[ NOVEL ] setelah dapat kerj...

By Aku-UMI

1.6M 131K 18.5K

sejak kecil, kita terbiasa diajari untuk berlomba. ngeyel siapa yang paling benar antara kakak-adik. hingga m... More

0. | hai, it's me: prologue!
1. | the man who wants to keep me down
2. | which one would you like to choose: ego or pride?
3. | a big fight always begins with a prologue
4. | you could break my heart in two. but when it heals, it beats for you
5. | it's time to get to know me first!
6. | the man I want to kill
7. | i know that he's an old-fashioned man
8. | i don't need nothing else but ... him.
9. | let's focus on communicating!
10. | a trick to keep your heart alive.
11. | do you have an immortal soul?
13. | it's a mood, it's a vibe, it's a look, it's a match!
14. | people come and go.
15. | a sweet healer
16. | a healer who needs some healing
17. | i've trained myself to be less stupid
18. | no more awkward conversations!
19.1 | things will be easier if you shout it out.
19.2
20. | do not be fooled by a man, fellas!
Njul Panjul!
numpang dolo ya, Njul.
numpang lagi ya, Njul!
OPEM PO SWEET-TALK & SMLA
woro-woro
PO LAPANDAN

12. | it's not the pain, it's a tryout!

29.2K 5.2K 739
By Aku-UMI

today's challenge: commend with your favorite emoji.  mine is 🌚








"Mbala! I told you I would get the best experience, remember?"

Sebetulnya aku malas tertawa, tetapi mengingat bagaimana sama persis ucapan Bee dengan apa yang kubayangkan membuatku gagal menahan diri. Jadi, yang kulakukan adalah mengangguk, menatapnya.

"I did!"

Aduh, Bee, kalau aja kamu tahu bagaimana keadaan rumah+studio saat ini, kamu pasti ketakutan dan akan berlari ke pandan uangmu itu. Tapi sayang, si anak riya ini nggak akan paham karena yang ada di otaknya pasti cuma cara untuk pamer terhadapku.

"The Museum ... what's the name, Pandan?"

Mas Dhana berhenti melangkah tepat di depan pintu ruangannya, ia memandang kami bergantian. "Museum Angkut."

"Ya! It was coool! The Park was coool! Bee juga suka banget sama pendolnya! It was so delicious! You must have some!"

"Wah, cooool, Bee!" Aku meringis, ketika mas Dhana melirikku. Semoga dia nggak paham kalau pujian dan senyumku untuk Bee ini hanyalah dusta. "Mbayen mana? Kamu tadi kayaknya dicariin."

Alhamdulillah banget akhirnya dia mengangguk, berlari menaiki tangga. Bee dan Mbak Yeyen memang tak bisa dipisahkan. Aku kadang iri, cewek beruntung satu itu bisa pergi ke mana pun mas Dhana dan Bee berlibur.

Apa perlu aku menjadi pengasuh agar nasibku sama bagusnya?

Aku mengelengkan kepala. Dengan cepat menyusun print-an naskah untuk kuberikan pada mas Dhana yang sudah hilang ditelan pintu. Selesai itu, aku meninggalkan mesin print dan berjalan ke ... ya Tuhan, jantungku rasanya sesak banget melihat kang Denny yang tak memberiku senyuman atau kalimat canda yang lebih ke ngenyek-nya itu. Dia hanya diam, lalu berjalan ke mejanya.

Kulirik ke meja Uda, dia juga sedang memperhatikanku. Ternyata rasanya sama sesak saat Uda malah tersenyum, mengatakan "Nggak apa-apa" tanpa suara.

Hari memang berjalan begitu lambat, tetapi mau nggak mau aku harus melewatinya meski dengan hati yang terluka. Hari Minggu kemarin, aku menemani Hago kondangan dan semua senyum juga kalimatnya yang hari itu tanpa nada tinggi, nyatanya tak mampu menyembuhkan luka di hati karena ulahku sendiri.

Lalu, semalam, mas Dhana sudah sampai di Jakarta. Aku mengetahui ini dari grup yang mulai membahas mengenai next drama. Tak ada yang berubah dari ketiga abangku saat membahas judul baru, mereka masih sama. Hanya saja, aku benar-benar kehilangan rasa keluarga begitu aku menginjakkan kaki di lantai ini, tadi pagi.

