rambut bob pendeknya ke belakang telinga. "Ya?"

"Apa kamu sekarang tuli? Kamu … dipecat. Besok ti-dak perlu datang lagi." Suara Brave bergetar karena amarahnya meletup. Dia sengaja memberi penekanan pada kata 'tidak'.

"Kenapa? Saya salah apa?" Nada Cinde terdengar tak terima.

"Kamu itu karyawan baru, tapi sudah seenaknya sendiri! Saya suruh kamu ke sini karena jadi sekretaris! Bukannya dolan! Masa cari ruangan meeting saja lama banget!" hardik Brave.

"Iya, Pak. Maaf," jawab Cinde.

Brave mengerjap. “Maaf? Maaf katamu? Jangan bilang kamu keluar dari perusahaan lama karena dipecat!"

"Mboten, Pak. Saya memang mau pulang ke Solo," jawab Cinde lagi.

Sontak Brave bertambah berang. "Kamu bisa nggak sih nggak jawab-jawab terus?" Kini bahasa bakunya hilang begitu saja.

"Lah, Bapak tadi lagi bicara, masa saya diam. Nanti dikira saya cuek. Tidak perhatian." 

Rasanya darah Brave sudah mendidih dan meletup hingga ke kepala. "Kamu mau saya turunkan di sini?" Mata Brave membeliak, walau fokusnya masih tertuju pada jalanan yang ramai. 

Hening sesaat. Cinde tak menjawab.

Seketika tengkuk Brave terasa pegal. Belum ada satu hari, tekanan darahnya sudah tinggi menghadapi gadis itu. Dia mengatur napas, berusaha menetralkan dada yang kembang kempis karena tersulut emosi terhadap semua tingkah laku Cinde yang tidak berkenan di matanya dari awal sampai akhir. 

"Sudah, Pak?" Tiba-tiba suara Cinde memecah keheningan

"Sudah apanya?" Alis Brave mengernyit dengan nada ketus.

"Sudah marah-marahnya?" 

Brave gelagapan. Dia tidak bisa berkata-kata lagi. Lelaki itu mendengkus keras. "Kalau sudah, kenapa dan kalau belum, mau apa?" Alis Brave terangkat dengan dagu yang bergerak ke atas.

"Bapak bilang mau nurunin saya, tapi Bapak masih di tengah jalan aja. Lagian saya lapar, Pak. Kita makan dulu yuk."

.
.
.

Rahang Brave seperti tertarik gravitasi bumi. Dia mengerjap berulang. Kali ini darahnya semakin mendidih.

"Kok diam, Pak? Saya lapar banget nih. Sebelum saya keluar, kita bikin makan-makan perpisahan dulu." Cinde meringis sambil mengusap perutnya.

Dengkusan kasar meluncur dari hidung mancung Brave. "Sebentar lagi ada resto ikan bakar. Kita makan di sana," kata Brave pada akhirnya. Setidaknya sebagai bentuk terima kasih karena sudah menjadi sopir saat berangkat.

Mendengar persetujuan Brave, bibir Cinde seketika tertarik lebar. Apalagi saat Brave berbelok ke kanan memasuki halaman depan resto ikan bakar yang dipadati barisan mobil yang terparkir. Setelah mobil berhenti sempurna di sebelah sedan biru metalik, Cinde keluar dari mobil. 

Kali ini Brave yang mengikuti Cinde karena memang dirinya tidak terbiasa makan siang. Dengan bersemangat, gadis itu berlari kecil mendapati meja yang kosong seolah takut direbut oleh konsumen lain. Lagi-lagi, embusan napas kasar terdengar saat dia merasa saat ini seperti nanny yang mengasuh anak kecil. Walau awalnya dia ingin meninggalkan Cinde begitu saja, tetapi nurani Brave mengatakan dia harus memberi kesan baik. Lagipula besok dia tidak perlu berurusan dengan gadis itu.

"Pesan apa, Pak?" tanya Cinde sambil menyodorkan menu ketika Brave menarik kursi di depannya.

"Gurami bakar," jawab Brave asal tanpa membaca menunya. Dia sudah beberapa kali ke resto itu dulu bersama keluarga dan pacarnya jika sedang berjalan-jalan ke Semarang.

"Cocok! Sama tumis kangkung ya, Pak? Plus sambel, lalapan …," cerocos Cinde

"Tunggu, tunggu. Tadi kamu nanyain tapi kamu malah yang jawab sendiri?"