Abang hanya mengatakan kalau aku diminta mas Dhana ke ruangannya setelah nge-print naskah. Lalu, kang Denny barusan datang tanpa kata. Hanya Uda, yang tadi pagi masih senyum, tetapi tak mengatakan apa pun.

Ini pilihanmu kan, La? Kamu yang meminta mereka memperlakukanmu hanya sebagai patner kerja?

Jadi, nikmati saja.

Aku menarik napas, mengembuskannya pelan setelah mas Dhana mengatakan 'masuk' tepat aku rampung mengetuk pintu ruangannya. "Memang harus begini, La. kerjaan tetep jalan meski lo lagi kacau." Akhirnya kubuka pintu itu dan kutemukan mas Dhana di kursi kerajaan sambil menatapku.

Jantung, jaga diri baik-baik. Tidak ada yang bisa membelamu.

Suara, jangan sampai gugup, atau mas Dhana akan mengetahui semua tentang masalahmu dengan para abang.

Otak, jangan sampai lambat dalam berpikir, agar semuanya berjalan semestinya.

Terakhir, hati, jangan mencampuri urusan kali ini. Kamu harus duduk diam di tempatmu.

Oke, aku siap. Memberi senyuman untuk pemberi upah itu, lalu dengan profesionalitas yang kujunjung tak kalah hebat, aku duduk di hadapannya, menyodorkan lembaran-lembaran kertas.

Di dalam sana, aku sudah mengetikkan lengkap dengan dialog, waktu, setting lokasi bahkan rekomendasiku soal pemainnya. Niatnya, aku ingin menggunakan pemain yang dulu pernah memerankan salah satu karakter drama kami. Tapi, semuanya bergantung pada sang raja yang sekarang sedang membolak-balik kertas di tangannya.

"Gue suka topik ini."

Aku menyisihkan rambut ke belakang telinga. Apa indera pendengaranku baru saja keliru dalam bekerja? Mas Dhana mengakui secara gamblang kalau menyukainya? Ya Tuhan, setidaknya, di tengah badai, selalu akan ada pelangi---well, agak mustahil, tapi nggak apalah. Karena biasanya mas Dhana hanya akan mengangguk sambil mengatakan 'okay sip' andalannya itu.

Mungkin benar, dia di Malang sudah menemukan ustadz ampuh untuk membersihkan dirinya.

"Walaupun gue nggak suka cewek yang lebih tua, karena menurut gue lebih menarik cewek yang jauh di bawah gue umurnya."

"Tapi banyak kok, Mas, cowok yang suka sama perempuan di atasnya." Aku mengatupkan kedua tangan di atas meja. Aku sudah tak segugup tadi. Ini kabar gembira. "Jadi, kisah ini tetap masuk akal. Biasanya alasan psikologisnya karena si cowok butuh sosok ibu di diri si cewek, pengin dimanja."

"Ohya?"

"Iya. Mas Dhana nggak tahu soal Rafi Ahmad dulu sama Yuni Shara? Darius dan Dona Agnesia? Terus yang kemarin Ajun sama istrinya?"

"Otak lo encer banget kalau ngomongin gosip. Diminta presentasi lewat video call aja nggak sanggup."

Ya Rabb.
Aku menelan ludah.

Lalu, berusaha setenang mungkin, akhirnya aku hanya mampu meringis. "Yang itu aku ketiduran, Mas. Maaf ya. Lain kali aku pasti siap kok! Aku janji."

Dia nggak menjawab, melanjutkan aksi menilainya pada hasil otakku itu. Selama dia membolak-balik si lembaran, aku merapalkan doa agar tak banyak revisi. Atau, setidaknya jangan rombak besar-besaran karena sungguh, otak dan hatiku sedang tak dalam kondisi prima.

Aku tidak yakin bisa menyelesaikannya dengan maksimal.

"Ini dialognya jijik banget nggak sih, La?"

"Yang mana, Mas?"

"Yang ini."

Ya tolong dibacain dong, Panjul!

Tahan, La, tahan. Aku mengulurkan tangan, hendak mengambil kertas dan berniat mencari dialog yang dia maksud. Namun, dia malah menahan kertasnya, dan akhirnya kami saling tatap dengan sama-sama memegang kertas dengan sedikit tarikan.

"Biar aku lihat, Mas."

"Nanti lo nggak tahu bagian yang mana."

"Terus? Maksudku, aku liatnya gimana?"

"Sini." Kepalanya bergerak ke sisi kiri tubuhnya. "Berdiri di sebelah sini. Gue tunjukin."

"Ohalah." Aku langsung bangkit, melangkah mendekatinya hingga bisa berdiri tegak di sebelah mas Dhana. "Yang mana? Kayaknya aku ngantuk itu makanya mungkin menjijikkan." Aku ketawa pelan.

"Yang ini."

Kucondongkan tubuh karena mas Dhana nggak terlihat mau mengangkat kertas itu ke arahku, ia tetap meletakkannya di atas me... ya Tuhan, parfumnya kalau dalam jarak tanpa celah begini kenapa bisa sewangi ini sih. Apa sebegini wanginya parfum lelaki uang?

Wangi tubuh lelaki adalah kelemahanku lainnya.

Aku benci.

Aku berdeham kuat, semoga dia nggak menyadari kalau aku sudah mulai nggak konsen. Mas Dhana hanya nggak tahu aja, kalau aku sering mengeluh karena Hago terlalu wangi. Bukannya nggak suka, justru saking sukanya aku sampai pusing karena kebingungan cara mengatasi diri.

"Ini ... jijik, Mas?"

"Menurut lo emang enggak?"

"Kamu boleh menolakku dalam logikamu, Tita, tapi aku tahu hatimu memilihku." Kubaca pelan dialog dari si cowok di part mendekati ending. Lalu, aku mundur dua langkah, demi kebaikan otak. "Menurut mas Dhana, harusnya gimana?"

Dia menyerongkan kursinya, menghadapku. "Menurut lo, apa bedanya hasil dari logika dan hati?"

"He?" Aku menggeleng pelan. "Maksudnya, Mas?"

"Ck. Kan lo sendiri yang bikin, bedanya apa kalau orang mikir pake logika atau pake hati?"

"Oh, itu. Kalau logika, biasanya masih rasional, Mas. Realistis. Tapi kalau hati, itu seringnya di luar kontrol kita."

"Standar rasional atau enggaknya dari mana?"

Ya Tuhan.
Dia nggak pernah secerewet ini untuk tema-tema sebelumnya. Kenapa age gap kali ini terlihat sangat mengusik dirinya untuk bertanya banyak hal?

Aku sampai kehilangan jawaban.

"Berarti lo sekarang lagi pake hati. Karena lo kehilangan jawaban masuk akal cuma buat pertanyaan sepele dari gue."

Aku menganga.

"Gitu aja nggak bisa jawab." Ya karena pertanyaanmu ngalahin sandi kehidupan, Njul! "Okay sip. Print lagi buat anak-anak. Nanti gue kabari kalau pemain dan lokasinya udah dapet."

"Siap, Mas." Aku kembali duduk, kurapikan lembarannya menjadi seperti sebelumnya. "Permisi."

"Ohya, La."

Aku gagal berdiri. Kutolehkan lagi kepala untuknya.

Mas Dhana bangkit, dia berjalan dan mengambil satu kardus medium. Kemudian, diserahkannya padaku. "Gue tadi abis bagi makanan ke anak-anak dan ini buat lo."

"Oleh-oleh dari Malang, Mas?" Ya Tuhan, akhirnya setelah gagal berkali-kali, mas Dhana menunjukkan kepeduliannya padaku. "Makasih banyak, Mas. Aku boleh tanya ini ap---"

"Makasihnya ke Alan aja. Itu bagian dari dia dan dia bagi buat elo."

Enggak jadi lagi.

"Dari abang." Cowok itu ... meski aku sudah menyakitinya, dia tetap masih mau membagi miliknya untukku. "Mas Dhana sama abang goals banget, diminta buat kasih-kasih ke aku mau aja." Aku ketawa, pelan.

Bagaimana kalau mas Dhana tahu, belahan jiwanya itu aku sakiti hatinya? Akankah mas Dhana memakiku? Memecatku? Atau, paling gilanya menyembelihku dan dia santap ramai-ramai bersama para abang.

Dia berdeham.