Cinde memberikan cengiran. "Rekomendasi, Pak. Kali aja Bapak bingung milih menu pendampingnya."

Brave berdecak sambil bersedekap mengamati gadis yang kelewat semangat mencatat beberapa menu. Seolah dia tidak terganggu dengan ancaman pemecatan dari Brave. 

Sambil menunggu pesanan mereka datang, Brave memilih menyibukkan diri dengan gim di gawainya agar tidak canggung dengan keheningan. Namun, kesunyian di antara mereka terpecah oleh bunyi kluthuk dari mulut Cinde setelah es kelapa muda datang.

Suara itu memancing Brave mengerling. Dia meringis ngilu, kala melihat Cinde mengunyah es kristal. "Nggak ngilu tuh gigimu?" 

Cinde menggelengkan kepala. Mulutnya masih penuh dengan es batu. Mata gadis itu berbinar saat suara gemeletuk terdengar dari mulutnya. Dia terlihat menikmati segarnya es yang mencair di mulut. "Enak, Pak. Cobain deh. Bisa ngademin tubuh, hati, dan pikiran yang panas."

Selalu saja Cinde menjawab dengan hal yang tidak perlu. Namun, Brave memilih diam, sampai makanan utama datang. Melihat ekspresi Cinde saat menatap makanan yang tersaji, seolah baru kali itu dia melihat gurami bakar, tumis kangkung dan lainnya, tanpa sadar Brave tersenyum tipis.

"Mari makan, Pak!" Cinde menawari Brave.

"Duluan aja. Kayanya kamu lapar sekali," kata Brave yang masih sibuk memainkan gim di gawainya yang sedang seru.

"Jangan gitu dong. Kita makan sama-sama," protes Cinde, "Tidak enak dilihat orang. Dikiranya saya rakus." Cinde berbisik sambil menutupi mulut dengan tangan yang ditempelkan ke pipinya. 

Mau tidak mau, Brave akhirnya meletakkan gawai, mencuci tangan,ndan mulai mengambil daging perut gurami setelah Cinde menawarinya lebih dahulu. Walau awalnya Brave tidak lapar, tapi melihat sajian di meja, dia menjadi tergoda. 

Sementara itu, setelah Brave selesai mengambil bagiannya, Cinde justru memotong kepala gurami. Gadis itu memakan setiap inci daging yang ada di tulang tengkorak ikan. Saking asyiknya makan, dia tidak sadar mulutnya belepotan terkena makanan. 

Entah kenapa, Brave terkekeh kecil, melihat gadis di depannya makan tanpa malu-malu, seolah dia tidak makan berhari-hari.

"Gila, enak banget ya, Pak!" kata Cinde sambil menepuk perut setelah kembali dari mencuci tangan. 

Brave berdecak menyembunyikan rasa geli melihat tingkah konyol Cinde. "Kamu ini nggak ada takutnya sama atasanmu, ya?"

"Hanya Tuhan yang harus kita takuti, Pak," jawab Cinde enteng.

.

.

.

Sekali lagi, Brave tidak bisa menjawab komentar Cinde yang mengandung kebenaran.

"Ya udah, ayo, pulang!" Brave berdiri, hendak mengambil dompet di saku belakang celananya. Lelaki itu bahkan melupakan bahwa dirinya marah kepada Cinde dan sempat menyuruhnya pulang sendiri.

"Nggak usah repot, Pak. Sudah saya bayar semua. 'Kan saya yang ajak Bapak makan, jadi saya dong yang harusnya traktir Bapak. Anggap saja traktiran perpisahan karyawan baru. Bapak silakan pulang dulu. Nanti saya naik bus saja."

Seketika mulut Brave terbuka lebar. Gadis bertubuh mungil di depannya tidak punya rasa takut dan bersalah. Padahal dia pikir, Cinde akan memohon agar bisa pulang dengannya.

Sungguh, batin Brave tergelitik. Haruskah dia tetap meninggalkan gadis itu?


💕Dee_ane💕💕

Udah vote?
Udah komen?

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 18.7K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
3.2M 175K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...
1M 46.5K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
Rewinds ✓ By Fai

Science Fiction

419K 26.9K 33
Percobaan mesin waktu yang berawal dari iseng membuat Vene dan Cindy terdampar di dimensi lain-Wozzart-beserta mesin waktu yang rusak parah berakhir...