"Permisi, Mas." Aku membopong kardus dan meletakkan kertas di atasnya, berjalan menuju pintu. Namun, gerakan kakiku yang akan membuka pintu tertahan karena panggilan kedua kali. "Ya, Mas? Ada lagi?"

"Denny jadi bikin grup baru buat kalian berempat?" Grup apa? Kok grup baru? "Enggak penting sih, cuma gue nggak mau kalian nanti pada ke-distract pas ada info dari gue kalau kebanyakan grup."

"Enggak kok, Mas. Kayak nggak tahu kang Denny aja. Idenya suka antimainstrem."

Dia mengangguk.

"Ada lagi, Mas?"

Jangan sampai aku dipanggil untuk ketiga kalinya nanti. Langsung kulempar mukanya dengan kardus ini. Kan nggak lucu. Bisa-bisa aku dicekik, lalu dimasukkan ke dalam kardus besar dan dihanyutkan di Ciliwung.

"Kalau misalnya gue chat bukan lewat grup, itu emangnya nggak penting ya buat lo?"

He?!

Aku langsung menggeleng. "Penting kok, Mas. Kejadian kemarin nggak akan keulang. Aku janji bakalan langsung balas di detik pertama Mas kirim chat."

"Kalau memang nggak penting, yaudah biar nanti---"

"Penting, Mas. Aku minta maaf dan janji nggak akan keulang."

"Okay sip. Lo boleh keluar dan kasih tahu anak-anak. Rembukin naskah bareng mereka besok ya."

Kemarin bilangnya dia sendiri yang akan kasih tahu! Cowok yang omongannya nggak bisa dipegang tuh jadi buncit nggak sih! Kesel.

"Siap, Mas. Permisi."

Hatiku yang berbunga-bunga karena mendapat oleh-oleh langsung hilang digantikan dengan rasa nyeri ketika aku menyerahkan print-an naskah pada kang Denny.

Dia hanya menjawab, "Taruh di situ aja. Thank you." Tanpa menoleh ke arahku.

Kini, aku berdiri di meja abang. Meletakkan kertas yang sama. "Ini naskah buat judul barunya, Bang. Dan besok kita rembukin siapa tahu abang ada masukan."

Kepalanya menoleh. Aku rasanya mau nangis melihat tatapannya. Lalu dia mengatakan, "Iya. Nanti abang baca. Makasih ya."

Terakhir, aku menghampiri Uda, kutaruh di samping komputernya. "Ini, Uda. Besok kita rembukin lagi."

"Kamu nggak pa-pa?"

Aku apa-apa! Aku kangen candaan kang Denny. Aku kangen perhatian dan saran abang. Aku kangen cerita-cerita uda! Tetapi, yang kulakukan adalah tersenyum dan mengangguk. Lalu, aku buru-buru pergi setelah uda mengelus pundakku.

Ternyata, menjalani hari tanpa perhatian mereka itu nggak mudah. Benar kata mas Dhana, aku sudah ketergantungan dan kepedean pada para abang. Jadi, ketika mereka tak memberiku, tak ada di sampingku, aku seperti kehilangan sesuatu.

Sesuatu yang besar.

La, harimu masih panjang.










to be continued ...

gue tuh sekarang kehilangan napsu makan gitu lho. gue bisa seharian gamakan, makan pas magrib doang. gimana ya🌚







salam😌,
mbak lalanya aa'.

Continue Reading

You'll Also Like

55.2K 7.4K 35
Series ~ New Adult "Begitu banyak ragam manusia di dunia ini Gendis, mungkin bakal banyak hal yang mengagetkanmu kelak. Aku pernah seumuranmu, seumu...
9.9K 865 20
kisah rumah tangga park chaeyoung atau yg kerab di panggil rose blackpink yg menikah dengan mannager nya sendiri. kira-kira masalah apa yg akan mener...
52.8K 6.5K 14
Kalau ada yang ingin kuubah dari hidupku, adalah aku berharap bisa lebih cepat bertemu denganmu dan lekas mencintaimu banyak-banyak. itu saja.
784K 5K 151
Ini adalah cerita-cerita wattpad terbaik, terkeren, terbaper yang pernah aku baca. So, Happy Reading 😊 Rank 29 in #ceritawattpad (20102019) Rank 21...